Search This Blog

Wednesday, August 5, 2015

Ramadhan I'm in Love 6 (terjawab Dan berakhir)

Mulutku masih membisu begitupun mulut nya masih mengatup, diam. Mobil melaju kencang menembus dinginnya udara malam kota Bandung. Kak Riksan memutar lagu-lagu kesayangan kami. Lalu mulutnya mulai mengumam mengikuti lagu yang diputar. Aku tersenyum melihat kelakuan laki-laki di sebelah ku. Lalu mencoba memulai pembicaraan.
"Kak... Din boleh bertanya sesuatu?" Tanyaku berhati-hati.
"Tanya apa Din...?, Pertanyaan yang sama? Tentang Ratu Amartina kan?" Sontak, aku tercengang. Ternyata kak Riksan mengerti kegelisahanku.
"Iya Kak, Dim mau kakak kasih penjelasan siapa sebenarnya ratu Amartina? Dan kenapa bisa berfose sedekat itu? Nadin kan gak enak liat nya kak..."
Kak Riksan tertawa terbahak-bahak. Aku hanya diam, mengernyitkan dahi.
"Kenapa kakak malah tertawa?" Aku kesal dengan sikapnya.
Kak Riksan tak bisa menahan tawa nya. Aku semakin kesal.
"Nadin sayang... kamu benar-benar pengen tau siapa itu Ratu?"
"Iya" jawabku singkat, Bahkan mungkin bernada ketus dan setengah membentak. Ada hentakkan pada nada bicaraku.
"Kamu mau mendengarkan cerita kakak?"
"Iya mau, kalau itu bisa memberi penjelasan buat Nadin, Nadin denarkan Kak". Jawabku penuh harap.
Kak Riksan menhela nafas panjang, nampak tersimpan beban dalam kepala nya. Cerita yang akan ia paparkan sepertinya tak semudah menceritakan hal biasa.
"Hhhhh... Din... setiap orang yang belum kenal siapa Ratu pasti menyangka bahwa ia adalah pacar kakak. Ia selalu memperlakuakan Kakak spesial, memperhatikan kakak, bahkan bahasa tubuhnya menunjukkan hal lain. Beberapa bulan lalu, ia menungkapkan perasaannya kepada Kakak, bahwa ia mencintai Kakak." lagi-lagi Kak Riksan menhela nafas panjang.
"Terus Kakak terima cintanya?" Tanyaku dengan nafas tertahan. Tak bisa ku lukiskan bagaimana perasaan ku. Mendengar kenyataan bahwa ada seseorang yang sangat mencintai kekasihku.
"Nadin... ya jelas gak kakak terima lah..."
"Kenapa?"
"Karena hati kakak buat kamu Nadin"
'Dia kan cantik kak, lebih cantik dari aku"
"Kamu lebih menarik perhatian kakak"
"Dia lebih dewasa Kak"
 "Siapa bilang?"
"Aku lihat dari penampilannya"
"Penampilan tidak menjamin. Kamu belum kenal dia"
"O... jadi kakak telah jauh mengenal dia? Sejauh apa?"
"Iya, kakak emang mengenal ia lebih jauh Din... Jauh bgt. kami bersama bukan setahun dua tahun. Kami tumbuh bersama, sekolah bareng, bahkan selagi kecil sering bobo bareng. Ahahah... " Kak Riksan terbahak mengenang cerita yang menurut ku tidak menyenangkan dan tidak enak didengar itu.
"Sampai akhirnya kami tumbuh remaja dan diapun jatuh cinta sama kakak Din..." Seketika dadaku terhenyak mendengar kalimat itu. Namun aku berusaha tenang dan mendengarkan lanjutan cerita.
"Cinta nya kepada kakak sudah tidak didasarkan kepada logika lagi, dia ingin kita pacaran. Kakak berusaha menolak, dan menganggap bahwa di antara kami tak ada perasaan seistimewa itu. Kakak tetap tenang, santai dan bersikap wajar. Tapi lain dengan dia. Dia menganggap kedekatan dan kehangtan yang kakak jalin adalah pembenaran atas perasaan yang dia rasakan untuk kakak"
Kak Riksan berhenti sejenak. Ia menghela nafas panjang. Lalu perlahan ia melanjutkan.
"Jujur sebelum ketemu kamu hidup kakak seperti di penjara, seperti tak berwarna, ah... apapun itu. Kemana-mana kakak harus selalu bersama dia. Dimana ada kakak maka ia selalu ada. Makanya Sekolah Dasar, Menengah, Lanjutan sampai kuliah ia memilih tempat yang sama dan kelas yang sama. Bayangkan Din, selama beberapa tahun kakak harus bersama dengan orang yang menganggap kakak kekasih nya sementara kakak tidak sepantasnya merasakan demikian".
"Perasaan kakak sendiri sama dia?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku. Entah apa maksud nya. Perasaan kepenasaranan yang ada di dada tak jua segera terjawab.
"Kakak sayang dia, bahakan kakak tak mau kehilangan dia Din..."
Dadaku sesak. Menerima kenyataan bahwa kekasih hatiku begitu takut kehilangan seseorang, perempuan lain selain aku.
"Lalu kenapa kakak tak terima cintanya dan kalian mungkin sudah bisa menikah dari dulu."
"Dia punya penyakit Din, penyakit serius".
"Kak, apa karena dia berpenyakit lalu kakak tidak mau menerima nya? Apakah karena aku sedang sehat kemudian kakak lebh memilih aku dibandingkan dia yang berpenyakit, padahal penuh harap kepada kakak? tega kamu Kak!" nadaku meninggi, terbawa emosi.
"Din, bisa jadi dia masih hidup pun itu karena kakak selalu berusaha untuk berada di sampingnya. Tapi kakak tak bisa bohongin hati. dan tak bisa melangkahi takdir. Setelah ketemu kamu, kakak hanya ingin hidup bersama kamu. Kakak hanya mau kamu". Mobil berhenti seketika. Bersamaan dengan akhir kalimat yang Kak Riksan ucapkan. Ia pertegas sekali lagi.
"Din kakak sayang sama kamu, kakak cinta sama kamu!" Sorot matanya tajam memandang mataku.
"Tapi Din tak mau Kakak, jika ternyata di dalam kebahagian Din ada orang lain yang justru berharap banyak pada laki-laki yang Din sayang. Mana bisa Din menjalaninya. Dia sakit, dan menjadikan Kakak separuh nyawanya. Dia hidup hanya untukk kakak."
Hening.
"Kak... Kenapa kakak tidak nikahin saja Ratu, mungkin hidup nya akan jauh lebih berarti bersama kakak jika kakak jadi suaminya"
"Gila kamu Din" Nada bicara nya tak pernah aku dengar. Tak pernah sebelumnya Kak Riksan semarah itu. Hatiku gentar.
"Kenapa?"
"Dia adik sepupuku!"
"Kenapa kakak tak pernah bilang?"
"Harusnya kamu faham, kenapa dia datang ke acara keluargaku, tak ada orang lain yang diundang, semuanya keluarga! Hanya kamu satu-satunya orang lain yang hadir di sana, yang sengaja aku bawa untuk aku jadikan kamu bisa menjadi bukan orang lain lagi!. Faham?" 
Nadanya sinis. Namun kaliamat-kalimat yang baru saja keluar dari mulut kak Riksan membuat matahari tiba-tiba terbit di malam hari. Aku bahagia ternyata dia sepupu nya kak Riksan tak mungkin mereka menikah walau sekuat apapun cinta yang dimiliki Ratu.
Aku menhela nafas panjang. mataku terpejam. Satu teka-teki terjawab sudah. Satu kekhawatiran ku berkurang. 
Tapi ternyata tidak sampai disitu, telepon gengamnya Kak Riksan berbunyi. 
"Halo, iya, apa?. Oiya Riksan ke sana ma..." Wajah Kak Riksan berubah menjadi tegang, bahkan sangat tegang.
"Ada apa kak?"
"Ratu pingsan Din sekarang dalam perjalanan ke rumahsakit"
Biar aku turun disini aja kak, kakak cepat ke rumahsakit" 
"Enggak din, kamu harus ikut kakak putar balik. Biar nanti kakak yang menelpon Mama dan Ayah kamu setelah sampai di rumahsakit nanti" Aku mengangguk.
***
Di Rumah sakit
Beberapa orang yang sempat bertemu tadi petang di tempat buka bersama kembali aku temui di rumahsakit. Namun kali ini lain. Pandangan mata mereka ke arah ku sangat membuat ku merasa tak nyaman. Sangat lain dari pandangan mata mereka tadi sore. Seseorang menghampiri ku.
"Kamu yang bernama Nadin? Kenapa kamu harus tega membuat Putriku sedih dan sekarang kondisinya kritis?"
Deg, apa salahku?
"Kenapa kamu hadir di acara keluarga kami dan datang sebagai kekesih Riksan? Kenapa? Kenapa kamu tega mendekatkan putriku dengan maut?" Perempuan itu terisak. Pundaknya beruncang hebat, ia menangis hebat dan seseorang yang kutahu suaminya mencoba menenangkan dan menganggukan kepala ke arah ku. aku tahu itu isyarat agar aku bisa memaklumi sikap istrinya. 
Kali ini aku benar-benar tak tau harus berbuat apa. Keluarga semakin ramai berdatangan memenuhi ruang tunggu UDG. Mataku memandang sekeliling mencari Riksan, kemana dia?
Kak Riksan muncul dengan langkah cecepat mungkin. Menarik tangan ku lalu sempat aku dengar ia mengatakan sesuatu sambil mempercepat langkahnya. Ia bilang bahwa ia telah menelpon ayah dan mama ku, meminta izin pilang telat.
Langkah kami tertuju ke ruang ICU, diikuti oleh langkah-langkah mereka di belakangku. Kakiku sempat kerepotan mengikuti langkah cepat nya Kak Riksan. 
Sampai si depan Ruang ICU, kami dihadang oleh petugas jaga. Setelah Kak Riksan mengadakan negosiasi akhirnya kami diizinkan masuk hanya dua orang.
Di dalam ruangan Ratu terbaring, kaku lemah tak berdaya. Berbagai alat dipasang pada beberapa bagian tubunya. hatiku hancur. Ratu harus koma karena kehadiranku diantara dia dan orang yang dicintainya.
Ibu Kak Riksan berdiri di samping ayah dan ibunya Ratu. Ia menganggukan kepala dan berusaha senyum kepadaku. Ibunda Ratu tak henti-hentinya menyeka air matanya sendiri, tangan sebelah kanannya mengenggam erat tangan putrnya. Aku tak mengerti apa yang harus aku lakukan di sana. Sampai akhirnya ibunda Ratu memangil namaku.
"Nadin... mendekatlah nak..." Aku mendekat dengan langkah yang terasa sangat berat. Lalu perempuan itu melanjutkan kalimat-kalimat berikutnya dengan nada yang lebih tenang, dan tampak lebih tegar.
"Lihatlah Nadin... Anaka tante, ia berjuang untuk hidup lebih lama demi cintanya kepada Riksan. Setelah ia tahu bahwa Riksan tidak mencintainya dan Riksan ternyata mencintai kamu, ia akhirnya syok, dan kondisinya turun drastis. Pada awalnya tante menyalahkan kamu. Karena kamu hari ini mungkin Tante akan kehilangan anak tante satu-satunya. Pada awalnya berbagai kebencian yang tante rasa semuanya tertuju kepadamu. namun ternyata Ratu sendiri yang telah menyadarkan tente, bahwa walaupun ia tetap hidup ia takan pernah bisa menjadi milik Riksan. karena mereka punya hubungan darah. Tadi, ketika ia masih siuman, ia sempat bilang titip pesan buat Riksan dan kamu. Katanya maafkan Ratu telah membenci kalian diatas cinta yang menggebu-gebu. Sekarang ia telah ikhlas, maka tante mohon kepada kalian, Nadin terutama, tolong maafkan anak tante. Jaga Riksan untuk tante dan untuk Ratu". Air matanya mengalir deras. Tubuhnya berguncang di pelukannku. Tanganku ragu membalas erat pelukannya tanpa mampu berkata-kata.
***
Beberapa orang melepas alat-alat yang terpassang ditubuh Ratu, Ratu sudah berpulang...
***
Hari ke 27 Ramadhan, telepon genggam ku berbunyi. Kak Riksan memangil.
"Halo Nadin..., Assalamualaikium"
"Waalaikumsalam Kak..."
"Nadin... Maafkan kakak, hari raya nanti kakak tidak bisa menemui kamu dan keluarga, Keluarga besar kakak berlebaran di Madiun. Berkumpul di rumah Mbah Kakung yang sudah sakit-sakitan. Malam ini kami berangkat, Kakak yang bawa mobil. Maafkan kakak ya Din... Kakak banyak salah sama kamu. Setelah lebaran nanti kakak secepat mungkin akan pulang dan temuin kamu."
"Iya Kak... Kakak hati-hati di jalan ya... Maafkan semua kesalahan Nadin juga Kak... salam buat keluarga, semoga selamat sampai Madiun. Kalau istirahat, sempetin kabarin Nadin ya Kak, biar Nadin gak cemas"
"Makasih Nadin sayang... nanti kakak kabarin kamu, sampaikan juga salam kakak kepada mama dan Ayah kamu, maafin kakak tidak sempat pamit langsung. Rencananya malam ini kami sekeluarga akan datang bersilaturahmi ke rumah kamu lho. tapi pamam Kakak yang di Madiun meminta kami segera datang. Mbah kakung kritis".
"Wah, benarkah, mau pada kesini kak?"
"Iya rencana papah tadi pagi sih begitu, tapi tak lama kemudian paman menelpon, jadi tertunda deh..." Ada nada kekecewaan dalam kalimat kak Riksan, sama kecewanya dengan perasaanku. Jujur, aku sangat merindukan Kak Riksan. Sejak acara pengajian 7 hari meningal nya Ratu kami belum sempat bertemu kembali. kak Riksan sibuk dengan pekerjannya yang dikejar dead line. Akupun demikian sibuk dengan tugas penelitian dan magang di toko kue yang semakin banyak orderan menjelang hari Raya.
"Din... boleh kakak bilan sesuatu sebelum kakak berangkat?"
"Boleh dong kakak... mau bilang apa?"
"Kakak sayang banget sama kamu, kakak pengen kamu jadi istri kakak. Tunggu kakak balik dari Madiun ya... Jangan nakal..."
"Ada semacam wangi bunga dan hamparan taman yang indah di hatiku. Nafasku tertahan, dadaku seakan sesak. mataku terpejam. Ya Tuhan... sungguh aku bahagia mendenar ungkapan itu"
"Din... kenapa diam? mau gak kamu jadi istri kakak, harus nya kakak bilang lansun ya Din... tapi kakak takut gak sempat lagi"
"Eh, kakak kenapa bilang begitu? Makasih lho kakak... Sunuh Din degdean banet, seneng banget dan sebenarnaya tak bisa berkata-kata lagi."
"Terus jawabannya?"
"Nadin mau kakak... Nadin juga sayang banet sama kakak, Nadin gamau kehilanan kakak, calon suami Nadin"
"Iya cantik... yaudah, kakak udah dipanggil ibu, udah dulu ya... tunggu kakak pulang"
"Iya kakak, hati-hati, bNadin tunggu kakak dengan setia dan penuh harap"
"Iya, Miss u Honey..."
"Miss u too..."
"assalamualaikum...."
"Waalaikumsalam"

Tuhan... betapa indah hari ini. Rasanya bagai mimpi indah yang terlalu indah. Jantungku tak berhenti berdetak kencang, kali ini aku bahagia, dan merasa jadi orang yang paling bahagia. sulit dilukiskan kata-kata. Telepon kak Riksan hari ini adalah pintu gerbang baru, yang membuka status baru, benar, aku adalah calon istri Kak Riksan. Akan aku kabarkan ini kepada mama, akan aku ceritakan ini kepada ayah. biar mereka tahu bahawa laki-laki yang sekarang jadi kekasihku kali ini tidak main-main seperti mereka yang sebelumnya sempat datang ke sini.

***
Di ruang keluarga, mama duduk sambil senyum-senyum sendiri. Aku yang merasa aneh menghampiri.
"Mama kenapa senyaum-senyum sendiri?"
"O..Nadin dini sayang duduk dekat mama"
Ternyata mama bercerita tentang kebahagiaan yang sama beberapa menit lalu Ibu nya Kak Riksan menelpon mama mengatakan hal yang sama. Rencana kunjungan keluarga Rikasan ke rumah ini. Walau rencananya tertunda tapi maksud dan tujuannya sudah tertangkap, bahwa keluarga kami akan membicarakan tentang rencana hitbahan. Allah memnagn Maha Baik. Kebahagiaan ku benar-benar sempurna, Mama dan ayah memberi restu untuk aku dan Kak Riksan.
"Nanti kita pake baju kayak apa ya Din...menyambut kedatangan keluarga Riksan setelah lebaran nanati?" Pembicaraan kami selanjutnya melebar kepada perkiraan siapa saja nanti yang akan siundah saat acara khitbahan, makanan yang akan dihidangkan, sampai kepada kapan kira-kira kami menikah dan akan tinggal dimana. Mama tampak sangat bahagia dengan kabar itu. Begitupun Ayah.
"Ayah percaya Riksan bisa jadi imam yang baik" begitu ayah bilang.

***
Setelah telepon itu hari-hari aku jalani dengan penuh kebahagiaan. Semua tugas yang harus aku jalani terasa ringan dan terselesaikan dengan baik. Kak Riksan selalu di hati. Malam takbiran aku menunggu telepon dan pesan bbm namun tak ada. Aku menelpon kak Riksan tapi nomornya selalu tidak aktif. Aku mulai harap-harap cemas, ada apa sebenarnya? Terus berusaha berhusnudzon bahwa Kak Riksan sedang sibuk dengan keluarganya, atau bahkan mungin kondisi Mbah Kakung nya yang semakin kritis. Beberapa kalimat do'a aku panjatkan untuk kesembuhan eyang kakung nya Kak Riksan.
***
Sampai pada hari lebaran kedua, aku belum mendapat kabar dari kak Riksan. sampai akhirnya pada malam hari lebaran kedua, telepon genggamku berbunyi. Nomor Kak Riksan memanggil.
"Halo Kak... Kemana aja nadin cemas...." Dengan penuh kekhawatiran kalimat itu tumpah.
"Halo, maaf mbak... ini benar dengan Mbak Nadin?"
Suara seorang perempuan denagn logat khas Jawa nya sangat kental, berbicara di ujung telepon.
"Iya, ini dengan siapa? Kak Riksan nya mana?" Aku tak bisa menyembunyikan kecemasanku.
"Maaf mbak, kami baru bisa memberi kabar, kami cukup repot dengan musibah yang kami hadapi, jadi baru hari ini kami bisa menelpon mbak setelah kami dengar Mas Riksan menyebut-nyebut nama Nadin"
"Musibah apak? Kak Riksan kenapa?"
"Mobil yang Riksan kemudikan kecelakaan mbak, Adik nya Mas Riksan meningal, Pak de dan bude kritis..." Kalimat itu hampir tidak selesai berbaur dengan isak tangis.
"Masya Allah, Innalillahiwainnailaihi rojiun" Air mataku mengalir deras seketika membayangkan musibah itu terjadi.
"Mbak... lalu kondisi Kak riksan sendiri gimana?"
"Si Mas Alhamdulillah sudah siuman Mbak... tapi sebut-sebut nama mbak aja"
Hatiku sakit, dadaku sesak, air mataku tak berhenti mengair deras. Ayah dan mama yang sejak tadi mendenarkan pebicaraan kami ditelpon menyarankan ku untuk mencari informasi alamat lengkap keluarga kak riksan di Madiun.
Malam itu juga kami berangkat. Mang Udin menyetir erasa beitu lamban. Hatiku meronta-ronta tak sabar ingin segera sampai d sana.
***
Madiun, 24 Juli 2015.
Pagi hari kami sampai di rumahsakit Soedono Madiun. Jam besuk belum dimuali, namun Witri Ayuni meminjamkanku kartu penungu pasien. kulangkahkan kakiku secepat mungkin menuju ruanan dimana kak Riksan berada.
Pintu kamar ku buka, tampak kak Riksan terbaring lemah tak berdaya, dua orang perawat baru selesai memeriksa kondisi kak Riksan. Aku sempat mengajukan beberapa pertanyaan. Kondisi Kak Riksan sangat menghawatirkan. Tulang kakinya patah, ada luka serius di kepala akibat benturan keras. Kondisinya benar-benar membuat semangat ku menurun, aku benar-benar dibuat lemas melihat kondisi Kak riksan yang sangat memprihatinkan.
Tangan nya ku genggam erat, perlahan kak Riksan membuka matanya. Air mata mengalir dari sudut mata nya yang sayu. aku tak bisa menahan isak tangis, aku ciumi punggung tangannya, berusaha tersenyum disela-sela tangisan.
"Din..." Suaranya parau
"Iya kak... Nadin di sini..."
"Maafin kakak ya... sepertinya kakak tak bisa memenuhi janji kakak untuk datang ke rumah Nadin setelah Lebaran seperti yang sempat kakak janjikan." Suaranya terlalu pelan. Butuh kecermatan yang teramat sangat untuk menangkap kalimat demi kalimat.
"Kak... sudahlah... jangan banyak berfikir macam-macam, sekarang yang terpenting adalah kesehatan kakak. Kakak harus semagat untuk sembuh ya..."
laki-laki tampan itu berusaha tersenyum, bibirnya bergerak perlahan.
"Kakak bahagia bisa melihat kamu di sini sekarang Din... Maafkan kakak sudah membuat mu repot datang ke sini. Kakak bahagia ternyata bidadari kakak mau menyempatkan hadir di saat-saat akhir hidup kakak, untuk menampakan paras cantik nya yang ayu..."
Aku tak lagi bisa menahan isak tangis, air mata ku semakin deras mengalir. dalam hatiku berjanji. Apapun yang terjadi aku rela menjadi pendamping hidup kak rikasan.
"Kak... jangan bilang begitu, Nadin janji, akan jagain kakak, temenin kakak sampai kakak sembuh lagi, balik lagi ke Bandung dan kita lanjutin mimpi-mimpi kita".
"Sepertinya mimpi itu takan pernah terwujud Din..., sekarang kakak titip seperuh hidup kakak sama kamu.jaga ayah dan ibu Kakak ya... jadilah anak mereka pengganti aku dan adikku. Kasihan mereka pasti kesepian setelah kakak pergi nanati..." Kalimat-kalimatnya semakin terbata-bata, nadanya tak jelas, kata-demi kata semakin sulit tertangkap jelas.
"Sungguh aku tak mau mendengar kalimat itu sayang, kamu harus kuat, kamu harus sembuh... demi ayah dan ibu, demi mimpi kita, demi rasa cintamu yang harus kau lanjutkan untuk tetap mencintaiku. Aku yang selalu berharap, aku yang akan selalu menemanimu. Kamu harus kuat Kak, ayah dan Ibu sedan berjuang untuk mu. Mereka akan sangat bahagia jika melihat kamu sehat, kesehatan mereka akan segera berangsur membaik jika anak nya punya semangat sembuh yang tinggi. Ayo kak... yang kuat..."
"Din... bisa jadi... aku belum bergi hanya untuk menungguimu di sini. Ayah ibu akan merasa tenang jika aku pergi dengan tenang, titip mereka Nadin... maafin kakak".
Kulihat detak jantung nya melemah, aku segera memijit bel panggilan darurat. Dua orang perawat datang memeriksa keadaan kak Riksan. Yang satu orang lagi berlari ke luar. Tak lama kemudian Seorang dokter masuk, melakukan pemeriksaan serius. Suasana enjadi semakin tegang, Suster yan satu nya lagi keluar, lalu masuk lagi bersama tiga orang, yang akhirnya aku tahu itu pak le dan bule nya Kak Riksan. Satu nya lagi Mbah Kakun nya yang memaksakan diri datang ke rumahsakit. Tamak dari kaca pintu, mama dan ayah ku ada hadir di sana.
Aku tak bisa berhenti menangis, Mbah kakung membimbing talkin Kak Riksan, tangannya tak kulepaskan dari genggaman.
Mbah Kakung tak henti-henti mengucap talkin, perlahan kak Riksan mengikuti dengan nafas tersendat-sendat. Kemudian matanya menutup perlahan, seiring dengan itu tangannya melemas, dan Dokter bergumam, "innalillahiwainnailaihirojiuan..." lalu menepuk pundak ku dan berpamitan kepada semua orang yang ada di ruangan itu, tangisan pecah, dari setiap hati orang yang ada di sana.
Dunia seakan runtuh, dadaku sesak, tubuhku lemas tak berdaya, hatiku terkoyak, tak dapat terdevinisikan dengan kata dan kalimat kehancuran perasaanku saat itu. Aku harus melihat kepergian kekasihku dengan mata kepalaku sendiri.
Rab... Aku rapuh...
***
Kak Riksan... Kamu adalah kisah terindah yang takan pernah aku lupakan. Manusia teristimewa yang pernah aku kenal. Kan ku jaga cinta ini untuk mu.
Aku menyayangiku, tapi aku tahu Allah jauh lebih menyayangiku. Tenanglah kau di sana. Aku akan selalu mendo'akanmu...

TAMAT





Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment