Search This Blog

Friday, August 26, 2016

MAAF



“Maaf…”
Lagi-lagi Aji memohon. Entah kepada siapa permohonan itu ia ucapkan. Air matanya hampir saja berhambur keluar dari kelopak matanya. Ia lupa jika dirinya adalah laki-laki. Seharusnya ia lebih kuat membendung tetesan air mata. Tapi nyatanya tidak. Hatinya begitu  hancur mendapati Mirna kekasihnya tak lagi mau memperdulikannya. Kamarnya yang gelap dan sepi menjadi saksi bisu ketidakberdayaan Aji sore itu.

Mirna yang baru saja pergi meninggalkannya dengan membawa sejuta luka. Kekecawaan yang luar biasa terhadap laki-laki yang selama ini ia kagumi dan ia hormati. Bisa jadi dia telah mengubur semua rasa yang pernah ia pupuk kepada Aji. Bisa jadi ia malah berbalik membenci laki-laki yang sejaklama ia mimpikan menjadi calon imam baginya. Bisa saja Mirna benar-benar tak akan kembali lagi untuknya.
“Mirna… Maafkan kang Aji… Sungguh aku khilaf” Kali ini air matanya benar-benar meluncur deras di kedua belah pipinya. Tangannya mengepal keras. Lantas menghantam tembok dengan kepalan tanagnnya. Seolah tembok itu dirinya sendiri yang ingin ia pukuli, bahkan ingin sekali ia menyiksanya habis-habisan.
Namun sepertinya sesal saja tak akan membuat Mirna kembali kepadanya. Pukulan dan hantamannya ke tembok kamarnya yang kokoh tak akan mengembalikan kepercayaan gadis  yang ia cintai. Bahkan jika ia membunuh dirinya sendiri pun itu tak akan lantas membuat Mirna kembali seperti sedia kala.
Ah, betapa bodohnya Aji. Selama ini Mirna memilihnya sebagai tempat ternyaman. Karena kesalihannya. Aji pintar bergaul, humoris, pintar berkelakar, dan menjadi sosok yang paling enak diajak bicara oleh Mirna. Tapi mengapa hari ini Aji harus menodai semua kepercayaan Mirna? Mengapa Aji harus membuat rasa nyaman Mirna hilang begitu saja?
Fikirannya pun melayang, mengingat kejadian beberapa tahun lalu. Di saat Mirna dan dirinya baru saling kenal. Dalam sebuah organisasi pencinta alam. Mirna adalah gadis yang lugu dan sopan. Sedangkan Aji adalah kakak senior yang memiliki mental dan watak yang keras ketika berada di hadapan juniornya. Semua junior merasa takut kepada Aji. Semuanya berpura-pura baik di hadapannya. Hanya Mirna yang tidak. Tak ada satupun kepura-puraan yang harus dilakukan oleh Mirna. Di hadapan Aji atau bukan Mirna masih tetap begitu. Lugu dan sopan.
Aji mulai penasaran kepada gadis itu. Tertarik dengan sifatnya. Berbeda dengan adik kelas kebanyakan. Perlahan Aji mulai menyukai Mirna. Diam-diam ia selalu mengamati setiap gerak-geriknya.
“Kang Aji” Sapa Mirna di suatu sore yang hangat, di tengah-tengah waktu istirahat latihan rutin kelompok pecinta alam.
“Iya Mirna?” Aji tersenyum lembut.
“Ternyata kang Aji itu orangnya baik banget ya” Mirna memuji membuat Aji merasa tersanjung.
Lalu.”Akang itu selain tegas, ternyata masih bisa bercanda juga. Akang orangnya lucu. Mirna suka.”
Kalimat itu memang terdengar begitu datar. Tapi saat itu Aji mengartikan lain. Aji senang dengan pernyataan itu.
Ingin rasanya Aji menggencarkan usaha pendekatan kepada Mirna. Namun sayangnya ia tak mungkin melakukannya. Yuni telah terlebih dahulu menjadikannya tambatan hati. Tak mungkin Aji begitu saja berhianat. Yuni pun tak punya salah. Ia setia, sosok perempuan yang baik bahkan sangat baik terhadapnya saat itu. Yuni lah orang yang paling mengerti Aji tentang semua kelebihan dan kekurangannya saat itu.
**
Waktu berlalu. Mirna semakin membuka diri. Tak lagi terlalu lugu dan pemalu. Suatu hari Mirna dan Aji mendapatkan tugas yang sama. Menentukan rute pendakian untuk acara pengukuhan anggota baru. Dengan kegiatan itu, Mirna dan Aji semakin dekat. Ada kedekatan emosi tersendiri ketika mereka saling bahu membahu menyelesaikan masalah dalam perjalanan tugas mereka.
Mirna tak berani menyimpulkan jika ia memang jatuh cinta kepada Aji. Sepenuhnya ia sadar diri, ada Yuni yang menjadi kekasih Aji. Ia memilih intuk memendam perasaan itu selamanya. Yuni dan Aji menjalin hubungan sudah 3 tahun. Bisa jadi mereka akan segera menikah ketika lulus kuliah nanti. Di mata Mirna, Yuni pun merupakan  seorang perempuan hebat. Aktifis kampus yang masih tetap bisa menjaga IPK tinggi. Seseorang yang hebat dan yang pasti sepadan dengan Aji. Mahasiswa jurusan Fisika yang sama aktifnya di kampus.
Bagi Mirna laki-laki yang belajar ilmu pasti tapi tetap mengembangkan diri di bidang sosial kemasyarakatan adalah laki-laki yang memiliki pemikiran sempurna. Bukan hanya cerdas otaknya, tapi ia juga cerdas sosialnya.
Waktu bergulir. Cerita Mirna dan Aji tertimbun begitu saja. Aji tak pernah mengungkapkan perasannya, begitupun Mirna tak pernah berniat memberi tahu tentang semua kekaguman dan pujian-pujian yang seharusnya terlontar hanya kepada Aji, laki-laki yang ia sukai, dan mungkin benar ia telah jatuh cinta.
Yuni lulus lebih dulu, Aji menyusul belakangan. Tak lama kemudian Mirna mendengar kabar jika Yuni ternyata menikah dengan orang lain.
Hati kecilnya menyesali semua itu. Mengapa perempuan sebaik Yuni tak lantas bisa menjaga Aji selamanya. Ia lebih percaya kepada Yuni daripada kepada orang lain. Ia sendiri? Ia sendiri tak mungkin menjaga Aji, menyatakan perasaanya saja ia tak mungkin melakukannya. Terlalu tabu untuk perempuan menyatakan cinta terlebih dahulu kepada seorang laki-laki yang notabene adalah seniornya sendiri.
Waktu dan bentang jarak memisahkan mereka berdua. Aji bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi dan Mirna menjadi staf pengajar di ebuah SLTP swasta di kotanya.  Dan Tuhan selalu memiliki rencana rahasia. Tiba-tiba Aji dan Mirna dipertemukan di salah satu media sosial yang berlanjut kepada saling bertanya kabar, lalu berujung kepada saling bertukar cerita kenangan. Di sanalah mulai terungkap perasaan masing-masing. Aji mulai terang-terangan mengakui jika ia sejak lama telah jatuh hati kepada Mirna. Dan Mirna mengiyakan, ia mengakui betapa ia bahagia bisa bertemu lagi dengan Aji, Kakak senior lucu yang bijak, keren, dewasa, hebat, dan cerdas.
Kedekatan mereka berlangsung dan semakin lama semakin menunjukkan keakraban yang lain. Benih cinta yang dulu mereka pendam kini perlahan kembali umbuh. Aji menjadi tempat ternyaman untuk Mirna menceritakan hal apapun yang dialaminya. Dan begitu juga dengan Aji, telah menjadikan Mirna sebagai tempat curahan rasa rindunya selama ini. Setelah berpisah dengan Yuni sampai sekarang ia belum menemukan tambatan hati yang menurutnya pas untuk dijadikan sebagai calon ibu bagi anak-anaknya kelak.
Mirna pun demikian, seolah mimpi dan harapannya mulai terjawab. Sejak dulu ia mendambakan Aji sebagai calon imamnya kini ia telah dekat di depan mata.
**
Namun setan tak pernah menyerah kepada keadaan. Mereka selalu pandai menjadi penyebab kesesatan manusia. Kejadian siang tadi telah merusak segalanya. Aji telah terhasut bisikan syetan, ia telah bertindak ceroboh yang telah membuat Mirna hilang naluri terhadap laki-laki yang selama ini ia kagumi dan ia elu-elukan.
Aji telah merusak kepercayaan yang selama ini Mirna pelihara. Aji telah membuatnya kecewa. Aji-nya yang sopan, telah bertindak setengah tidak waras, meminta sesuatu yang sesungguhnya tidak diperbolehkan karena mereka belum menjadi pasangan halal.
Mirna pergi dengan air mata yang bercucuran, dan Aji menyerah dengan berbagai penyesalan. Akankah ia bisa membuat gadisnya mempercayainya kembali?
“Mirna… maafkan aku. Aku khilaf dan sungguh aku khilaf…” Kedua tangannya menjambak-jambak rambutnya sendiri. Kini  ia menangis sejadinya, meratap, menyesali kebodohannya.
Sungguh kalimat-kalimat permohonan itu kini tak berguna lagi. Mirna telah pergi entah kemana. Telepon genggamnya tidak bisa dihubungi, dan semua media yang bisa menjadi penghubung mereka tak lagi berfungsi. Mirna telah memutus semua akses, Aji tak lagi bisa menghubunginya sama sekali.
“Mirna… di mana kamu…?” Bisik Aji kemudian di sela isak tangisnya.

Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment