Search This Blog

Sunday, May 31, 2015

Karena Ayah Tak Suka Jika Aku Pacaran

Izinkan aku bercerita tentang pengalamanku. Yang menjadikan awal mula kemunculan hobiku menulis. Walau pada dasarnya sampai saat ini aku belum benar-benar pandai menulis. Tapi tak mengapa, biarkan aku berbagi cerita.

Usia SMP, aku memang tak begitu cantik, tak juga bertubuh tinggi semampai seperti anggota grup JKT 48, atau seperti teman-teman ku saat itu yang memiliki tinggi badan yang ideal. Saat itu tinggi badan ku baru mencapai 145 cm. Tapi banyak orang yang bilang aku punya senyum manis yang membuat wajah biasaku menjadi lebih menarik. Belum lagi lesung pipi yang entah mengapa hanya ada satu, di pipi sebelah kiri. Aku tak pernah kesepian, banyak teman di sekelilingku yang selalu menemani. Termasuk teman-teman lelaki yang katanya mulai menyimpan rasa.
Ada semacam perasaan bahagia ketika mengetahui aku memiliki daya tarik. Senyum manis dan lesung pipi yang bisa kubanggakan, kerlingan mata, atau apapun yang membuat mereka menyukaiku. Beberapa teman dan kaka kelas mengirim surat menyatakan cinta yang dititipkan kepada teman atau mak comblang yang dapat dijadikan andalan sebagai media pengantar rindu kepada seseorang. Aku bingung menanggapinya. Usiaku baru berumur 13 tahun.
Adalah seseorang bernama Yogi. Senyum nya tak dapat aku lupakan. Ia adalah kakak dari sahabatku, Mala. Kami pernah bertemu di acara syukuran ulangtahun di rumahnya. Badannya tinggi atletis, kulitnya bersih, kerlingan matanya indah. Cara ia bertutur kata pun membuatku kagum. Yogi mengirim surat cintanya yang begitu romantis. Kata-kata yang ia tulis begitu indah, rasanya aku terbang dibuatnya. Kalimat-kalimat pada surat pertamanya itu bagaikan hipnotis yang memiliki kekuatan besar mempengaruhiku. Membuatku menerima cintanya, cinta pertamaku.
Kami akhirnya menjalin hubungan. Sepulang sekolah aku sering mampir ke rumah Mala, dengan alasan menyelesaikan Pekerjaan Rumah bersama. Aku dan Yogi bertemu, walau tak pernah berani berbincang langsung. Jantungku berdegup kencang saat berada dekat dengannya. Yogi hanya menghampiri kami jika ada pelajaran yang dirasa sulit dan memerlukan bantuannya. Selebihnya ia hanya duduk di depan TV sambil sesekali memcuri pandang, memperhatikan. Membuat aku salah tingkah.
Suatu hari ayahku yang seorang guru mememukan surat di tas sekolahku. Entah kapan ayah mengambilnya, surat itu sudah tergeletak di meja belajar dalam posisi terbuka. Saat itu takut bukan kepalang.  Dadaku berdetak kencang tidak karuan, pasti ayah akan memarahiku, fikirku. Ayah ku yang bijak menasihatiku.
“Teh… surat ini isinya bagus, menyadarkan ayah bahwa ternyata putri ayah sudah besar, Sudah menjadi gadis cantik yang menarik hati laki-laki. Surat ini kata-katanya sangat indah,  Ayah bahkan  menyukainya”.
Deg, aku benar-benar kaget mendengar ayah berkata demikian.
“Tapi teteh tahu tidak? Ayah memiliki cita-cita yang lebih bagus daripada isi surat itu.”
Nada bicara ayah menjadi datar. Kepalaku mendongak. Apa yah?
“Ayah ingin putri pertama kesayangan ayah tetap rajin belajar, lulus dengan prestasi yang baik, masuk ke SMA terbaik di kota ini. Ayah tak ingin pelajaran putri ayah terganggu gara-gara sudah pacaran. Usia mu masih terlalu belia nak, untuk merasakan perasaan seperti itu. Apalagi laki-laki yang menyukaimu usianya lebih tua daripadamu. Ayah merasa khawatir. Usia mu masih terlalu muda untuk terlihat jalan berdua di tempat umum”.
Hati ku saat itu dipenuhi dengan berbagai perasaan yang sebenarnya tak dapat  aku terjemahkan. Bagaimana mungkin aku harus memutuskan cinta pertamaku?. Tak terasa air mataku menetes.
“Ayah tanya, bisa tidak kalau teteh pacarannya tidak usah sering bertemu?”
Aku bingung, tak mengerti dengan cara berfikir ayah waktu itu.  Eh, bagaimana bisa ayah?
“Ayah lihat Yogi pandai berpuisi, bagaimana kalau teteh balas puisi-puisinya dengan puisi karya teteh sendiri. Ayah akan lebih senang jika teteh jadi penulis puisi. Bisa kan sayang…?”
Ayah menatapku penuh harap. Aku mengangguk perlahan. Walaupun sebenarnya aku tak percaya bisa melakukannya atau tidak. Apa yang harus aku jelaskan kepada Yogi, bahwa aku tidak bisa selalu menemuinya.
Surat yang aku terima hari lalu aku balas dengan panjang lebar. Menjelaskan apa yang telah terjadi. Aku titipkan surat balasan itu kepada Mala. Harap-harap cemas aku menunggu jawaban. Samapai akhirnya surat balasanpun datang. Yogi menyetujui permintaanku. Setiap hari selalu ada surat yang dititipkan kepada Mala. Yogi semakin rajin menghujaniku dengan kata-kata indah dalam puisinya. Sementara aku, semakin rajin duduk di perpustakaan, untuk membaca buku-buku cerita, novel, atau kumpulan-kumpulan puisi. Minat menulisku tumbuh begitu saja. Tidak hanya menulis puisi untuk Yogi, tapi setiap apa yan aku rasakan, aku temukan, aku lihat, atau sekedar melintas di benak selalu aku tuliskan. Tas sekolah ku selalu terisi dengan buku diary warna biru muda. Buku kesekian, pemberian ayahku.
Sejak saat itu pula aku jadi lebih banyak menghabiskan waktu di ruangan perpustakaan sekolah kami. Sampai suatu hari aku diminta untuk menjadi petugas perpustakaan yang  mencatat setiap peminjaman dan pengembalian buku. Puisi-puisi karyaku sering terpampang di majalah dinding sekolah, dan cerpen ku di muat di buletin sekolah. Bangga rasanya.
Kelas 3 SMP aku mendapat kabar Kak Yogi telah lulus SMA dan melanjutkan kuliah di luar kota. Cara kami mengirim surat telah berubah. Tidak lagi dititipkan kepada Mala. Tapi ku kirimkan melalui jasa pos. Hari demi hari aku melewatinya dengan sangat menyenangkan.
Tiga bulan aku duduk di bangku SMA, Yogi mengabarkan jika ia telah memiliki kekasih baru di tempatnya kuliah. Aku tak terlalu sedih, masih ada buku-buku diary, majalah dinding, dan bulletin sekolah  yang siap menampung cerita-ceritaku, curahan hatiku. Terimakasih ayah.
Jaman telah berubah, Menginjak bangku kuliah aku masih menekuni hobiku. Menulis cerita dan puisi. Walau pada kenyataannya hanya aku tulis di buku atau aku simpan di folder pada leptopku. Sebagiannya lagi aku kirimkan ke majalah dinding dan bulletin Pramuka di kampusku.
Sekarang aku benar-benar ingin menekuni hobiku lebih jauh. Semoga aku bisa menjadi penulis terkenal yang karyanya dinantikan banyak orang. Terimakasih Ayah, karena telah melarangku berpacaran saat itu.
Diantika I.E, adalah nama pena dari nama asliku Diantika Irma Ekawati. Akun facebook kupun menggunakan nama yang sama, Diantika Irma Ekawati. Alamat emailku diantikairma@gmail.com. Aku memiliki blog tempat ku belajar menulis yaitu Gerimis Rindu Diantika I.E, dengan alamat diantikairma.blogspot.com. Semoga bisa menjadi pengobat kerinduanku untuk menjadi penulis. Aamiin.

Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment