Pagi
buta, motor yang dikendarai sepupuku melaju kencang menuju kampus. Tidak seperti
biasa sepupuku yang sejak tadi bersikap dingin, diam seribu bahasa memarkirkan
motornya bukan di tempat biasa. Ia membawaku jauh ke ujung bangunan kampus. Jalan
menanjak, sedikit terjal. Seperti belum tersentuh perbaikan jalan. Bahkan
perasaan aku belum pernah menginjakkan kaki di sana. Tapi aku berfikir, mungkin
karena aku yang kurang bergaul, aku memang jarang menyengaja berkunjung ke gedung
perkuliahan fakultas lain.
Motor
bebek matic berwarna putih diparkirkan sepupu di bawah pohon beringin tepat di
depan sebuah gedung tua. Entah gedung apa itu. Ada beberapa mahasiswa yang
berdiri di sana, menatapku dengan pandangan yang aneh. Semacam tatapan curiga,
tatapan penuh pertanyaan, "mengapa aku datang ke sana?". Aku fikir mungkin mereka asing
kepadaku. Ah, tak mengapa. Tangan sepupuku yang aku rasa terlalu dingin, (mungkin
pengaruh udara pagi), menarik lenganku. Mengajakku masuk ke dalam gedung itu.
Dan tanpa berkata-kata ia menunjukkan sesuatu. Sebuah papan putih terpasang di dinding yang catnya kusam,
bertuliskan “Papan Informasi”. Aku dibawanya mendekat, tak ada pengumuman apapun
di sana, hanya secarik kertas berukuran A4. Dalam kertas itu memuat pengumuman
jika dalam gedung tersebut telah dibuka sebuah bioskop. Aku tersenyum, merasa lucu sekaligus aneh. Kok bisa, dalam sebuah kampus ada bioskop? Bioskop
seperti apa yang ada di sana? Kenapa aku
yang kuliah di fakultas Tarbiyah gak pernah mendengar kabar mengenai itu?
Sepupuku
tersenyum dingin, sedikit dan tampak datar. Aku sendiri tak tahu apa maksudnya.
Mungkin dia ingin memberikan kejutan kecil kepada kaka sepupunya yang memang
seneng banget nonton film. Dagunya menunjuk ke sisi lain. Sebuah tangga dengan
sisian besi, sudah berkarat menuju lantai atas, Sebuah kertas penunjuk arah
tertempel di diding tangga. Menungjukkan “Bioskop ke arah atas”. Aku semakin
penasaran. Baru saja aku mau bertanya dan minta persetujuan sepupuku, sepupuku
sudah menghilang, entah kemana. Sial, dasar, dia mungkin sedang mengerjaiku,
atau mungkin ada kuliah pagi.
Aku
menaiki tangga, sudah tiga lantai, sepi. Tak ada pengunjung lain.
Di tangga ke empat masih aku temukan kertas bertanda panah itu. Kelas-kelas di setiap lantai gedung masih sepi, dan terasa sekali hawa dingin pagi. Mungkin gedung ini dipakai kuliah hanya siang hari saja. Tak ada satupun mahasiswa yang terlihat di sana.
Di tangga ke empat masih aku temukan kertas bertanda panah itu. Kelas-kelas di setiap lantai gedung masih sepi, dan terasa sekali hawa dingin pagi. Mungkin gedung ini dipakai kuliah hanya siang hari saja. Tak ada satupun mahasiswa yang terlihat di sana.
Langkahku
terhenti di lantai 6 gedung. Pada pintu besar tepat di hadalanku sebuah
kertas menempel, bertuliskan “BIOSKOP”. Sejenak aku tertegun, di lantai enam
ini desain ruangan perkuliahannya mendadak aneh.benar-benar berbeda dengan
tempat-tempat yang aku lewati tadi. Mengapa ada pintu yang dibuat tepat di
ujung tangga? Aku mencoba mencari informasi. Sepi, tak ada seorangpun di sana.
Sempat terfikir akan kembali turun, tapi enam lantai, naik tangga tangga itu cukup
membuat kakiku pegal dengan nafas yang ngos-ngosan.
Rasa penasarankupun mulai tumbuh lagi, sayang jika aku kembali ke bawah tanpa hasil apa-apa. Pintu bioskopnya sudah ada di hadapanku. Kakiku melangkah perlahan, membuka pintu, mencari tahu ada apa di balik pintu. Benarkah itu sebuah tempat nonton?
Pintu terbuka, tak ada siapa-siapa di sana, Hanya ada tulisan usang, tertempel di tembok depan pintu, "selamat datang". Sebenarnya tempat apa ini? Ruangannya sempit, lembab. Aku mengurungkan niat, bulu kudukku mulai berdiri, merasakan keganjilan-keganjilan yang ada.
Aku berniat pergi dari sana, dan kembali ke lantai dasar, mencari sepupuku. Namun belum sempat kakiku melangkah, mataku menangkap sesuatu di sudut ruangan, tepat di balik pintu yang aku buka, ada rak sepatu. Di atas rak tersebut tertera tulisan “Simpan sandal dan sepatu pada rak yang telah disediakan!” Ada beberapa sepatu yang aku kenali sebagai sandal dan sepatu perempuan. Aku merasa lega, berarti ada orang lain yang juga datang kemari. Aku menyimpan sepatuku di rak itu. Sempat tercium bau amis dan bau aneh yang mengganggu penciumanku. Ini bukan bau sepatu atau kaos kaki yang kotor, tapi semacam… bau besi berkarat, atau lebih tepatnya bau darah!
Ah, tapi aku tak mau berfikiran yang bukan-bukan, mungkin itu karena gedung bioskop ini kurang mendapatkan perawatan. Mungkin penjaganya hanya satu dua orang, jadi tidak sempat membersihkan setiap hari.
Rasa penasarankupun mulai tumbuh lagi, sayang jika aku kembali ke bawah tanpa hasil apa-apa. Pintu bioskopnya sudah ada di hadapanku. Kakiku melangkah perlahan, membuka pintu, mencari tahu ada apa di balik pintu. Benarkah itu sebuah tempat nonton?
Pintu terbuka, tak ada siapa-siapa di sana, Hanya ada tulisan usang, tertempel di tembok depan pintu, "selamat datang". Sebenarnya tempat apa ini? Ruangannya sempit, lembab. Aku mengurungkan niat, bulu kudukku mulai berdiri, merasakan keganjilan-keganjilan yang ada.
Aku berniat pergi dari sana, dan kembali ke lantai dasar, mencari sepupuku. Namun belum sempat kakiku melangkah, mataku menangkap sesuatu di sudut ruangan, tepat di balik pintu yang aku buka, ada rak sepatu. Di atas rak tersebut tertera tulisan “Simpan sandal dan sepatu pada rak yang telah disediakan!” Ada beberapa sepatu yang aku kenali sebagai sandal dan sepatu perempuan. Aku merasa lega, berarti ada orang lain yang juga datang kemari. Aku menyimpan sepatuku di rak itu. Sempat tercium bau amis dan bau aneh yang mengganggu penciumanku. Ini bukan bau sepatu atau kaos kaki yang kotor, tapi semacam… bau besi berkarat, atau lebih tepatnya bau darah!
Ah, tapi aku tak mau berfikiran yang bukan-bukan, mungkin itu karena gedung bioskop ini kurang mendapatkan perawatan. Mungkin penjaganya hanya satu dua orang, jadi tidak sempat membersihkan setiap hari.
Petunjuk-petunjuk
yang menempel di dinding, menuntun langkah kakiku. Sebuah lorong gelap dengan penerangan
terbatas, mirip lorong theater 21. Sepuluh langakah dari ruangan tempat aku
menyimpan sepatu tadi, lorong tiba-tiba menyempit, dan kakiku dipaksa melangkah
pada sebuah tangga menurun terbuat dari kayu. “Mau ke man ini?” Gumamku dalam
hati. Kakiku terus melangkah mengikuti panggilan rasa kepenasaranan. Tangga
kayunya semakin menurun. Namun hatiku mulai senang, saat telingaku menangkap
suara-suara gaduh, yang kufikir mirip dengan suara-suara pertunjukan film di
theater 21. Kakiku semakin semangat menuruni tangga.
Langkahku
terhenti di anak tangga ke sekian. Nyaliku
menciut, sisi keberanianku menghilang 90%, Tepat di bawah tangga sekumpulan
perempuan berjilbab panjang berwarna abu-abu dan putih, berkerumun di hadapan TV
yang hanya berukuran sekitar 21’, sangat sederhana. Tapi mengapa suarnya begitu
mirip dengan suara di theater betulan. Padahan aku tidak menemukan perangkat
yang mendukung itu. Tak ada home theater ataupun alat pengeras lain. Jelas,
hanya sebuah TV kecil. Hatiku mulai gusar. Ini aneh!
Mereka
seolah tak menyadari kedatanganku. Tapi ada satu yang menghadap ke arahku, perempuan
yang berdiri di belakan TV, wajahnya sangat menyeramkan. Hidungnya yang aku
rasa terlalu mancung, dan lihat bagian tubuhnya dari pinggang ke bawah. Itu
bukan kaki, tapi ular! Sekuat tenanga aku menjerit, berteriak sebisaku. Kakiku
ku paksa menaiki tangga lagi, namun rasanya berat sekali. Mendengar jeritanku,
perempuan-perempan yang sedang berkerumun di depan TV itu kompak menoleh,
dengan gerakan yang sangat cepat. Hidung mereka panjang, jilbab nya penuh
darah, mulutnya bertaring dan penuh dengan darah segar. “Habis makan apa
mereka?” Fikiran itu yang terlintas di kepalaku. Dalam ketakutan yang luar biasa,
mataku kembali menangkap sesuatu. Perempuan-perempuan itupun ternyata sama, berkaki
ular. Mereka semua bergerak mendekat ke arahku. Suara decitan kulit ular besar
yang basah bergesekan dengan lantai yang lembab. Dari mulutnya mereka
mengeluarkan desisan-desisan panjang, mirip suara ular besar. ‘Ssssssssssss”.
Tangannya yang panjang menjulur dari balik kainnyan yang juga panjang, basah
oleh cairan berwarna merah.
Aku
berbalik, menaiki tangga kecil dari kayu itu. Lagi-lagi, kakiku masih merasakan
beban yang teramat sangat berat. Aku berusaha sekuat tenaga. Mulutku mengucap
do’a-do’a sebisanya. Membacakan ayat-ayat suci yang aku hafal dan melintas
dikepalaku saat itu. “Tuhan, tolong aku, selamatkan aku dari sini, aku mohon…!”
Permohonan itu yang aku ulang-ulang di dalam hatiku.
Kakiku
mulai terasa ringan, titian tangga kayu yang sempit itu berhasil aku naiki
beberapa tangga. Tapi pasukan ular berbadan manusia itu terus mengejarku.
Tangannya menggapai-gapai, mencoba meraih kakiku. Satu tangan basar berair, berhasil
mencengkram pergelangan kakiku, sekonyong-konyong menarikku. Tubuhku melayang
sejenak, lantas jatuh berdebam di lantai dingin, tepat di antara kerumunan
perempuan-perempuan dengan kain panjang, basah dan tak berhenti mendesis. Mereka
yang aku kira lebih dari sepuluh mendekat dengan gerakan perlahan. Mulutku
terus mengucap do’a - do’a. Memohon pertolongan. Kakiku mulai mereka lukai,
perih. Mataku melihat bagian betis dan pahaku dirobek-robek. Telingaku
menangkap suara “Krek” bunyi gigitan yang entah di mana aku sudah tak merasakan
apa-apa lagi. Hatiku menjerit berpasrah diri kepada-Nya, mataku berair mata
menagis sejadinya. Sempat melintas di kepalaku, wajah sepupuku yang dingin, dia
yang menunjukkan ku ke tempat ini, semoga Tuhan mengampuni kesalahnnya.
Mataku mulai tak bisa melihat apa-apa. Suara riuh dan desisan mereka mulai tak bisa aku tangkap dengan telingaku. Hawa dingin menyergap tubuhku, denyut jantung melemah, dan lantas aku tak sadarkan diri. Aku pergi.
Mataku mulai tak bisa melihat apa-apa. Suara riuh dan desisan mereka mulai tak bisa aku tangkap dengan telingaku. Hawa dingin menyergap tubuhku, denyut jantung melemah, dan lantas aku tak sadarkan diri. Aku pergi.
**
Adzan
subuh berkumandang, aku tersadar dari mimpi panjang yang seram. Kurasakan detak
jangtungku begitu cepat, kening dan leher serta sekujur tubuhku basah dengan keringat
dingin.
“Astagfirullahaladzim…
Ampuni hamba Ya Allah…”Berkali-kali aku mengusap wajah dan memejamkan mata.
Mimpi itu benar-benar membuatku ketakutan walaupun aku sudah tersadar.
Telepon
genggamku berbunyi, sepupuku mengirim pesan BBM
“Kakak
udah bangun? Siap-siap ya… jam 6 aku samper kakak. Kalo terlalu siang telat kita
nanti. See U kak..”
Jariku
seolah tertahan, aku tak mau membalas pesan itu. Tapi... Bismillah, ini hanya
mimpi.
No comments:
Post a Comment