Namaku Yandi Pramana. Usia hampir kepala empat. Aku lelaki
normal, aku beristri, dengan dua orang anak. Putra dan putri. Aku bersyukur,
mereka tumbuh dengan sehat, dengan limpahan kasih sayang dari kami orangtuanya.
Istriku lumayan cantik, boleh dibilang jauh lebih cantik
hatinya, ia selalu setia mendampingiku, menerima kekuranganku, kebengalanku,
kekonyolanku, dan apa saja sikap ku yang kadang aku sendiri sadar, aku kurang
ajar. Ia bisa dibilang cukup telaten mengurusi kedua buah hati kami. Ia selalu
sabar dengan keadaaan
keluarga kami yang hidup dalam kesederhanaan.
keluarga kami yang hidup dalam kesederhanaan.
Aku tidak terlahir dari keluarga yang kaya raya. Ayahku
seorang guru sekolah dasar, aku dibesarkan bukan dengan harta, tapi dengan
pendidikan dari ayah ibu yang luar biasa. Walaupun hasilnya aku yakin tak semua
sesuai dengan apa yang ayah dan ibuku cita-citakan. Aku sadar, sikapku, tak
semulia mereka. Maafkan aku Bu, Pak…
Membahas tentang kehidupan keluarga yang tak selamanya mulus,
tak selamanya bahagia penuh tawa, ada kalanya aku jenuh dengan semua yang aku
jalani. Bukan aku bosan dengan orang-orang yang ada di sekitarku, namun aku
bosan dengan keadaan. Rutinitas yang itu-itu saja, tugas pekerjaan yang selalu
mengejar, meminta penyelesaiaian, sementara kepalaku hanya satu, dengan otak
yang mempunyai batas lelah. Dan hey,
jika kamu tahu aku, aku adalah pria berkepala botak, namun aku yakin aku tetap
gagah dan seksi. Itu aku tahu, setiap aku bercermin aku masih melihat sisi
kegantengan ku beberapa tahun silam, saat aku masih berusia belasan tahun.
Lantas bangaimana masalah botak ku? Biarkan itu jadi penanda jika aku adalah
pria yang banyak berfikir, bekerja, dan mencurahkan semua isi kepala demi
loyalitasku dan pekerjaanku. Jangan protes, anggap saja itu pembelaan atas
diriku.
Seperti biasa pagi ini akupun bercermin, berkaca siap-siap
berangakat ke tempat kerja. Satu-satunya yang tak bisa aku hilangkan dari darah
bapak adalah naluri pendidik. Aku sekarang tercatat sebagai guru di salah satu
Sekolah Menengah Pertama. Sebagai guru. Ah… kalian tak usah mau tahu aku
mengajar mata pelajaran apa. Karena sesungguhnya hampir tak jelas, sebenarnya aku ini guru
atau pekerja apa. Rasa-rasanya terlalu banyak tugas yang dibebankan kepadaku
melebihi sekedar tugas seorang guru.
Terlalu lama berdiri di depan cermin, sampai-sampai aku
melupakan omelan istri agar aku segera menyantap sarapan yang telah ia sediakan
di meja makan. Nasi goreng yang lezat, dengan irisan kacang panjang, kol, dan
sedikit ayam suwir, lezat sekali. Aku tak pernah menyisakan santapan nasi
goreng yang disajikan istriku sedikitpun. Selain telaten mengurus rumah dan
anak-anak, ia juga pandai memasak. Namun satu yang selama ini aku sesali, tapi
ah sudahlah, aku tak mau membahasnya dan tak mau membicarakan nya kepada kalian.
Istriku semakin bersungut-sungut ketika omelannya kali ketiga
belum juga aku gubris. Mulutnya monyong, manyun ke depan, menyebalkan sekali. Ingin
rasanya aku maki, tapi sudahlah, hari kian siang, aku segera bergegas, lagipula
nasi goreng di piring siap ku santap. Terimakasih istriku yang jelek saat
cemberut.
Tak perlu waktu lama, sepiring penuh nasi goreng lezat telah
berpindah semua ke perutku yang semakin maju. Bukan buncit, tapi aku hanya
sekedar kurang olahraga saja mungkin. Akibat terlalu sibuk dengan tugas dan
pekerjaan maka aku kehilangan waktu untuk berolahraga, atau sekedar jogging. Selain
itu akhir-akhir ini pola tidurku semakin kacau. Aku begadang, makan malam,
bangun siang. Ah… biarkan tubuh ini, lupakan soal sixspek yang selalu aku
cita-citakan. Biarkan aku menjadi Yandi yang
sekarang. Seksi, pelontos, botak dikit, berjambang. Anggap saja aku Jason
Statham persi gemuk. Jangan protes!
Aku pamit sambil lalu. Istriku masih sibuk membenahi dapur
saat aku berangkat kerja. Hampir tiap pagi seperti itu. Pasahal sebelumnya aku
memimpikan kehidupan yang ideal. Aku berangkat kerja, istriku mencium tanganku,
dan aku mencium keningnya. Lalu ia mengantar dan menungguiku di depan pintu
sampai punggungku tak terlihat oleh matanya lagi. Akan terasa sangat indah jika kehidupan
kuseperti itu. Tapi ternyata urusan anak-anak, urusan dapur, urusan cucian kini
sepertinya jauh lebih penting daripada keberangkatanku mencari nafkah. Padahal
nafkah yang aku perjuangkan itu untuk siapa coba? Bukankah sebaiknya dia itu
bermanis-manis mendo’akan ku, menyemangatiku, dan memanjakanku dengan
kalimat-kalimat indah yang bisa menghipnotisku menjadi memiliki semangat 45?
Sepeda motorku ku hidupkan. Aku panaskan mesinnya sejenak
sambil aku memakai kaus kaki dan sepatu. Lalu aku berangkat ke sekolah tempatku
mengabdi, menempuh jarak 15 menit saja.
Di pintu gerbang sekolah, senyum sapa dan salam dari murid-murid
ku menyambut hangat. Menghangatkan katiku yang dingin dari semalaman. Diacuhkan
istri saat aku memintanya mendengarkan cerita tentang keluh kesahku. Bagiku
sekolah adalah tempat kedua, rumah pengganti, yang membuat aku merasa punya
hidup lebih lama, di sekolah aku bisa tertawa, bersama rekan kerja, bersama
siswa-siswa yang menganggap aku bapak, teman, kaka, atau siapapun. Terlepas
dari rentetan tugas dan permasalahan-permasalahan yang aku hadapi di tempat
kerja ini, tak dapat aku pungkiri aku cukup bersyukur dengan pekerjaanku saat
ini.
Kalian tahu, sebetulnya ada hal yang lebih membuatku
bersikeras berada di sekolah setiap hari. Kamu tahu itu apa? Jawabnnya adalah
KENANGAN. Iya, kenangan indah yang pernah aku alami. Kenangan itu muncul kembali
hadir di kepalaku yang tadi aku bilang botak ini. Beberapa minggu lalu, saat
aku merasa penat dengan pekerjaan yang sedang aku kerjakan hingga larut malam,
iseng aku membuka halaman Facebook. Media social itu cukup mengobati
kepenatanku selama ini. Aku bisa bertemu sapa dengan kawan lama, kawan baru,
dan entah siapa lagi, banyak sekali. Kawan yang tidak kenal sama sekali
sebelumnya bisa mendadak menjadi teman bercanda tawa. Seseorang mengajukan
permintaan pertemanan. Namanya Bunda Yanti. Aku penasaran. Nama itu
mengingatkan ku kepada seseorang di masa lalu. Seseorang yang sempat membuatku
merasakan gejolak yang tak dapat aku definisikan bagaimana rasanya. Warna –warni,
rupa-rupa, babibu, ah… entah bagaimana. Yang aku tahu, jika memang benar
seperti itu rasanya, maka mungkin aku berani menyimpulkan, itu kali pertamanya
aku jatuh cinta.
Aku terima pertemanannya, dan ternyata benar saja dia. Dia
gadisku. Yang sekarang tentu saja sudah bukan gadis lagi. Aku mengintip setiap
poto profilnya, tidak ada poto suaminya, namun jelas, ia telah memilikii dua
orang anak. Anak-anak yang manis semanis paras ibunya.
Yanti, Nama pendek dari Irayanti Fatma Nurjannah. Ia adalah
perempuan pertama yang berhasil mengobok-obok perasannku. Perempuan pertama
yang berhasil membuat aku tidak bisa tidur bermalam-malam, manusia pertama yang
membuat aku tak merasakan nikmat makan berhari-hari. Yang menjadikanku manusia
setengah gila, memendam berjuta rasa. Ia yang membuat aku linglung tak tahu
harus berbuat apa. Mengapa demikian? Ini ceritaku kawan.
Semasa usia ramaja aku bukanlah seorang anak laki-laki ABG
yang pandai mengobral janji. Pandai mengobral kalimat-kalimat cinta kepada
banyak perempuan. Ayahku mengajariku untuk selalu focus belajar. Kalimat petuah
berkekuatan dahsyat dari ayahku adalah : “Diajar
sing bener, ulah waka bobogohan, lalaki mah kudu hebat, kudu sukses, ulah
kagoda ku awewe mun tacan cukup umur”. Artinya aku harus terus berlari
mengukir prestasi terus belajar dengan sungguh-sungguh agar aku menjadi
laki-laki yang sukses.
Namun umur tetaplah umur, aku bilang sekali lagi jika aku
adalah laki-laki normal. Aku juga merasakan getaran aneh saat aku memandang
wajah Yanti yang selalu dihiasai senyuman. Ia adalah gadis mungil berambut
ikal, kulitnya berwarna sawo matang, senyumnya manis, bahasanya ramah, bajunya
selalu rapih, dan wangi. Walaupun ia tidak seglowwing
teman-temanku yang menjadi selebriti sekolah, untuk ku ia adalah gadis
sederhana yang begitu cantik. Hey,
bukankah wanita yang cantik sungguhan adalah ia yang tetap cantik dalam
kesederhanaannya? Tanpa polesan tanpa berdandan. Ya, itulah dia, Yanti ku. Dia
tidak berdandan berlebihan, hanya merapihkan rambutnya, menjaga kerapihan
pakaiannya, dan menghiasi wajahnya dengan senyum manisnya. Itu saja sudah
membuatku gila.
Jika kalian pernah melihat sinetron dengan adegan seseorang yang jatuh cinta lantas ia tergila-gila dengan orang yang ia cintai sampai wajahnya terlukis di langit-langit, di buku tulis, di papan tulis, di tembok, di kursi makan, di langit bersaing dengan kerlipan bintang, tersenyum dengan lengkung senyum yang mengalahkan indahnya lengkung bulan sabit. Itu sungguh aku alami. Katika aku bangun dini hari untuk mengerjakan tugas pekerjaan rumah, wajah Yanti tersenyum di halaman buku paketku yang tebal. Ia menari di halaman buku tulisku yang kosong. Pekerjaan rumah ku terpaksa aku selesaikan di sekolah mencontek kepada teman sebangku.
Jika kalian pernah melihat sinetron dengan adegan seseorang yang jatuh cinta lantas ia tergila-gila dengan orang yang ia cintai sampai wajahnya terlukis di langit-langit, di buku tulis, di papan tulis, di tembok, di kursi makan, di langit bersaing dengan kerlipan bintang, tersenyum dengan lengkung senyum yang mengalahkan indahnya lengkung bulan sabit. Itu sungguh aku alami. Katika aku bangun dini hari untuk mengerjakan tugas pekerjaan rumah, wajah Yanti tersenyum di halaman buku paketku yang tebal. Ia menari di halaman buku tulisku yang kosong. Pekerjaan rumah ku terpaksa aku selesaikan di sekolah mencontek kepada teman sebangku.
Kenal dengan Yanti kalian jangan bertanya mulai kapan. Karena
ia adalah teman sekelas ku di bangku SMA. Ia selalu ramah, senyum menggoda,
seolah memberikan lampu hijau agar aku terus jatuh cinta dan membiarkan
perasaan itu tumbuh begitu suburnya. Akarnya semakin kokoh di hatiku. Sulit aku
hilangkan. Belum lagi sejak aku merasakan suka kepadanya selalu saja ada
kesempatan untuk aku berada dekat dengannya.
Hari itu aku ingat, hari sabtu. Bel pulang berbunyi. Seperti
anak ayam yang dikekang main, Semua siswa berlomba berhamburan ke luar kelas
bergegas pulang. Dengan macam-macam rencana di kepala masing-masing. Mengatur janji malam mingguan, jalan-jalan
dengan keluarga, menginap di rumah teman, atau sekadar rencana akan tidur
secepatnya dan bangun sesiang mungkin karena besok hari libur.
Di depan pintu kelas Yanti mendelik, dengan matanya yang
indah. Menungguku terpaku di sana. Aku menghampirinya dengan jantung berdetak
kencang. Yanti mengajakku duduk sebentar di bangku taman. Menonton siswa yang
latihan karate. Ia menceritakan banyak hal, tanpa aku minta. Ceritanya menarik
membuat aku tambah penasaran ingin mendengarnya lagi dan lagi. Saat itu aku
lebih memilih diam mendengarkan gadis ku berbicara. Aku perhatikan setiap gerak
bibirnya, raut wajahnya, gelak tawanya. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa aku
memperhatikannya lamat-lamat. Alis nya mengernyit, seolah bertanya, “Kenapa
kamu memperhatikanku terus?”
Hari sudah sore, latihan karate telah bubar, kami pulang. Rasanya
aku bahagia sekali bisa berjalan beriringan dengan dia. Selama perjalanan
pulang aku nikmati detik demi detik. Takan pernah berani aku melewatinya tanpa
ku catat dalam-dalam di hati dan fikiranku. Yanti calon pacarku. Pacar
pertamaku. Itu aku tanamkan dalam-dalam di hatiku. Walaupun aku tak tahu
bagaimana caranya menyatakan perasaaku saat itu kepadanya. Kalian tentu tahu
apa sebabnya, yaitu karena aku belum pernah jatuh cinta sebelumnya.
Arah pulang kami terpisah di persimpangan jalan. Ia memberikan
nomor telepon rumah. Saat itu belum banyak yang menggunakan telepon genggam.
Aku menuliskan nomor rumahnya di telapak tangan ku dengan spidol. Kalian tahu? Tulisan
itu aku jaga sampai bertahan satu minggu. Aku tak menyangka jika aku segila
itu. Tak bisa aku bayangkan bagaimana cara aku mandi dulu saat aku duduk di
bangku SMA.
Malam hari, saat kerinduan membuncah, dan wajah Yanti kembali
tersenyum manis di langit-langit kamar, aku memutuskan untuk menelpon nya. Nomornya
telah hilang di telapak tangan namun telah aku hafal di luar kepala. Aku pamit
pada ibu, dengan maksud menelpon dari wartel yang ada di ujung jalan. Aku ogah
jika menelpon di rumah. Bapak dan ibu sudah pasti menguping dan mengomeliku.
Aku bergegas berangkat dengan langkah kaki secepat mungkin. Lalu, setelah aku
tiba di pintu wartel, rasanya dadaku penuh sesak dengan entah apa penyebabnya.
Aku hampir saja mengurungkan niat untuk menelponnya. Tapi aku berusaha
memberanikan diri. Di tanganku tergenggam kuat kertas konsepan pembicaraan yang
aku rancang tadi siang bersama teman dekatku Hani di sekolah. Ia pula yang
memberiku saran agar aku mengungkapkan semua isi hatiku. Intinya agar aku
merasa lega tidak terus tersiksa dengan perasaan yang selama ini menyiksaku.
Hani memang selalu mengerti akan aku. Teman ku yang satu itu adalah teman yang
paling tahu kebodohanku tentang masalah cinta, dan ia pula yang tadi siang
mentertawakanku habis-habisan karena aku dengan polosnya bertanya “Kalau aku
sudah nembak dia lalu aku sama dia ngapain?” dengan tetap terbahak Hani
menjawab, “Ya kalian jadian lahhh… pacaran kayak orang lain. Setidak nya kamu
dekat dengan Yanti punya status, bukan Cuma degdegan nya doank…” Begitu Hani
bilang.
Aku mulai menekan nomeor telepon rumah Yanti dengan tangan
bergelepar. Kertas konsepan aku letakkan di dekat pesawat telepon. Kalimatnya
terbaca jelas. Nada tunggu berbunyi, “Tuuuuuut, Tuuuut,” dan telpon diangkat
oleh suara lembut seseorang. Yang tentunya aku sudah tahu siapa di sebrang sana.
Yanti mengangkat telponku. Dadaku semakin sesak. Rasanya aku tak kuasa
bergerak, untuk sekedar menelan ludah pun rasanya itu susah sekali.
“Hallo…” Yanti menyapa
Lalu
“Iya halo Yanti ini aku Yandi…”
“Oh… Apa Yan…?” Suaranya begitu empuk rasanya ingin aku…. Ah…
“Yanti sudah mengerjakan PR?” Kalimat itu yang keluar dari
mulutku. Seperti anak Sekolah Dasar yang bertanya tugas pekerjaan rumah kepada
kawan sebaya nya.
“Sudah… Yandi udah belum? Kenapa menelpon? Ada yang Yandi gak
ngerti? Atau apa?”
“Gak kok.. aku hanya mau bilang…” Secepat kilat mataku
membaca konsepan di atas kertas “Neng, aku suka sama kamu, dan mungkin aku
jatuh cinta sama neng, jujur setiap hari aku tak bisa lupain kamu, dan kali ini
aku beranikan diri untuk ungkapin semuanya. Aku tak peduli apa jawabanmu, yang
pasti aku hanya ingin kamu tahu. Gak usah dijawab sekarang ya… dipikirkan dulu
aja”
Refleks tanganku menutup telepon tanpa menghiraukan perasaan
orang yang sedang aku ajak bicara di sebrang sana. Tanpa sadar aku juga telah
menutup kemungkinan ia menjawab kalimatku malam itu juga.
Nafasku masih tersenggal-senggal saat aku melangkahkan kaki keluar dari wartel. Bukan malah tenang hatiku. Labih-lebih bebanku bertambah banyak rasanya, malam itu aku tak bisa tidur dengan nyenyak memikirkan hari esok. Bagaimana aku sembunyikan malu jika aku bertemu dengan Yanti, Nengku yang cantik.
Nafasku masih tersenggal-senggal saat aku melangkahkan kaki keluar dari wartel. Bukan malah tenang hatiku. Labih-lebih bebanku bertambah banyak rasanya, malam itu aku tak bisa tidur dengan nyenyak memikirkan hari esok. Bagaimana aku sembunyikan malu jika aku bertemu dengan Yanti, Nengku yang cantik.
Sungguh malam itu berjalan merangkak. Terasa menjadi malam
terpanjang. Mataku tak jua terpejam. Sanpai akhirnya aku bangun kesiangan
karena tidur terlalu larut. Ibuku mengomel tak henti-hentinya gara-gara aku
solat subuh kesiangan.
Aku tak betah berada lama-lama di rumah, ibuku tak berhenti
mengomel. Sarapan yang ibuku siapkan aku abaikan. Aku berangkat sesegera
mungkin. Sesampainya di sekolah, aku memilih untuk langsung ke kantin. Untuk mengisi
perutku dengan uang jajan yang aku punya. Oiya, selama sekolah aku sudah
belajar berwira usaha, berjualan alat tulis. Aku jarang sekali menyusahkan
orangtuaku hanya karena masalah uang jajan. Bahkan aku bisa membayar iuran SPP
ku beberapa kali dari hasil jualanku.
Aku duduk di pojokan kantin. Mengawasi jalan di depan kantin.
Pojokan kantin adalah posisi strategis untuk mengawasi siapa saja yang datang
ke kantin itu. Yanti datang hendak membeli beberapa jajanan sarapan. Aku salah
tingkah dibuatnya. Yanti duduk, lalu aku bangkit, membayar apa yang telah aku
makan. Melihatku berlalu demikian, Yanti menyusulku. Langkah kakiku semakin
cepat, begitupun Yanti, menguntit dari belakang. Mengejarku. Lalu di gang dekat
majalah dinding, ia menahan langkahku. Tangannya mencengkram pergelangan
tanganku.
“Yandi! Ada apa? Kenapa?”
“Gak apa neng…” nadaku datar.
“Mana mungkin tak ada apa-apa ketika kamu lihat Neng kamu
malah menghindar. Apa…? Kenapa…? Soal semalem?”
“Itu kamu tahu…” kalimat itu keluar begutu saja. Menambah mimik
bodoh ku di hadapan Yanti.
‘’Ayo ikut aku” Yanti menarik tangan ku dan mengajakku duduk
di depan kelas menunggu bel masuk berbunyi. Beberapa orang yang lewat di depan
kami berdehem menyindir dan
tersenyum. Berbagai eksperesi yang mereka tunjukkan kepada kami.
“Yandi dengarkan Neng ya… Neng juga sebenarnya suka sama
kamu, tapi bagaimana….?” Kalimatnya terpotong, Nampak kebingungan yang luar
biasa di wajahnya.
Antara bahagia dan bimbang. Yanti mengakui jika dia pun
menyukaiku. Tai kenapa di akhir kalimat nya ia sisipkan kata tapi?
“Kenapa Neng? Mantan Neng ngajakin balik?” Aku ingat beberapa
waktu lalu ia sempat bercerita jika ia ditinggalkan sama pacrnya. Dan saran
yang aku sampaikan kepadanya adalah “Tinggalkan!”
“Gak juga… tapi Neng gak tahu, Neng kan belum putus. Kalau
dia ngajakin balik gimana?”
Aku bingung menghadapi mahluk Tuhan yang satu ini. Tempo lalu
ia bilang ia sakit hati dengan perlakuan pacarnya. Sekarang jelas-jelas aku
sudah berniat membahagiakan dan menjaga perasaanya malah bilang jika ia masih
bimbang dengan pacarnya. Ahh… perempuan memang aneh!
“Terus Neng maunya gimana?” Aku pasrah.
“Ya kita jalani aja ya… itupun kalau kamu mau” Nadanya datar.
Ya tentu saja aku mau. Dia adalah perempuan pertama di
hatiku. Aku tak peduli resiko apa yang akan aku dapat nanti di depan.
Bulan berlalu. Hubungan ku dan Yanti berjalan cukup baik. Sampai
saat yang menyakitkan itu terjadi. Siang hari, lagi-lagi hari sabtu, jam
pelajaran terakhir guru mata pelajaran IPS berhalangan hadir. Seisi kelas riuh,
gaduh. Masing-masing memiliki
kawan tempat bercerita. Aku sendiri hanya diam, mencatat apa yang sedang
dicatat Marwah di papan tulis sebagai tugas dari guru IPS. Kali itu hanya beberapa
orang yang memperdulikan. Selebihnya tertawa terbahak-bahak bercanda, dan
apalah apalah.
Yanti duduk sendiri tampak gelisah. Sesuatu terjatuh dari
tasnya. Kemudian aku tahu jika itu sepucuk surat. Hatiku sudah tak enak sejak
tadi pagi, dari tadi pagi Yanti menunjukkan gelagat aneh. Aku tidak merasa
mengiriminya surat. Hatiku langsung berkesimpulan bahwa itu surat dari
mantannya. Seisi kelas sudah tahu jika aku punya hubungan special dengan Yanti,
aku sudah bisa membayangkan reaksi kawan-kawan sekelas jika semua orang tahu
jika surat itu dari pacar yanti yang dulu. Seseorang mengambil surat itu, dan
dengan jailnya ia membacakannya dengan lantang di depan kelas. Aku tak mau
menghiraukan. Aku bergegas keluar, menuju… WC.
**
Sejak kejadian itu aku lebih memilih diam. Yanti pun tak
banyak menyapa dan menegurku. Ia lebih banyak menghindar. Hanya Hani yang aku
rasa mengerti perasaanku saat itu. Hani memberiku nasihat, agar aku menyudahi
hubunganku dengan Yanti yang tampak hanya memanfaatkanku saja. Nasihatnya itu
aku lakukan. Dan aku bersumpah tak akan pernah menyukai perempuan manapun, tak
akan membuka hati untuk siapapun setelah putus dengannya. Entah itu sumpah
apa, tapi benar, yang aku rasakan, jangankan membuka hati kepada yang lain, melupkan
kenangan indah yang pernah dilalui bersamanya pun begitu sulit. Sampai aku
akhirnya bertemu dengan perempuan lain yang kini menjadi istriku.
**
Tahun berlalu, aku berhasil melupakan Yanti. Namun Facebook
itu menguak kembali harapan-harapan yang tentunya harus segera aku hapuskan.
Antara bahagia dan bimbang kini aku rasakan. Yanti tetap cantik menawan hati. Dan
entah kenapa kini aku berharap ingin menemuinya lagi, berharap ada cerita yang
berbeda, kisah yang berbeda. Rasanya aku ingin memulai lagi lembaran baru di
dunia lain, yang tak ada seorangpun yang kami kenal, hidup berdua memulai kisah
baru, keluarga baru, memiliki anak, dan… eh???
**
Seorang murid perempuan menghampiri, menyadarkanku dari lamunan
panjang. Bel masuk telah berbunyi. Aku harus segera melangkahkan kaki ke kelas,
menjadi guru, menjadi saksi berseminya cinta-cinta monyet di setiap kelas yang
aku masuki. Di kantin sekolah, di gang-gang kelas, di perpustakaan, di pintu
gerbang, dan di manapun kakiku melangkah, selama itu masih di lingkungan
sekolah, kenangan itu akan selalu terbanyan, tertanam kokoh. Tentangmu, Neng ku.
Aku sudahi ceritanya. Kalian yang baca, jangan bilang-bilang
ya… Ini kisahku. Sebuah Rahasia.
No comments:
Post a Comment