“Kini
aku tak mau lagi Gagah!” Ucap Nara dalam tengah isak tangisnya. “Perasaan
berdosa itu selalu menghantuiku. Setiap malam aku tak nyenyak tidur, menyesali
semuanya.” Tangannya yang lembut meyeka genangan air yang terus mengalir di
sudut matanya.
Gagah
menghela nafas panjang. Dadanya penuh sesak dengan perasaan bersalah. Hatinya
terus mengutuk dirinya atas perbuatan yang telah ia lakukan beberapa hari yang
lalu kepada Nara tambatan hatinya yang selama ini ia jaga perasaannya. Dalam hatinya
ia telah berjanji, tak akan pernah menyentuh fisik gadis berjilbab panjang itu.
Tak berani sedikitpun menyentuhnya walau hanya sentuhan kecil saja. Namun saat
hujan deras beberapa hari yang lalu menjebak mereka di lorong sekolah yang senyap.
Hari
itu Pembina OSIS mengintruksikan agar melakukan rapat persiapan lomba porseni
yang akan dilaksanakan dua pekan ke depan. Nara dan Gagah adalah pengurus OSIS,
Mereka juga terlibat banyak dalam kegiatan tersebut. Saat yang lain sudah
mendahului pulang ke rumah masing-masing Nara dan Gagah juga beberapa teman
lain masih sibuk mengecek perlengkapan yang harus disediakan demi kelancaran
pelaksanaan lomba. Hari mulai gelap, tak lama kemudian turun hujan dengan
derasnya. Gagah dan Nara terpaksa mengunggu hujan reda agar pakaian mereka tak
menjadi basah kuyup.
Hujan
melebat, petir menyambar membuat Nara merasa ketakutan. Angin bertiup begitu
kencang. Membentuk pusaran melingkar di tengah lapangan depan sekolah. Beberapa
orang yang masih berada di sekolah menjerit-jerit ketakutan. Sayup-sayup
terdengar ucapan-ucapan do’a dan kalimat-kalimat permohnan perlindungan. Ini
angin putting beliung. Genting genting sekolah berterbangan, beberapa pot bunga
yang ditata rapih di koridor sekolah berserakan. Dahan-dahan pohon patah,
bahkan satu pohon besar yang berada di sisi lapangan tumbang.
Nara,
tubuhnya bergetar, badannya menggigil. Kepalanya dipenuhi bayangan-bayangan
tentang hal yang akan terjadi seandainya gedung sekolah sampai runtuh menimpa
mereka semua yang ada di sana. Nanti malam mungkin mereka hanya tinggal nama. Nara
menangis, sambil mengucap beberapa do’a yang ia hafal. Gagah merasa terpanggil
hatinya, sikap kelelakiannya tumbuh, ia ingin sekali melindungi Nara dari rasa
takutnya. Gagah memeluk erat tubuh Nara, sambil berusaha menenangkan bahwa
semua akan baik-baik saja. Perlahan tangisan Nara mereda. Ia nyaman dalam
pelukkan kekasihnya itu. Mereka berdua berangkulan di pojok lorong
perpustakaan, menunggu hujan deras reda.
Nyaman
tinggalah nyaman, Nara dan Gagah hanyut dalam kenyamanan yang mereka ciptakan.
Hujan deras yang mulai mengecil, angin putting beliung yang sudah pergi sejak
tadi, genting-genting atap sekolah yang berserakan, dahan-dahan yang patah, pot
bunga yang berantakan, menjadi saksi bisu kejadian itu. Dua remaja yang tidak
memiliki ikatan pernikahan larut dalam kehangatan eratnya pelukan. Sampai salah
satunya segera menyadari bahwa tidak seharusnya mereka seperti itu. Ada Allah
yang selalu mengawasi mereka. Melihat tindakan-tindakan yang mereka lakukan.
Nara menangis menyesali semuanya. Ia berlalu meninggalkan Gagah yang juga
merasakan penyesalan luar biasa. Tak henti-hentinya Gagah mengucapkan istigfar,
memohon pengampunan atas hal yang baru saja ia lakuakan.
Sejak
hari itu Nara tak mau bertemu lagi dengan Gagah, ia lebih sering menghindar.
Rasa malu, dan perasaan berdosa telah menghukum dirinya sendiri. Terkecuali
hari ini, hari dimana acara besar sekolahnya harus di gelar. Nara dan Gagah
kembali bertemu dalam sebuah tugas. Mereka tergabung dalam satu tim. Mau tak
mau Gagah dan Nara harus bekerja sama. Kebersamaan yang terlalu canggung,
dengan percakapan yang hanya seperlunya. Sampai tiba di penghujung acara,
menunggu kegiatan evaluasi, akhirnya salah satunya bisa mencairkan kebekuan di
antara mereka.
“Sungguh
maafkan aku Nara, aku khilaf…” Gagah memelas, menyampainkan permohonan.
“Iya
gak apa-apa Gah… tapi tolong jangan kayak begitu lagi ya Gah… aku tak mau…” Nara
menggelengkan kepalanya, berusaha membuang perasaan berdosa yang terlalu besar.
“Nara…
jika kedekatan ku denganmu hanya akan menjerumuskan kamu kepada lingkar dosa dan
maksiat kepada Allah, maka akan lebih baik jika kita tak usah sering ketemu
dulu” Ucap Gagah mantap. Nara mengangguk setuju.
“Tapi
Nara…” Ucapan Gagah terhenti.
“Apa
lagi Gah?”
“Aku
minta jangan kamu lupain aku, berdo’alah agar Allah selalu menjaga kita.” Ucap
Gagah. Lalu “Aku menyayangimu Ra…”
“Aku
juga Gah… Tapi kalau sayang kita harus saling menjaga. Kamu jagain aku dari api
neraka, dan aku juga akan bantu jagain kamu agar gak masuk neraka.”
“Iya
Nara…” Gagah tersenyum lega.
Langit
mulai gelap, jam menunjukkan pukul 17:00. Nara bergabung dengan panitia putri yang
lain, begitupun Gagah. Dengan dibimbing oleh Pembina OSIS mereka menutup
kegiatan evaluasi, kemudian pulang ke rumah masing-masing.
No comments:
Post a Comment