Search This Blog

Wednesday, May 13, 2015

Entahlah...

Tak terbayangkan sebelumnya oleh ku, jika harus menjalani hidup tanpa seseorang yang biasa ku panggil “Mamah”.
Setiap orang boleh bilang jika aku ini sudah dewasa, sudah tak seharusnya merisaukan kehidupan. Sudah sepantasnya aku bisa hidup dan menyelesaikan semua masalah sendiri. Usiaku kini 29, sudah menikah dan mempunyai seorang putra. Suamiku pekerja keras, anak ku lucu pintar dan sehat. Tapi siapa sangka, betapa aku rapuh ketika aku memiliki kesakitan hati, fisik, atau punya masalah yang menurutku terlalu berat dipikul dan tak bisa aku temukan obatnya kecuali bercerita dan menengis dipangkuan ibuku.
Tuhan… aku rindu, teramat rindu kepadanya. Ternyata teman hidup saja tidak cukup, sahabat saja tidak cukup, saudara saja tidak cukup untuk menampung semua keluh kesah yang ada. Terkadang ada sesuatu yang ingin aku ceritakan hanya kepada nya, ada sesuatu yang menurutku hanya ibuku yang bisa mengerti dan memaklumi. Tentang masalahku sendiri, perasaanku, keinginanku, dan apapaun yang tidak bisa sembarangan orang boleh mengetahuinya.
Rabb… ketika aku menangis dihadapan-Mu, semakin menjadi-jadilah kerinduan itu terhadap ibuku. Andai bisa aku meminta, Kau kembalikan sosok nya, kehangatannya, senyumannya yang selalu terpancar di wajahnya, walau aku tahu ia sedang bersedih sekalipun. Andai ia bisa kembali, maka aku akan menjadi anak yang paling baik untuknya. Takan aku gores hatinya sedikitpun, takan aku buat perilaku yang sekiranya menyakiti perasaannya. Rabb.. tapi itu tak mungkin terjadi, ku tahu kehendak Mu lebih bijaksana. Aku tahu Engkau lebih sanyang kepada ibuku daripada sikap rasa sayang yang kami berikan dulu kepadanya.
Sungguh sesal ini takan ada habisnya, jika aku ingat seberapa banyak aku menciptakan kekhawatiran dalam hatinya.   Seberapa banyak kesakitan yang aku toreh dalam hatinya. Tapi aku tak pernah melihat ibuku menagis, terkecuali ketika kami saling memaafkan pada hari raya Iedul Fitri. Selebihnya ibuku tak pernah menangis walau aku tahu luka yang dirasakan teramat besar.
Aku ingat, ketika aku dengan seenaknya menerima berbagai macam karakter laki-laki yang menjadi kekasihku. Mulai dari laki-laki yang baik, salih, sampai laki-laki yang akhirnya merobek-robek hati ibuku. Seseorang meminta diriku kepada ibu. Lalu ibuku tak merestui, kemudian orang tersebut mencaci maki ibuku habis-habisan, tak sedikitpun terlihat gentar di wajahnya. Ibuku mempertahankan apa yang ia yakini sebagai kebenaran.  Padahal jika aku jadi ibu, mungkin aku sudah tah mungkin tahan dengan semua itu. Rasanya aku ingin menghabisi orang tersebut karena telah melukai hati ibuku. Dan bersamaan dengan itu, akupun menyesal telah mengenal sosok yang benar-benar tidak bisa menjaga perasaan orang tua ku sendiri.
Luka-luka lain yang aku goreskan dan takan pernah bisa ku lupakan, diantaranya  adalah, ketika aku memilih ingin meneruskan kuliah ke perguruan tinggi yang tidak ibuku setujui, sekeras hatiku mempertahankan keinginannku, sebanyak-banyaknya aku berargumen untuk menjelaskan bahwa pilihan ku itu pilihan terbaik, tapi dengan sabar, ibuku menolak keinginanku. Saat itu, aku merasa dongkol sedongkol-dongkolnya. Tapi kini, aku benar-benar mengerti mengapa ibiku tidak menyetujui pilihanku. Di kampus pilihan ibu, aku mendapatkan semua yang terbaik. Perhatian saudara-saudaraku, perkuliahan yang menyenangkan, dosen-dosen yang baik, serta kuliahku terselesaikan dengan hasil yang baik, dengan tepat waktu. Aku sadar, betapa pekanya hati ibu, betapa pandainya ia membuat pertimbangan dan mengambil keputusan.
Dan sekarang aku telah bersuami, aku benar-benar menjalani semuanya tanpa saran ibu, tanpa anjuran ibu. Hanya beberapa hal yang aku ingat, pesan ibu sebelum beliau meninggal dulu. Memang tak banyak pesan dan nasehat khusus untuk ku menjaani kehidupan rumah tangga, tapi setidaknya kau banyak belajar dari perlakuan ibu kepada ayah dulu.  
Dan sekarang aku sudah menjadi ibu, belajar membesarkan anak sendiri tanpa saran dan bimbingan ibu langsung, tak seperti yang lainnya, yang selalu mendapat saran, anjuran, atau kritikan tentang cara mendidik, merawat, dan memperlakuakan anak. Aku benar-benar belajar sendiri. Aku mendapatka informasi dari internet, informasi dari ibu-ibu yang telah berpengalaman, dan sisanya (paling banyak) aku lakuakan karena naluri keibuan yang aku miliki.
Ketika aku sakit, aku harus tetap merawat anak dan mengurus rumah juga suami, ketika pundakku ku rasa sudah tak kuat memikul semua beban, ketika badanku terasa luluh lantak dilanda kelelahan yang tiada berujung. Menghadapi kebiasaan putraku yang tidur terlalu larut malam, urusan pekerjaan dan tanggunjawabku di sekolah tempatku mengabdi, dan dari masalah-masalah lain yang ku hadapi,ketika satu-satunya oerang yang kuharapkan bisa punya banyak waktu luang untuk aku ajak berbagi, tapi ternyata beban pekerjaannyapun terlalu berat, tak mungkin aku menambah beban fikirannya, maka terpaksa kelelaha itu ku pikul sendiri. Sungguh, dalam keadaan seperti itu aku ingin berbagi cerita dengan ibu, menangis sejadinya, memohon bantuannya, meminta saran dan nasehatnya, pasti menyejukkan hatku, tapi ibuku sudah tiada, maka hanya air mata yang menjadi jawaban.
Ketika orang lain anak nya ditimang-timang oleh neneknya, maka aku hanya bisa menelan ludah berkali-kali, membayangkan putraku ditimang nenek kandungnya. Ketika orang lain bisa menitipkan anak kepada neneknya untuk sekedar jalan-jalan berdua dengan suami, maka aku hanya bisa berangan-angan. Ketika aku tak berdaya, sakit parah, dan anak ku masih memerlukan ekstra perhatian, kemudian partner ku di rumah sedang sibuk bekerja,  maka aku tak pernah memiliki pilihan lain, selain berusaha untuk berdiri melawan rasa sakit dan berusaha tetap terus maju dan berjuang habis-habisan, walau harus tertatih.
Keadaaku yang juga hidup merantau jauh dari ssanak saudara membuat kami benar-benar harus menyelesaikan sendiri setiap urusan. Susah payah, semuanya harus tetap berjalan tanpa bantuan siapapun. Beruntungnya aku punya tetangga-tetangga yang ku rasa benar-benar super baik hati. Beberapa dari mereka takan pernah aku lupakan jasanya. Do’aku selalu mengalir untuk mereka yang selalu mau berbaik hati kepadaku. Tetangaku, merekalah saudaraku di sini, merekalah tempat ku menitipkan diri dan keluagra kami.  
Betapa berat perjuangan ku. Tapi aku banyak belajar dari ibuku, yang selalu tegar menghadapi semua masalah yang dihadapi. Tapi walaupun begitu aku tetap bersyukur, karena ternyata aku mampu melewati ini semua. Ya, Ini semua. Yang tak semua kesusahannya bisa ku ceritakan di sini.
Semoga aku bisa sekuat dan setegar ibu…





Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment