Izinkan
aku bercerita tentang pengalamanku. Yang menjadikan awal mula kemunculan hobiku
menulis. Walau pada dasarnya sampai saat ini aku belum benar-benar pandai
menulis. Tapi tak mengapa, biarkan aku berbagi cerita.
Usia
SMP, aku memang tak begitu cantik, tak juga bertubuh tinggi semampai seperti anggota
grup JKT 48, atau seperti teman-teman ku saat itu yang memiliki tinggi badan
yang ideal. Saat itu tinggi badan ku baru mencapai 145 cm. Tapi banyak orang yang
bilang aku punya senyum manis yang membuat wajah biasaku menjadi lebih menarik.
Belum lagi lesung pipi yang entah mengapa hanya ada satu, di pipi sebelah kiri.
Aku tak pernah kesepian, banyak teman di sekelilingku yang selalu menemani.
Termasuk teman-teman lelaki yang katanya mulai menyimpan rasa.
Ada
semacam perasaan bahagia ketika mengetahui aku memiliki daya tarik. Senyum
manis dan lesung pipi yang bisa kubanggakan, kerlingan mata, atau apapun yang
membuat mereka menyukaiku. Beberapa teman dan kaka kelas mengirim surat
menyatakan cinta yang dititipkan kepada teman atau mak comblang yang dapat
dijadikan andalan sebagai media pengantar rindu kepada seseorang. Aku bingung
menanggapinya. Usiaku baru berumur 13 tahun.
Adalah
seseorang bernama Yogi. Senyum nya tak dapat aku lupakan. Ia adalah kakak dari
sahabatku, Mala. Kami pernah bertemu di acara syukuran ulangtahun di rumahnya.
Badannya tinggi atletis, kulitnya bersih, kerlingan matanya indah. Cara ia
bertutur kata pun membuatku kagum. Yogi mengirim surat cintanya yang begitu
romantis. Kata-kata yang ia tulis begitu indah, rasanya aku terbang dibuatnya.
Kalimat-kalimat pada surat pertamanya itu bagaikan hipnotis yang memiliki
kekuatan besar mempengaruhiku. Membuatku menerima cintanya, cinta pertamaku.
Kami
akhirnya menjalin hubungan. Sepulang sekolah aku sering mampir ke rumah Mala,
dengan alasan menyelesaikan Pekerjaan Rumah bersama. Aku dan Yogi bertemu,
walau tak pernah berani berbincang langsung. Jantungku berdegup kencang saat berada
dekat dengannya. Yogi hanya menghampiri kami jika ada pelajaran yang dirasa
sulit dan memerlukan bantuannya. Selebihnya ia hanya duduk di depan TV sambil
sesekali memcuri pandang, memperhatikan. Membuat aku salah tingkah.
Suatu
hari ayahku yang seorang guru mememukan surat di tas sekolahku. Entah kapan
ayah mengambilnya, surat itu sudah tergeletak di meja belajar dalam posisi
terbuka. Saat itu takut bukan kepalang. Dadaku
berdetak kencang tidak karuan, pasti ayah akan memarahiku, fikirku. Ayah ku
yang bijak menasihatiku.
“Teh…
surat ini isinya bagus, menyadarkan ayah bahwa ternyata putri ayah sudah besar,
Sudah menjadi gadis cantik yang menarik hati laki-laki. Surat ini kata-katanya
sangat indah, Ayah bahkan menyukainya”.
Deg,
aku benar-benar kaget mendengar ayah berkata demikian.
“Tapi
teteh tahu tidak? Ayah memiliki cita-cita yang lebih bagus daripada isi surat
itu.”
Nada
bicara ayah menjadi datar. Kepalaku mendongak. Apa yah?
“Ayah
ingin putri pertama kesayangan ayah tetap rajin belajar, lulus dengan prestasi
yang baik, masuk ke SMA terbaik di kota ini. Ayah tak ingin pelajaran putri
ayah terganggu gara-gara sudah pacaran. Usia mu masih terlalu belia nak, untuk
merasakan perasaan seperti itu. Apalagi laki-laki yang menyukaimu usianya lebih
tua daripadamu. Ayah merasa khawatir. Usia mu masih terlalu muda untuk terlihat
jalan berdua di tempat umum”.
Hati
ku saat itu dipenuhi dengan berbagai perasaan yang sebenarnya tak dapat aku terjemahkan. Bagaimana mungkin aku harus
memutuskan cinta pertamaku?. Tak terasa air mataku menetes.
“Ayah
tanya, bisa tidak kalau teteh pacarannya tidak usah sering bertemu?”
Aku
bingung, tak mengerti dengan cara berfikir ayah waktu itu. Eh,
bagaimana bisa ayah?
“Ayah
lihat Yogi pandai berpuisi, bagaimana kalau teteh balas puisi-puisinya dengan puisi
karya teteh sendiri. Ayah akan lebih senang jika teteh jadi penulis puisi. Bisa
kan sayang…?”
Ayah
menatapku penuh harap. Aku mengangguk perlahan. Walaupun sebenarnya aku tak
percaya bisa melakukannya atau tidak. Apa yang harus aku jelaskan kepada Yogi,
bahwa aku tidak bisa selalu menemuinya.
Surat
yang aku terima hari lalu aku balas dengan panjang lebar. Menjelaskan apa yang
telah terjadi. Aku titipkan surat balasan itu kepada Mala. Harap-harap cemas
aku menunggu jawaban. Samapai akhirnya surat balasanpun datang. Yogi menyetujui
permintaanku. Setiap hari selalu ada surat yang dititipkan kepada Mala. Yogi
semakin rajin menghujaniku dengan kata-kata indah dalam puisinya. Sementara
aku, semakin rajin duduk di perpustakaan, untuk membaca buku-buku cerita,
novel, atau kumpulan-kumpulan puisi. Minat menulisku tumbuh begitu saja. Tidak
hanya menulis puisi untuk Yogi, tapi setiap apa yan aku rasakan, aku temukan,
aku lihat, atau sekedar melintas di benak selalu aku tuliskan. Tas sekolah ku
selalu terisi dengan buku diary warna biru muda. Buku kesekian, pemberian
ayahku.
Sejak
saat itu pula aku jadi lebih banyak menghabiskan waktu di ruangan perpustakaan
sekolah kami. Sampai suatu hari aku diminta untuk menjadi petugas perpustakaan
yang mencatat setiap peminjaman dan
pengembalian buku. Puisi-puisi karyaku sering terpampang di majalah dinding
sekolah, dan cerpen ku di muat di buletin sekolah. Bangga rasanya.
Kelas
3 SMP aku mendapat kabar Kak Yogi telah lulus SMA dan melanjutkan kuliah di luar
kota. Cara kami mengirim surat telah berubah. Tidak lagi dititipkan kepada
Mala. Tapi ku kirimkan melalui jasa pos. Hari demi hari aku melewatinya dengan
sangat menyenangkan.
Tiga
bulan aku duduk di bangku SMA, Yogi mengabarkan jika ia telah memiliki kekasih
baru di tempatnya kuliah. Aku tak terlalu sedih, masih ada buku-buku diary,
majalah dinding, dan bulletin sekolah yang
siap menampung cerita-ceritaku, curahan hatiku. Terimakasih ayah.
Jaman
telah berubah, Menginjak bangku kuliah aku masih menekuni hobiku. Menulis
cerita dan puisi. Walau pada kenyataannya hanya aku tulis di buku atau aku
simpan di folder pada leptopku. Sebagiannya lagi aku kirimkan ke majalah
dinding dan bulletin Pramuka di kampusku.
Sekarang
aku benar-benar ingin menekuni hobiku lebih jauh. Semoga aku bisa menjadi
penulis terkenal yang karyanya dinantikan banyak orang. Terimakasih Ayah,
karena telah melarangku berpacaran saat itu.
Diantika
I.E, adalah nama pena dari nama asliku Diantika Irma Ekawati. Akun facebook
kupun menggunakan nama yang sama, Diantika Irma Ekawati. Alamat emailku diantikairma@gmail.com.
Aku memiliki blog tempat ku belajar menulis yaitu Gerimis Rindu Diantika I.E,
dengan alamat diantikairma.blogspot.com. Semoga bisa menjadi pengobat
kerinduanku untuk menjadi penulis. Aamiin.
No comments:
Post a Comment