“Aaahh…” Yumna merintih kesakitan.
Kakinya
luka dan berdarah di bagian betis. Namun ada yang lebih terasa sakit yaitu di
bagian pergelangan kakinya.
“Sepertinya
kakiku terkilir” Rintihnya lagi.
“Ayo
ke pinggir dulu!” Ajak Kamal, sambil memapah tubuh temannya itu.
Yumna
berjalan tertatih sambil menggigit bibirnya menahan tangis. Baru terasa, ketika
dipakai berjalan kakinya terasa semakin sakit.
Kamal
membiarkan Yumna duduk di trotoar. Ia kembali ke tengah jalan menghampiri
motornya yang masih tergeletak. Dengan sedikit tertatih Kamal mendorong
motornya mendekat ke arah Yumna yang masih merintih kesakitan.
Seorang
gadis menawarkan segelas teh manis hangat dan mengobati luka di kaki Yumna. Ia
mengobatinya dengan sangat hati-hati. Namun tangannya terlalu dingin di kaki
Yumna, dan wajahnya terlihat pucat pasi. Yumna mengucapkan terimakasih
kepadanya. Tanpa berkata-kata ia mengobati luka di kaki Yumna, kemudian ia
pergi tanpa sepatah katapun.
Hanya
gadis itu yang perduli. Beberapa orang lain yang berkerumun hanya berpangku
tangan dengan berbagai tatapan sinis kepada mereka.
Kamal
menghampiri Yumna yang sibuk mengurut-urut kakinya yang terasa semakin sakit
dan perih.
Orang-orang
yang berkerumun tetap diam dan menatap dengan tatapan janggal. Beruntung Motor Kamal
tidak mengalami kerusakan parah. Walau kejadian tabrak lari yang baru saja terjadi
cukup membuat mereka berdua terpental jauh. Tetapi Kamal cukup cermat, ia masih
bisa berkonsentrasi sehingga bisa mensiasati dan mengendalikan motornya untuk meminimalisir
kecelakaan.
“Yumna,
kamu gak kenapa-kenapa? Kuat melanjutkan perjalanan gak?” Tanyanya dengan
cemas. Kakinya memang sakit, tapi ia yakin masih bisa melanjutkan perjalanan.
Ia lebih merasa khawatir dengan keadaan temannya.
“Aku
baik-baik saja. Dan sepertinya kita harus segera meninggalkan tempat ini Mal.”
Ujar Yumna setengah berbisik. “Perasaan ku gak enak.” Ujarnya lagi. Matanya
menatap ke sekeliling. Mengamati satu-persatu wajah orang-orang yang menatapnya
ganjil. Mereka jelas-jelas hanya menatap ke arahnya. Ya, hanya ke arahnya.
Tidak kepada Kamal.
“Ayo,
kamu pasti kuat, nanti kita mencari tukang urut ya. Sekarang kita harus segera
pulang.” Kamal membantu Yumna bangun dari duduknya.
Kamal
menaiki motornya. Lalu menghidupkan mesin, mengecek semuanya, beruntung semua
baik-baik saja. Yumna naik di belakang Kamal.
“Kamu
siap Yumna? Semoga kita selamat sampai rumah.” Ujar Kamal.
“Iya
Mal. Aamiiiin. Eh tunggu, aku belum sempat pamit sama orang yang ngasih aku teh
hangat. Kemana dia ya?” Matanya mencari gadis yang telah member the dan
mengobati lukanya. Orang yang berkerumun sekitar 15-20 orang tetap menatapnya
dengan tatapan aneh. Membuat Yumna merasa risih sekaligus ngeri. Ada apa dengan
mereka?
“Kamu
mencari siapa Yumna?” Kamal merasa heran dengan apa yang diucapkan temannya
itu.
“Nyari
orang yang sudah menolong dan mengobati luka kakiku Mal.”
“Orang
apa? Gak ada siapa-siapa di sini.” Ucap Kamal ketus.
“Kamal
kamu gak liat? Pas kita kecelakaan tadi banyak orang yang mengerumuni kita.
Tapi tak seorangpun yang menolong kita. Hanya satu orang yang menolong. Hanya
stu yang perduli.”
“Siapa?”
Kamal semakin heran.
“Ah,
Kamal, kamu gak lihat tadi kakiku diobati sama dia? Memakai betadine. Dan dia
memberiku minum teh manis hangat.”
“Aku
tak melihat siapapun Yumna!” Kamal mulai kesal. Ia merasa kawannya itu mulai
ngelantur.
“Kamal.
Orang-orang itu melihat kita. Ada lima belas sampai dua puluh orang melihat
kejadian kita. Melihat aku kesakitan. Melihat kamu kepayahan. Tapi
takseorangpun menolong kita. Hanya satu orang. Hanya satu yang peduli. Dia
mengobati lukaku, dan memberiku minum.”
“Yumna,
lihat sekeliling kita. Jangan
mengada-ada!”
Yumna
kembali menatap tempat sekelilingnya. Lalu ia mengucek-ngucek matanya berulang
kali. Benar saja. Tak ada seorangpun di sana. Hanya pohon-pohon besar dan
rimbun. Serta sebuah bangunan tua yang berdiri di sana tanpa penerangan.
Sepertinya bangunan itu sudah lama tak berpenghuni.
“Aku
minum Mal… Aku diobati. Aku minum, dan gelasnya aku simpan di…”
Kalimat
Yumna terhenti ketika matanya tak menemukan gelas di tembat duduk tadi.
“Mal…
kita pulang sekarang Mal… Ayo… Aku takut.” Desak Yumna.
“Sebentar,
aku penasaran, coba aku lihat kaki kamu.”
“Mau
apa? Nanti saja, ayo kita pulang” Rengek Yunma.
“Aku
penasaran dengan luka kamu. Apakah ada bekas obat atau tidak?” Desak Kamal.
Yumna
membuka bagian bawah celananya. Darah mentee dan membasahi celananya sehingga
berubah warna menjadi merah.
“Lukamu
parah! Harus segera diobati.” Ujar Kamal.
“Jangan
perdulikan lukaku! Bawa aku pergi dari
sini secepatnya Kamal!” Yumna mendesak. Perasaannya semakin tidak enak.
Angin malam berhembus begitu kencang. Menghasilkan suara riuh dedaunan dan
gemerisik ranting-ranting pohon. Bau amis tercium begitu menyengat. Tentu saja
bukan bau dari darah di kaki Yumna. Perasan Yumna semakin gentar. Dan Kamal
masih tetapp berusaha tenang.
Sejauh
mata memandang ke sekeliling tetap saja tempat itu sepi. Tak ada satupun
kendaraan yang melintas di jalan itu.
“Ah,
Kamal… Ayo kita pulang.” Yumna kembali mendesak.
Kamal
mengendarai motornya. Melanjutkan perjalanan. Sementara Yumna hanya diam seribu
bahasa di balik punggung Kamal. Fikiran mereka dipenuhi dengan berjuta tanda
Tanya. Ada apa sebenarnya? Mereka menjadi korban tabrak lari, dan tak ada
seorangpun yang menolong. Lalu orang-orang yang bergerombol tadi? Siapa mereka.
Dan mengapa Kamal sama sekali tak melihat apa yang dilihat Yumna?
“Mal,
kamu aneh gak sih dengan tepat kejadian tabrakan kita tadi? Mengapa yang nabrak
lari gak mau minta maaf atau sekedar basa-basi nolongin kita gitu? Apakah ada
hubungannya dengan orang-orang yang berkerumun tadi Mal?”
“Yumna!
Berhentilah membahas kerumunan orang. Tak ada orang yang ada di sana kecuali
kita berdua dan mereka yang menabrak kita tadi.” Kamal mulai emosi. Kesal
dengan kelakuan Yumna yang melulu membahas hal yang tidak masuk akal.
“Tapi
tunggu. Apakah benar kamu melihatnya? Apakah kamu memiliki kelebihan untuk
melihat hal-hal yang bersifat gaib? Atau kamu hanya berhalusinasi?” Kamal
penasaran.
“Mal,
aku melihatnya!” Yumna setengah membentak. Berharap Kamal bisa menerima apa
yang ia yakini. “Atau kalau memang hanya aku yang melihat, jangan-jangan yang
nabrak kita juga bukan orang Mal?”
“Sudahlah,
jangan berfikiran macam-macam. Yang nabrak kita tadi itu orang. Orang yang tak
mau bertanggungjawab. Dan tak ada seorangpun yang melihat kejadian tadi, karena
ini sudah larut malam Yumna… Sudah pukul 1 dini hari.” Kamal berusaha
menjelaskan.
Penjelaasan
Kamal memang cukup masuk akal. Di daerah seperti itu orang-orang mungkin sudah
terlelap dan tak akan ada yang berkeliaran ke jalan dini hari. Tapi mengapa
Yumna melihat hal yang berbeda dengan penglihatan Kamal. Siapa yang salah?
Siapa yang peglihatannya keliru?
“Ya
sudah, lupakan kejadian tadi, bantu aku konsentrasi untuk melanjutkan
perjalanan agar lekas sampai.” Ujarnya kemudian.
Angin
kembali berhembus kencang, terasa semakin dingin dengan mengendarai motor.
Jalanan yang dilewati tetap senyap, hanya pepohonan dan tebing-tebing curam
yang mereka temukan. Sepanjang jalan benar-benar jarang penduduk.
Beberapa
menit motor mereka meninggalkan tempat kejadian itu, tiba-tiba motor Kamal
terhenti, mesinnya mati. Ia berusaha menghidupkannya kembali. Namun beberapa kali
distarter motornya tak juga mau hidup. Kamal menyarankan Yumna untuk mencari
tempat duduk agar ia beristirahat dan tidak terlalu tersiksa dengan rasa sakit
di kakinya. Tak ada pilihan lain, Yumna mengangguk, menuruti saran Kamal. Ia
berjalan tertatih beberapa langkah menjauh dari Kamal. Matanya mencari-cari
tempat yang dirasa nyaman. Namun pencahayaan jalan sangatlah terbatas. Tak ada
lampu penerangan di sana. Hanya cahaya rembulan yang malam ini tampak bulat
sempurna, bulan purnama.
Angin
malam berhembus begitu kencang, begitu dingin menusuk ke pori kulit. Kiri dan
kanan jalan hanyalah hamparan sawah dan sebagian padang rumput serta ilalang. Suasana
sepi, tak ada satupun kendaraan yang melintas di sana.
Langkah
Yumna seketika terhenti, saat telinganya
menangkap suara percakapan. Ia menoleh ke arah Kamal. Ia tampak sedang
berbicara dengan seseorang berambut putih. Dari tampilannya ia seperti seorang
kakek tua. Bajunya berwarna putih seperti jubah. Namun badannya masih cukup
tegak. Ia tidak terlalu renta. Yumna membalikkan tubuhnya. Berjalan kembali ke
arah di manaKamal berdiri.
“Mal…”
Panggil Yumna.
“Sini
Yumna!” Ucap Kamal.
Kakek
tua itu kemudian pergi sebelum Yumna sampai di hadapan Kamal.
“Siapa
dia? Apa yang kalian bicarakan?”. Yumna penuh Tanya.
“Entahlah,
yang pasti ia menyarankan kita untuk segera pergi dari sini.” Ujar Kamal dengan
suara setengah berbisik seolah kalimat itu sesungguhnya ditujukan untuk dirinya
sendiri.
“Motormu?”
Yumna khawatir motor Kamal masih belum bisa menyala.
Kamal
mengankat bahu. Ia tak yakin motornya bisa kembali menyala.
“Bensinnya
kali Mal!”
“Sudah
aku cek. Masih penuh. Mungkin pengaruh tabrakkan tadi.” Kamal mengambil
handpone dari saku celananya. Menyalakan flashlight
dan memeriksa pipa bensinnya. Kamal tampak beberapa kali menghela nafas
panjang. Penanda bahwa ia menemukan masalah. Yumna yang terus gelisah tak mau
berjauh-jauh dari temannya itu. Ia tetap berdiri di samping Kamal menahan sakit
dan perih di kaki kanannya. Fikirannya tak bisa berhenti memikirkan kejadian
tadi. Kerumunan orang, gadis yang mengobati dan memberinya teh, serta kakek tua
yang tiba-tiba muncul barusan. Namun ia tau, bukan saat yang tepat untuk
kembali membahas itu. Kamal perlu semangat. Ia adalah satu-satuny aoorang yang
bisa membawanya pulang mala mini.
Angin
malam semakin dingin, suasana tetap sepi dan motor belum juga menyala.
“Mal,
ada mobil.” Bisik Yumna. Telunjukknya diarahkan kepada hal yang ia maksudkan.
“Mana?”
Kamal beranjak dari tempatnya berjongkok. Matanya menangkap dua cahaya terang
dari arah berlawanan. Namun ia tahu itu bukanlah lampu mobil.
“Yumna,
berdo’alah sebanyak-banyaknya!” Bisik Kamal nyaris tak terdengar jelas oleh
Yumna.
“Ada
apa Mal?” Yumna merasa heran. Matanya kembali tertuju ke arah cahaya tadi
berasal. Badannya seketika terasa dingin dan lebih lemas, lunglai tak bertenaga.
Mulutnya berusaha membacakan ayat-ayat yang ia hafal. Tangannya berpegang erat
ke ujung jaket yang dikenakan Kamal. Ia takut, ia panik, dan apapun yang ia
rasakan saat itu. Cahaya lampu yang ia lihat bukanlah berasal dari cahaya lampu
mobil. Namun berasal dari ekor binatang yang menyerupai harimau. Dua mahluk itu
menghentikan langkahnya beberpa saat, lalu perlahan pergi ke arah hamparan
sawah yang membentang di sisi kanan jalan.
Kamal
menghela nafas panjang. Mulunya terus berkomat-kamit membacakan sesuatu. Ia
tetap berusaha tenang sebisa mungkin. Yumna semakin lesu, wajahnya pucat pasi,
merasakan ketakutan yang terlalu.
Yumna
menagis terisak. Bahunya berguncang. Keadaan semakin mencekam. Kamal tak tahu
harus berbuat apa.
“Yumna…
tetaplah sadar Yumna… Jangan takut. Tenanglah, bantu aku. Aku harus
berkonsentrasi agar kita lekas pergi dari tempat ini. Yumna… sadarlah,
berdo’alah Yumna…” Berkali-kali Kamal berusaha memberi semangat.
“Mal…
aku takut… Aku takut…” Yumna menangis. Air matanya mengalir deras. “Aku tak mau
di sini.” Desaknya lagi.
“Baiklah,
tetaplah berdo’a. Diamlah di sini dekat aku. Berdo’alah Yumna. Berdo’a!” Yumna
mengangguk. Lalu mulutnya kembali membacakan do’a-do’a dan ayat-ayat yang ia
hafal. Tak henti-hentinya ia memohon perlindungan kepada sang Maha Pencipta.
Di
tengah-tengah perasaan yang juga tak menentu Kamal berusaha memperbaiki
motornya. Dengan susah payah akhirnya motornya bisa kembali menyala.
“Alhamdulillah…”
Ia berucap syukur.
“Ayo
Yumna kita pulang”
Yumna
mengangguk. Lalu berusaha berdiri dibantu Kamal. Kakinya kembali berdarah.
Celananya basah dengan cairan berwarna merah.
**
Sepanjang
jalan Yumna tak berhenti berdo’a. satu jam kemudian sampailah mereka di jalan
yang mulai ramai dilewati banyak kendaraan. Kamal memutuskan untuk beristirahat
di sebuah pom bensin yang buka 24 jam. Begitu sampai di sana Yumna mendadak
jatuh dari motor, ia kelelhan dan tak sadarkan diri.
Seorang
petugas yang sedang beristirahat kebatulan pom itu sepi, mendekat dan melakukan
tindakkan pertolongan. Tak lamakemudian dating beberpa staf membantu mengangkat
tubuh Yumna ke dalam kantor SPBU.
Perasaan
Kamal semakin cemas melihat temannya tak sadarkan diri. Tubuhnya mulai lemas.
Sejak tadi tubuhnya dipaksa untuk kuat dan tetap semangat. Melawan berbagai hal
janggal yang terjadi sepanjang perjalanan. Kakinya seolah tak kuat lagi
menopang tubuhnya. Ia pun hampir jatuh tersungkur. Seorang petugas memapah
tubuhnya. Lalu membantu Kamal berjalan ke ruangan tempat Yumna diberi
pertolongan.
Setelah
minum dan diam beberpa saat, Kamal menjelaskan dan memaparkan semuanya. Ia
bercerita jika mereka mengalami kejadian tabrak lari. Kamal menceritakan
semuanya termasuk apa yang dialamai oleh Yumna di tempat kejadian dan apa yang
mereka lihat di jalan sekitar hamparan sawah yang luas
Mendengar
cerita Kamal, beberapan petugas pom yang ada di sana saling pandang dan diam
seribu bahasa. Beberapa di antaranya menghela nafas panjang. Seolah membuang
selembar beban yang mengganjal perasaan mereka.
Lalu
satu dar mereka berkata, “Syukurlah kalian selamat sampai di sini. Tempat itu
memang angker dan sering memakan korban. Jika sudah lewat jam sebelas malam tak
ada yang berani melewati jalan itu. Istirahatlah di sini sambil menunggu pagi,
kasihan temanmu.” Ucap petugas pom bensin itu seraya menepuk pundak Kamal
mencoba menengkan. Kamal mengangguk lesu.
**
Kamis
sore, seusai jam perkuliahan berakhir Kamal, Yumna dan beberapa kawan pergi ke
Garut untuk melakukan takjiyah orangtua kawan mereka yang meninggal dunia.
Kawan mereka sangat bersedih dan akhirnya mereka memutuskan untuk menemaninya terlebih
dahulu hingga tak terasa malam kian larut.
Pukul
11 malam mereka memutuskan untuk pulang ke Bandung. Karena berbagai alasan
keperluan yang harus dilaksanakan esok hari.
Rumah
Kawan mereka sangat jauh dari keramaina kota. Terdapat di daerah terpencil
dengan jalan yang sepi dan jarang dilalui oleh kendaraan. Sehingga memerlukan
waktu yang cukup lama untuk sampai ataupun kembali dari sana. Di perjalanan,
Motor yang dikendarai Kamal dan Yumna mengalami kecelakaan, ditabrak pengendara
yang tidak bertanggungjawab. Teman-teman yang lain, tak ada seorang pun yang
tahu kejadian tersebut karena sudah lebih dahulu berangkat menggunakan mobil.
TAMAT
sudah menabrak tidak mau bertanggung jawab
ReplyDeletehehe iya
Deletejd ikut terbayang yg serem2..bagus ceritanya :)
ReplyDeleteTerimakasih atas kunjungannya :-)
Delete