Search This Blog

Monday, January 18, 2016

Karenamu Aku Bisa Bertahan di Sini (Part 2)


Sengat matahari mulai meredup. Senja datang, langit mulai menjingga. Adzan magrib berkumandang, bersahut-sahutan silih berganti. Perumahan tempat tinggalku berada di dataran tinggi yang dikelilingi lembah dan barisan pegunungan. Beberapa mesjid yang ada di perkampungan warga sekitar komplek perumahan seakan berlomba mengumandangkan suara adzan dari muadzin terbaiknya. Alhamdulillah masih diberi nikmat pendengaran seindah ini. Masih bisa mendengarkan suara-suara panggilan solat.

Aku dan Tama pergi ke mesjid. Mengikuti solat berjmaah dan ada kajian islam yang diperuntukkan untuk pemuda  dan remaja. Beruntung, di lingkungan perumahan kami masih aktif kegiatan yang demikian. Aku selalu semangat mengikutinya. Banyak mahasiswa yang sering hadir di sana. Termasuk Iwan. Heheh. Sekarang Kalian tahu kan motifasi lain aku rajin datang ke mesjid selain untuk menambah ilmu?
Iwan sudah duluan sampai di mesjid. Ia shalat di shaf depan. Aku bisa melihat punggungnya menggunakan kemeja kotak-kotak. Bagiku dia selalu keren memakai baju apapun. Rambutnya pelontos, kesukaanku. Aku bilang sama dia waktu itu, kalau pelontos itu seksi. Aku suka. Dan diapun mengganti potongan rambutnya. Iwan memang lebih ganteng dan menarik dengan gaya rambutnya yang sekarang.
Kajian tentang keislamannya dimulai. Seperti biasa kami duduk melingkar. Perempuan dan laki-laki dipisahkan kelompoknya. Tapi aku dan Iwan selalu memilih tempat yang tepat berhadapan. Aku bisa curi-curi pandang kepadanya. Yang sebenarnya aku yakin tujuannya datang ke mesjid itu benar-benar mencari ilmu keagamaan. Dan ketemu aku, itu tujuan kesekian tapi sebagai motifasi tambahan juga. Semoga saja dugaanku benar. Heheh. Aku selalu melihat Iwan lebih serius daripada aku. Iapun sering melontarkan pertanyaan kepada pak Ustadz yang menyampaikan materi. Itu sudah menunjukkan jika Iwan memang benar-benar menyimak materi yang dikaji. Tidak seperti aku yang kadang konsentrasiku buyar jika mendengar Iwan berbicara, atau hanya ketemu pandang gak sengaja dan Iwan senyum dengan sangat manisnya. Aduh… itu ya, jangankan untuk berkonsentrasi dengan materi yang sedang dijelaskan, meredakan detak jantung yang berdebar terlalu kencangpun itu rasanya sulit sekali. Iwan memang sangat mempesona.
**
“Tadi kamu kenapa Yes?, Aa (Panggilan Mas dalam bahasa Sunda) perhatikan kamu diem aja, ngelatin aja” Iwan membuka percakapan, di perjalanan mengantarku pulang. Kami berjalan kaki. Jarak mesjid dan rumahku tidak terlalu jauh. Mobil Iwan diparkir di depan mesjid. Iwan adalah peserta pengajian yang sengaja datang dari perumahan lain. Namun ia rutin mengikuti kajian di mesjid ini. Tak hanya Cuma Iwan, banyak remaja lain juga yang mengikuti pengajian di sini.
“Hm… Gak apa-apa” jawabku
“Kalo gak apa-apa kenapa merhatiin mulu?”
“Habisnya A Iwan enak banget diliatin” Aku menjawab dengan rasa malu yang lumayan menghambat keluarnya kata-kata di tenggorokan.
Iwan ketawa, sepertinya enak sekali. Aku mendelik kesal.
“Kamu juga enak dilihat Yes… Tapi kalo Aa bisa sembunyiin kan lagi pengajian, masa aja mandangin kamu terus. Nanti malah gak dapet ilmunya. Lagian gak enak juga sama Kang Amarullah. Dia sudah curiga sama aa kenapa rajin amat ikut pengajian di sini. Hehe.”
Dari belakang Tama ber “ekhem-ekhem” meledek kami yang sedang asik berdua.
“Kak, Tama duluan ya… Ajak mampir A Iwan nya ke rumah” Ucap adikku sambil berlari
“Iya” aku bilang.
Tama berlalu, ia berlari cepat sekali, sepertinya kebelet pipis itu anak.
“Bentar a, Aa kok panggil pak Ustadz dengan panggilan Kang, kenapa? Udah kenal deket ya?”
“Ia kakak sepupu aa”
“Ah? Masa iya?”
“Iya, kenapa gak percaya? Beda banget ya sama aa?”
“Bukan begitu a… gak percaya aja… hehe”
“Ah… bilang aja beda sama aa. Aa biasa aja dan kang Amarullah hebat, ilmu agamanya dalam. Gitu kan?”
“Eh… bukan a…hehe..”
“Lalu?”
“Udah gak apa-apa kok…”
“Yasud… kalo gak apa-apa. Gak usah difikirin juga ya ”Kata dia. “Tapi awas aja kalo….” Kalimatnya seperti sengaja tak diselesaikan biar aku bertanya.
“Kalo apa a?”
“Awas aja kalo Yessy kesengsem sama Kang Amarullah”
“Ikh… masa iya?”
“Ya bisa aja… Kang Amarullah kan pintar, hebat dalam ilmu agama. Sedangkan Aa?”
“Aa juga hebat”
“Hebat apa?”
“Hebat…”
“O aa tahu, aa emang hebat!”
“Dalam hal?”
“Merebut hati dan perhatian kamu Yessy…” katanya. “Hahah”
“Hahah, emang iya…”
Perjalanan bersama Iwan selalu menyenangkan. Tak terasa kami sampai di halaman rumah ku. Namun baru saja aku akan mengajak Iwan masuk, sayup-sayup terdengar dari pintu suara papah dan mamah sedang bertengkar hebat. Dan di mana Tama?
Iwan pamit pergi, dan titip salam untuk papah, mamah, dan Tama. Dia bilang gak enak jika harus mampir dan masuk. Keadaan tidak memungkinkan. Iwan berpesan agar aku tak jadi teralalu bersedih, dan gak terlalu ikut campur juga. Nanti kalo Iwan sudah sampai di rumahnya akan member kabar dan siap nerima curhat dan ngehibur kalau aku sedih.
“Makasih banyak A Iwan… pulangnya hati-hati” aku bilang.
Iwan mengelus bahuku “Jangan sedih ya Yes, semoga semuanya segera membaik, Aa pulang, Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Iwan berlalu pergi. Dengan berat hati aku melepasnya. Merelakan ia pergi. Padalah aku ingin menahannya agar tak usah pergi dan menemani aku di sini. Aku malas masuk ke rumah. Adikku juga entah di mana. Entah di dalam rumah atau di mana. Jika di dalam juga kasiahan sekali dia, pasti sudah dari tadi mendengar pertengkaran papah dan mamah dan mungkin sudah tahu jika papah punya istri lain selain mamah.
Ah… A Iwan aku ingin ikut A Iwan aja. Pergi ke manapun. Aku gak mau pulang.
**
Mamah dan papah belum berhenti bersitegang. Walaupun sejak kedatanganku dari mesjid tadi mereka agak mereda, gak terlalu berapi-api. Aku akhirnya tahu, Tama tidak ada di rumah. Dimana dia, jangan-jangan kembali menginap di rumah temannya. Kasihan itu anak. Mulai gak betah berada di rumah. Aku khawatir ia salah pergaulan. Aku sebagai kakaknya gak bisa juga terus mengawasi kemana dia pergi dan dengan siapa dia bergaul.
Papah dan mamah masih perang dingin. Mereka tampaknya tidak mau berdamai. Aku juga jadi kena efeknya. Mamah dan apapah sama sekali gak berbicara,bahkan dengan aku sekalipun. Mamah hanya diam di kamar, dan papah di ruang tamu, menyendiri, dengan lampu yang dimatikan. Semoga dengan menyendiri masing-masing begitu mereka bisa saling merenung dan memperbaiki keadaan. Semoga saja papah dan mamah bukan sedang memikirkan jalan untuk menuju perceraian. Ah, sungguh aku gak mau.
Malam semakin larut. Aku masih melihat mamah dan papah saling diam. Iwan aku minta tidak BBM dulu, aku nya lagi konsentrasi mencari cara ingin berusaha mendamaikan kedua orangtuaku, yang entah aku gak tahu bagaimana caranya.
**
Jam 12 malam, mataku sedang terpejam dan berada di alam mimpi, setelah jam 11 tadi Iwan mengucapkan selamat bobi,dan sebelumnya memberi beberapa saran agar aku lebih tenang, aku dikagetkan oleh suara piring yang pecah, dan teriakan mamah yang histeris. Saat itu juga ingin rasanya aku keluar dan melihat apa yang terjadi, tapi aku tahu di luar sana sedang panas, panasnya. Aku coba untuk menenangkan diri, sambil mencari ide yang bagus,dan dirasa tepat. Aku tak mau orangtuaku bertengkar dan tak mau pula dianggap ikut campur urusan orangtua. Tapi kalian jug atahu kan, usiaku 19 tahun, Aku erasa gak berguna jika aku tak berbuat apa-apa.
Akhirya aku memutuskan untuk keluar kamar dan menemui kedua orangtuaku.
Rasa ragu dan takut mencampuri urusan orangtua aku buang jauh-jauh. Aku maju mendekati mereka dengan lantangnya aku bicara. Jika kalian melihatku kali itu, maka kalian akan mengira bahwa yang bicara itu bukan aku.
“Mamah, papah! Boleh Yessy ikut bicara?” Tanyaku kepada mereka
Kedua orangtuaku tampak kaget dan saling bertatapan satu sama lain. Papah terlihat menghela nafas panjang, kemudian mulai duduk di sofa. Sedangkan mamah memilih diam di dekat kaca jendela memandang gelap suasana malam di luar rumah.
Papahku berdehem, kemudian berusaha mengatur nada bicaranga untuk berbicara kepada aku anaknya.
“Kenapa Yessy belum tidur?” Papah memulai tema lain. Aku tak begitu suka. Bukan masalah tidur yang akan aku bahas, fikirku.
“Mamah, ayo sini duduk sama-sama” ajak ku. Mamah mendekat dengan enggan. Kemudian duduk di sofa yang menghadap ke televisi sofa yang bersisian dengan tempat duduk papah. Lalu,
“Mah, pah, maafin Yessy kalau Yessy tampak ikut campur sama masalah kalian. Tapi Yessy cape mah, pah, mendengar kalian bertengkar terus. Lihat Tama, di mana ia sekarang? Dia lebih betah di tempat oranglain daripada berada di rumahnya sendiri. Coba papah dan mamah selesaikan baik-baik. Yessy tahu kalian bukan anak remaja kayak Yessy yang Cuma bisa menghadapi masalah dengan cara berantem”
Mamah tampak menghela nafas, dan papah tetap diam. Lalu mamah mulai bersuara.
“Yes, bagaimana masalah ini mau diselesaikan dengan baik coba, papah kamu nya begitu terus. Mamah gak kuat Yes…” Kalimatnya tak terucap dengan lancar, air matanya mengalir deras di pipinya. Mamah menagis lagi.
Papah menimpali.
“Yes… maafin papah ya nak…” Papah diam sejenak “Sepertinya papah dan mamah kamu gak bisa hidup bareng lagi”
Deg, dadaku terasa dihantam batu berukuran besar, sebesar drum aspal yang sering aku temui di tempat proyek pembuatan jalan. Sesak sekali. Dan aku yakin mamah lebih sakit lagi.
“Jadi kamu akan menceraikan aku demi perempuan itu Kang?” dengan berapi-api mamah melintarkan pertanyaan untuk memastikan keputusan papah.
Sungguh aku bingung harus bagaimana. Air mataku berlinanag deras. Pipiku basah. Ingin rasanya aku berteriak, memaki papah yang tega-teganya berkata demikian. Tapi aku tak mungkin melakukannya. Bagaimanapun ia adalah ayahku yang telah membesarkanku. Ada darah dagingnya di tubuhku. Ah, tapi ayah macam apa dia, ia tega menyakiti ibuku. Ah… apa sih salah mamahku sampai papah bisa memiliki niat untuk meninggalkannya.
“Pah… kalau boleh Yessy tau, apa salah mamah sampai papah mau ninggalin mamah, dan apa salah kami anak-anakmu sampai papah tega menikahi perempuan lain untuk menjadi ibu kami yang lain?” Mendengar pernyataanku papah sontak kaget. Lalu memarahi mamah yang telah melanggar janji tidak akan bercerita masalah isteri mudanya.
Lalu mereka bertengkar hebat lagi, mengabaikanku yang duduk di sofa. Tak tahan dengan semua itu aku kembali ke kamar dengan hati yang hancur berantakan.
**
Ini jam 2 dini hari. Mataku sepertinya tak mau terpejam lagi. Aku rasa Iwan juga sedang terlelap saat ini. Kasian juga ia, selalu aku libatkan kepada masalah yang aku hadapi. Kali ini aku menahan diri untuk menghubunginya selarut ini. Biarlah ia beristirahat, tidur dengan nyenyak, toh besok dia harus pergi bekerja. Dan bukan hanya aku yang harus ia urusi.
Aku mengambil air wudhu dan mengerjakan shalat sunah tahajud, memanjatkan do’a sebanyak-banyaknya, mengadukan semua masalah yang aku punya kepada Allah SWT. Menangis sejadinya, memohon petunjuk apa yang sebaiknya aku lakukan untuk keutuhan rumahtangga kedua orangtuaku. Memohon kesabaran yang lebih, memohon yang terbaik untuk semuanya.
Subuh hampir tiba, di luar kamar, sudah tak kudengar lagi suara papah dan mamah, mungkin mereka lelah,dan memilih beristirahat. Syukurlah, semoga pertengkarannya tak berlarut-larut. Setelah berdo’a tadi, hatiku lebih merasa tenang, dan aku berjanji dalam hati, tak akan memcampuri urusan keduanya karena itu masalah yang tak aku mengerti, dan aku juga merasa tak bisa berbuat apa-apa selain terus mendoakannya, dan terus berusaha menjadi anak yang baik untuk mereka. Baik atau buruk mereka tetapa kedua orangtuaku. Dan aku tahu, yang paling penting sekarang adalah keselamatan pergaulan adikku. Tama gantengku. Ia harus lebih aku jaga agar ia tetap merasakan kelengkapan kasihsayang.
Adzan subuh berkumandang, aku solat dua rakaat dan setelahnya aku terlelap dengan kepala yang sangat pusing dan terasa begitu berat.

Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment