Hari senin pagi, Arsa masih
terlena dengan selimut tebalnya. Padahal di luar sana orang-orang sibuk hilir
mudik dengan berbagai kesibukan di hari senin. Jalanan macet, keluhan-keluhan bertebaran di
langit atas jalanan, banyak yang terlambat datang ke tempat kerja, atau marah
karena tak sengaja bersinggungan antara sesama pengguna jalan. Hari itu Arsa
pun punya agenda. Pekerjaan yang tidak terlalu mendesak. Namun yakin, pekerjaan
nya harus selesai hari itu juga. Betapa beratnya beranjak dari tempat tidur
yang hangat itu, udara dingin dan rintik hujan membuatnya semakin betah
berlama-lama di sana
Ada penyebab lain yang membuatnya
betah di bawah selimut hangatnya. Arsa asik dengan telepon gengamnya. Dia asik
bolak-balik membaca beberapa pesan singkat dari gadis yang disukainya. Gadis yang
beberapa hari lalu baru saja memberikan warna baru dalam hidupnya. Tersenyum manis
seraya mengangukan kepala tanda setuju, tanda kesiapan, menjalin hubungan yang
lebih dari sekedar teman. Ya, sedari dulu Arsa menaruh hati kepada Allina teman
sepekerjaannya. Bertahun-tahun ia memendam rasa. Arsa memang tak pernah
memiliki keberanian untuk menyatakan perasaannya itu. Ada beberapa alasan yang
selalu mengurungkan niatnya. Alasan pertama, sejak pertama Arsa menyukai gadis
itu ia telah berada dalam sebuah setatus pacar orang. Sampai sekarang
sebenarnya ia masih berhubungan baik dengan Emmy kekasihnya. Emmy yang juga
setia, baik hati, selalu mengerti Arsa. Hanya satu yang kadang Arsa tak tahan,
yaitu sifat keras kepala nya Emmy, membuatnya merasa ragu akankah hubungan itu
dilanjutkan ke jenjang yang lebih jauh. Namun apa mau dikata, pertanyaan
tentang keraguraguan itu harus Arsa enyahkan jauh-jauh. Arsa dan Emmy telah
resmi bertunangan tiga bulan yang lalu. Tiga bulan sebelum akhirnya Arsa
mengetahui bahwa gadis yang ia sukai dari dulu di tempatnya bekerja sebenarnya
memiliki perasaan yang sama.
Ada penyesalan yang menggumpal di
hatinya. Mengapa Arsa tak menyatakan cintanya sejak dulu, sebelum akhirnya ia
membuat komitmen dengan Emmy. Mengapa ia tak pernah memiliki keberanian yang
cukup untuk menyatakan semuanya. Hanya karena Allina selalu terlihat dijemput
sesorang sepulang kerja. Bukankah pepatah mengatakan sebelum janur kuning
melengkung semua orang punya hak untuk menyatakan perasaannya? Ya, kini malah
janur kuning milik nya yang hampir melengkung duluan. Ah… Arsa bingung dengan
keadaannya sekarang. Satu sisi ia merasa berhak memiliki apa yang ia
idam-idamkan sejak dulu, sisi lain ia juga tak mungkin meninggalkan semuanya. Keluarga
mereka akan sangat kecewa jika mengetahui Arsa membatalkan rencana pernikahan
mereka.
*
Hujan yang deras meliputi kota
Bandung, Arsa berdiri terpaku di depan pintu masuk ruangan kerja. Memandangi rinai
hujan yang bergerombol mengenai apapun yang dikenainya, membuatnya basah kuyup,
termasuk motor nya di tempat parkir halaman kantor. Di dalam ruangan Allina
asik berbincang dengan sesama rekan kerja perempuan yang juga terjebak hujan. Diam-diam
Arsa melayangkan pandanannya ke dalam ruangan. Memperhatikan kerumunan
teman-teman kerja perempuannya. Tapi satu yang selalu menarik perhatian Arsa.
Allina tampak cantik mengenakan seragam kerja biru toska, dengan kerudung motif
batik warna senada. Gadis itu tampak anggun. Dan ketika tak sengaja pandangan
mereka beradu, deg! Ada getaran hebat dalam dada Arsa. Membuat dia merasa gugup
dibuatnya. Degup jantungnya mengencang, berpacu dengan gemercik air hujan di
luar ruangan.
Hujan mulai mengecil. Beberapa rekan
pamit pulang memaksa menembus derai hujan, rela berbasah-basahan. Ada juga yang
sudah dijemput pasangannya, pacar, suami, bahkan dijemput sopir pribadi. Ruangan
kerja yang semula ramai dengan percakapan berbagai hal, kini lengang, sepi,
hanya gemerisik hujan yang terdengar. Di ruangan itu hanya ada empat orang. Bu
Irna yang sejak tadi tampak mengantuk membenahi diri di meja kerjanya,
siap-siap tidur sejenak sambil menunggu jemputan suaminya. Sedangkan Tedi
tampak asik dengan komputernya, memainkan game kesukannya. Arsa kembali ke belakang
meja kerjanya, membereskan beberapa arsip, dan kemudian tangannya iseng
memainkan telephon genggam.
Allina menghampiri, dengan wajah
penuh keraguan, seolah bertanya, bolehkan
aku mndekat?. Arsa membetulkan duduknya, mempersilahkan Allena duduk di
hadapannya. Dadanya kembali berdebar. Allina memulai pembicaraan. “Ar… boleh Al
curhat?” seraya tersenyum Arsa menjawab lembut “Boleh dong All… telingaku
selalu siap mendengarkan”. Allina memulai cerita.
“Ar… akhir-akhir ini All risih
dengan yang namanya Pak Samsul. Dari divisi sebelah. Kamu tahu kan Ar…? Dia kan
sudah punya isteri, masa bulan lalu dia bilang suka sama aku… serem kan…?” Ada
pukulan keras menghantam dada Arsa. Ternyata bukan hanya dirinya yang menyukai
Allina.
“Belum lagi Atar, dan Harry yang
minggu lalu menyatakan cinta lewat bunga di halte bis. Mereka kayak janjian loh
Ar… dan bersaing ngedapetin aku. Aku bingung Ar… musti gimana. Aku udah tolak
mereka secara halus, aku bilang aku sudah punya pacar, tapi mereka semua tak
patah arang, malah semakin semangat mencuri perhatiannku. Barusan aja Pak
samsul menawarkan jasa mengantarkan aku pulang Ar… makanya aku belum berani
keluar dari sini…”
Arsa mencoba tenang. Lalu bergumam
“Berarti selain pacar kamu ada empat orang yang juga mengharapkan kasih sayang kamu
All…”. dahi Allina mengernyit “Empat Ar…? Tiga lah…”. Arsa kini tertawa lepas, lalu
memasang jari tangannya “Lihat Allina yang manis… kita hitung ya… tadi kamu
bilang Pak Samsul, Atar, dan Harry, suka sama kamu”. Allina pun ikut tertawa,
dalam fikirannya temannya yang satu ini
tak bisa menghitung rupanya. “Yang satunya lagi aku All….” Arsa akhirnya
menucapkan kalimat itu. Dengan nada yang penuh kesungguhan, palan tapi pasti. Matanya
tak melepaskan pandangan, tetap tertuju pada gadis pujaan nya yang telah lama
diidam-idamkan selama 4 tahun.
Allina tersentak kaget, tawanya
yang lepas, kini terhenti, berganti mimik muka memerah. Sedikit tak yakin, “Ar…
tolong ulangi kata-kata mu tadi… apa aku tak salah dengar?”. Arsa memperdalam
tatapannya, seolah meyakinkan gadisnya
“All… dengarkan baik-baik, benar, aku menyukaimu sejak first time kita ketemu, sejak aku melihatmu di sini. Tempat kerja ini yang menjadi saksi bisu tumbuhnya perasaanku kepadamu, tempat ini juga yang melahirkan benih-benih rasa yang aku punya, lalu rasa itu tumbuh subur dan semakin subur seiring berjalannya waktu. Aku, kamu, sering jalan bersama dalam perjalannan tugas. Saat aku bisa memboncengmu ada perasaan tersendiri selain sekedar membonceng rekan kerja, saat kita makan siang bersama ada perasaan yang selalu bertambah dalam kepadamu, senyummu, gerak-gerik mu, caramu berbicara, membuat aku semakin terpesona All… Aku benar-benar minta maaf atas pengakuan ini. Aku tak peduli kamu akan menganggap apa, tapi yan penting sekarang aku lega, akhirnya kalimat-kalimat ini meluncur juga. Semoga bukan hanya telingamu yang mendengarnya All… Aku harap ini sampai ke hatimu…” Arsa menghela nafas panjang. Ia bahkan tak percaya kali ini ia bisa mengatakan semuanya tanpa beban, tanpa keraguan, tanpa terbata-bata. Lancar bebas hambatan. Ada selembar beban hilang dari rongga dada nya. Ada perasaan lega yang hadir, kini rasanya Arsa bisa bernafas lega.
“All… dengarkan baik-baik, benar, aku menyukaimu sejak first time kita ketemu, sejak aku melihatmu di sini. Tempat kerja ini yang menjadi saksi bisu tumbuhnya perasaanku kepadamu, tempat ini juga yang melahirkan benih-benih rasa yang aku punya, lalu rasa itu tumbuh subur dan semakin subur seiring berjalannya waktu. Aku, kamu, sering jalan bersama dalam perjalannan tugas. Saat aku bisa memboncengmu ada perasaan tersendiri selain sekedar membonceng rekan kerja, saat kita makan siang bersama ada perasaan yang selalu bertambah dalam kepadamu, senyummu, gerak-gerik mu, caramu berbicara, membuat aku semakin terpesona All… Aku benar-benar minta maaf atas pengakuan ini. Aku tak peduli kamu akan menganggap apa, tapi yan penting sekarang aku lega, akhirnya kalimat-kalimat ini meluncur juga. Semoga bukan hanya telingamu yang mendengarnya All… Aku harap ini sampai ke hatimu…” Arsa menghela nafas panjang. Ia bahkan tak percaya kali ini ia bisa mengatakan semuanya tanpa beban, tanpa keraguan, tanpa terbata-bata. Lancar bebas hambatan. Ada selembar beban hilang dari rongga dada nya. Ada perasaan lega yang hadir, kini rasanya Arsa bisa bernafas lega.
Allina tergugu, diam tanpa kata. Wajahnya
tertunduk, mati kutu di depan Arsa. Ia tak percaya jika laki-laki yang semula
ia kira hanya menganggapnya sahabat itu ternyata memiliki perasaan yang dalam,
dan berani menyimpan nya lama sekali. Lalu “Ar… Kenapa baru sekarang kamu
mengatakannya?” Arsa lagi-lagi menghela nafas, kini ia tak sanggup memandang
mata lawan bicaranya. “Aku tak tahu All… saat kamu menghampiriku tiba-tiba
keberanian itu muncul begitu saja…” nada bicara Arsa kini datar. Seolah ada
alasan yang lebih tepat daripada apa yang baru saja ia katakan.
“All… Boleh aku tahu, apakah ketiga orang yang menyukaimu pernah berkunjung ke rumah?” Allina heran, menapa Arsa bertanya demikian.
“Kenapa Ar…?”
“Gak apa-apa, aku hanya cemburu”
Arsa mengatakan nya sambil memandangi lantai, kemudian mendongak menatap
langit-langit.
“Maafkan aku Ar… harusnya jika
sebelumnya kau tahu tentang perasaanmu aku tak perlu menceritakan ini semua”.
“Tak apa-apa All, toh aku untuk
mu bukan siapa-siapa…” Allina mendongak, seolah berpendapat lain Siapa bilang kau tak berarti apa-apa?
“Enggak Ar…”
“Enggak apa Allina…?” Arsa tak sabar menanti jawaban.
“Aku juga memiliki perasaan yang
sama. Dulu aku pernah benar-benar yakin jika kamu menyukaiku. Perhatianmu yang
aku rasa lebih hangat, caramu memperlakukan aku berbeda dengan perlakuanmu
terhadap orang lain. Tapi kemudian semua menjadi samar ketika aku tahu kau pun
terlalu akrab dengan semua orang. Aku fikir aku hanya dianggap teman biasa. Sama
seperti yang lainnya…”
Bagai terbang di angkasa ketika seorang Garra Arsana mendengar penjelasan Allina. Hati nya kini penuh dengan taman bunga, bermekaran di mana-mana.
“Oke All, kita sekarang sama-sama tahu perasaan masing-masing. Aku janji akan menjaga rasa ini untukmu.”
“Tapi Ar… bagaimana dengan Ammy…?”
“Aku pun tak tahu All… Aku dan
dia sebentar lagi menikah, tapi aku cukup merasa lega telah menyatakan ini
semua kepadamu. Setidaknya aku tidak memendam perasaan ini berlarut-larut.”
“Baik Ar… Aku akan simpan titipan
rasamu di sini di salah satu sudut hati ku”.
*
Jam telah menunjuk angka 09.00.
Arsa bergegas mandi, lalu menyiapakan perlengkapan untuk pergi melaksanakan tugas
lapangan. Sebelum berangkat, ia sempat bertanya kabar kepada Allina. Mereka berjanji
akan bertemu di suatu tempat.
30 menit waktu tempuh ke tempat
janjian, mereke bertemu dengan bekal rindu masing-masing. Rindu yang
sesunguhnya terlarang, tak sepenuhnya boleh mereka rasakan. Ada hati-hati yang
menantung pada dada orang-orang yang menumpukan harapan kepada Arsa, juga hati
seseorang yang mencintai Allina. Arsa menumpahkan rindunya, memandangi wajah
cantik Allina di meja Restoran cepat saji. Mulai saat itu ia berjanji akan
menjaga perasaan yang ia miliki, walau sesunguhnya ada separuh perasaan yang
sama untuk Ammy. Tapi Arsa tak terlalu mengerti, mengapa kini ia merasakan
kenyamanan yang luar biasa saat di dekat Allina. Arsa sadar, jika ia tak boleh
terlalu larut dengan perasaan itu, Arsa takut menyakiti Ammy. Begitupun Allina
tak berani terlalu banyak menumpahkan rasa kepada Arsa, ia tahu persis Huda
mencintainya mati-matian. Saat itu mereka hanya makan bersama. Entah sarapan
atau makan siang, mereka tak tahu, yang mereka tahu hanyalah bagaimana caranya bertemu
di luar urusan pekerjaan.
Hanya 30 menit mereka bertemu di sana. Untuk kemudian berpisah dan melanjutkan masing-masing. Arsa pergi dinas luar, dan Allina kembali ke kantor. Sebelum berpisah Allina meberikan tiga buah permen kepada Arsa. Allina menyerahkannya ke tangan Arsa, kemudian membantu Arsa mengepalkan tangannya.
“Ar… aku kasih permen ini untuk teman perjalananmu. Kenapa hanya tiga? Kerena hanya tiga kata yang aku punya untuk mu. Yaitu I Love You. dan hanya tiga kata yang aku rasakan sekarang, yaitu I Need You, dan ada tiga detik yang paling berarti dan memberi kesan mendalam di kehidupanku tentang kamu. Yaitu detik pertama ketika aku mendengar kejujuranmu, detik kedua saat aku merasakan getar cinta yang hadir setelah kejujuranmu, detik ketiga yaitu saat aku harus melepasmu kembali kepada Ammy, tunanganmu. Biarkanlah harapan kita menggantung di langit yang tinggi. Aku tak berani berharap bisa meraihnya Ar… Ammy lebih membutuhkanmu. Pergilah… hati-hati”
Mendengar itu semua, Arsa berjanji tak akan memakan permen itu sampai kapanpun. Akan ia jaga sebagai kenang-kenagan. Atau bahkan akan ia makan semua, biar semuanya mendarah daging, yang tak akan pernah lepas dari tubuhnya. Ia pergi bertugas, dan suara gumamannya samar-samar terdengar berlomba dengan deru kendaraan di jalanan. “Allina… lima puluh persen dari hatiku telah menjadi milikmu… walau aku tahu kita tak akan mungkin bisa bersama”. Kendaraan Arsa melaju, membawa pengemudinya menjauh dari restoran cepat saji. Membawa seribu tanda tanya, dan tiga buah permen di saku celana.
Dalam gerimis sore di Ujungberung
27012015
27012015
seperti biasa... NICE
ReplyDeleteAlhamdulillah.. terimakasih sudah menjadi pembaca setia pak Denz.. sepertinya harus dikasih permen juga neh sebagai hadiah. hehe..
ReplyDelete