Search This Blog

Sunday, October 25, 2015

Aku Kau dan Novel



Aku mengenalmu bukan masalah hitungan hari atau bulan. sudah tiga atau empat tahun kita hidup bertetangga. Sejak waktu itu aku pindah tempat kost, untuk pertama kali nya aku mengenalmu sebagai pribadi yang sangat baik. Pertama kalinya juga aku merasakan sebuah kekaguman yang luar biasa. Wajahmu tampan, hidung mu mancung, mata yang indah serta bibir yang selalu melengkungkan senyuman yang ramah. Tutur kata mu yang penuh keakraban membuat aku merasa bahwa kamu memberi sinyal dan mengijinkan aku menyukaimu.

Aku masih sangat ingat, hari itu aku kepayahan membopong tas pakaian, dus yang berisi buku dan diktat perkuliahan, kau dengan penuh semangat membatu, meringankan bebanku. Namun ternyata untuk kemudian aku tahu ternyata kamu memang baik terhadap semua orang. Bahkan setelah beberapa lama aku tinggal di tempat kost itu, akhirnya aku mengerti betapa kamu itu disukai banyak penghuni kostan yang semuanya perempuan. Apalagi tetangga kamarku yang bernama Rosi, telingaku rasanya gatal, terlalu sering mendengar dia menyanjung-nyanjungmu di dekat teman-teman sesama penghuni kostan. Belum lagi Amanda yang pastinya aku tahu ia lebih cantik dariku. Ia sering bercerita jika tugas kuliahnya terselesaikan berkat bantuanmu. Satu lagi, Milah, perempuan asal Tasik yang juga sangat menyukaimu, aku lebih khawatir lagi, ia selalu bilang jika kakeknya adalah dukun pelet. Aku khawatir kamu diguna-guna olehnya.
Ah, tapi aku bisa apa. Aku adalah pendatang baru. Aku bukan apa-apa. Aku juga tidak seperti mereka yang berkuliah di kampus elit bergengsi. Aku hanya anak kuliahan biasa, berasal dari keluarga biasa-biasa. Aku juga tidak terbiasa bersolek, pergi ke salon mempercantik diri seperti Rosi. Aku juga tak pandai memilih pakaian yang tepat dan tak pula selalu berpakaian mengikuti trend setiap waktu, seperti Amanda, dan tak pandai memasak seperti Milah, yang nyatanya dia seperti telah benar-benar siap menjalani kehidupan rumah tangga. Cara bicaranya yang begitu dewasa, serta cara dia mengurusi rumah yang begitu telaten, membuat rasa khawatirku bertambah banyak, ketika ia sempat bilang jika kamu pernah mencicipi makanan yang Milah masak, dan kamu menyukainya.
Kamu si hidung mancung, aku memang tak benar-benar mengelamu sebelumnya. Namun mengapa setiap hari perasaan yang aneh ini terus tumbuh di dadaku. Sejak awal kita bertemu sampai aku hampir lulus kuliah selama itu pula aku mengagumi mu, tanpa bisa aku ungkapkan dengan kata-kata kepadamu. Aku masih menghargai Milah, Rosi dan Amanda. Aku juga cukup tahu diri. Kamu adalah laki-laki keturunan orang berada, seorang eksekutif muda yang terlahir dari kalangan saudagar kaya. Dan lama-kelamaan akhirnya aku tahu bahwa ternyata kamu adalah anak pemilik kostan yang kini aku tinggali. Akhirnya aku tahu jika kamu adalah seorang manager di salahsatu perusahaan distributor ternama.
Semakin aku mengetahui siapa kamu, maka semakin aku merasa betapa jauh perbedaan kita. Aku orang biasa dan kamu orang berada. Semakin merasa tak pantas jika aku masih mengharapkan mu menjadi… kekasihku. Hm… entah sejak kapan aku memiliki harapan terhadapmu. Aku sama sekali tak berani berharap. Tetapi sejak malam itu, kau biarkan sebuah harapan muncul di hatiku.
Malam itu ibu kostan mengundang kami semua ke acara syukuran anaknya yang baru lulus S2. Kami bersama-sama hadir ke rumah ibu kost. Disanalah untuk pertama kalinya aku mengetahui bahwa anak ibu kost yang diwisuda itu adalah kamu. Fahma Dirgantara. Putra kebaggaan ibu kostku. Aku yang saat itu baru duduk di smester dua, merasa lebih mendapatkan tambahan semangat. Aku juga berciata-cita ingin melnjutkan kuliah S2 setelah lulus kuliah S1 nanti.
Selesai acara pengajian dan makan-makan, semua orang yang hadir bergiliran menyalamimu, memberikan ucapan selamat. Untuk pertama kalinya aku bersentuhan langsung dengan mu. Untuk pertama kalinya aku bisa berdiri sedekat itu dengan laki-laki tampan yang selama ini hanya bisa aku pandang dari kejauhan. Saat itu rasanya dunia berhenti berputar. Nafasku berhenti berdetak sejenak. Aku benar-baner menikmati getaran-getaran yang menjalar deras dari ujung kaki ke ujung kepalaku. Hatiku berdebar kencang, wangi parfum mu terasa begitu lembut, rasanya tak pernah hilang dari penciumanku. Senyum ramah mu yang begitu indah selalu terbayang-bayang di mataku. Aku terpaku, sampai Wina menepuk pundak ku mengingatkan untuk segera melagkahkan kaki, antrian undangan macet gara-gara aku berlama-lama di dekat mu. Rasanya saat itu pipiku memerah, wajah ku terasa panas. Aku mati kutu. Sambil berlalu, sepintas terlihat Kamu tertawa kecil karena kelakuanku.
Atas usulan penghuni kostan yang paling lama, seluruh penghuni kostan diwajibkan memberi kado, sebagai hadiah karena keberhasilamu. Aku sempat kebingungan hadiah apa yang harus aku berikan kepadamu. Keuanganku sedang menipis saat itu. Sementara Amanda aku tahu dia menghadiahkan sebuah jam tangan mahal kepadamu. Aku tahu karena ia memintaiku tolong membungkuskan kado itu. Entah karena memang ia tak pandai membungkus kado atau kah memang mau pamer tentang isi kado yang mahal itu kepadaku.
Rosi, entah apa yang ia belikan sebagai hadiah untukmu, yang pasti kado yang ia bawa hari itu sangatlah indah. Bungkusnya rapih, lucu, warna pink dan biru laut. Millah, entah apaisinya, kotak kado nya besar dan sepertinya cukup berat. Sedangkan aku? Aku hanya bisa menghadiahimu sebuah buku. Dengan harga yang jauh dari kata mahal. Aku hanya menyesuaikan dengan isi kantongku saat itu. AKu menghadiahimu sebuah novel best seller karya Tere Liye, berjudul Daun yang Jatuh tak Pernah Membenci Angin . Buku itu tepatnya adalah novel yang benar-benar ingin aku beli untuk menambah koleksi bacaanku. Selama ini aku bersusah payah menyisihkan uang jajan demi untuk membeli novel-novel terbaik sebagai pengobat kejenuhanku. Aku jatahkan setiap bulannya membeli 1 buah novel. Karena uang nya bersaing dengan jatah membeli buku yang berhubungan dengan materi perkuliahan. Nilai mata kuliah ku harus tetap bagus, tapi hobi mambacaku tak boleh terganggu gara-gara aku tak mampu membeli buku atau tak punya ongkos untuk nongkrong di perpustakaan umum. Dan kali itu aku harus merelakan buku impianku menjadi milikmu.
Bungkus kadoku sangat sederhana. Namun aku sangat berharap kamu menyukainya. Walaupun mungkin hadiahku tak seistimewa hadiah yang dipersembahkan oleh orang lain, terutama gadis-gadis pengagummu selain aku.
Sebelum ku bungkus, tak lupa aku tuliskan kalimat ucapan selamat, aku yakin gadis yang lain pun melakukan hal yang sama.
“Assalamualaikum Kak Fahma…
Selamat atas keberhasilanmu menyelesaikan program S2, aku do’akan semoga ilmu yang didapat adalah ilmu yang memberi manfaat untuk kakak dan untuk semunya.
Semoga Novel ini bisa menjadi teman kakak saat kakak merasakan jenuh.
Wassalamualaikum,
Nadia”
 Ucapanku cukup kaku. Jauh dari kata puitis. Mana mungkin kalimat-kalimat itu bisa meninggalkan kesan mendalam di hati mu. Ah… tapi lupakan saja. Aku tak berani berharap apapun saat itu.
**
Satu tahun kemudian. Aku semester 4. Setelah pertemuan di syukuran itu aku tak pernah melihatmu lagi ke rumah kostan. Seiring dengan kesibukan ku dengan kegiatan perkuliahanku, perlahan aku mulai terbiasa hidup tanpa berharap banyak kepadamu. Aku juga mulai bersikap masa bodoh dengan Milah, Amanda, dan Rosi. Aku tak lagi memperhatikan gerak-gerik mereka. Tak seperti dulu aku selalu cari-cari info, suka menguping pembicaraan mereka.
Tanggal 21 Maret tahun 2013. Aku berulangtaun. Sebuah benda dibungkus kertas berwarna coklat, yang tepatnya bungkusan itu adalah amplop coklat besar yang dipakai orang untuk membungkus lamaran pekerjaan. Bungkusan aplop cokelat berbentuk kotak aku terima tepat jam 10 pagi dari tukang pos. Tak ada satupun kado di hari ulangtahunku itu kecuali bungkusan amplop coklat itu yang aku tak tahu entah apa isinya. Aku tak sabar ingin segera mengetahui apa isi bungkusan tersebut.
Aku kaget bukan kepalang. Seraya menahan nafas, rasanya aku ingin berteriak dan jingkrak-jingkrak kegirangan saat membuka isi bingkusan itu. Sebuah nivel karya Asma Nadia, buku impian yang belum sempat aku beli, kini ada di genggamanku. Sebuah amplop kecil berwarna biru bertuliskan “Just for you” ku buka. Secarik kertas yang juga berwarna biru muda bertuliskan beberapa kalimat. Kertas itu beraroma begitu wangi.

“To Nadia
Happy birth day to you Nad…
Semoga Allah selalu memberikan semua yang terbaik untuk mu. Dan semoga Dia yang Maha kuasa selalu menjagamu untuk aku.
Semoga novel ini bisa menjadi teman mu saat kamu merasa jenuh.
(Fahma)”
Sungguh aku tak menyangka jika kiriman itu dari Kamu.
Sayangnya sejak novel itu sampai, aku tak pernah bisa membalas ucapan mu. Kiriman pos itu sampai tanpa alamat lengkap pengirimnya. Hanya bertuliskan nama mu saja.
Sejak saat itu aku mulai sering disiksa rindu. Novel nya sudah aku baca berkai-kali. Sampai aku benar-benat hafal. Namun sejak saat itu aku tak pernah mendapatkan kabar lagi darimu. Pernah suatu ketika aku berniat ingin menyengaja menanyakan kabar kepada ibu kost, namun aku merasa sungkan, rasanya aku malu. Aku lebih memilih untuk menunggu kabar darimu dengan segunung rindu.
**
Dua tahun kemudian, tanggal 21 Maret 2014, sebuah kiriman kado datang kembali dari tukang pos. Kali ini ketebalannya bertambah satu kali lipat. Ku lihat nama pengirimnya, tertulis nama kamu, Fahma Dirgantara, Melbourne, Australia. Untuk pertamakalinya aku mengetahui bahwa kamu tinggal di Australia. Negeri yang hanya bisa aku mimpikan. Kubuka bungkusan itu, ternyata benar saja seperti yang aku duga, bungkusan itu berisi novel lagi. Kali ini dua buah buku, yang satu karya Tere Liye, dan satu nya lagi, Bukan novel. Tapi… sebuah buku harian.
Lembar demi lembar, aku membaca semua yang tertulis di buku harian itu, tak ada yang tidak aku teliti. Kata demi kata, kalimat demi kalimat aku resapi, aku hayati. Mengharukan, semua nya tentang kisah keseharianmu. Hidup di negeri orang tanpa keluarga, bekerja di sebuah perusahaan asing, bertemu dengan kawan lama sesama orang Indonesia, dan tentang kerinduanmu kepada Indonesia, dan kerinduanmu kepada seseorang yang ada di Jakarta. Seseorang yang menghuni rumah kostan ibumu, dan tentang rencana kepulangan mu ke Indonesia.
Mengejutkan, aku bahkan sama sekali tak bisa percaya jika di beberpa halaman buku harian yang kamu tulis, tertulis beberapa nama, yang mirip dengan namaku. Atau mungkinkah itu memang aku? Nadia Assafa. Kali itu aku tak tahu apakah aku harus bahagia atau tidak. Mungkin saja nama itu bukan namaku.
Tiga bulan dari kiriman kado itu, aku tak pernah berhasil memadamkan harapan dalam hatiku. Mungkin aku mulai jatuh cinta betulan kepadamu. Kepadamu yang tak pernah benar-benar menyatakan cinta kepadaku. Aku hanya bisa menerka-nerka. Antara percaya atau tidak. Aku sendiri tak pernah berani berharap berlebihan. Karena aku takut kamu tak memiliki rasa yang sama dengan yang aku punya. Adapun kerinduanmu kepada penghuni kostan ibumu, mungkin saja itu kerinduan mu kepada Amanda yang yang kini semakin mirip supermodel. Mungkin gadis-gadis seperti itu yang kamu temukan juga di Australia sana. Aku jauh dan masih jauh dari kata trendi. Aku masih menjadi orang biasa yang sangat biasa.
Atau mungkin juga kerinduan itu hanya untuk Rosi atau mungkin juga dia, Milah yang pandai memasak. Kamu mungkin merindukan masakannya yang lezat.
Adapun nama Nadia, mungkin saja hanya seseorang yang namanya mirip dengan ku, dan kini menjadi tambatan hatimu di sana.
Novel yang kamu kirim tak sampai tiga hari sudah selesai ku baca. Siapa yang memberikan novelnya lebih bermakna dalam daripada isi cerita di dalamnya. Setiap hari aku berangan –angan ingin bertemu dengan mu. Ingin mendengar langsung dengan telingaku bagaimana sebenarnya perasaanmu kini. Fahma Dirgantara, kapan kita bisa bertemu. Ibu kost pun tak pernah bercerita tentang mu lagi.
**
Sore hari, tanggal 24 juni 2014.
Aku disibukkan dengan setumpuk tugas laporan peraktek kerja lapangan. Setiap hari memang aku hanya focus melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perkuliahan dan UKM yang aku ikuti di kampus. Selebihnya kau hanya berdiam diri di kamar, perpustakaan, atau toko buku. Tanpa jalan-jalan dengan pacar, atau teman-teman satu geng. Mereka memiliki sifat dan kebiasaan yang sama, yaitu membaca buku, komik, atau buku majalah.
Telepon genggamku berbunyi, aku mengangkatnya. Seseorang yang memiliki suara mirip dengan kamu berbicara di sana.
“Halo Nad… Apa kabar?”
“Iya Ha…halooo…, baik… ini siapa?”
“Ini Fahma Nad…”
Deg! Jantungku berdegup sangat kencang. Aku tak bisa mengendalikan rasa bahagia. Bagaimana tidak, setelah tiga tahun kamu menghilang, selama itu pula aku menyimpan harapan, menyimpan kerinduan, kali itu kamu memperdengarkan suaramu, menyapaku lewat telepon dan…
“Nadia, aku baru tiba di Indonesia, Pengen ketemu kamu besok sore, kamu ada waktu gak?”
Oh My God… Apa dia bilang? Diaingin bertemu?
“Bisa… jam berapa? Di mana?”
Jawaban itu meluncur begitu saja dari mulutku. Fahma… Kamu membuat aku melayang-layang di angkasa saat itu.
Sebuah tempat, dan waktu kita sepakati. Tugas laporan aku selesaikan semalaman. Seolah semangat ku bertambah berates kali lipat. Tugas ku selesai lebih cepat dari seharusnya. Otakku mendadak cerdas. Tanganku begitu lancar menuliskan kata-kata di keyboard note book ku.
**
Sore hari, aku menyempatkan berdadan. Kukenakan baju yang terbaik. Bukan baju yang terlalu modis juga, buatku yang penting baju itu terasa nyaman kukenakan.
Aku keluar dari kamar, mengunci kamar, dan siap berangkat. Namun, tepat di depan kamarku, seseorang berdiri, memandangiku dalam-dalam. Ibu kost datang jadwal kunjungan seminggu sekali. Aku dibuat setengah gemetaran oleh cara beliau memndang. Bagaimana tidak, saat itu aku sedang bergegas untuk bertemu dengan anaknya.
Aku benar-benar gugup. Serba salah bingung apa yang harus aku perbuat. Bagaimana caranya aku berpamitan?
“Bu…”
“Iya… hati-hati ya…” senyumnya mengembang di bibir nya nya berlipstik merah maroon. Tangannya menepuk pundak ku. Entah apa artinya itu. Tanpa berkata-kata lagi, aku langsung berpamit pergi, seraya mencium punggung tangannya.
“Terimakasi bu… Assalamualaikum”
Bagai anak kecil yang diizinkan pergi bermain oleh ibunya, aku bergegas pergi dengan hati yang terlampau kegirangan. Aku tak tahu, apakah ibu kost ku tahu atau tidak bahwa sore itu aku akan bertemu dengan anak nya.
**
Di sebuah caffe, yang kita jadikan tempat petemuan untuk pertama kalinya, kamu menyatakan cinta padaku. Kaget, bahagia, gak nyngka, bercampur aduk semua dalam dadaku waktu itu. Aku tak mnyangka secepat itu kamu menyatakan semuanya.  Padahal kita tak pernah berinteraksi secara langsung, tak pernah bicara apapun, kecuali sapaan biasa. Itupun beberpa tahun yang lalu saat pertama kali aku datang menjad penghuni kostan milik ibumu.
Sore itu aku merasa menjadi perempuan terbahagia. Harapan dan mimpiku selama tiga tahun terjawab sudah. Tak perlau waktu lama, aku menjawab “Ya” saat kamu bertanya “Maukah kamu menjadi kekasihku?”.
**
Bebrapa bulan berlalu, kita menjalani semuanya dengan penuh kasihsayang. Caramu mencintaiku begitu sederhana, membuat aku merasa nyaman. Kamu yang begitu dewasa, sangat pengertian untuk sikapku yang apa adanya. Yang gak bisa dandan, yang kadang masih suka bertindak ceroboh, yang kadang malas mandi, dan cerewet juga bawel. Begitu katamu. Tapi aku bahagia, karena kamu selalu mengijinkanku menjadi diriku sendiri. Tak menuntut banyak, kecuali mengajarkan hal yang baik dan mengingatkan aku jika aku berbuat kekeliruan. Buatku kamu adalah laki-laki yang membuat aku merasa punya hidup yang sempurna. Ibumu, yang juga ibu kostan ku, ternyata sudah tau sejak lama jika anak nya menyukaiku. Ia telah bertindak menjadi pengamat gerak gerikku selama tiga tahun. Hm… Malu juga jika difikir-fikir.
Kamu yang semakin sibuk kerja, dan aku yang sibuk menyusun skripsi, tak manjdi masalah yang penting dalam hubungan kita, karena kamu selalu menyempatkan diri untuk memberi kabar atau bertanya kabar, itu lebih dari cukup. Karena seperti kamu bilang, hidup tak melulu untuk mengurusi cerita cinya, tapi harus tetap bekerja, berusaha, dan menjalani keseharian kita, sebagai apa kita, lakukan semua sebaik mungkin. Kamu juga selalu memberikan semangat agar aku lekas menyelesaikan kuliahku.
**
Skripsi ku selesai, aku mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan, sesuai dengan Fakultas yang aku pilih. Kini aku bekrja di sebuah Sekolah Menengah Pertama swasta.
Telepon genggamku berdering di jam istirahat. Nomor mu memanggil. Tak sabar aku ingin segera menyamapmu.
“Haloo….”
“Heiy.. pulang jam berapa Nad…?”
“Jam setengah empat sore”
“Aku jemput ya…”
“Eh tumben… emang gak kerja?”
“Kerja… tapi aku mau ngasiin bacaan buat kamu niiih…, boleh jemput kan ya…?”
Kamu selalu bertanya terlebih dahulu. Katamu takut aku ada acara lain yang tak mau diganggu. Sebegitu pengertiannya kamu.
“Bolehlaah… sekalian….”
“Sekalian apa?”
“Sekalian Aku kangen ma kamu Kak Fahma… hehe”
“Ye… dasar!”
“Lho kok dasaaaar? Dasar kenapa?”
“Enggak… sama kok Nad… aku juga kangen, dah lama gak nyium…”
“Nyium? Emang kapan kamu nyium aku?”
“Nyium bau kamu kalo siang-siang sepulang kerja…”
“Dasar… aku cubit kamu nanti ya…”
“Ya sudah, tutup dulu teleponnya, nanti murid-murid pada liatin tuh… bu gurunya mesem-mesem”
“Iya… yaudahya… Assalamualaikum…”
‘Waalaikumsalam..”
**
Jam 15:30 kamu mengirim pesan BBM, kamu bilang sudah sampai di depan gerbang sekolah menungguku. Aku selalu bahagia jika akan bertemu kamu. Laki-laki baik, terbaik di hatiku.
Kamu tersenyum manis, dua buah novel karya Tere Liye tergeletak di jok mobil mu. Kamu mengangguk, mempersilahkan aku duduk.
Novel itu Berjudul Moga bunda disayang Allah  dan Burlian akan segera aku santap habis, sebagai nutrisi otakku.
“Terimakasih sayang…”
“Sama-sama sayang… semoga novel ini menjadi teman mu saat kamu merasa jenuh ya…”
Kalimat itu…
Dan kita tertawa bersama…
***

Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment