Search This Blog

Monday, November 2, 2015

Wawan dan Sumi


Wawan dan Sumi adalah pasangan suami istri yang sudah menikah belasan tahun. Mereka sudah dianugrahi dua orang anak. Tidak seperti keluarga mereka di kampung, Wawan dan Sumi termasuk keluarga yang kekinian, patuh pada peraturan pemerintah, mereka ikut program Keluarga Berencana.
Wawan yang berasal dari pelosok, tidak serta merta menjadi laki-laki yang udik.
Ia cukup cerdas dan piawai bekerja. Karena keuletannya ia memiliki kedudukan cukup penting di perusahaan tempat ia bekerja. Menjadi Manager HRD. Wawan adalah pekerja keras, ia pergi pagi pulang malam demi loyalitasnya dalam pekerjaan. Ia tumpahkan segala usaha, waktu dan fikirannya di tempat ia bekerja, demi jabatan dan posisi, serta upah besar yang ia dapat dari tempat ia bekerja.
Sumi, Seorang perempuan kampung yang binagkit, berbeda dengan kakak dan adiknya di kampung yang tidak sekolah tinggi dan menikan di usia muda serta memiliki banyak anak, lantas setelah kelahiran anak ke dua dan ke tiga mereka berbadan melar, Sumi berbeda. Ia sangat pintar memelihara kecantikannya. Selain tercukupi kebutuhannya oleh Wawan, ia juga pandai mencari uang dengan berbisnis online.
Sumi adalah perempuan yang cantik. Kulitnya kuning langsat, hidung mancung, badan yang tinggi semampai. Sementara Wawan adalah laki-laki yang cukup tampan, masih jauh lebih muda dari usia yang sesungguhnya. Banyak bawahan perempuan yang merasa tertarik dan jatuh hati kepada Wawan. Selain ia memiliki perangai yang menyenagkan, Wawan juga tak sayang dengan uang. Ia sering mengajak bawahan nya makan bersama, dan dibayari oleh uang pribadinya.Menurutnya itu bisa menambah keberkahan rejekinya.
Walaupun Wawan adalah laki-laki yang tak sayang uang, ia bukanlah tipe laki-laki yang suka main perempuan. Selama belasan tahun ia senantiasa menjaga kesetiannya kepada Sumi, demi pernikahan nya, dan demikedua anaknya. Yang sekarang sudah hampir beranjak dewasa. Nunik dan Raihan, kedua buah hati mereka sangatlah dia sayangi. Sepulang kerja, hanya kedua buah hatinya lah yang selalu bisa meredakan semua kelelahannya. Lalu kenapa bukan Sumi yang menjadi penenang saat ia lelah bekerja? Sumi sibuk berbisnis, mengurusi prngiriman barang dan orderan kesana kemari. Ia hanya menempatkan diri untuk mengurusanak-anaknya saja, sementara jika Wawan pulang ke rumah sumi seakan memiliki kesempatan untuk lebih leluasa pergi kemana saja yang ia mau, karena ayah sang anak sudah tiba, dan anak-anak ada yang menjaga.
Kadang hati Wawan kesal, bukankah seharusnya jika ia pulang senyum istri nya yang menyambut, dengan pakaian yang rapih wangi hanya untuk dirinya seorang. Selama ini Wawan pun tak pernah menuntut sumi untuk bekerja, ia hanya meminta Sumi belajar bersyukur atas apa yang ia berikan sebagai jerih payahnya. Namun apa boleh buat, pembiasaan kehidupan yang serba mudah, membuat Sumi bertambah semangat mempertinggi gaya hidup. Demi membeli pakaian mahal yang mode nya sedang “in” Sumi rela banting tulang, malakukan bisnis online yang menurut wawan yang dilakukan Sumi sudah kelewat batas. Dimana-mana yang namanya bisnis online seharusnya mendapatkan uang tanpa harus menyita waktu banyak. Ini? Sungguh sumi telah melakukankekeliruan. Sejak ia anteng menggeluti bisnisnya Wawan jadi tak terurus.
Lama-lama Wawan jadi geram. Setiap pagi ai terpaksa menyiakan pakaian sendiri, menyiapkan makan sendiri, bahkan sering Wawan membereskan rumah, menyapu, mengepel lantai, membersihkan halaman, sebelum berangkat kerja. Karena sudah menjadi kesepakatan sejak menikah tidak akan membayar pembantu. Karena Sumi tidak bekerja di luar rumah. Benar-benar menjadi ibu rumah tangga, mengurus rumah, anak-anak dan suami.
Sementara Sumi asik betul dengan gadgetnya. Ia hanya bisa menelan ludah, ketika ia menasihati Sumi pelan-pelan, malah apa yang ia dapat. Wawan dibilang pengatur, pengekang, tidak pengertian. Dan yang lebih parahnya lagi Sumi bilang jika uang yang Wawan berikan selama ini kurang, dan tak cukup untuk menjadikan dia seperti kawan-kawannya. Wawan semakin gerah, tapi apalah daya, ia lebih memilih diam tanpa mau berdebat. Ia tak mau menunjukkan pertengkaran-pertangkaran di hadapa kedua anaknya. Selama ini ia selalu belajar mengalah dan melakukan semuanya sendiri.
Bulan dan tahun berlalu, kelakuan Sumi semakin meraja, ia semakin lupa dengan tugas utamanya. Suatu malam Wawan baru pulang kerja. Badannya basah kuyup karena mobilnya mogok di perjalanan. Ia terpaksa menumpang taksi ke rumahnya. Sesampainya di rumah, dalam keadaan lapar, anak nya yang masih kecil sedang menangis sesenggukan dipojokan. Ketika melihat ayah nya pulang, ia langsung merangkul badan basah ayahnya. Sengan penuh kasih ia berjongkok, demi mensejajarkan wajah dia dan putranya. DIa Tanya kenapa? Anaknya bilang, mau makan, tapi mami gak ambilin. Lagi-lagi Wawan merasa kesal. Kakinya langsung bergerak menuju meja makan. Sama sekali tak ada makanan. Ia berteriak memanggil Sumi.
“Mah… mamah gak masak buat makan malam kita sekarang?”
“Enggak pah, mamah malas pergi mencari bahan masakan, semua sudah habis. Kulkasnya kosong” Kalimat itu diucapkannya sambil asik dengan gadgetnya.
“Lalu kenapa gakmenelpon papah? Kan bisa minta tolong”
“Lupa pah… banyak yang chating orderan.. Tau-tau papah udah nyampe aja”
“Lalu anak kita? Kamu biarkan kelaparan sampai menangis?”
“Salahnya sendiri, dia gak mau makan tadi sore, padahal masih adamakanan. Sekrang ya habis…”
“Mah… Kamu itu ya…” Wawan tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Putranya terus menangis, “papah, aku lapar…”
Wawan bergegas, mengganti pakaian kerjanya dengan baju kaos, mengenakan jas hujan, dan pergi mencari makanan menggunakan sepeda motor.
Betapa menggunung sejuat kekesalan dalam hatinya, tapi kali itu ia harus benar-benar menyelamatkan perut putra nya, dan juga perutnya yang terasa begitu lapar.
Malam meninggi, Hujan kian deras, sepeda motor Wawan melaju kencang memecah rinai hujan. Sementara Sumi, kembali ke sofa nya, jemari lentiknya asik mengetik pesan balasan pelanggan, ditemani isak tangis putranya yang semakin kelaparan.

Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment