Tak terbayangkan sebelumnya oleh
ku, jika harus menjalani hidup tanpa seseorang yang biasa ku panggil “Mamah”.
Setiap
orang boleh bilang jika aku ini sudah dewasa, sudah tak seharusnya merisaukan
kehidupan. Sudah sepantasnya aku bisa hidup dan menyelesaikan semua masalah
sendiri. Usiaku kini 29, sudah menikah dan mempunyai seorang putra. Suamiku
pekerja keras, anak ku lucu pintar dan sehat. Tapi siapa sangka, betapa aku
rapuh ketika aku memiliki kesakitan hati, fisik, atau punya masalah yang
menurutku terlalu berat dipikul dan tak bisa aku temukan obatnya kecuali
bercerita dan menengis dipangkuan ibuku.
Tuhan… aku rindu, teramat rindu
kepadanya. Ternyata teman hidup saja tidak cukup, sahabat saja tidak cukup,
saudara saja tidak cukup untuk menampung semua keluh kesah yang ada. Terkadang ada
sesuatu yang ingin aku ceritakan hanya kepada nya, ada sesuatu yang menurutku
hanya ibuku yang bisa mengerti dan memaklumi. Tentang masalahku sendiri,
perasaanku, keinginanku, dan apapaun yang tidak bisa sembarangan orang boleh
mengetahuinya.
Rabb… ketika aku menangis
dihadapan-Mu, semakin menjadi-jadilah kerinduan itu terhadap ibuku. Andai bisa aku
meminta, Kau kembalikan sosok nya, kehangatannya, senyumannya yang selalu
terpancar di wajahnya, walau aku tahu ia sedang bersedih sekalipun. Andai ia
bisa kembali, maka aku akan menjadi anak yang paling baik untuknya. Takan aku
gores hatinya sedikitpun, takan aku buat perilaku yang sekiranya menyakiti
perasaannya. Rabb.. tapi itu tak mungkin terjadi, ku tahu kehendak Mu lebih bijaksana.
Aku tahu Engkau lebih sanyang kepada ibuku daripada sikap rasa sayang yang kami
berikan dulu kepadanya.
Sungguh sesal ini takan ada habisnya,
jika aku ingat seberapa banyak aku menciptakan kekhawatiran dalam hatinya. Seberapa
banyak kesakitan yang aku toreh dalam hatinya. Tapi aku tak pernah melihat
ibuku menagis, terkecuali ketika kami saling memaafkan pada hari raya Iedul
Fitri. Selebihnya ibuku tak pernah menangis walau aku tahu luka yang dirasakan
teramat besar.
Aku ingat, ketika aku dengan
seenaknya menerima berbagai macam karakter laki-laki yang menjadi kekasihku. Mulai
dari laki-laki yang baik, salih, sampai laki-laki yang akhirnya merobek-robek
hati ibuku. Seseorang meminta diriku kepada ibu. Lalu ibuku tak merestui,
kemudian orang tersebut mencaci maki ibuku habis-habisan, tak sedikitpun
terlihat gentar di wajahnya. Ibuku mempertahankan apa yang ia yakini sebagai kebenaran.
Padahal jika aku jadi ibu, mungkin aku sudah
tah mungkin tahan dengan semua itu. Rasanya aku ingin menghabisi orang tersebut
karena telah melukai hati ibuku. Dan bersamaan dengan itu, akupun menyesal
telah mengenal sosok yang benar-benar tidak bisa menjaga perasaan orang tua ku
sendiri.
Luka-luka lain yang aku goreskan
dan takan pernah bisa ku lupakan, diantaranya adalah, ketika aku memilih ingin meneruskan
kuliah ke perguruan tinggi yang tidak ibuku setujui, sekeras hatiku
mempertahankan keinginannku, sebanyak-banyaknya aku berargumen untuk menjelaskan
bahwa pilihan ku itu pilihan terbaik, tapi dengan sabar, ibuku menolak keinginanku.
Saat itu, aku merasa dongkol sedongkol-dongkolnya. Tapi kini, aku benar-benar
mengerti mengapa ibiku tidak menyetujui pilihanku. Di kampus pilihan ibu, aku
mendapatkan semua yang terbaik. Perhatian saudara-saudaraku, perkuliahan yang
menyenangkan, dosen-dosen yang baik, serta kuliahku terselesaikan dengan hasil
yang baik, dengan tepat waktu. Aku sadar, betapa pekanya hati ibu, betapa
pandainya ia membuat pertimbangan dan mengambil keputusan.
Dan sekarang aku telah bersuami,
aku benar-benar menjalani semuanya tanpa saran ibu, tanpa anjuran ibu. Hanya beberapa
hal yang aku ingat, pesan ibu sebelum beliau meninggal dulu. Memang tak banyak
pesan dan nasehat khusus untuk ku menjaani kehidupan rumah tangga, tapi
setidaknya kau banyak belajar dari perlakuan ibu kepada ayah dulu.
Dan sekarang aku sudah menjadi
ibu, belajar membesarkan anak sendiri tanpa saran dan bimbingan ibu langsung,
tak seperti yang lainnya, yang selalu mendapat saran, anjuran, atau kritikan
tentang cara mendidik, merawat, dan memperlakuakan anak. Aku benar-benar
belajar sendiri. Aku mendapatka informasi dari internet, informasi dari ibu-ibu
yang telah berpengalaman, dan sisanya (paling banyak) aku lakuakan karena
naluri keibuan yang aku miliki.
Ketika aku sakit, aku harus tetap
merawat anak dan mengurus rumah juga suami, ketika pundakku ku rasa sudah tak
kuat memikul semua beban, ketika badanku terasa luluh lantak dilanda kelelahan
yang tiada berujung. Menghadapi kebiasaan putraku yang tidur terlalu larut
malam, urusan pekerjaan dan tanggunjawabku di sekolah tempatku mengabdi, dan
dari masalah-masalah lain yang ku hadapi,ketika satu-satunya oerang yang
kuharapkan bisa punya banyak waktu luang untuk aku ajak berbagi, tapi ternyata
beban pekerjaannyapun terlalu berat, tak mungkin aku menambah beban fikirannya,
maka terpaksa kelelaha itu ku pikul sendiri. Sungguh, dalam keadaan seperti itu
aku ingin berbagi cerita dengan ibu, menangis sejadinya, memohon bantuannya,
meminta saran dan nasehatnya, pasti menyejukkan hatku, tapi ibuku sudah tiada,
maka hanya air mata yang menjadi jawaban.
Ketika orang lain anak nya
ditimang-timang oleh neneknya, maka aku hanya bisa menelan ludah berkali-kali,
membayangkan putraku ditimang nenek kandungnya. Ketika orang lain bisa
menitipkan anak kepada neneknya untuk sekedar jalan-jalan berdua dengan suami,
maka aku hanya bisa berangan-angan. Ketika aku tak berdaya, sakit parah, dan
anak ku masih memerlukan ekstra perhatian, kemudian partner ku di rumah sedang
sibuk bekerja, maka aku tak pernah
memiliki pilihan lain, selain berusaha untuk berdiri melawan rasa sakit dan
berusaha tetap terus maju dan berjuang habis-habisan, walau harus tertatih.
Keadaaku yang juga hidup merantau
jauh dari ssanak saudara membuat kami benar-benar harus menyelesaikan sendiri
setiap urusan. Susah payah, semuanya harus tetap berjalan tanpa bantuan siapapun.
Beruntungnya aku punya tetangga-tetangga yang ku rasa benar-benar super baik
hati. Beberapa dari mereka takan pernah aku lupakan jasanya. Do’aku selalu
mengalir untuk mereka yang selalu mau berbaik hati kepadaku. Tetangaku,
merekalah saudaraku di sini, merekalah tempat ku menitipkan diri dan keluagra
kami.
Betapa berat perjuangan ku. Tapi aku
banyak belajar dari ibuku, yang selalu tegar menghadapi semua masalah yang
dihadapi. Tapi walaupun begitu aku tetap bersyukur, karena ternyata aku mampu
melewati ini semua. Ya, Ini semua. Yang tak semua kesusahannya bisa ku
ceritakan di sini.
Semoga
aku bisa sekuat dan setegar ibu…
No comments:
Post a Comment