Wawan dan Sumi adalah pasangan suami istri yang sudah menikah belasan tahun. Mereka sudah dianugrahi dua orang anak. Tidak seperti keluarga mereka di kampung, Wawan dan Sumi termasuk keluarga yang kekinian, patuh pada peraturan pemerintah, mereka ikut program Keluarga Berencana.
Wawan yang berasal dari pelosok,
tidak serta merta menjadi laki-laki yang udik.
Ia cukup cerdas dan piawai
bekerja. Karena keuletannya ia memiliki kedudukan cukup penting di perusahaan tempat
ia bekerja. Menjadi Manager HRD. Wawan adalah pekerja keras, ia pergi pagi
pulang malam demi loyalitasnya dalam pekerjaan. Ia tumpahkan segala usaha,
waktu dan fikirannya di tempat ia bekerja, demi jabatan dan posisi, serta upah
besar yang ia dapat dari tempat ia bekerja.
Sumi, Seorang perempuan kampung
yang binagkit, berbeda dengan kakak
dan adiknya di kampung yang tidak sekolah tinggi dan menikan di usia muda serta
memiliki banyak anak, lantas setelah kelahiran anak ke dua dan ke tiga mereka
berbadan melar, Sumi berbeda. Ia sangat pintar memelihara kecantikannya. Selain
tercukupi kebutuhannya oleh Wawan, ia juga pandai mencari uang dengan berbisnis
online.
Sumi adalah perempuan yang
cantik. Kulitnya kuning langsat, hidung mancung, badan yang tinggi semampai.
Sementara Wawan adalah laki-laki yang cukup tampan, masih jauh lebih muda dari
usia yang sesungguhnya. Banyak bawahan perempuan yang merasa tertarik dan jatuh
hati kepada Wawan. Selain ia memiliki perangai yang menyenagkan, Wawan juga tak
sayang dengan uang. Ia sering mengajak bawahan nya makan bersama, dan dibayari
oleh uang pribadinya.Menurutnya itu bisa menambah keberkahan rejekinya.
Walaupun Wawan adalah laki-laki
yang tak sayang uang, ia bukanlah tipe laki-laki yang suka main perempuan.
Selama belasan tahun ia senantiasa menjaga kesetiannya kepada Sumi, demi
pernikahan nya, dan demikedua anaknya. Yang sekarang sudah hampir beranjak
dewasa. Nunik dan Raihan, kedua buah hati mereka sangatlah dia sayangi.
Sepulang kerja, hanya kedua buah hatinya lah yang selalu bisa meredakan semua
kelelahannya. Lalu kenapa bukan Sumi yang menjadi penenang saat ia lelah
bekerja? Sumi sibuk berbisnis, mengurusi prngiriman barang dan orderan kesana
kemari. Ia hanya menempatkan diri untuk mengurusanak-anaknya saja, sementara
jika Wawan pulang ke rumah sumi seakan memiliki kesempatan untuk lebih leluasa
pergi kemana saja yang ia mau, karena ayah sang anak sudah tiba, dan anak-anak
ada yang menjaga.
Kadang hati Wawan kesal, bukankah
seharusnya jika ia pulang senyum istri nya yang menyambut, dengan pakaian yang
rapih wangi hanya untuk dirinya seorang. Selama ini Wawan pun tak pernah
menuntut sumi untuk bekerja, ia hanya meminta Sumi belajar bersyukur atas apa
yang ia berikan sebagai jerih payahnya. Namun apa boleh buat, pembiasaan
kehidupan yang serba mudah, membuat Sumi bertambah semangat mempertinggi gaya
hidup. Demi membeli pakaian mahal yang mode nya sedang “in” Sumi rela banting
tulang, malakukan bisnis online yang menurut wawan yang dilakukan Sumi sudah
kelewat batas. Dimana-mana yang namanya bisnis online seharusnya mendapatkan
uang tanpa harus menyita waktu banyak. Ini? Sungguh sumi telah
melakukankekeliruan. Sejak ia anteng menggeluti bisnisnya Wawan jadi tak
terurus.
Lama-lama Wawan jadi geram.
Setiap pagi ai terpaksa menyiakan pakaian sendiri, menyiapkan makan sendiri,
bahkan sering Wawan membereskan rumah, menyapu, mengepel lantai, membersihkan
halaman, sebelum berangkat kerja. Karena sudah menjadi kesepakatan sejak
menikah tidak akan membayar pembantu. Karena Sumi tidak bekerja di luar rumah.
Benar-benar menjadi ibu rumah tangga, mengurus rumah, anak-anak dan suami.
Sementara Sumi asik betul dengan
gadgetnya. Ia hanya bisa menelan ludah, ketika ia menasihati Sumi pelan-pelan,
malah apa yang ia dapat. Wawan dibilang pengatur, pengekang, tidak pengertian. Dan
yang lebih parahnya lagi Sumi bilang jika uang yang Wawan berikan selama ini
kurang, dan tak cukup untuk menjadikan dia seperti kawan-kawannya. Wawan
semakin gerah, tapi apalah daya, ia lebih memilih diam tanpa mau berdebat. Ia
tak mau menunjukkan pertengkaran-pertangkaran di hadapa kedua anaknya. Selama ini
ia selalu belajar mengalah dan melakukan semuanya sendiri.
Bulan dan tahun berlalu, kelakuan
Sumi semakin meraja, ia semakin lupa dengan tugas utamanya. Suatu malam Wawan
baru pulang kerja. Badannya basah kuyup karena mobilnya mogok di perjalanan. Ia
terpaksa menumpang taksi ke rumahnya. Sesampainya di rumah, dalam keadaan
lapar, anak nya yang masih kecil sedang menangis sesenggukan dipojokan. Ketika
melihat ayah nya pulang, ia langsung merangkul badan basah ayahnya. Sengan
penuh kasih ia berjongkok, demi mensejajarkan wajah dia dan putranya. DIa Tanya
kenapa? Anaknya bilang, mau makan, tapi mami gak ambilin. Lagi-lagi Wawan
merasa kesal. Kakinya langsung bergerak menuju meja makan. Sama sekali tak ada
makanan. Ia berteriak memanggil Sumi.
“Mah… mamah gak masak buat makan
malam kita sekarang?”
“Enggak pah, mamah malas pergi
mencari bahan masakan, semua sudah habis. Kulkasnya kosong” Kalimat itu
diucapkannya sambil asik dengan gadgetnya.
“Lalu kenapa gakmenelpon papah? Kan
bisa minta tolong”
“Lupa pah… banyak yang chating
orderan.. Tau-tau papah udah nyampe aja”
“Lalu anak kita? Kamu biarkan
kelaparan sampai menangis?”
“Salahnya sendiri, dia gak mau makan
tadi sore, padahal masih adamakanan. Sekrang ya habis…”
“Mah… Kamu itu ya…” Wawan tak
kuasa melanjutkan kalimatnya. Putranya terus menangis, “papah, aku lapar…”
Wawan bergegas, mengganti pakaian
kerjanya dengan baju kaos, mengenakan jas hujan, dan pergi mencari makanan
menggunakan sepeda motor.
Betapa menggunung sejuat
kekesalan dalam hatinya, tapi kali itu ia harus benar-benar menyelamatkan perut
putra nya, dan juga perutnya yang terasa begitu lapar.
Malam meninggi, Hujan kian deras,
sepeda motor Wawan melaju kencang memecah rinai hujan. Sementara Sumi, kembali
ke sofa nya, jemari lentiknya asik mengetik pesan balasan pelanggan, ditemani isak
tangis putranya yang semakin kelaparan.
No comments:
Post a Comment