Lagi-lagi Aji memohon. Entah kepada siapa permohonan itu ia
ucapkan. Air matanya hampir saja berhambur keluar dari kelopak matanya. Ia lupa
jika dirinya adalah laki-laki. Seharusnya ia lebih kuat membendung tetesan air
mata. Tapi nyatanya tidak. Hatinya begitu hancur mendapati Mirna kekasihnya tak lagi mau
memperdulikannya. Kamarnya yang gelap dan sepi menjadi saksi bisu
ketidakberdayaan Aji sore itu.
Mirna yang baru saja pergi meninggalkannya dengan membawa sejuta
luka. Kekecawaan yang luar biasa terhadap laki-laki yang selama ini ia kagumi
dan ia hormati. Bisa jadi dia telah mengubur semua rasa yang pernah ia pupuk
kepada Aji. Bisa jadi ia malah berbalik membenci laki-laki yang sejaklama ia
mimpikan menjadi calon imam baginya. Bisa saja Mirna benar-benar tak akan
kembali lagi untuknya.
“Mirna… Maafkan kang Aji… Sungguh aku khilaf” Kali ini air matanya
benar-benar meluncur deras di kedua belah pipinya. Tangannya mengepal keras.
Lantas menghantam tembok dengan kepalan tanagnnya. Seolah tembok itu dirinya
sendiri yang ingin ia pukuli, bahkan ingin sekali ia menyiksanya habis-habisan.
Namun sepertinya sesal saja tak akan membuat Mirna kembali
kepadanya. Pukulan dan hantamannya ke tembok kamarnya yang kokoh tak akan
mengembalikan kepercayaan gadis yang ia
cintai. Bahkan jika ia membunuh dirinya sendiri pun itu tak akan lantas membuat
Mirna kembali seperti sedia kala.
Ah, betapa bodohnya Aji. Selama ini Mirna memilihnya sebagai tempat
ternyaman. Karena kesalihannya. Aji pintar bergaul, humoris, pintar berkelakar,
dan menjadi sosok yang paling enak diajak bicara oleh Mirna. Tapi mengapa hari
ini Aji harus menodai semua kepercayaan Mirna? Mengapa Aji harus membuat rasa
nyaman Mirna hilang begitu saja?
Fikirannya pun melayang, mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Di
saat Mirna dan dirinya baru saling kenal. Dalam sebuah organisasi pencinta
alam. Mirna adalah gadis yang lugu dan sopan. Sedangkan Aji adalah kakak senior
yang memiliki mental dan watak yang keras ketika berada di hadapan juniornya. Semua
junior merasa takut kepada Aji. Semuanya berpura-pura baik di hadapannya. Hanya
Mirna yang tidak. Tak ada satupun kepura-puraan yang harus dilakukan oleh
Mirna. Di hadapan Aji atau bukan Mirna masih tetap begitu. Lugu dan sopan.
Aji mulai penasaran kepada gadis itu. Tertarik dengan sifatnya. Berbeda
dengan adik kelas kebanyakan. Perlahan Aji mulai menyukai Mirna. Diam-diam ia
selalu mengamati setiap gerak-geriknya.
“Kang Aji” Sapa Mirna di suatu sore yang hangat, di tengah-tengah
waktu istirahat latihan rutin kelompok pecinta alam.
“Iya Mirna?” Aji tersenyum lembut.
“Ternyata kang Aji itu orangnya baik banget ya” Mirna memuji
membuat Aji merasa tersanjung.
Lalu.”Akang itu selain tegas, ternyata masih bisa bercanda juga.
Akang orangnya lucu. Mirna suka.”
Kalimat itu memang terdengar begitu datar. Tapi saat itu Aji
mengartikan lain. Aji senang dengan pernyataan itu.
Ingin rasanya Aji menggencarkan usaha pendekatan kepada Mirna.
Namun sayangnya ia tak mungkin melakukannya. Yuni telah terlebih dahulu
menjadikannya tambatan hati. Tak mungkin Aji begitu saja berhianat. Yuni pun
tak punya salah. Ia setia, sosok perempuan yang baik bahkan sangat baik
terhadapnya saat itu. Yuni lah orang yang paling mengerti Aji tentang semua
kelebihan dan kekurangannya saat itu.
**
Waktu berlalu. Mirna semakin membuka diri. Tak lagi terlalu lugu dan
pemalu. Suatu hari Mirna dan Aji mendapatkan tugas yang sama. Menentukan rute
pendakian untuk acara pengukuhan anggota baru. Dengan kegiatan itu, Mirna dan
Aji semakin dekat. Ada kedekatan emosi tersendiri ketika mereka saling bahu
membahu menyelesaikan masalah dalam perjalanan tugas mereka.
Mirna tak berani menyimpulkan jika ia memang jatuh cinta kepada
Aji. Sepenuhnya ia sadar diri, ada Yuni yang menjadi kekasih Aji. Ia memilih
intuk memendam perasaan itu selamanya. Yuni dan Aji menjalin hubungan sudah 3
tahun. Bisa jadi mereka akan segera menikah ketika lulus kuliah nanti. Di mata
Mirna, Yuni pun merupakan seorang
perempuan hebat. Aktifis kampus yang masih tetap bisa menjaga IPK tinggi.
Seseorang yang hebat dan yang pasti sepadan dengan Aji. Mahasiswa jurusan Fisika
yang sama aktifnya di kampus.
Bagi Mirna laki-laki yang belajar ilmu pasti tapi tetap
mengembangkan diri di bidang sosial kemasyarakatan adalah laki-laki yang
memiliki pemikiran sempurna. Bukan hanya cerdas otaknya, tapi ia juga cerdas
sosialnya.
Waktu bergulir. Cerita Mirna dan Aji tertimbun begitu saja. Aji tak
pernah mengungkapkan perasannya, begitupun Mirna tak pernah berniat memberi tahu
tentang semua kekaguman dan pujian-pujian yang seharusnya terlontar hanya kepada
Aji, laki-laki yang ia sukai, dan mungkin benar ia telah jatuh cinta.
Yuni lulus lebih dulu, Aji menyusul belakangan. Tak lama kemudian
Mirna mendengar kabar jika Yuni ternyata menikah dengan orang lain.
Hati kecilnya menyesali semua itu. Mengapa perempuan sebaik Yuni
tak lantas bisa menjaga Aji selamanya. Ia lebih percaya kepada Yuni daripada
kepada orang lain. Ia sendiri? Ia sendiri tak mungkin menjaga Aji, menyatakan
perasaanya saja ia tak mungkin melakukannya. Terlalu tabu untuk perempuan
menyatakan cinta terlebih dahulu kepada seorang laki-laki yang notabene adalah
seniornya sendiri.
Waktu dan bentang jarak memisahkan mereka berdua. Aji bekerja di
sebuah perusahaan telekomunikasi dan Mirna menjadi staf pengajar di ebuah SLTP
swasta di kotanya. Dan Tuhan selalu
memiliki rencana rahasia. Tiba-tiba Aji dan Mirna dipertemukan di salah satu media
sosial yang berlanjut kepada saling bertanya kabar, lalu berujung kepada saling
bertukar cerita kenangan. Di sanalah mulai terungkap perasaan masing-masing. Aji
mulai terang-terangan mengakui jika ia sejak lama telah jatuh hati kepada
Mirna. Dan Mirna mengiyakan, ia mengakui betapa ia bahagia bisa bertemu lagi
dengan Aji, Kakak senior lucu yang bijak, keren, dewasa, hebat, dan cerdas.
Kedekatan mereka berlangsung dan semakin lama semakin menunjukkan
keakraban yang lain. Benih cinta yang dulu mereka pendam kini perlahan kembali
umbuh. Aji menjadi tempat ternyaman untuk Mirna menceritakan hal apapun yang
dialaminya. Dan begitu juga dengan Aji, telah menjadikan Mirna sebagai tempat
curahan rasa rindunya selama ini. Setelah berpisah dengan Yuni sampai sekarang
ia belum menemukan tambatan hati yang menurutnya pas untuk dijadikan sebagai
calon ibu bagi anak-anaknya kelak.
Mirna pun demikian, seolah mimpi dan harapannya mulai terjawab.
Sejak dulu ia mendambakan Aji sebagai calon imamnya kini ia telah dekat di
depan mata.
**
Namun setan tak pernah menyerah kepada keadaan. Mereka selalu
pandai menjadi penyebab kesesatan manusia. Kejadian siang tadi telah merusak
segalanya. Aji telah terhasut bisikan syetan, ia telah bertindak ceroboh yang
telah membuat Mirna hilang naluri terhadap laki-laki yang selama ini ia kagumi
dan ia elu-elukan.
Aji telah merusak kepercayaan yang selama ini Mirna pelihara. Aji
telah membuatnya kecewa. Aji-nya yang sopan, telah bertindak setengah tidak
waras, meminta sesuatu yang sesungguhnya tidak diperbolehkan karena mereka
belum menjadi pasangan halal.
Mirna pergi dengan air mata yang bercucuran, dan Aji menyerah
dengan berbagai penyesalan. Akankah ia bisa membuat gadisnya mempercayainya
kembali?
“Mirna… maafkan aku. Aku khilaf dan sungguh aku khilaf…” Kedua tangannya
menjambak-jambak rambutnya sendiri. Kini
ia menangis sejadinya, meratap, menyesali kebodohannya.
Sungguh kalimat-kalimat permohonan itu kini tak berguna lagi. Mirna
telah pergi entah kemana. Telepon genggamnya tidak bisa dihubungi, dan semua
media yang bisa menjadi penghubung mereka tak lagi berfungsi. Mirna telah
memutus semua akses, Aji tak lagi bisa menghubunginya sama sekali.
“Mirna… di mana kamu…?” Bisik Aji kemudian di sela isak tangisnya.
No comments:
Post a Comment