Menangis
lagi gara-gara dia? Oh, ini kesekian ratus kali aku menangisinya. Sebetulnya
aku tidak ingin melakukan ini, sama sekali tidak. Namun hati ini benar-benar
tak mau diajak kompromi. Setiap kali mengingatnya, setiap kali itupula
kesedihan muncul dan air mata mengalir deras. Setiap kali itu juga aku tak
pernah berhenti berusaha untuk menyelaraskan hati dengan logika. Ketika hati
bersedih, logika berkata jika aku tak perlu sesedih itu.
Ketika Hati terasa
sakit, logika pun berkata jika aku tak perlu sesakit itu. Jika hati sedang
merindu, logika berkata jika sesungguhnya aku tak perlu serindu itu. Aku tak
perlu secinta dan tak perlu jatuh sedalam itu kepadanya. Tapi aku tak pernah
berhasil. Matanya yang indah, senyumnya yang manis, suaranya, nasihatnya, kasih
sayangnya, sosoknya, dan tentunya semua kenangan indah yang pernah kami lewati empat
tahun yang lalu selalu membayang-bayangi. Membuatku tak pernah benar-benar bisa
menghapus namanya dari tempat teristimewa dalam hatiku.
Dia,
Yuda. Seseorang yang sangat aku cintai dan mencintaiku hingga kini (begitu
hatiku berkata). Yuda tak pernah bisa digantikan oleh siapapun. Semakin aku
berusaha, semakin melekat saja sosok itu dalam hatiku. Semakin aku berusaha
menghapusnya, maka senyumnya yang manis, akan selalu terbayang di mataku.
Setiap kepalaku berkata, “jangan mengingatnya” maka bayangan-bayangan tentang
masa-masa indah bersamanya malah datang bergantian, bagaikan tayangan
episode-episode drama kehidupan yang paling indah, berkesan dan tak mudah
dihapuskan.
Empat
tahun, aku berusaha untuk membuka hati kepada setiap kaum adam yang datang
menawarkan cinta. Tapi pintu hatiku lagi-lagi tertutup kala Yuda hadir dalam
ingatan. Seolah hatiku sudah penuh sesak dengan namanya, sehingga sudah tidak
ada lagi tempat untuk menyimpan nama lain.
Aku
mengenal Yuda enam tahun yang lalu. Ia adalah tetanggaku. Tetangga baik dan
merupakan orang pertama yang menyambut kedatangan kami sebagai tetangga baru.
Dia yang memberikan bantuan kepada ayahku ketika menurunkan barang-barang dari
bagasi mobil. Ia juga yang pertama kali mengundang kami untuk singgah di
rumahnya yang hanya terhalang dua rumah dari rumahku.
Sejak
awal pertemuan, aku rasa aku sudah jatuh hati kepadanya. Wajahnya yang manis,
badannya yang tinggi atletis, sikapnya yang ramah, dan pembawaannya yang
tenang, menyisakan kesan tersendiri di hatiku saat pertemuan pertama itu. Sejak
hari itu aku selalu berharap bertemu dengan Yuda kembali. Secepatnya. Ya,
secepatnya.
Usia
kami memang terpaut jauh, sepuluh tahun. Ketika pertama kali aku menyadari jika
aku jatuh cinta kepadanya aku bermaksud untuk menyimpannya saja dalam hati.
Karena aku fikir, laki-laki sehebat dan setampan Yuda, pasti sudah memiliki
calon istri di usianya yang sudah cukup pas untuk memiliki istri. Saat itu
usianya 28 dan aku 18 tahun.
Kali
kedua pertemuan kami. Kami bertemu di sebuah tempat makan. Yuda mengadakan
pertemuan dengan rekan kerjanya di sebuah tempat makan dekat kampusku. Ia
tersenyum kepadaku lalu memanggilku dan tiba-tiba mengenalkan aku kepada
teman-temannya. Yuda mengenalkanku sebagai tetangga. Itu memang kenyataan, aku
hanya tetangganya. Tapi ada semacam pengharapan yang sebetulnya tak boleh aku
biarkan tumbuh dalam hatiku. (aku berharap Yuda mengenalkan aku sebagai pacar
atau mungkin calon istri)
Kali
keempat, lima, enam dan seterusnya merupakan pertemuan-pertemuan yang mungkin
menurutnya biasa saja. Tapi menurut ku itu adalah pupuk yang mujarab untuk
membuat perasaanku semakin tumbuh subur kepadanya.
**
Kali
kesekian, saat perasaanku telah tumbuh terlalu subur, berdaun rindang, berakar
kokoh, sudah sangat susah ku pangkas, Yuda mengajakku bertemu untuk makan siang
bersama. Saat itu aku merasa senang bukan kepalang. Bagaimana tidak, harapanku
terjawab sudah. Jika aku boleh mengambil kesimpulan saat itu, aku rasa Yuda
mulai menyukaiku, dan perasaanku kepadanya mulai terjawab.
Dan
memang benar adanya, sejak saat itu kami menjadi lebih sering bertemu, aku
sendiri lebih banyak berbagi cerita tentang hal apapun yang aku alami. Bagiku
dia adalah manusia paling sabar medengarkan semua ceritaku. Bagiku dia adalah
sosok yang lengkap. Ia adalah kakak laki-laki yang paling baik, dia adalah
sayap pelindungku, dia adalah pelangi yang membuat hidupku penuh warna.
Dengannya aku lebih semangat menjalani hidup (pasca putus dari pacarku sebelum
ketemu Yuda), dia adalah sesuatu yang paling menyegarkan lebih segar dari embun
pagi, dia adalah penghilang hausku. Bertemu dengannya bisa membuat aku lupa
jika aku sedang lapar, melihat senyum nya saja bisa menjadi pembangkit semangat
jika aku sedang merasa bosan, lelah, dan jenuh dengan setumpuk tugas yang harus
aku selesaikan. Bagiku dia adalah semacam powerbank
yang bisa membuat batraiku penuh kembali saat aku merasa down dan kehabisan energi.
Dia adalah segalanya.
Ketika
aku merasa dia memperlakukanku special aku merasa memiliki hidup yang indah,
merasa akan berumur panjang. Setiap hari bahkan aku merasa memiliki semangat
ratusan kali lipat jauh lebih semangat dibandingkan dari semangatku sebelum
bertemu Yuda.
Kami
semakin dekat dan dekat. Yuda semakin perhatian dan semakin memperlakukan ku
lebih. Aku seringg dijemput olehnya sepulang dari dari kampus, lantas ia membawaku
kabur untuk makan siang, makan malam, atau jalan-jalan ke toko buku, bahkan
menonton di bioskop kesayangan. Nonton film-film kesuakaan dia yang lebih
banyak tentang petualangan dan berbau action. Sedangkan jika aku meminta menonton
film romantis, dia benar-benar hanya menemaniku dan tak jarang dia tidur di
sebelahku dan bangun saat film sudah selesai. Dia bilang “Malas sedih-sedihan”.
Yuda ia tak pernah mengeluh dan tak pernah protes dengan kemauanku. Dia selalu
meng-iyakan, membuatku merasa menjadi perempuan yang paling special.
Tapi
sejauh itu pula aku sendiri belum tahu kami beri judul apa kedekatan kami itu.
Sampai suatu hari, hari bersejarah itupun terjadi. Dan benar-benar takan mampu
aku lupakan sampai kapanpun.
**
Hari
itu hujan lebat. Jam menunjukkan pukul 16:00. Aku menunggu hujan reda di halte
bis di depan kampusku bersama beberapa orang yang juga terjebak di sana. Hujan
yang lama tak jua reda membuat jalan tergenang air, semakin banyak dan semakin
meninggi. Aku mulai khawatir, khawatir tak bisa segera pulang. Tidak ada
tanda-tanda hujan akan segera reda. Payung yang biasa aku bawa tertinggal di
rumah. Belum lagi aku membawa banyak diktat kuliah, jika aku memaksakan
menerobos hujan dan pulang segera menggunakan bis atau angkot sudah pasti
notebook sab semua isi tasku basah kuyup. Aku lebih memilih untuk bertahan dan
menunggu reda di sana.
Aku
duduk di bangku halte sambil melindungi
tasku agar tidak terkena basahan hujan. Dalam dekapanku, terasa ada getaran dari
dalam tasku. Telepon genggamku berbunyi. Sebuah pesan masuk, dari Yuda. Ia
bertanya aku ada di mana. Setelah aku jelaskan, tak lama kemudian tampak di
sebrang jalan, tepat di hadapan tempat aku duduk, seorang laki-laki yang sangat
aku kenal turun dari mobilnya membawa payung lalu berjalan menuju ke arahku.
Yuda menjemputku. (Aku senang kamu datang).
Hujan
yang begitu deras tak mampu melindungi baju kami. Bajuku dan juga bajunya basah
kuyup. Aku duduk di sebelahnya, tak lupa aku berkali-kali mengucapkan
terimakasih karena ia telah bersedia menjemputku.
Hujan
yang begitu deras membuat Yuda merasa khawatir akan keselamatanku, itu adalah
alasan yang dia berikan, ketika aku bertanya mengapa dia mencariku dan datang menjemputku.
(Terimakasih banyak, aku merasa tersanjung dengan sikapmu).
Aku
duduk di sebelahnya. Dia memberikan jaket kering yang tersimpan di jok belakang
mobil. Aroma khas parfumnya mulai tercium, saat itu aku berandai-andai jika
aroma itu berasal dari pelukan pemiliknya. Yuda rela basah-basahan membirkan
aku merasa nyaman dan hangat. Walau sebenarnya badanku masih terasa dingin
karena bajuku basah, tapi perlakuan Yuda yang melindungiku, sudah lebih dari
cukup untuk membuatku merasa nyaman dan hangat.
Mobil
melaju perlahan, air menggenang cukup tinggi. Tibalah kami di tempat yang
benar-benar tak mungkin dilewati. Khawatir mesin mobil terisi air, Yuda
memberhentikan mobilnya di pinggir jalan yang tidak terlalu tinggi genangannya.
Memintaku bersabar jika pulang agak telat. Menunggu jalanan agak surut. Lantas
menyarankan ku untuk menelpon ke rumah, agar orangtua tidak khawatir. Aku
mengangguk setuju saja. (Seandainya terjebak lebih lama pun aku rela asalkan
bersamamu)
“Kamu
dingin Nay?” tangan Yuda menyentuh lembut jemariku. Degup jantungku terasa
berubah menjadi lebih kencang. Itu memang bukan kali pertama tanganku dipegang
oleh Yuda, namun biasanya sentuhan itu hanya sebatas bantuan jika kami akan
menyebrang jalan bersama, Yuda refleks memegang tanganku. Tapi kali ini
sentuhannya tampak serius. Aku bisa menebak, pasti ada sesuatu yang ingin Yuda
katakan. Lebih dari sekedar bertanya aku kedinginan atau tidak. (Ayolah katakan
jika kamu mencintaiku dan lalu resmikan hubungan kita).
Aku
menggeleng.
“Gak
dingin kok… hangat pake jaket kamu” (Bahkan hatiku lebih hangat lagi, karena
hadirnya desir hangat yang sejak tadi menjalar dari ujung kaki ke ujung kepalaku).
“Nay…
boleh aku bertanya sesuatu?” Yuda tak melepaskan genggamannya, bahkan kali ini
kedua tangannya meraih tanganku. Ditariknya tanganku lalu meletakkannya di
dadanya. Matanya memandang mataku dengan lembut namun tajam menghujam dadaku.
Membuat aku cukup salah tingkah dibuatnya. (Ayolah tanyakan saja, jika kamu
bertanya “Apakah aku mencintaimu?”, maka
jawabannya adalah “Ya” aku mencintaimu,
sangat mencintaimu dari dulu. Dan jika pertanyaannya “maukah kamu jadi pacarku?”,
maka aku pun akan menjawab “Mau sekali”)
“Tanya
apa?” Ucapku gugup.
“Sebesar
apa harapan kamu kepada hubungan kita?” ternyata pertanyaannya bukanlah pertanyaan yang aku harapkan. Jawabannya pun tidak
semudah yang aku fikirkan. Jawaban apa yang harus aku berikan? Aku ingin
menjadi pacarnya, kekasihnya, tunangannya, dan lalu menjadi istrinya. Hidup
selama mungkin bersamanya. Sampai hanya maut memisahkan. Tapia bagaimana aku
menyampaikannya? Aku tak memiliki cukup keberanian untuk mengungkapkan itu
semua. Masih ada semacam keraguan. Aku takut cintaku bertepuk sebelah tangan.
Aku diam. Tak tahu harus mulai dari mana untuk memberikan jawaban.
“Kenapa
diam Nay?” Yuda kembali bertanya. Aku terus diam belum mampu berkata apa-apa.
Lalu,
“Nay…
jika kamu tak mampu menjawab pertanyaanku tadi coba jawab yang ini” Yuda lantas
menghela nafas panjang. Seolah ada beban berat di dadanya.
“Kenapa
kamu datang terlambat Nay…? Kenapa kamu datang setelah aku memutuskan sesuatu
yang tak bisa aku batalkan?” Pandangan Yuda tak lepas dari wajahku. Matanya
mulai berembun. Setitik air mata siap melincur di pipinya.
Aku
diam tak mengerti. Kusapu air matanya yang tenyata lebih cepat mengalir dari
dugaanku. Itu adalah pertama kalinya aku melihat Yuda menangis. Dia yang selalu
berhasil memompa semangatku, dan selalu berhasil menggagalkan tangisanku menggantinya dengan tawa kini menagis di hadapanku.
“Kamu
kenapa Kak Yuda?” Aku masih belum mengerti. Ada apa ini?
“Aku
mencintaimu Nay… sungguh” Hatiku seolah seringan kapas, melayang terbang,
menerobos langit-langit mobilnya Yuda, terbang tinggi mengagkasa dan melayang
setinggi tingginya. Akhirnya perkataan itu meluncur juga dari mulutnya. Selama
ini memang perlakuan Yuda kepadaku bisa saja merupakan cerminan perasaannya,
tapi untuk sebagian besar perempuan, kadang cinta itu harus diikrarkan. Biar
pasti, biar tahu, biar gak mengantung antar iya dan tidak. Dan kali ini Yuda
mengatakannya.
Tangan
Yuda mempererat genggamannya. Namun air matanya kembali jatuh. Aku bertambah
merasa bingung.
“Lalu
kenapa Kak Yuda menangis? Nayla juga cinta sama kakak, bahkan sejak Nayla
pertama kali ketemu Kakak, Nayla suka, nayla nyaman, Nayla punya harapan yang
lebih. Jujur selama ini Nayla menunggu Kakak mengucapkan kalimat itu, tapi
kenapa Kakak menangis? Bukankah jika kita memiliki perasaan yang sama
seharusnya kita bahagia?”
Tanganku
meraih wajahnya, kusapu lagi kedua pipinya yang sedikit basah. Aku mencoba
tersenyum dan tetap berusaha mencari jawaban mengapa tangisan itu harus muncul.
“Aku
mencintaimu. Dan seharusnya rasa ini tak harus aku biarkan tumbuh terlalu
subur. Tapi kamu, sudah terlalu jauh masuk dalam aliran darahku, mejadi
penyemangat hidupku yang selama ini sempat hilang. Namun kenapa kamu datang
terlambat?” lagi-lagi pertanyaan itu yang muncul dari mulut Yoga.
“Aku
gak ngerti, apanya yang terlambat Kak?” Aku menatap wajahnya. Kini matanya
lebih memilih memandang percikan air hujan di balik kaca mobil.
“Aku
sudah dijodohkan dan sebentar lagi kami harus menikah”
Bagai
dihamtam kilatan petir, tubuhku lemas seketika. Hatiku yang tadi seringan
kapas, sedang melayang tinggi di udara, layu kalah oleh tetesan air hujan. Hujan
yang deras di luar sana kalah derasnya dengan hujan di hatiku. Hatiku yang sejak
tadi berbunga-bunga kini hancur berantakan. Seolah aku ingin menjerit
sejadinya. Mengapa aku harus mendengar dua kenyataan yang bertolak belakang
sekaligus. Aku merasa bahagia dan sekaligus bersedih sesedih-sedihnya. Ya, kamu
benar, aku salah. Kenapa aku datang terlambat?. Kenapa aku tidak menjadi
tetanggamu sejak aku berusia balita jika perlu. Biar kamu tak usah melihat yang
lain, tiap hari kita bertemu, Agar kamu tak sempat jatuh cinta dengan yang
lain. Agar kamu dijodohkan kepadaku bukan kepada orang lain. Biar kamu menikah
denganku bukan dengan orang lain. Ah… Kak Yuda…
“Aku
minta maaf Nay… Seharusnya aku tak membiarkan cintamu tumbuh subur kepadaku.
Tapi aku juga tak bisa memnagkas habis rasa ini. Sekali lagi sungguh aku
mencintaimu.”
Kami
saling diam, berdialog dengan hati masing-masing. Air mataku tak berhenti
mengalir, lebih deras dari air matanya, dan lebih deras dari hujan yang perlahan
mulai mereda.
Udara
yang dingin solah menambah dinginnya hati dan perasannku. Saat itu aku mati
rasa. Aku tak tahu mana yang lebih pantas aku rasakan. Satu sisi aku bahagia
mendengar pengakuan cinta Yuda, sisi lain hatiku hancur sehancur-hancurnya.
“Nay…
Sekali lagi maafkan aku, seharusnya aku tak perlu mengakuinya. Tentang perasaan
ini biar aku pendam saja. Tapi kamu harus tahu Nay, bahwa aku pun tahu jika kamu
mencintaiku dengan tulus, dan aku juga merasa harus memberi tahu jika cintamu
kepadaku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi Sofi, sudah selesai kuliah S2, dan
itu pertanda kami harus segera menikah. Sesuai kesepakatan ayahku dan juga
almarhum ayah Sofi beberpa tahun lalu.”
“Kak…
Aku tak rela…” Aku berhambur ke pelukannya. Disambut pelukan erat Yuda.
Tangannya mendekap hangat tubuhku. Mengelus rambutku. Aku tak bisa berhenti
menangis, sesenggukan di dadanya yang juga terdapat hati. Hati yang sama
hancurnya dengan hatiku.
“Kalau
Kakak mencintaiku, mengapa Kakak tidak membatalkannya saja?” Aku mencoba
menggoyahkan keyakinan Yuda atas apa yang telah ia putuskan. Mencoba merebut
Yuda dari tunangannya, mencoba menggagalkan perjodohan mereka, mencoba meraih
dan memiliki cinta yang baru saja aku dapatkan pengikrarannya.
“Aku
sudah coba Nay, tanpa kamu minta. Aku sudah coba berdialog dengan ayah, tapi
beliau tidak setuju. Janji Ayah dengan sahabatnya sudah terlanjur diikrarkan.
Apalagi ayah Sofi sebelum meninggal sudah menitipkan putrinya kepada kami. Aku
tak bisa melanggar keinginan ayah Nay…
Jujur sekarang aku ini bagai hidup segan mati tak mau…” Tangan Yuda
mempererat kembali pelukannya seolah tak mau lepas. Aku pun demikian, aku tak
mau melepaskan dekapannya yang mungkin ini adalah kali pertama dan terakhir
dalam hidupku.
“Aku
tau Kak…” Perlahan aku melepaskan diri dari pelukannya. Aku mulai bersikap
bijak. Walaupun nyatanya hatiku tak bisa menerimanya. Tapi aku harus menghargai
keputusan yang Yuda ambil. Tak ada yang salah darinya, kecuali ia telah
membiarkan aku jatuh cinta terlalu dalam kepadanya. Perjodohan merekapun telah
berlangsung lama sebelum kami saling kenal. Aku tak mau merebutnya dari Sofi.
Mungkin dia adalah jodoh terbaik yang dipilihkan orangtuanya. Ia telah tamat
S2, sementara aku masih anak smester empat. Masih jauh perjalanan. Seandainya
Yuda gagal menikah dengan Sofi belum tentu orangtuaku mengizinkan aku menikah
dengan segera, dan belum tentu juga Yuda mau menungguku sampai aku lulus
kuliah.
Bathinku
berkecamuk. Satu sisi berkata, relakan! Sisi lain berkata, rebut dan
pertahankan! Namun aku membayangkan betapa hancurnya hati Sofi jika Yuda harus
meninggalkannya. Entah kenapa walaupun aku belum mengenal Sofi, dan belum
sempat mendengar cerita Yuda tentang Sofi, tapi aku yakin sekali jika Sofi
adalah perempuan yang sangat baik dan pantas menjadi pendamping Yuda.
Aku
menyeka linangan air di sudut mata, mencoba mengumpulkan kepingan hati yang
retak berantakan. Aku susun kembali menjadi utuh. Aku berusaha memulihkan
kesadaran. Mencoba menguatkan diri, dan mencoba menerapkan teori dan pendapat
bahwa cinta tak harus memiliki. Bahwa hakikat cinta yang paling tinggi adalah
merelakan dan melepaskan. (Tuhan, beri aku kekuatan).
Aku
meraih tangan Yuda. Dan menggenggamnya dengan erat. Aku menciumi punggung
tangnya, lalu,
“Kak…
atas nama cinta, Nayla rela Kakak menikah dengan Sofi. Terimakasih sudah
mengatakan perasaanmu yang sebenarnya, terimakasih sudah menemani hari-hariku.
Bagi Nayla Kakak adalah sosok mahluk yang luar biasa tak akan pernah bisa terlupakan.
Kakak adalah sosok lengkap, penyemangat hidup Nayla sampai kapanpun. Kakak adalah
sayap pelindung saat Nayla rapuh dan butuh perlindungan. Kakak akan tetap
menjadi powerbank-nya Nayla saat
Nayla kehabisan stok energi. Mungkin nanti jika Nayla lagi gak bersemangat
Nayla akan mengingat Kakak biar Nay semngat lagi.”
Aku
menyeka air mata berkali-kali. Dan air mata Yuda kembali mengalir. Aku kembali
menghambur ke dalam pelukan Yuda. Yuda mengdekapku dengan erat.
“Jika
ini pertemuan terkahir kita Nayla rela Kak… Nayla doakan semoga Kakak bahagia
sama mbak Sofi.”
Yuda
mengecup keningku untuk pertama kali dan aku tahu itu juga untuk kali terkahir.
“Terimakasih
Nayla… Kamu luar biasa. Hal itu yang selalu membuatku selalu bersemangat. Kamu
perempuan yang hebat Nay…” Yuda kini berusaha tersenyum. Dan akupun demikian.
Walau luka memar di mana-mana, ada semacam perasan lega setelah aku mengatakan
bahwa aku rela Yuda menikah dengan Sofi.
“Maafkan
kakak Nay…” Tangan Yuda kembali menggenggam tanganku dengan erat. Aku
mengangguk dengan senyum yang ku rasakan kini lebih tulus dan terasa ringan.
Hujan
mulai mereda. Genangan air mulai surut. Hari mulai gelap, jam menunjukkan jam
17:30. Kami memutuskan untuk pulang. Pulang ke arah yang sama, tujuan yang
sama, komplek perumahan yang sama, berhenti di gang yang sama, berbeda sekitar dua
puluh meter saja. Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam. Lagi-lagi hanya
berdialog dengan hati masing-masing. Aku lebih berusaha menenangkan diri, dan
sekali lagi berusaha yakin jika cinta tidak harus memiliki. Sementara Yuda,
entah apa yang ia fikirkan. Yang aku tahu di matanya, masih tergambar sejuta
penyesalan mengapa dia membiarkan dirinya jatuh cinta dan mengapa membiarkan
aku jatuh cinta kepadanya. Tapi yang aku tahu pula ia adalah sosok pria
bertanggungjawab, ia takan melanggar janji dan keputusan yang telah ia buat.
(Semoga termasuk janjinya untuk tetap mengingat dan menyimpan mamaku di
hatinya).
**
Enam
bulan kemudian Yuda dan Sofi Menikah. Aku
pun hadir di resepsinya. Aku tak kuat berlama-lama ada di sana. Tapi aku
cukup lega, melihat Sofi yang begitu cantik dan anggun. Aku sangat yakin jika
Sofi adalah perempuan yang setia. Di wajahnya terpancar kebahagiaan yang luar
biasa saat duduk di pelaminan berdampingan dengan Yuda. Sangat tampak di
matanya jika Sofi sangat mencintai Yuda. (Aku merasa lega jika kamu dijagai oleh
perempuan sebaik Sofi).
Selama
tiga bulan, adalah hari-hari yang menyakitkan bagiku. Dimana aku harus
terus-terusan melihat Yuda lewat bolak-balik di depan rumahku bersama istrinya.
Aku tak sanggup memandang Yuda, Pernah sesekali kami bertemu pandang, tampak
matanya masih memandangku dengan pandangan yang dulu (pandangan penuh cinta).
Tapi aku tak mau menyakiti hati mbak Sofi. Aku lebih banyak ngobrol dengan mbak
Sofi jika kebetulan kami bertemu.
Tiga
bulan kemudian mereka akhirnya pindah ke rumah baru mereka. Rumah yang di
sebelahku dijual dan ditinggali oleh orang lain. Satu sisi aku merasa lega
karena aku tak harus lagi merasakan hatiku terkoyak jika melihat mereka
berjalan berdua, dan sisi lain aku jelas merasa kehilangan.
**
Kini
empat tahun berlalu, Yuda telah dikaruniai anak laki-laki yang lucu. Mbak Sofi
yang selalu mengirim kabar tentang kebahagiaan mereka. Entah apa yang Yuda
katakan tentang aku kepada mbak Sofi, karena aku merasakan mbak Sofi begitu
dekat dengan ku. Ia selalu memberikan kabar dan tak lupa memberikan semangat
kepadaku. Terutama saat aku menyelesaikan skripsi dua tahun lalu. Mbak Sofi lah
yang banyak menyemangatiku untuk segera menyelesaikan semuanya. Waktu aku
wisuda, Mbak Sofi datang dengan Yuda, membawa putranya yang semakin ganteng (seperti
ayahnya). Mereka menghadiahi ku bunga. Rangkaina bunga kesuakkanku (Bunga yang
sama yang diberikan Yuda saat aku berulang tahun dulu dan merayakan nya bersama
Yuda dengan makan malam, dan Yuda menghadiahi sekotak donat yang khusus dipesan
bertuliskan “HBD Nayla” dan sebuah rangkaian bunga. Dan hal itu pula yang menambah
rasa percaya diriku bahwa Yuda benar-benar telah mencintaiku).
Aku
simpan bunganya sampai layu, kering dan berguguran.
**
Sejak
wisuda dua tahun lalu, aku semakin jarang bertemu Yuda, aku mencoba membiarkan
dia terhapus dari hatiku. Aku juga mencoba membiarkan Yuda benar-benar
mencintai Sofi perempuan yang baik sekali. Walaupun sepenuhnya aku tak pernah
berhasil melupakan Yuda.
Aku
mencoba membuka hati untuk laki-laki lain (ku harap ada yang seperti Yuda).
Tapi aku belumberhasil menemukannya.
Kalian
tahu apa yang sebenarnya selalu membuat aku susah melupakan Yuda? Persaanku
kepadaYuda? Parasnya yang tampan? Kebaikannya? Kenangan indah kami? Bukan hanya
itu semua. Lalu apa? Jawabanya adalah turunnya hujan, Ya, setiap hujan turun
berarti ada Yuda di sana. Ada tangisan rindu di sela-sela derai hujan yang
turun dari langit. Seperti saat ini, ketika aku berdiri di halte yang sama,
menunggu hujan reda, dengan hujan yang deras di sudut mataku, mengenang semua
tentang cerita cinta kami. Aku selalu berharap jika hujan yang turun
menyertakan Yuda yang dikirim Tuhan untukku.
Tapi
sudahlah, bairlah cintaku kepadanya abadi seperti hujan yang pasti akan turun
ke bumi pada waktu yang ditentukan Tuhan. Semoga nanti Tuhan pun menurunkan
jodoh untukku. (Yang seperti Yuda).
Apakah
ada di antara kalian yang seperti Yuda? Jika ada, aku mau.
So Sad
ReplyDeleteTrue Story for Me
ReplyDeletehhhm... :-)
Delete