Search This Blog

Thursday, July 27, 2017

Pacar Mbak Lina


“Siang Bang!” Aku menyapa bang Firman. Ia ternyum begitu manis.
“Baru pulang Din?” Bang Firman kembali bertanya. Aku mengangguk pelan. Binar matanya begitu terang, lesung pipinya menambah manis parasnya. Ah, sejenak hatiku terhenyak. Detak jantungku berdebar kencang, saat tak sengaja mata kami bertemu pandang.

Aku mempersilakannya duduk di kursi teras depan, kemudian permisi untuk masuk ke dalam, mengambilkannya minuman. Walau bang Firman melarangku agar aku tak perlu repot-repot, tetapi aku yakin bang Firman pasti haus. Siang ini begitu terik.
Bang Firman berterimaksih dan meminum es teh manis yang kubuatkan.
“Bang, udah lama di sini? Maaf ya ruamhnya kosong.” Aku memulai pembicaraan.
Tadi saat aku tiba di halama rumah, Bang Firman tampak sedang bersiap-siap untuk pergi kembali setelah mungkin lama menunggu di depan rumah karena tak ada orang yang membukakan pintu, karena memang tak ada satupun orang di rumah. Ayah ibuku sedang pergi ke luar kota, bi Inah cuti pulang kampung, dan mbak Lina belum pulang dari kampusnya. Tak biasanya mbak Lina terlambat pulang. Apalagi jika sudah tahu akan ada bang Firman datang.
Bang Firman menggeleng perlahan sambil senyum. Yang aku bilang sekali lagi, senyumnya manis sekali. Membuat es teh yang sedang ku nikmati terasa semakin manis.
“Mbak Lina nya udah dikontak Bang?” Aku mengambil ponsel dari kantong bajuku bermaksud menghubungi kakakku. Walau dalam hati ada perasaan senang jika mbak Lina belum pulang. Aku bisa berlama-lama ngobrol dengan bang Firman.
“Lina sudah aku telepon. Dia ada jadwal dadakan yang ditukar dari jam kuliah pagi. Makanya Lina menyarankanku untuk kembali besok. Karena besok dia tak ada jadwal kuliah.”
“Memangnya kalian harus ketemu tiap hari ya?” Dahiku mengernyit karena aku perhatikan hampir setiap hari mbak Lina diantar pulang seseorang.
“Ya, gak gitu juga sih Din. Selama Abang punya waktu luang ya diusahakan untuk bertemu. Lagian kata siapa juga kami bertemu tiap hari? Kalau tiap hari seharusnya aku bisa dong lihat kamu tiap hari juga.” Bang Firman tertawa.
“Tapi Bang, Din sering dengar mbak Lina say goodbye sama seseorang tiap hari. Ada suara motor di halaman rumah yang datang lalu pergi. Itu bukan Abang ya?”
Tiba-tiba aku merasa bersalah telah mengatakan hal itu. Siapa tahu memang benar-benar bukan bang Firman yang mengantar jemput mbak Lina setiap hari. Aku sih tak begitu memperhatikan. Untuk apa pula aku harus memperhatikan mbak Lina dengan pacarnya.
Aku melihat perubahan ekspresi pada wajah bang Firman. Ada kebingungan yang tergambar di wajahnya.
“Oh ya, kamu bisa temani Abang ke toko buku hari ini?” Tiba-tiba seketika wajahnya kembali ceria, mata indahnya kembali berbinar. Bang Firman memang pandai meyembunyikan perasaan. Setiap aku bertemu dia, ia selalu terlihat tenang, senang dan baik-baik saja.
“Eh, iya. Aku bisa Bang.” Sontak seketika kalimat itu keluar begitu saja,mungkin karena aku merasa bersalah kepadanya.
“Mandi dulu sana biar seger!”  Tak menunda lagi aku langsung berlari ke dalam rumah dan bersiap pergi secepat mungkin. Aku tak mau membuat Bang Firman menunggu terlalu lama.
                                                                        **
Toko buku Gramedia siang ini begitu ramai pengunjung. Hari yang cerah di akhir pekan menjadi pilihan yang tepat untuk jalan-jalan. Bang Firman asik memilih buku-buku terbaru yang berhubungan dengan ilmu arsitektur. Sesuai dengan jurusan kuliahnya. Kali ini Bang Firman sedang menyusun laporan akhir. Aku do’akan semoga bang Firman dimudahkan dan diluluskan dengan hasil yang baik. Aamiiiin.
Aku hanya bisa mengekor di belakang bang Firman. Pura-pura berminat dengan buku-buku yang berderet rapi di rak.
“Kamu gak lihat-lihat novel Din? Abang dengar kamu suka sekali membaca novel.”
Aku hanya tersenyum. Sebetulnya aku bisa saja melihat-lihat novel tapi kali ini aku lebih suka berada dekat dengan dia. Entah kenapa, nyaman saja rasanya.
Aku tak habis pikir kenapa mbak Lina sampai tega mengingkari janji menemani bang Firman mencari buku. Padahal kan asik sambil menyelam minum air, sambil nyari ilmu sambil menikmati senyum manisnya bang Firman. Ah, tak akan aku lewatkan setiap detiknya.
Bang Firman memilih satu, setelah membaca dan mempelajari isinya akhirnya ia memutuskan untuk membeli buku itu. 
Aku memilih satu novel karangan Dee Lestari. Itupun dipilihkan Bang Firman. Tak kusangka ternyata bang Firman juga suka membaca novel dan bagitu banyak buku yang telah ia baca.
“Din, boleh aku tahu sesuatu?” Tiba-tiba Bang Firman bertanya di sela-sela percakapan kami katika menuruni tangga menuju lantai dasar. Aku merasakan nada bicara bang Firman mulai bernada serius.
“Iya silakan Bang! Tanya apa?”
“Kalau kemarin Lina diantar siapa?”
“Hm… Eh… Itu… Bukannya Abang?” Aku tak bisa menyembunyikan kegugupanku. Bukan karena bang Firman menatapku begitu dalam. Namun lebih kepada ketakutanku. Aku tahu kemarin mbak Lina diantar laki-laki lain. Bukan bang Firman. Aku tahu dan hafal betul suara motor bang Firman. Tapi yang kemarin itu suara motor ninja. Dan aku juga tak mungkin berterus terang kepadanya tentang siapa dia. Lagi pula mbak Lina belum sempat memperkenalkanku kepada laki-laki itu. Mungkin dia hanya temannya atau… Ah, aku tak tahu. Yang aku pikirkan sekarang adalah, aku tak boleh membuat bang Firman rusak hatinya. Aku sedang senang melihat senyumnya.
Entah sejak kapan aku mulai menyukai bang Firman, tapi aku tak mau menunjukkan kepadanya apalagi jika harus mengatakannya. Itu tak mungkin ku lakukan. Aku tahu hati bang Firman untuk siapa. Kakaku Lina sudah lama menjalin hubungan dengannya. Sejak aku duduk di bnagku kelas 1 SMA sampai sekarang aku hampir lulus.
Tak perlu menjadi pacarnya bang Firman, melihat senyumnya saja aku sudah senang bukan main.
“Kenapa kamu gak kasih tahu Abang Din? Siapa yang suka menjemput dan mengantar kakak mu kalau bukan aku?” Pertanyaan Bang Firman semakin terasa memojokanku. Sepertinya dia sengaja mengajakku ke sini bukan hanya untuk mencari buku tapi mencari informasi tentang mbak Lina.
“Hm… aku tak tahu Bang.” Aku masih bingumg memberi penjelasan. Teringat beberapa hari yang lalu saat aku mengolok-olok mbak Lina tentang laki-laki yang mengantarya pulang, kakaku menjawab, “Kalau sudah usia dewasa itu berhak memilih laki-laki lebih banyak. Karena bukan hanya untuk pacaran tapi mencari calon suami.” Itu jawaban yang aku dapatkan dari mbak Lina. Dia juga sempat keceplosan kalau bang Wira laki-laki yang mengantarnya itu merupakan salah satu pegawai bank swasta yang gedung kantornya tak jauh dari rumah kami.
“Din… kamu kenal orangnya?” Aku menggelengkan kepala karena memang belum kenal tak seperti aku mengenal bang Firman.
“Apa… orangnya seperti dia? Atau memang dia?” Tiba-tiba telunjuk bang Firman tertuju kepada seseorang yang sedang menggandeng kakak ku menuju halaman parkir.
“Ya ampun… Mbak Lina… Kenapa pula harus jalan-jalan ke sini hari ini?” Gumamku dalam hati. Aku bingung menghadapi keadaan itu. Aku tahu bang Firman kecewa melihat pemandangan itu. Akhirnya aku memilih diam, jika bicarapun aku takut salah berucap.
Diam-diam mataku mencuri pandang ke arah bang Firman. Mencoba mencari tahu ekspresi apa yang terpampang di wajahnya kini.
Tapi tiba-tiba bang Firman menarik tanganku. Lalu berlari ke luar dan ia berteriak memanggil nama kakakku.
Mbak Lina menoleh. Ia begitu terkejut ketika ia tahu siapa yang ada di belakangna. Spontan ia melepaskan gandengan tangannya yang semula mesra dari lengan bang Wira.
“Nyari buku juga?” Ucap bang Firman. Nada bicaranya begitu tenang terkendali. Kalau aku, mungkin sudah mendamprat mbak Lina dan memarahinya. Atau sama sekali tak ingin menjumpainya sama sekali. Tapi Bang Firman terlihat sangat santai dan tetap berusaha tersenyum ramah kepada Wira.
“Eh, hm, iya. Kok kalian bisa barengan?” Mata mbak Lina tertuju padaku. Di matanya aku temukan sejuta pertanyaan yang tentunya harus aku jawab nanti di rumah.
“Tadi aku sengaja ke rumahnya.” Jawab bang Firman singkat. Lalu ia menggenggam erat tanganku tak lama kemudian berpamitan kepada mbak Lina dan Wira.
“Kami duluan” Ucapnya. Aku mengangguk kepada mereka. Dan aku harus bertemu dengan mata mbak Lina yang melotot tajam ke arahku.
Langkah kami sedikit dipercepat menuju parkiran. Aku tak habis pikir dan tak tahu apa yang harus aku lakukan kali ini.
“Bang, kenapa Abang gak marah sama mbak Lina? Kok terlihat santai-santai saja?” Akhirnya aku tak bisa menahan kalimat konyol itu melompat dari mulutku.
Bang Firman terpaku diam. Berdiri tepat di hadapanku dan menatap mataku dalam-dalam membuat jantungku berdebar kencang.
“Aku tak perlu kecewa, karena aku sebetulnya sudah bisa membaca gelagat Lina dari dulu. Kadang tak selamanya orang yang kita cintai bisa kita miliki. Iya kan?” Ia tersenyum manis kepadaku. Ucapannya terdengar begitu ringan. Aku semankin kagum kepadanya bisa mengambil sikap setenang itu.
“Tapi aku bersyukur, bisa menemukan orang yang mungkin nanti akan selalu mencintaiku. Dan akan membuat aku mencintainya pula sepenuh hatiku.” Ujarnya sambil memakaikan helm di kepalaku. Baru pertama kalinya aku dipakainkan helm oleh seorang laki-laki. Terasa sekali perhatiannya. Ah, Bang Firman.
“Hm… Siapa Bang?” Tanyaku.
“Kamu!” Tangannya menyentuh halus pipiku dan lalu mencubitnya pelan.
Dunia terasa terang benderang. Aku bahagia bukan kepalang. Ya, kedamaian dalam hatiku terwujud sempurna. Ternyata sore ini aku menemukan cinta dari pacarnya mbak Lina yang mungkin nanti malam akan segera menjadi mantannya setelah berbicara secara resmi bahwa hubungan mereka berakhir.
Aku pulang diantar bang Firman. Setelah say goodbye aku masuk ke rumah dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia dan was-was. Siap-siap diinterogasi oleh mbak Lina nanti malam sebelum tidur setelah ayah dan ibu mengunci rapat kamar mereka.
** 
Cerita ini dimuat dalam buku antologi cerita pendek bertema "saudara" yang diterbitkan oleh penerbit Hanami





Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment