Search This Blog

Saturday, October 31, 2015

CLBK



Namaku Yandi Pramana. Usia hampir kepala empat. Aku lelaki normal, aku beristri, dengan dua orang anak. Putra dan putri. Aku bersyukur, mereka tumbuh dengan sehat, dengan limpahan kasih sayang dari kami orangtuanya.
Istriku lumayan cantik, boleh dibilang jauh lebih cantik hatinya, ia selalu setia mendampingiku, menerima kekuranganku, kebengalanku, kekonyolanku, dan apa saja sikap ku yang kadang aku sendiri sadar, aku kurang ajar. Ia bisa dibilang cukup telaten mengurusi kedua buah hati kami. Ia selalu sabar dengan keadaaan
keluarga kami yang hidup dalam kesederhanaan.

Aku tidak terlahir dari keluarga yang kaya raya. Ayahku seorang guru sekolah dasar, aku dibesarkan bukan dengan harta, tapi dengan pendidikan dari ayah ibu yang luar biasa. Walaupun hasilnya aku yakin tak semua sesuai dengan apa yang ayah dan ibuku cita-citakan. Aku sadar, sikapku, tak semulia mereka. Maafkan aku Bu, Pak…
Membahas tentang kehidupan keluarga yang tak selamanya mulus, tak selamanya bahagia penuh tawa, ada kalanya aku jenuh dengan semua yang aku jalani. Bukan aku bosan dengan orang-orang yang ada di sekitarku, namun aku bosan dengan keadaan. Rutinitas yang itu-itu saja, tugas pekerjaan yang selalu mengejar, meminta penyelesaiaian, sementara kepalaku hanya satu, dengan otak yang mempunyai batas lelah. Dan hey, jika kamu tahu aku, aku adalah pria berkepala botak, namun aku yakin aku tetap gagah dan seksi. Itu aku tahu, setiap aku bercermin aku masih melihat sisi kegantengan ku beberapa tahun silam, saat aku masih berusia belasan tahun. Lantas bangaimana masalah botak ku? Biarkan itu jadi penanda jika aku adalah pria yang banyak berfikir, bekerja, dan mencurahkan semua isi kepala demi loyalitasku dan pekerjaanku. Jangan protes, anggap saja itu pembelaan atas diriku.
Seperti biasa pagi ini akupun bercermin, berkaca siap-siap berangakat ke tempat kerja. Satu-satunya yang tak bisa aku hilangkan dari darah bapak adalah naluri pendidik. Aku sekarang tercatat sebagai guru di salah satu Sekolah Menengah Pertama. Sebagai guru. Ah… kalian tak usah mau tahu aku mengajar mata pelajaran apa. Karena sesungguhnya hampir tak jelas, sebenarnya aku ini guru atau pekerja apa. Rasa-rasanya terlalu banyak tugas yang dibebankan kepadaku melebihi sekedar tugas seorang guru.
Terlalu lama berdiri di depan cermin, sampai-sampai aku melupakan omelan istri agar aku segera menyantap sarapan yang telah ia sediakan di meja makan. Nasi goreng yang lezat, dengan irisan kacang panjang, kol, dan sedikit ayam suwir, lezat sekali. Aku tak pernah menyisakan santapan nasi goreng yang disajikan istriku sedikitpun. Selain telaten mengurus rumah dan anak-anak, ia juga pandai memasak. Namun satu yang selama ini aku sesali, tapi ah sudahlah, aku tak mau membahasnya dan tak mau membicarakan nya kepada kalian.
Istriku semakin bersungut-sungut ketika omelannya kali ketiga belum juga aku gubris. Mulutnya monyong, manyun ke depan, menyebalkan sekali. Ingin rasanya aku maki, tapi sudahlah, hari kian siang, aku segera bergegas, lagipula nasi goreng di piring siap ku santap. Terimakasih istriku yang jelek saat cemberut.
Tak perlu waktu lama, sepiring penuh nasi goreng lezat telah berpindah semua ke perutku yang semakin maju. Bukan buncit, tapi aku hanya sekedar kurang olahraga saja mungkin. Akibat terlalu sibuk dengan tugas dan pekerjaan maka aku kehilangan waktu untuk berolahraga, atau sekedar jogging. Selain itu akhir-akhir ini pola tidurku semakin kacau. Aku begadang, makan malam, bangun siang. Ah… biarkan tubuh ini, lupakan soal sixspek yang selalu aku cita-citakan. Biarkan aku menjadi  Yandi yang sekarang. Seksi, pelontos, botak dikit, berjambang. Anggap saja aku Jason Statham persi gemuk. Jangan protes!
Aku pamit sambil lalu. Istriku masih sibuk membenahi dapur saat aku berangkat kerja. Hampir tiap pagi seperti itu. Pasahal sebelumnya aku memimpikan kehidupan yang ideal. Aku berangkat kerja, istriku mencium tanganku, dan aku mencium keningnya. Lalu ia mengantar dan menungguiku di depan pintu sampai punggungku tak terlihat oleh matanya lagi. Akan terasa sangat indah jika kehidupan kuseperti itu. Tapi ternyata urusan anak-anak, urusan dapur, urusan cucian kini sepertinya jauh lebih penting daripada keberangkatanku mencari nafkah. Padahal nafkah yang aku perjuangkan itu untuk siapa coba? Bukankah sebaiknya dia itu bermanis-manis mendo’akan ku, menyemangatiku, dan memanjakanku dengan kalimat-kalimat indah yang bisa menghipnotisku menjadi memiliki semangat 45?
Sepeda motorku ku hidupkan. Aku panaskan mesinnya sejenak sambil aku memakai kaus kaki dan sepatu. Lalu aku berangkat ke sekolah tempatku mengabdi, menempuh jarak 15 menit saja.
Di pintu gerbang sekolah, senyum sapa dan salam dari murid-murid ku menyambut hangat. Menghangatkan katiku yang dingin dari semalaman. Diacuhkan istri saat aku memintanya mendengarkan cerita tentang keluh kesahku. Bagiku sekolah adalah tempat kedua, rumah pengganti, yang membuat aku merasa punya hidup lebih lama, di sekolah aku bisa tertawa, bersama rekan kerja, bersama siswa-siswa yang menganggap aku bapak, teman, kaka, atau siapapun. Terlepas dari rentetan tugas dan permasalahan-permasalahan yang aku hadapi di tempat kerja ini, tak dapat aku pungkiri aku cukup bersyukur dengan pekerjaanku saat ini.
Kalian tahu, sebetulnya ada hal yang lebih membuatku bersikeras berada di sekolah setiap hari. Kamu tahu itu apa? Jawabnnya adalah KENANGAN. Iya, kenangan indah yang pernah aku alami. Kenangan itu muncul kembali hadir di kepalaku yang tadi aku bilang botak ini. Beberapa minggu lalu, saat aku merasa penat dengan pekerjaan yang sedang aku kerjakan hingga larut malam, iseng aku membuka halaman Facebook. Media social itu cukup mengobati kepenatanku selama ini. Aku bisa bertemu sapa dengan kawan lama, kawan baru, dan entah siapa lagi, banyak sekali. Kawan yang tidak kenal sama sekali sebelumnya bisa mendadak menjadi teman bercanda tawa. Seseorang mengajukan permintaan pertemanan. Namanya Bunda Yanti. Aku penasaran. Nama itu mengingatkan ku kepada seseorang di masa lalu. Seseorang yang sempat membuatku merasakan gejolak yang tak dapat aku definisikan bagaimana rasanya. Warna –warni, rupa-rupa, babibu, ah… entah bagaimana. Yang aku tahu, jika memang benar seperti itu rasanya, maka mungkin aku berani menyimpulkan, itu kali pertamanya aku jatuh cinta.
Aku terima pertemanannya, dan ternyata benar saja dia. Dia gadisku. Yang sekarang tentu saja sudah bukan gadis lagi. Aku mengintip setiap poto profilnya, tidak ada poto suaminya, namun jelas, ia telah memilikii dua orang anak. Anak-anak yang manis semanis paras ibunya.
Yanti, Nama pendek dari Irayanti Fatma Nurjannah. Ia adalah perempuan pertama yang berhasil mengobok-obok perasannku. Perempuan pertama yang berhasil membuat aku tidak bisa tidur bermalam-malam, manusia pertama yang membuat aku tak merasakan nikmat makan berhari-hari. Yang menjadikanku manusia setengah gila, memendam berjuta rasa. Ia yang membuat aku linglung tak tahu harus berbuat apa. Mengapa demikian? Ini ceritaku kawan.
Semasa usia ramaja aku bukanlah seorang anak laki-laki ABG yang pandai mengobral janji. Pandai mengobral kalimat-kalimat cinta kepada banyak perempuan. Ayahku mengajariku untuk selalu focus belajar. Kalimat petuah berkekuatan dahsyat dari ayahku adalah : “Diajar sing bener, ulah waka bobogohan, lalaki mah kudu hebat, kudu sukses, ulah kagoda ku awewe mun tacan cukup umur”. Artinya aku harus terus berlari mengukir prestasi terus belajar dengan sungguh-sungguh agar aku menjadi laki-laki yang sukses.
Namun umur tetaplah umur, aku bilang sekali lagi jika aku adalah laki-laki normal. Aku juga merasakan getaran aneh saat aku memandang wajah Yanti yang selalu dihiasai senyuman. Ia adalah gadis mungil berambut ikal, kulitnya berwarna sawo matang, senyumnya manis, bahasanya ramah, bajunya selalu rapih, dan wangi. Walaupun ia tidak seglowwing teman-temanku yang menjadi selebriti sekolah, untuk ku ia adalah gadis sederhana yang begitu cantik. Hey, bukankah wanita yang cantik sungguhan adalah ia yang tetap cantik dalam kesederhanaannya? Tanpa polesan tanpa berdandan. Ya, itulah dia, Yanti ku. Dia tidak berdandan berlebihan, hanya merapihkan rambutnya, menjaga kerapihan pakaiannya, dan menghiasi wajahnya dengan senyum manisnya. Itu saja sudah membuatku gila. 
Jika kalian pernah melihat sinetron dengan adegan seseorang yang jatuh cinta lantas ia tergila-gila dengan orang yang ia cintai sampai wajahnya terlukis di langit-langit, di buku tulis, di papan tulis, di tembok, di kursi makan, di langit bersaing dengan kerlipan bintang, tersenyum dengan lengkung senyum yang mengalahkan indahnya lengkung bulan sabit. Itu sungguh aku alami. Katika aku bangun dini hari untuk mengerjakan tugas pekerjaan rumah, wajah Yanti tersenyum di halaman buku paketku yang tebal. Ia menari di halaman buku tulisku yang kosong. Pekerjaan rumah ku terpaksa aku selesaikan di sekolah mencontek kepada teman sebangku.
Kenal dengan Yanti kalian jangan bertanya mulai kapan. Karena ia adalah teman sekelas ku di bangku SMA. Ia selalu ramah, senyum menggoda, seolah memberikan lampu hijau agar aku terus jatuh cinta dan membiarkan perasaan itu tumbuh begitu suburnya. Akarnya semakin kokoh di hatiku. Sulit aku hilangkan. Belum lagi sejak aku merasakan suka kepadanya selalu saja ada kesempatan untuk aku berada dekat dengannya.
Hari itu aku ingat, hari sabtu. Bel pulang berbunyi. Seperti anak ayam yang dikekang main, Semua siswa berlomba berhamburan ke luar kelas bergegas pulang. Dengan macam-macam rencana di kepala masing-masing.  Mengatur janji malam mingguan, jalan-jalan dengan keluarga, menginap di rumah teman, atau sekadar rencana akan tidur secepatnya dan bangun sesiang mungkin karena besok hari libur.
Di depan pintu kelas Yanti mendelik, dengan matanya yang indah. Menungguku terpaku di sana. Aku menghampirinya dengan jantung berdetak kencang. Yanti mengajakku duduk sebentar di bangku taman. Menonton siswa yang latihan karate. Ia menceritakan banyak hal, tanpa aku minta. Ceritanya menarik membuat aku tambah penasaran ingin mendengarnya lagi dan lagi. Saat itu aku lebih memilih diam mendengarkan gadis ku berbicara. Aku perhatikan setiap gerak bibirnya, raut wajahnya, gelak tawanya. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa aku memperhatikannya lamat-lamat. Alis nya mengernyit, seolah bertanya, “Kenapa kamu memperhatikanku terus?”
Hari sudah sore, latihan karate telah bubar, kami pulang. Rasanya aku bahagia sekali bisa berjalan beriringan dengan dia. Selama perjalanan pulang aku nikmati detik demi detik. Takan pernah berani aku melewatinya tanpa ku catat dalam-dalam di hati dan fikiranku. Yanti calon pacarku. Pacar pertamaku. Itu aku tanamkan dalam-dalam di hatiku. Walaupun aku tak tahu bagaimana caranya menyatakan perasaaku saat itu kepadanya. Kalian tentu tahu apa sebabnya, yaitu karena aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya.
Arah pulang kami terpisah di persimpangan jalan. Ia memberikan nomor telepon rumah. Saat itu belum banyak yang menggunakan telepon genggam. Aku menuliskan nomor rumahnya di telapak tangan ku dengan spidol. Kalian tahu? Tulisan itu aku jaga sampai bertahan satu minggu. Aku tak menyangka jika aku segila itu. Tak bisa aku bayangkan bagaimana cara aku mandi dulu saat aku duduk di bangku SMA.
Malam hari, saat kerinduan membuncah, dan wajah Yanti kembali tersenyum manis di langit-langit kamar, aku memutuskan untuk menelpon nya. Nomornya telah hilang di telapak tangan namun telah aku hafal di luar kepala. Aku pamit pada ibu, dengan maksud menelpon dari wartel yang ada di ujung jalan.  Aku ogah jika menelpon di rumah. Bapak dan ibu sudah pasti menguping dan mengomeliku. Aku bergegas berangkat dengan langkah kaki secepat mungkin. Lalu, setelah aku tiba di pintu wartel, rasanya dadaku penuh sesak dengan entah apa penyebabnya. Aku hampir saja mengurungkan niat untuk menelponnya. Tapi aku berusaha memberanikan diri. Di tanganku tergenggam kuat kertas konsepan pembicaraan yang aku rancang tadi siang bersama teman dekatku Hani di sekolah. Ia pula yang memberiku saran agar aku mengungkapkan semua isi hatiku. Intinya agar aku merasa lega tidak terus tersiksa dengan perasaan yang selama ini menyiksaku. Hani memang selalu mengerti akan aku. Teman ku yang satu itu adalah teman yang paling tahu kebodohanku tentang masalah cinta, dan ia pula yang tadi siang mentertawakanku habis-habisan karena aku dengan polosnya bertanya “Kalau aku sudah nembak dia lalu aku sama dia ngapain?” dengan tetap terbahak Hani menjawab, “Ya kalian jadian lahhh… pacaran kayak orang lain. Setidak nya kamu dekat dengan Yanti punya status, bukan Cuma degdegan nya doank…” Begitu Hani bilang.
Aku mulai menekan nomeor telepon rumah Yanti dengan tangan bergelepar. Kertas konsepan aku letakkan di dekat pesawat telepon. Kalimatnya terbaca jelas. Nada tunggu berbunyi, “Tuuuuuut, Tuuuut,” dan telpon diangkat oleh suara lembut seseorang. Yang tentunya aku sudah tahu siapa di sebrang sana. Yanti mengangkat telponku. Dadaku semakin sesak. Rasanya aku tak kuasa bergerak, untuk sekedar menelan ludah pun rasanya itu susah sekali.
“Hallo…” Yanti menyapa
Lalu
“Iya halo Yanti ini aku Yandi…”
“Oh… Apa Yan…?” Suaranya begitu empuk rasanya ingin aku…. Ah…
“Yanti sudah mengerjakan PR?” Kalimat itu yang keluar dari mulutku. Seperti anak Sekolah Dasar yang bertanya tugas pekerjaan rumah kepada kawan sebaya nya.
“Sudah… Yandi udah belum? Kenapa menelpon? Ada yang Yandi gak ngerti? Atau apa?”
“Gak kok.. aku hanya mau bilang…” Secepat kilat mataku membaca konsepan di atas kertas “Neng, aku suka sama kamu, dan mungkin aku jatuh cinta sama neng, jujur setiap hari aku tak bisa lupain kamu, dan kali ini aku beranikan diri untuk ungkapin semuanya. Aku tak peduli apa jawabanmu, yang pasti aku hanya ingin kamu tahu. Gak usah dijawab sekarang ya… dipikirkan dulu aja”
Refleks tanganku menutup telepon tanpa menghiraukan perasaan orang yang sedang aku ajak bicara di sebrang sana. Tanpa sadar aku juga telah menutup kemungkinan ia menjawab kalimatku malam itu juga. 
Nafasku masih tersenggal-senggal saat aku melangkahkan kaki keluar dari wartel. Bukan malah tenang hatiku. Labih-lebih bebanku bertambah banyak rasanya,  malam itu aku tak bisa tidur dengan nyenyak memikirkan hari esok. Bagaimana aku sembunyikan malu jika aku bertemu dengan Yanti, Nengku yang cantik.
Sungguh malam itu berjalan merangkak. Terasa menjadi malam terpanjang. Mataku tak jua terpejam. Sanpai akhirnya aku bangun kesiangan karena tidur terlalu larut. Ibuku mengomel tak henti-hentinya gara-gara aku solat subuh kesiangan.
Aku tak betah berada lama-lama di rumah, ibuku tak berhenti mengomel. Sarapan yang ibuku siapkan aku abaikan. Aku berangkat sesegera mungkin. Sesampainya di sekolah, aku memilih untuk langsung ke kantin. Untuk mengisi perutku dengan uang jajan yang aku punya. Oiya, selama sekolah aku sudah belajar berwira usaha, berjualan alat tulis. Aku jarang sekali menyusahkan orangtuaku hanya karena masalah uang jajan. Bahkan aku bisa membayar iuran SPP ku beberapa kali dari hasil jualanku.
Aku duduk di pojokan kantin. Mengawasi jalan di depan kantin. Pojokan kantin adalah posisi strategis untuk mengawasi siapa saja yang datang ke kantin itu. Yanti datang hendak membeli beberapa jajanan sarapan. Aku salah tingkah dibuatnya. Yanti duduk, lalu aku bangkit, membayar apa yang telah aku makan. Melihatku berlalu demikian, Yanti menyusulku. Langkah kakiku semakin cepat, begitupun Yanti, menguntit dari belakang. Mengejarku. Lalu di gang dekat majalah dinding, ia menahan langkahku. Tangannya mencengkram pergelangan tanganku.
“Yandi! Ada apa? Kenapa?”
“Gak apa neng…” nadaku datar.
“Mana mungkin tak ada apa-apa ketika kamu lihat Neng kamu malah menghindar. Apa…? Kenapa…? Soal semalem?”
“Itu kamu tahu…” kalimat itu keluar begutu saja. Menambah mimik bodoh ku di hadapan Yanti.
‘’Ayo ikut aku” Yanti menarik tangan ku dan mengajakku duduk di depan kelas menunggu bel masuk berbunyi. Beberapa orang yang lewat di depan kami berdehem menyindir dan tersenyum. Berbagai eksperesi yang mereka tunjukkan kepada kami.
“Yandi dengarkan Neng ya… Neng juga sebenarnya suka sama kamu, tapi bagaimana….?” Kalimatnya terpotong, Nampak kebingungan yang luar biasa di wajahnya.
Antara bahagia dan bimbang. Yanti mengakui jika dia pun menyukaiku. Tai kenapa di akhir kalimat nya ia sisipkan kata tapi?
“Kenapa Neng? Mantan Neng ngajakin balik?” Aku ingat beberapa waktu lalu ia sempat bercerita jika ia ditinggalkan sama pacrnya. Dan saran yang aku sampaikan kepadanya adalah “Tinggalkan!”
“Gak juga… tapi Neng gak tahu, Neng kan belum putus. Kalau dia ngajakin balik gimana?”
Aku bingung menghadapi mahluk Tuhan yang satu ini. Tempo lalu ia bilang ia sakit hati dengan perlakuan pacarnya. Sekarang jelas-jelas aku sudah berniat membahagiakan dan menjaga perasaanya malah bilang jika ia masih bimbang dengan pacarnya. Ahh… perempuan memang aneh!
“Terus Neng maunya gimana?” Aku pasrah.
“Ya kita jalani aja ya… itupun kalau kamu mau” Nadanya datar.
Ya tentu saja aku mau. Dia adalah perempuan pertama di hatiku. Aku tak peduli resiko apa yang akan aku dapat nanti di depan.
Bulan berlalu. Hubungan ku dan Yanti berjalan cukup baik. Sampai saat yang menyakitkan itu terjadi. Siang hari, lagi-lagi hari sabtu, jam pelajaran terakhir guru mata pelajaran IPS berhalangan hadir. Seisi kelas riuh, gaduh. Masing-masing memiliki kawan tempat bercerita. Aku sendiri hanya diam, mencatat apa yang sedang dicatat Marwah di papan tulis sebagai tugas dari guru IPS. Kali itu hanya beberapa orang yang memperdulikan. Selebihnya tertawa terbahak-bahak bercanda, dan apalah apalah.
Yanti duduk sendiri tampak gelisah. Sesuatu terjatuh dari tasnya. Kemudian aku tahu jika itu sepucuk surat. Hatiku sudah tak enak sejak tadi pagi, dari tadi pagi Yanti menunjukkan gelagat aneh. Aku tidak merasa mengiriminya surat. Hatiku langsung berkesimpulan bahwa itu surat dari mantannya. Seisi kelas sudah tahu jika aku punya hubungan special dengan Yanti, aku sudah bisa membayangkan reaksi kawan-kawan sekelas jika semua orang tahu jika surat itu dari pacar yanti yang dulu. Seseorang mengambil surat itu, dan dengan jailnya ia membacakannya dengan lantang di depan kelas. Aku tak mau menghiraukan. Aku bergegas keluar, menuju… WC.
**
Sejak kejadian itu aku lebih memilih diam. Yanti pun tak banyak menyapa dan menegurku. Ia lebih banyak menghindar. Hanya Hani yang aku rasa mengerti perasaanku saat itu. Hani memberiku nasihat, agar aku menyudahi hubunganku dengan Yanti yang tampak hanya memanfaatkanku saja. Nasihatnya itu aku lakukan. Dan aku bersumpah tak akan pernah menyukai perempuan manapun, tak akan membuka hati untuk siapapun setelah putus dengannya. Entah itu sumpah apa, tapi benar, yang aku rasakan, jangankan membuka hati kepada yang lain, melupkan kenangan indah yang pernah dilalui bersamanya pun begitu sulit. Sampai aku akhirnya bertemu dengan perempuan lain yang kini menjadi istriku.
**
Tahun berlalu, aku berhasil melupakan Yanti. Namun Facebook itu menguak kembali harapan-harapan yang tentunya harus segera aku hapuskan. Antara bahagia dan bimbang kini aku rasakan. Yanti tetap cantik menawan hati. Dan entah kenapa kini aku berharap ingin menemuinya lagi, berharap ada cerita yang berbeda, kisah yang berbeda. Rasanya aku ingin memulai lagi lembaran baru di dunia lain, yang tak ada seorangpun yang kami kenal, hidup berdua memulai kisah baru, keluarga baru, memiliki anak, dan… eh???
**
Seorang murid perempuan menghampiri, menyadarkanku dari lamunan panjang. Bel masuk telah berbunyi. Aku harus segera melangkahkan kaki ke kelas, menjadi guru, menjadi saksi berseminya cinta-cinta monyet di setiap kelas yang aku masuki. Di kantin sekolah, di gang-gang kelas, di perpustakaan, di pintu gerbang, dan di manapun kakiku melangkah, selama itu masih di lingkungan sekolah, kenangan itu akan selalu terbanyan, tertanam kokoh. Tentangmu, Neng ku.
Aku sudahi ceritanya. Kalian yang baca, jangan bilang-bilang ya… Ini kisahku. Sebuah Rahasia.






Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment