Search This Blog

Thursday, February 18, 2016

HUJAN KEMARIN

Kebetulan. Yes! Hari ini katanya guru-guru ada rapat. Jadinya siswa dipulangkan lebih awal. Jam 11 bel sudah berbunyi tiga kali. Tanda waktunya pulang. Biasanya bel tiga kali hanya kami dengar pada jam 07: 00 sebagai tanda jam pelajaran pertama dimulai, dan jam 14: 00 saat jam pelajaran terakhir usai.

Semua orang berhamburan dari kelas masing-masing setelah berdo’a terlebih dahulu dipimpin oleh ketua kelas masing-masing. Akupun bergegas pulang. Tak lupa tas sekolah warna coklat ku pakai di bahu, dengan semangat aku langkahkan kaki ke luar kelas.
Langit mendung, sepertinya sebentar lagi hujan deras akan turun. Beberapa teman tampak memepercepat langkahnya, ada pula yang berjalan biasa, karena rumahnya dekat dengan sekolah. Ada pula yang malah memperlambat langkahnya, menunggu jemputan atau bahkan malah mengatur rencana hari ini main ke mana? Mumpung pulang lebih awal.
“Ayo Wen cepetan, keburu hujan!” Resti menyenggol dari arah belakang. Langkahnya tergesa. Resti adalah teman dekatku yang memiliki rumah paling jauh dari sekolah. Ia harus menempuh hampir satu jam perjalanan untuk sampai di rumanya sepulang sekolah, dengan tiga kali ganti angkutan. Sementara aku hanya satu kali naik angkutan kota, selanjutnya harus naik ojeg ke perumahan.
“Iya ayo, aku juga buru-buru. Gak bawa payung soannya. Takut baju sama sepatu basah nih.” Aku menimpali. Sambil berusaha menyamakan langkah kaki dengan langkah Resti yang semakin cepat. Tubuh Resti lebih tinggi dari aku, makanya langkah dia lebih panjang-panjang dan lebar. Semetara aku hanya memiliki tinggi sekitar 150 cm. Langkahku pendek, namun tak kalah cepat dengan langkahnya.
5 menit waktu yang diperlukan untuk berjalan dari gerbang sekolah ke tepian jalan raya, akhirnya kami sampai juga di pinggir jalan. Resti lagsung pamit dan menyebrang jalan. Aku langsung naik angkot yang sejak tadi sudah ngetem di lurusan gerbang sekolah. Saang sekali aku dan Resti berbeda arah pulang. Padahal kalo saja barengan kami pasti bakalan anteng ngobrol ke sana kemari. Dia memang teman yang asik. Tapia pa boleh buat, besok juga ketemu lagi sama dia.
Langit semakin gelap, dan supir angkot tak juga segera menjalankan kendaraannya. Masih ngetem menunggu jok dipenuhi penumpang. Tak lama kemudian hujan mulai turun, sedikit-sedikit, lalu menderas, deras sekali. Aku mulai was-was, jika hujan ini tak segera reda sudah pasti jalanan banjir. Sepatuku pasti basah. Seragamku juga pasti basah. Mana aku lupa bawa payung. Seragamnya masih harus dipake besok satu hari lagi. Ah…! Kepalaku mulai memikirkan emperan ruko mana kira-kira yang nanti aku pakai berteduh menunggu hujan reda saat aku turun dari angkot nanti?.
Angkot mulai berjalan perlahan. Hujan yang tiba-tiba deras membuat jalanan tiba-tiba sibuk. Arus lalu lintas mulai memadat. Sedikit macet. 5 menit kemudian jalan mulai digenangi air berwarna coklat dari sisi kiri kanan jalan.
Biar gak suntuk aku mainkan hanphon pintarku. Iseng ngotak-ngatik BBM. Lihat-lihat PM sama DP orang. Tak lupa aku ngecek DP sama PM nya A Iwan, gebetan aku yang udah hamper setahun gak juga bisa jadian. A Iwannya punya orang siih… L tapi gak apa-apa, karena aku tahu ada tempat yang nyaman aku singgahi dalam hatinya. Ssssst… jangan bilang-bilang, A Iwan itu nympen nama aku di tempat paling rahasia pada  hatinya.
Aku coba BBM dia.
Aku        : “PING!”
Iwan      : “ Pong… :-D”
Aku        : “Lagi apa aa?”
Iwan      : “Lagi kangenin kamu J
Aku        : “Ikh… makasih… “
Iwan      : “Kamu masih di sekolah de?”
Aku        : “Udah di jalan A, lagi nge-ancot :-D”
Iwan      : “Eh… nyampe mana? Hujan gede banget!”
Aku        : “Iya nih a… L
                 “Aku bertedeh di mana ya?”
                 “Mana gak bawa paying pula L
Iwan      : “Nanti cari ruko yang enakan dipake berteduh ya…”
                 “Jangan hujanan kamu… Awas sampe sakit”
                 “Hati-hati ya de… maaf gak bisa jemput”
Aku        : “Iya Aa… gak apa-apa”
Iwan      : “Aa lagi ada urusan kerjaan”
Aku        : “Iya A, sukses ya buat kerjaannya… !”
Iwan      : “AAmiin…”
Hujan semakin menderas. Jalanan mulai banjir. Penumpang lain satu persatu mulai turun, bergantian dengan satu dua orang yang naik. Sopir angkot tampak sibuk membetulkan kaca di pintu mobil angkotnya. Air hujan masuk membasahi kaos lusuhnya. Mulutnya tak berhenti mengoceh memaki kaca pintu yang tak bersalah apa-apa. Cuma macet dan sedikit longgar saja.
20 menit kemudianaku sampai di tempat seharusnya aku turun dari angkutan kota. Aku memilih berhenti di depan toko pelastik. Toko kecil di pinggir jalan, namun sepertinya cukup nyaman untuk digunakan untuk berteduh sementara. Tidak banyak orang yang bertedh di sana. Hanya ada dua orang ibu-ibu di samping kananku yang sedang ngobrol soal hujan. Yang satu tampak bersungut-sungut menceritakan soal jemurannya yang sudah pasti basah kuyup semua di pekarangan rumah, dan yang satunya menceritakan penyesalannya mengapa berangkat sekarang. Padahal beberapa waktu sebelumnya ia merasa ragu-ragu untuk berangkat keluar rumah. Suara mereka keras sekali, seolah mau menjadi pesaing suara derasnya hujan.
Di samping kiriku, seorang tukang permak duduk di belakang mesin jahitnya. Pria itu masih muda, memakai topi. Ganteng. Sayang sekali ia memilih menjadi tukang permak. Padahal dia masih muda, apa tidak ada pekerjaan lain yang bisa dia kerjakan selain duduk di emperan toko menunggu orang yang memiliki keluhan seputar pakaian yang kegedean, kepanjangan, atau bahkan celana robek dan saku bolong sampai ganti resleting. Tapi tak apa-apa, daripada harus menjadi pengamen yang hanya berkoar-koar menganggu pendengaran orang. Nyanyinya gak enak, kemampuan memainkan gitar atau ukulelenya juga pas-pasan, tiba-tiba meminta uang sambil berpidato bahwa mengamen itu pekerjaan yang lebih bagus daripada mencopet. Bahwa anjang suara itu lebih baik daripada panjang tangan. (Sejak kapan suarabisa jadi panjang coba?). Paling sebal kalau gak ngasih uang tiba-tiba bilang “Kerudung Anda tak lebih baik dari amalan Anda”. Ah… kenapa pula jadi ngebahas tukang ngamen.
Aku kembali ke Handphoneku, yang sejak tadi aku masukan tas.
Iwan      : “De di nama? Huajnnya makin gede. Di sini banjir, airnya coklat. Jijik.”
Aku        : “Di bawah a…”
                 “Semoga di sini gak sampai banjir”
                 “ Kalau banjir air coklat bahaya, nanti aku harus buang kaos kaki aku a. haha :-D”
Iwan      : “Iya. Tapi jangan buang ke kolam ya, takut nanti ikannya mati semua :-D”
Aku        : “wee… enak aja. Gak bakalan donk… Kaos kaki aku pakai sehari sekali L
Iwan      : “Haha iya deeeh..”
                : “Jangan dulu pulang ya de, tunggu benar-benar reda”
Aku        : “Iya aa ku… J
Iwan      : “Sama siapa aja di sana?”
                 “ Banyak orang gak?”
Aku        : “Sama tukang permak ganteng a”
Iwan      : “Ajak ngobrol donk, lumayan”
Aku        : “Gak ah… mendingan BBM an sama aa. Susah lagi… Jangankan ketemu, BBM aja susah sekarang… L
Iwan      : “Hehhe.. iya… maaf… sibuk aja aa nya”
Aku        : “Sibuk juga sama teteh nya…L
Iwan      : “ah… jangan bahas itu de…”
                  “Suka sedih…”
Aku        : “ Sedih kenapa?”
Iwan      : “Pengen diganti sma kamu!”
Aku        : “Asik…Hayu…”
Iwan      : “Ah… pacar kamu mau dikemanain tuh…”
Aku        : “Putusin aja, gampang!”
Iwan      : “ Haha.”
                 “Hujannya mulai kecil de… banjirnya di sini juga udah mulai reda”
                 “Di bawah masih banjir gak? Hati-hati ya. Awas kamu hanyut nanti. Kecil soanya… :-p”
Aku        : “Ikh… enggak… Aa, aku mau beli payung dulu ah, mumpung di toko plastik”
Iwan      : “Iya sok, aa juga mau beli payung nanti.”
Aku        : “Buat apa?”
Iwan      : “Gak punya”
Aku        : “Oh…”
Iwan      : “Yasudah… kalau sudah reda cepet pulang de, cepet istirahat. Jangan terlalu cape… Jaga kesehatan!”
Aku        : “Iya aa…J
Iwan      : “Aa lagi lagi otewe, janjian sama temen di depan Alfh*Mart.”
Aku        : “Iya, aku naik ojek sekarang pulang, berharap bisa lihat Aa. Heheh”
Iwan      : “Hehhe, iya Aa juga berharap bisa lihat kamu.”
**
Aku pulang menggunakan ojeg. Rok abu-abuku ku angkat sedikit biar tak terkena cipratan air. Tapi percuma saja, rok ku tetap kotor.
Melintas di depan Alfh*mart, aku bisa melihat A Iwan sedang bercakap-cakap dengan seseorang, yang aku yakin itu temannya yang dimaksudkan tadi. Sayang sekali A Iwan gak ngeliat. Jadinya aku gak bisa senyum dan gak bisa lihat senyumnya yang manis banget.  Lalu aku BBM dia:
Aku        : “Weee, aku udah liat ci ganteng lagi bincang-bincang sama temannya…”
Cigantengku tak membalas BBM.
Sampai di rumah aku segera mandi. Ibuku sudah menyiapkan makanan hangat dan lezat di balik tudung saji.
Selesai mandi aku langsung menyantap makanan yang disediakan ibu. Makanan ini terasa begitu bertambah lezat, saat aku mengenang senyum manis Iwan. Candannya, dan juga perhatiannya.
“Terimakasih ya A Iwan… sudah nemenin aku saat kedinginan. Walaupun kamu gak ada di dekatku, tapi hatiku terasa hangat saat bisa BBM an sama kamu.”  
**


Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment