Hujan
deras mengguyur perkampungan. Petir berkali-kali menampakkan kilatannya. Pohon-pohon
tampak kerepotan meliuk-liuk berusaha bertahan untuk tetap berdiri kokoh
melawan terpaan angin yang begitu kencang. Beberapa pohon besar ranting dan
dahannya patah. Pohon yang terlalu tinggi menjulang, tumbang. Perkampungan
menjadi sangat mengerikan. Air bercucuran sangatlah deras dari atap genting di
setiap rumah. Rumah panggung, yang sepenuhnya terbuat dari kayu, dengan anyaman
bambu sebagai dindingnya.
Galing
tampak repot memasang beberapa wadah yang bisa digunakan untuk menampung air yang
bukan lagi menetes di beberapa tempat yang langit-langitnya bocor. Mulutnya tak
berhenti mengoceh, memarahi adik-adiknya yang malah asik bercanda dengan
genangan air yang membasahi lantai rumah yang terbuat dari kayu dilapisi karpet
plastik. Galing hampir putus asa lelah berteriak-teriak menyuruh adiknya agar
secepatnya membantu membereskan bantal dan guling di kamarnya. Tapi kedua
adiknya tak juga menghiraukan omelan kakaknya. Galing akhirnya mengerjakannya
sendiri.
Galing
adalah seorang gadis berusia 16 tahun. Diberi nama demikian konon katanya
karena ia sejak lahir berambut keriting, makanya biar gampang orangtuanya
menamai anak gadisnya itu dengan nama
Galing. Kulitnya yang hitam, dan tahi lalat yang terlalu besar di pipi kanan
nya membuat Galing sering diolok-olok oleh teman-temannya. Mereka memanggilnya
dengan sebutan Galing Tompel. Sangat menyedihkan memiliki tampilan yang tidak
sebaik teman-teman gadis seusianya. Mereka tumbuh dengan baik, rambut yang
indah, kulit yang bercahaya, wajah yang cantik. Sedangkan Galing? Belum lagi,
selalu timbulpertanyaan dalam hatinya, mengapa harus dinamai Galing? Nama itu
seperti menjadi tambahan beban untuk seorang gadis yang sedang tumbuh di usia
remaja seperti dirinya. Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, ia tak
mungkin menyalahkan kedua orangtuanya mengapa menamainya demikian. Dengan
menyibukkan diri di rumah mengurusi kedua adiknya Galing tak lagi berani
bermimpi untuk melihat seorangpun pemuda yang ada di kampungnya, atau siapapun
pemuda yang hadir di kampungnya. Beberapa minggu lalupun, ia hampir menangis
akibat diolok-olok oleh gadis-gadis lain, gara-gara menyapa Hendri anak juragan
ternak tempat dimana orangtuanya bekerja. Galing seperti menyerah dan pasrah,
hanya atas kebaikan Tuhanlah ia akan mendapatkan jodoh kelak.
Galing
terlahir dari keluarga petani miskin. Untuk makan sehari-hari ayahnya harus
bekerja banting tulang menggarap kebun milik orang lain. Begitupun ibunya,
setiap hari bekerja sebagai buruh peternakan. Mencarikan rumput untuk kambing
dan sapi milik sodagar kaya di kampungnya. Setiap hari Galing harus menjaga
adik kembarnya yang masih kecil. Mengurus
rumah, merapihkan pakaian, menyiapkan makanan untuk kedua adiknya, menyuapi,
memandikan, lalu memasak untuk kedua orangtuanya saat mereka kembali dar ladang
setiap sore menjelang malam.
Semua
pekerjaan itu selalu dapat dikerjakan dengan baik Galing. Ia sungguh telaten
mengurusi semuanya. Namun hari ini rasanya begitu melelahkan. Hujan datang
tiba-tiba begitu deras. Pakaian yang tadi pagi dicucinya tak terselamatkan
basah semua tak sempat terangkat karena ia harus terlebih dahulu menyelamatkan
padi yang dijemur di halaman rumah. Bisa marah besar ibunya jika padi-padi itu
harus basah karena hujan. Genting-genting bocor, air masuk ke dalam rumah, Adik
nya susah dikendalikan, sungguh sangat melehkan. Belum lagi Galing teringat
kedua orangtuanya. Hujan deras begini di mana kedua orangtuanya berada? Rasa
khawatir terus menguasai fikirannya. Ada niat ingin mencari ayah ibunya ke
ladang, namun bagaimana dengan kedua adiknya. Bagai makan buah simalakama,
Galing hanya bimbang bukan kepalang. Setelah memastikan semuanya aman dari
basahan hujan, Galing mulai membujuk kedua adiknya untuk pergi tidur siang.
Tampaknya mereka mulai kelelahan bermain di lantai yang licin. Setelah menyuruh
keduanya untuk membersihkan kaki dan tangan, Galing membacakan cerita dari buku
dongeng yang ia dapat dari salahsatu temannya yang berbaik hati memberikan buku
bacaan bekas, namun bagi Galing semua itu sangatlah berharga. Jangankan untuk
membeli buku bacaan untuk makan sehari-haripun keluarganya sudah kesulitan.
Beruntung Galing masih bisa menyelesaikan sekolah dasarnya.
Galing
menbacakan cerita yang sebenarnya hanya itu-itu saja. Maklum saja buku
dongengnya hanya ada satu. Namun bukan Galing namanya jika ia tidak cerdas, ia
selalu pandai menyisipkan kejadian-kejadian baru dalam cerinyanya sehingga
kedua adiknya yang baru berusia 6 tahun itu tampak selalu asik dibacakan
dongeng oleh kakaknya. Tak perlu waktu lama, kedua adiknya telah terlelap tidur
berselimutkan kain sarung.
Perlahan
hujan mulai mereda, angin mulai bertiup ramah, tak ada lagi petir yang
menyambar. Bocoran atapnya mulai menghilang, wadah-wadah penampungan telah
dibereskan. Sudah hampir magrib, ayah dan ibunya belum juga pulang. Adiknya
tampak masih terlelap, mungkin terlalu lelah bermain. Galing pergi ke ladang,
menyusuri jalan setapak yang biasa dilalui oleh kedua orangtuanya. Jalan itu
satu-satunya jalan tercepat menuju ladang dan peternakan.
Gerimis
mulai menipis, namun hari makin gelap. Galing lupa tidak membawa alat penerang
jalan. Ia harus sangat berhati-hati agar tidak terperosok karena jalanan licin
akibat hujan seharian. Namun apalah daya, gelap mulai menyelimuti bumi, Ia tak
lagi bisa melihat jalan dengan jelas. Kakinya terperosok ke dalam lubang,
membuat tubuhnya tersungkur ke tanah. Kakinya kanannya terkilir. Galing mengaduh
kesakitan. Tiba-tiba sesosok laki-laki yang entah dari mana asalnya,
mengulurkan tangan untuk menolong. Galing bangkit, berpegangan dengan laki-laki
itu. Samar-samar terlihat, laki-laki itu berwajah tampan, mirip dengan anak
juragan peternakan. Galing sangat terkejut mengetahui bahwa laki-laki itu memang
benar putra juragan. Ia kikuk, malu sekali ia berada di dekatnya. Ia merasa tak
pantas ditolong oleh anak majikan orangtuanya, lalu berniat melanjutkan
perjalanan mencari orangtuanya. Namun Hendri mengatakan jika ia sudah mengantarkan
kedua orangtuanya pulang ke rumah. Dan ketika menyadari Galing tak ada, maka ia
mencari ke ladang.
Hendri
memapah Galing dalam kegelapan. Ada hati yang sangat tulus yang dirasakan
Galing dari pemuda itu. Jika dulu keinginannya untuk bertemu dengan Hendri
adalah hal yang mustahil, bagaikan
pungguk merindukan rembulan, namun kini jelas sudah ia berada di dekat pemuda
tampan idaman semua gadis di kampungnya. Bahkan kini Hendri erat memegangi tangannya dan
memapahnya membantu ia berjalan manuju pulang. Dalam hatinya Galing berdo’a,
dengan ketulusan yang amat sangat. Ia mendo’akan agar pemuda tampan yang kini
telah tulus berbaik hati menolongnya dijodohkan dengan perempuan cantik berhati
tulus pula. Maka seketika sebuah keajaiban terjadi, seberkas cahaya memancar. Seseorang
bertubuh tinggi besar mengenakan jubah putih, memukulkan tongkat ke tanah
sebanyak tiga kali. Gelap malam di ladang berubah menjadi terang benderang.
Seiring dengan itu, wajah Galing berubah menjadi sangat cantik, kulitnya
menjadi bercahaya, rambut ikalnya terurai indah bagai rambut putri raja. Melihat
perubahan yang menakjubkan itu Hendri kaget bukan kepalang. Namun ia sangat
bahagia melihat Galing menjadi sangat cantik. Ia berterimakasih kepada laki-laki
berjubah putih itu karena telah merubah Galing menjadi putri yang cantik.
Selama ini Hendri telah jatuh hati kepada Galing karena ketulusan dan
kesederhanannya, namun selalu mendapatkan olok-olok dari teman dan keluarganya.
Kini ia tak akan lagi merasa ragu untuk membawa Galing ke tengah-tengah
keluarga besarnya memperkenalkan Galing sebagai calon istrinya. Anak dari
pekerja peternakan yang paling jujur.
Selesai.
Catatan :
Cerita ini dimuat di buku antologi berjudul "Sepenggal Kisah dalam Pencarian" yang diterbitkan oleh AE Publishing.
waah ceritanya menyedihkan, tapi endingnya bagus kak
ReplyDeleteTerimakasih sudah berkunjung :-)
ReplyDelete