Sengat matahari mulai meredup. Senja datang, langit mulai menjingga. Adzan magrib berkumandang, bersahut-sahutan silih berganti. Perumahan tempat tinggalku berada di dataran tinggi yang dikelilingi lembah dan barisan pegunungan. Beberapa mesjid yang ada di perkampungan warga sekitar komplek perumahan seakan berlomba mengumandangkan suara adzan dari muadzin terbaiknya. Alhamdulillah masih diberi nikmat pendengaran seindah ini. Masih bisa mendengarkan suara-suara panggilan solat.
Aku
dan Tama pergi ke mesjid. Mengikuti solat berjmaah dan ada kajian islam yang
diperuntukkan untuk pemuda dan remaja.
Beruntung, di lingkungan perumahan kami masih aktif kegiatan yang demikian. Aku
selalu semangat mengikutinya. Banyak mahasiswa yang sering hadir di sana.
Termasuk Iwan. Heheh. Sekarang Kalian tahu kan motifasi lain aku rajin datang
ke mesjid selain untuk menambah ilmu?
Iwan
sudah duluan sampai di mesjid. Ia shalat di shaf depan. Aku bisa melihat
punggungnya menggunakan kemeja kotak-kotak. Bagiku dia selalu keren memakai
baju apapun. Rambutnya pelontos, kesukaanku. Aku bilang sama dia waktu itu,
kalau pelontos itu seksi. Aku suka. Dan diapun mengganti potongan rambutnya. Iwan
memang lebih ganteng dan menarik dengan gaya rambutnya yang sekarang.
Kajian
tentang keislamannya dimulai. Seperti biasa kami duduk melingkar. Perempuan dan
laki-laki dipisahkan kelompoknya. Tapi aku dan Iwan selalu memilih tempat yang
tepat berhadapan. Aku bisa curi-curi pandang kepadanya. Yang sebenarnya aku
yakin tujuannya datang ke mesjid itu benar-benar mencari ilmu keagamaan. Dan
ketemu aku, itu tujuan kesekian tapi sebagai motifasi tambahan juga. Semoga
saja dugaanku benar. Heheh. Aku selalu melihat Iwan lebih serius daripada aku.
Iapun sering melontarkan pertanyaan kepada pak Ustadz yang menyampaikan materi.
Itu sudah menunjukkan jika Iwan memang benar-benar menyimak materi yang dikaji.
Tidak seperti aku yang kadang konsentrasiku buyar jika mendengar Iwan
berbicara, atau hanya ketemu pandang gak sengaja dan Iwan senyum dengan sangat
manisnya. Aduh… itu ya, jangankan untuk berkonsentrasi dengan materi yang
sedang dijelaskan, meredakan detak jantung yang berdebar terlalu kencangpun itu
rasanya sulit sekali. Iwan memang sangat mempesona.
**
“Tadi
kamu kenapa Yes?, Aa (Panggilan Mas dalam bahasa Sunda) perhatikan kamu diem
aja, ngelatin aja” Iwan membuka percakapan, di perjalanan mengantarku pulang.
Kami berjalan kaki. Jarak mesjid dan rumahku tidak terlalu jauh. Mobil Iwan
diparkir di depan mesjid. Iwan adalah peserta pengajian yang sengaja datang
dari perumahan lain. Namun ia rutin mengikuti kajian di mesjid ini. Tak hanya
Cuma Iwan, banyak remaja lain juga yang mengikuti pengajian di sini.
“Hm…
Gak apa-apa” jawabku
“Kalo
gak apa-apa kenapa merhatiin mulu?”
“Habisnya
A Iwan enak banget diliatin” Aku menjawab dengan rasa malu yang lumayan
menghambat keluarnya kata-kata di tenggorokan.
Iwan
ketawa, sepertinya enak sekali. Aku mendelik kesal.
“Kamu
juga enak dilihat Yes… Tapi kalo Aa bisa sembunyiin kan lagi pengajian, masa
aja mandangin kamu terus. Nanti malah gak dapet ilmunya. Lagian gak enak juga
sama Kang Amarullah. Dia sudah curiga sama aa kenapa rajin amat ikut pengajian
di sini. Hehe.”
Dari
belakang Tama ber “ekhem-ekhem” meledek kami yang sedang asik berdua.
“Kak,
Tama duluan ya… Ajak mampir A Iwan nya ke rumah” Ucap adikku sambil berlari
“Iya”
aku bilang.
Tama
berlalu, ia berlari cepat sekali, sepertinya kebelet pipis itu anak.
“Bentar
a, Aa kok panggil pak Ustadz dengan panggilan Kang, kenapa? Udah kenal deket ya?”
“Ia
kakak sepupu aa”
“Ah?
Masa iya?”
“Iya,
kenapa gak percaya? Beda banget ya sama aa?”
“Bukan
begitu a… gak percaya aja… hehe”
“Ah…
bilang aja beda sama aa. Aa biasa aja dan kang Amarullah hebat, ilmu agamanya
dalam. Gitu kan?”
“Eh…
bukan a…hehe..”
“Lalu?”
“Udah
gak apa-apa kok…”
“Yasud…
kalo gak apa-apa. Gak usah difikirin juga ya ”Kata dia. “Tapi awas aja kalo….”
Kalimatnya seperti sengaja tak diselesaikan biar aku bertanya.
“Kalo
apa a?”
“Awas
aja kalo Yessy kesengsem sama Kang Amarullah”
“Ikh…
masa iya?”
“Ya
bisa aja… Kang Amarullah kan pintar, hebat dalam ilmu agama. Sedangkan Aa?”
“Aa
juga hebat”
“Hebat
apa?”
“Hebat…”
“O
aa tahu, aa emang hebat!”
“Dalam
hal?”
“Merebut
hati dan perhatian kamu Yessy…” katanya. “Hahah”
“Hahah,
emang iya…”
Perjalanan
bersama Iwan selalu menyenangkan. Tak terasa kami sampai di halaman rumah ku.
Namun baru saja aku akan mengajak Iwan masuk, sayup-sayup terdengar dari pintu
suara papah dan mamah sedang bertengkar hebat. Dan di mana Tama?
Iwan
pamit pergi, dan titip salam untuk papah, mamah, dan Tama. Dia bilang gak enak
jika harus mampir dan masuk. Keadaan tidak memungkinkan. Iwan berpesan agar aku
tak jadi teralalu bersedih, dan gak terlalu ikut campur juga. Nanti kalo Iwan
sudah sampai di rumahnya akan member kabar dan siap nerima curhat dan ngehibur
kalau aku sedih.
“Makasih
banyak A Iwan… pulangnya hati-hati” aku bilang.
Iwan
mengelus bahuku “Jangan sedih ya Yes, semoga semuanya segera membaik, Aa
pulang, Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Iwan
berlalu pergi. Dengan berat hati aku melepasnya. Merelakan ia pergi. Padalah
aku ingin menahannya agar tak usah pergi dan menemani aku di sini. Aku malas
masuk ke rumah. Adikku juga entah di mana. Entah di dalam rumah atau di mana.
Jika di dalam juga kasiahan sekali dia, pasti sudah dari tadi mendengar
pertengkaran papah dan mamah dan mungkin sudah tahu jika papah punya istri lain
selain mamah.
Ah…
A Iwan aku ingin ikut A Iwan aja. Pergi ke manapun. Aku gak mau pulang.
**
Mamah
dan papah belum berhenti bersitegang. Walaupun sejak kedatanganku dari mesjid
tadi mereka agak mereda, gak terlalu berapi-api. Aku akhirnya tahu, Tama tidak
ada di rumah. Dimana dia, jangan-jangan kembali menginap di rumah temannya.
Kasihan itu anak. Mulai gak betah berada di rumah. Aku khawatir ia salah
pergaulan. Aku sebagai kakaknya gak bisa juga terus mengawasi kemana dia pergi
dan dengan siapa dia bergaul.
Papah
dan mamah masih perang dingin. Mereka tampaknya tidak mau berdamai. Aku juga
jadi kena efeknya. Mamah dan apapah sama sekali gak berbicara,bahkan dengan aku
sekalipun. Mamah hanya diam di kamar, dan papah di ruang tamu, menyendiri,
dengan lampu yang dimatikan. Semoga dengan menyendiri masing-masing begitu
mereka bisa saling merenung dan memperbaiki keadaan. Semoga saja papah dan mamah
bukan sedang memikirkan jalan untuk menuju perceraian. Ah, sungguh aku gak mau.
Malam
semakin larut. Aku masih melihat mamah dan papah saling diam. Iwan aku minta
tidak BBM dulu, aku nya lagi konsentrasi mencari cara ingin berusaha
mendamaikan kedua orangtuaku, yang entah aku gak tahu bagaimana caranya.
**
Jam
12 malam, mataku sedang terpejam dan berada di alam mimpi, setelah jam 11 tadi Iwan
mengucapkan selamat bobi,dan sebelumnya memberi beberapa saran agar aku lebih
tenang, aku dikagetkan oleh suara piring yang pecah, dan teriakan mamah yang
histeris. Saat itu juga ingin rasanya aku keluar dan melihat apa yang terjadi,
tapi aku tahu di luar sana sedang panas, panasnya. Aku coba untuk menenangkan
diri, sambil mencari ide yang bagus,dan dirasa tepat. Aku tak mau orangtuaku
bertengkar dan tak mau pula dianggap ikut campur urusan orangtua. Tapi kalian
jug atahu kan, usiaku 19 tahun, Aku erasa gak berguna jika aku tak berbuat
apa-apa.
Akhirya
aku memutuskan untuk keluar kamar dan menemui kedua orangtuaku.
Rasa
ragu dan takut mencampuri urusan orangtua aku buang jauh-jauh. Aku maju
mendekati mereka dengan lantangnya aku bicara. Jika kalian melihatku kali itu,
maka kalian akan mengira bahwa yang bicara itu bukan aku.
“Mamah,
papah! Boleh Yessy ikut bicara?” Tanyaku kepada mereka
Kedua
orangtuaku tampak kaget dan saling bertatapan satu sama lain. Papah terlihat
menghela nafas panjang, kemudian mulai duduk di sofa. Sedangkan mamah memilih
diam di dekat kaca jendela memandang gelap suasana malam di luar rumah.
Papahku
berdehem, kemudian berusaha mengatur nada bicaranga untuk berbicara kepada aku
anaknya.
“Kenapa
Yessy belum tidur?” Papah memulai tema lain. Aku tak begitu suka. Bukan masalah
tidur yang akan aku bahas, fikirku.
“Mamah,
ayo sini duduk sama-sama” ajak ku. Mamah mendekat dengan enggan. Kemudian duduk
di sofa yang menghadap ke televisi sofa yang bersisian dengan tempat duduk
papah. Lalu,
“Mah,
pah, maafin Yessy kalau Yessy tampak ikut campur sama masalah kalian. Tapi
Yessy cape mah, pah, mendengar kalian bertengkar terus. Lihat Tama, di mana ia
sekarang? Dia lebih betah di tempat oranglain daripada berada di rumahnya
sendiri. Coba papah dan mamah selesaikan baik-baik. Yessy tahu kalian bukan
anak remaja kayak Yessy yang Cuma bisa menghadapi masalah dengan cara berantem”
Mamah
tampak menghela nafas, dan papah tetap diam. Lalu mamah mulai bersuara.
“Yes,
bagaimana masalah ini mau diselesaikan dengan baik coba, papah kamu nya begitu
terus. Mamah gak kuat Yes…” Kalimatnya tak terucap dengan lancar, air matanya
mengalir deras di pipinya. Mamah menagis lagi.
Papah
menimpali.
“Yes…
maafin papah ya nak…” Papah diam sejenak “Sepertinya papah dan mamah kamu gak
bisa hidup bareng lagi”
Deg,
dadaku terasa dihantam batu berukuran besar, sebesar drum aspal yang sering aku
temui di tempat proyek pembuatan jalan. Sesak sekali. Dan aku yakin mamah lebih
sakit lagi.
“Jadi
kamu akan menceraikan aku demi perempuan itu Kang?” dengan berapi-api mamah
melintarkan pertanyaan untuk memastikan keputusan papah.
Sungguh
aku bingung harus bagaimana. Air mataku berlinanag deras. Pipiku basah. Ingin
rasanya aku berteriak, memaki papah yang tega-teganya berkata demikian. Tapi
aku tak mungkin melakukannya. Bagaimanapun ia adalah ayahku yang telah
membesarkanku. Ada darah dagingnya di tubuhku. Ah, tapi ayah macam apa dia, ia
tega menyakiti ibuku. Ah… apa sih salah mamahku sampai papah bisa memiliki niat
untuk meninggalkannya.
“Pah…
kalau boleh Yessy tau, apa salah mamah sampai papah mau ninggalin mamah, dan
apa salah kami anak-anakmu sampai papah tega menikahi perempuan lain untuk
menjadi ibu kami yang lain?” Mendengar pernyataanku papah sontak kaget. Lalu
memarahi mamah yang telah melanggar janji tidak akan bercerita masalah isteri
mudanya.
Lalu
mereka bertengkar hebat lagi, mengabaikanku yang duduk di sofa. Tak tahan
dengan semua itu aku kembali ke kamar dengan hati yang hancur berantakan.
**
Ini
jam 2 dini hari. Mataku sepertinya tak mau terpejam lagi. Aku rasa Iwan juga
sedang terlelap saat ini. Kasian juga ia, selalu aku libatkan kepada masalah yang
aku hadapi. Kali ini aku menahan diri untuk menghubunginya selarut ini. Biarlah
ia beristirahat, tidur dengan nyenyak, toh besok dia harus pergi bekerja. Dan
bukan hanya aku yang harus ia urusi.
Aku
mengambil air wudhu dan mengerjakan shalat sunah tahajud, memanjatkan do’a
sebanyak-banyaknya, mengadukan semua masalah yang aku punya kepada Allah SWT.
Menangis sejadinya, memohon petunjuk apa yang sebaiknya aku lakukan untuk
keutuhan rumahtangga kedua orangtuaku. Memohon kesabaran yang lebih, memohon
yang terbaik untuk semuanya.
Subuh
hampir tiba, di luar kamar, sudah tak kudengar lagi suara papah dan mamah,
mungkin mereka lelah,dan memilih beristirahat. Syukurlah, semoga
pertengkarannya tak berlarut-larut. Setelah berdo’a tadi, hatiku lebih merasa
tenang, dan aku berjanji dalam hati, tak akan memcampuri urusan keduanya karena
itu masalah yang tak aku mengerti, dan aku juga merasa tak bisa berbuat apa-apa
selain terus mendoakannya, dan terus berusaha menjadi anak yang baik untuk
mereka. Baik atau buruk mereka tetapa kedua orangtuaku. Dan aku tahu, yang
paling penting sekarang adalah keselamatan pergaulan adikku. Tama gantengku. Ia
harus lebih aku jaga agar ia tetap merasakan kelengkapan kasihsayang.
Adzan
subuh berkumandang, aku solat dua rakaat dan setelahnya aku terlelap dengan
kepala yang sangat pusing dan terasa begitu berat.
No comments:
Post a Comment