Search This Blog

Saturday, September 3, 2016

Rindu



Ini hari minggu. Entah hari minggu ke berapa yang aku lalui tanpa kabar dan canda tawa darinya. Ah, jika ingat kembali memang selalu saja mengundang haru biru. Bahkan bukan hanya itu, kadang aku tak bisa membendung tumpahan air mata yang berlinang membasahi pipi ku. Belum lagi jika tak sengaja aku harus melihatnya dari jauh, melihat canda tawanya yang kini tak lagi untuk aku.
(Bee kenapa kini harus seperti ini?)

Aku ingat ketika dia mulai menarik diri dariku. Aku tak memiliki pilihan lain selain mengiyakan. Beean yang sebelumnya begitu besar perhatiannya kepadaku kini menjauh, jauh, jauh, dan aku rasa semakin jauh. Kadang sering timbul pertanyaan, apakah dia masih menyimpan namaku di hatinya walau di bagian terkecil sekalipun? Sudah hilangkah perasaannya untukku? Tapi ah, masa iya. Masa iya dia begitu saja melupakan semuanya?
(Bee, bolehkah aku mengobrak-abrik hatimu? Akan aku cari tahu, masih adakah namaku di dalam  hatimu?)
**
“Aku pamit. Mungkin kita memang tak akan bisa bersama lagi” Ucapnya di suatu sore yang muram, dan semakin dibuat muram dengan ucapan Beean seperti itu.
“Kenapa Bee?” Tanyaku heran. Dadaku sudah terasa mulai tidak karuan.
“Aku tak mau jika aku menjadi penghambatmu. Aku takut kamu jadi merasa terbebani dengan keberadaanku di dekatmu.” Ucap Beean lagi. Sepertinya ia benar-benar yakin bahwa semua harus berakhir sore itu.
“Bee... aku tak mau…” Air mataku berlinang. Sungguh aku tak mau jika dia tak lagi menjadi teman keseharianku. Bagaimanapun Beean adalah orang yang begitu peduli. Begitu memperhatikanku. Kini dia memutuskan untuk pergi dan tak lagi melanjutkan cerita bersamaku.
“Shel… Maaf. Aku tahu kamu begitu menyayangiku. Tapi sepertinya keadaan tak memungkinkan kita untuk kayak dulu lagi…” Beean menatap mataku dalam-dalam.
“Jujur aku tak mengerti Bee… Jika boleh tahu, alasannya apa?”
“Aku tahu, ada orang lain yang juga menyukaimu dan aku juga tahu jika kamu juga menyukainya.” Beean menunduk lesu. “Aku tak mau membuat kamu bingung Shel… Aku juga tak mau dijadikan pilihan olehmu karena keterpaksaan. Aku tak mau jika kamu memilihku karena belas kasihan. Jadi aku fikir sebaiknya aku pergi.”
“Tapi Bee… aku memilihmu” Aku menangis sesenggukan. Tak tahu lagi harus bagaimana meyakinkan Beean jika aku benar-benar mencintai dan lebih memilihnya.
“Sudahlah Shel… Aku pergi, tak usah menangis. Aku tahu, dan aku yakin, kamu pasti bisa tanpa aku”
Kamudian Beean berlalu, tanpa bisa aku cegah.
(Bee… sejak saat itu bahkan sampai saat ini aku sering menangis jika aku mengingatmu).
**
Beean bukanlah orang yang tak bisa aku temui. Tempat tinggalnya yang tak begitu jauh dari rumahku, seringnya kami bertemu, membuat sayatan-sayatan luka tersendiri di hatiku.
Suatu hari, aku ada janji bertemu dengan Sisi temanku. Sisi adalah adik kandung Beean. Sengaja aku tak mau bertemu dengan Sisi di tempat biasa. Aku meminta Sisi menemuiku di tempat makan, yang jauh dari tempat tinggal kami. Aku berniat mengajak Sisi makan siang bersama. Janji bertemu telah kami sepakati. Hari Sabtu jam satu siang. Namun ketika waktunya tiba, tiba-tiba Sisi mengabari jika ibunya jatuh sakit dan tak bisa ditinggal karena semua orang pergi. Dia memintaku datang ke rumahnya. Semula aku benar-benar merasa berat. Pasti jika aku datang ke rumahnya, maka aku akan bertemu denga Beean dan hatiku akan sedih lagi, sakit lagi, lalu menangis lagi.
Ah, tapi biarlah. Aku juga rindu dengan dia. Walau Sisi sudah berkata jika di rumah tak ada siapa-siapa selain dia dan ibunya, aku berharap jika Beean tiba-tiba pulang dan bertemu denganku. Sungguh aku ingin menatap matanya lagi, melihat senyumnya lagi, berada di dekatnya lagi, menikmati wangi harum tubuhnya, menikmati getaran hangat yang sering aku rasakan ketika aku berada dekat dengannya. (Bee… sungguh aku rindu).
Aku datang menemui Sisi dan tak lupa berbasa basi kepada ibundanya yang sedang sakit. Di rumah Sisi aku bisa melihat poto Beean yang terpampang di ruang tamunya. Beean yang tampan, ah… (Bee…Aku tambah rindu).
Sisi seolah faham apa yang sedang aku rasakan. Ia tersenyum tipis melihatku anteng menatap poto kakak nya. Lalu Sisi mengelus pundakku.
“Kamu Rindu kakak ku ya?” Sisi duduk di sampigku. Mencoba menenangkan hatiku.
“Iya Si… Sangat rindu”
“Pasti…” Ucap Sisi lirih.
“Apa kabar dia?” Aku Membalikkan tubuhku, mengahdap kea rah Sisi.Sangat berharap mendapatkan informasi sebanyak mungkin tentang kakaknya. Orang yang sangat aku cintai hingga saat ini.
“Dia baik-baik saja, tapi dia lebih dingin setelah kalian tak lagi bersama. Aku juga gak ngerti kenapa kakakku itu, sekarang dia lebih asik dengan pekerjaannya. Dia ya… Kalau sudah suka sama perempuan susah untuk melupakannya. Oiya, kalian itu sebenarnya kenapa?”
“Gada apa-apa.” Jwabku singkat.
Dahi Sisi mengernyit, tapi lalu dia tersenyum. “Sudahlah, aku tahu kamu tak mau membahas alasannya kan?.” Sisi tersenyum sekalilagi.
Aku menghela nafaspanjang membuang beban lembar demi lembar. Mencoba mengusir perasaan yang aku tahu itu berlebihan. Aku harus segera sadar diri, jika kini siapa aku di mata Beean.
Sisi memang teman yang paling mengerti dan enggan ikut campur dengan masalah pribadiku, walaupun aku sempat begitu dekat dengan kakaknya.
Kami melanjutlan menyelesaikan tugas salah satu mata kuliah. Satu jam setengah berlalu. Bersyukur, tugas kami selesai juga. Tak terasa ini sudah jam lima sore. Aku harus segera pulang.
Tiba-tiba aku mendengar suara motor yang bunyinya sudah sangat akrab di telinga. Suara motor yang sering menjemputku, suara motor yang pernah mengantarku ke tempat yang jauh. Suara motor yang pernah membawa kami pergi kemana saja yang kami inginkan di sela-sela kesibukan, di waktu-waktu yang kami curi untuk menyengaja bertemu, melepas rindu. (Bee… Aku rindu).
Beean masuk, ia baru pulang kerja. Seragam kerjanya yang sering dipakai ketika kami bertemu dulu, wangi parfumnya yang bercampur dengan aroma kelelahan selepas kerja, aku masih hafal betul. Setahun yang lalu Beean sering mampir ke rumah untuk sekedar meneguk segelas air putih yang aku ambilkan. Dia bilang, “Aku haus, mau minum…”, atau “Istri yang baik adalah istri yang segera mengambilkan minum ketika suaminya pulang ke rumah selepas bekerja.” Tak jarang aku tersenyum geli mendengar perkataannya. Namun dia bilang, bahwa memang ia bercita-cita menjadikan aku istrinya. Ungkapan itu yang hingga kini tak bisa aku lupakan. Perasaan bahagia yang aku rasakan saat mendengarnya langsung dari bibirnya seakan masih terasa. Namun perasaan itu kini bersaing dengan perasaan kehilangan yang luar biasa. (Bee… aku rindu saat-saat itu).
Dia menyapaku, dan lalu berlalu meninggalkan kami di ruang tamu. Mengabaikan tatapan mataku yang penuh dengan pengharapan bahwa dia akan menyapaku hangat seperti dulu. Tapi kali itu tidak, dia hanya memberi senyum. Senyum manis yang dulu. Namun terasa begituu dingin. (Bee… aku rindu senyumanmu yang dulu).
Beean tak lagi muncul, ia lantas mengerjakan semua kegiatan pribadinya, di dalam kamarnya, mungkin dia beristirahat, atau bahkan mandi dan entah apa lagi aku tak tahu. Yang pasti dia tidak lgi menemuiku.
Aku pamit kepada Sisi, tak lupa aku juga berpamitan kepada Ibunya yang dulu  (bahkan hingga sekarang ) aku berharap jika kelak beliau akan menjadi ibuku, ibu mertua ku. Tapi, ah, sudahlah.
Hari sudah sore, aku harus meninggalkan rumah Sisi, rumah temanku yang di sana juga ada Beean, sumber semangat terbesarku. (Bee, aku pulang sayang…)
**
Sepanjang perjalanan pulang, bayangan-bayangan tentang Beean terus berunculan. Begitu berat di kepalaku. Hatiku? Jangan tanya bagaimana rasanya.
Setiap inci jalan yang aku lalui pun memiliki begitu banyak kenangan bersama Beean. Setiap kelokan, setiap sudut jalan, ada kenangan ku bersama Beean di sana.
Di salah satu belokan jalan, Beean pernah memintaku untuk menunggunya di sana. Saat itu bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Sore hari sepulang kerja, Beean berkata jika ia tak akan sempat mampir karena pasti pulang kesorean dan terdesak adzan magrib. Ia harus menemani ibunya santap buka bersama di rumahnya. Beean memintaku menunggunya di kelokkan jalan itu. Lalu ketika ia tiba. Ia menyerahkan sebuah bungkusan.
“Ini pempek kesukaanku, kamu pasti suka” begitu dia bilang. Sambil tak lupa tersenyum manis, manis sekali.
“Terimakasih banyak Bee, aku pasti suka.”
“Sama-sama Shel, selamat berbuka puasa ya sayang.”
Lantas ia berlalu sesaat setelah aku mengucapkan terimakasih sekali lagi.
Kejadian-kejadianlain yang selalu membuat aku rindu adalah, kejadian di sebuah lapangan tenis, Dimana aku pernah bermain tenis, Beean adalah penyemangatku saat itu. Lalu, di sebuah halte bis, kami pernah bersenda gurau bertukar cerita keseharian kami. Kemudian di sebuah tempat makan , di persimpangan jalan, di sebuah bank, dan banyak lagi tempat-tempat kenangan ku bersamanya. Semuanya memiliki kesan tersendiri dengan Beean. (Ah, Bee, aku semakin rindu).
Dan beberapa hari yang lalu, ketika tak sengaja aku memiliki kesempatan untuk menonton olahraga seru yang menurutku paling seru, aku dan kawan-kawan menonton pertandingan footsal, dan dia bermain di sana, aku senang bisa melihatnya lagi. Apalagi ketika dia minta tolong mengambilkan air minum saat itu. Air minum di tasnya yang kebetulan kali itu aku lebih dekat keberadaanya dengan tas miliknya. Kemudian ia menitipkan tasnya kepadaku.
Jika boleh aku merasa bahagia, jujur kali itu aku sangat bahagia. Walaupun aku tak tahu tujuannya menitipkan tas kepadaku itu apa. Mungkin bisa jadi karena memang tak ada sesiapa lagi yang bisa diapercaya selain aku, atau bahkan….? Ah, betapa banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di sana. (Yang pasti, Bee, kali itu aku bahagia).
Aku tetap terus bermimpi jika suatu saat aku bisa menatap matamu kembali, menikmati senyum manismu kembali, dan mendengarkan nasihatmu kembali. (Kapan lagi ya Bee? Sungguh aku rindu).

**
Ku usap sisa basahan d pipiku, aku tak mau lagi bersedih seperti ini. Besok, atau lusa akan aku temui dia, berharap akan bisa sedikit mengobati rasa sakit yang aku rasakan kini.  
Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment