Search This Blog

Saturday, February 27, 2016

BIOSKOP


Pagi buta, motor yang dikendarai sepupuku melaju kencang menuju kampus. Tidak seperti biasa sepupuku yang sejak tadi bersikap dingin, diam seribu bahasa memarkirkan motornya bukan di tempat biasa. Ia membawaku jauh ke ujung bangunan kampus. Jalan menanjak, sedikit terjal. Seperti belum tersentuh perbaikan jalan. Bahkan perasaan aku belum pernah menginjakkan kaki di sana. Tapi aku berfikir, mungkin karena aku yang kurang bergaul, aku memang jarang menyengaja berkunjung ke gedung perkuliahan fakultas lain.
Motor bebek matic berwarna putih diparkirkan sepupu di bawah pohon beringin tepat di depan sebuah gedung tua. Entah gedung apa itu. Ada beberapa mahasiswa yang berdiri di sana, menatapku dengan pandangan yang aneh. Semacam tatapan curiga, tatapan penuh pertanyaan, "mengapa aku datang ke sana?". Aku fikir mungkin mereka asing kepadaku. Ah, tak mengapa. Tangan sepupuku yang aku rasa terlalu dingin, (mungkin pengaruh udara pagi), menarik lenganku. Mengajakku masuk ke dalam gedung itu. Dan tanpa berkata-kata ia menunjukkan sesuatu. Sebuah papan putih terpasang  di dinding yang catnya kusam, bertuliskan “Papan Informasi”. Aku dibawanya mendekat, tak ada pengumuman apapun di sana, hanya secarik kertas berukuran A4. Dalam kertas itu memuat pengumuman jika dalam gedung tersebut telah dibuka sebuah bioskop. Aku tersenyum, merasa lucu sekaligus aneh. Kok bisa, dalam sebuah kampus ada bioskop? Bioskop seperti apa yang ada di sana?  Kenapa aku yang kuliah di fakultas Tarbiyah gak pernah mendengar kabar mengenai itu?
Sepupuku tersenyum dingin, sedikit dan tampak datar. Aku sendiri tak tahu apa maksudnya. Mungkin dia ingin memberikan kejutan kecil kepada kaka sepupunya yang memang seneng banget nonton film. Dagunya menunjuk ke sisi lain. Sebuah tangga dengan sisian besi, sudah berkarat menuju lantai atas, Sebuah kertas penunjuk arah tertempel di diding tangga. Menungjukkan “Bioskop ke arah atas”. Aku semakin penasaran. Baru saja aku mau bertanya dan minta persetujuan sepupuku, sepupuku sudah menghilang, entah kemana. Sial, dasar, dia mungkin sedang mengerjaiku, atau mungkin ada kuliah pagi.
Aku menaiki tangga, sudah tiga lantai, sepi. Tak ada pengunjung lain. 
Di tangga ke empat masih aku temukan kertas bertanda panah itu. Kelas-kelas di setiap lantai gedung masih sepi, dan terasa sekali hawa dingin pagi. Mungkin gedung ini dipakai kuliah hanya siang hari saja. Tak ada satupun mahasiswa yang terlihat di sana.
Langkahku terhenti di lantai 6 gedung. Pada pintu besar tepat di hadalanku sebuah kertas menempel, bertuliskan “BIOSKOP”. Sejenak aku tertegun, di lantai enam ini desain ruangan perkuliahannya mendadak aneh.benar-benar berbeda dengan tempat-tempat yang aku lewati tadi. Mengapa ada pintu yang dibuat tepat di ujung tangga? Aku mencoba mencari informasi. Sepi, tak ada seorangpun di sana. Sempat terfikir akan kembali turun, tapi enam lantai, naik tangga tangga itu cukup membuat kakiku pegal dengan nafas yang ngos-ngosan. 
Rasa penasarankupun mulai tumbuh lagi, sayang jika aku kembali ke bawah tanpa hasil apa-apa. Pintu bioskopnya sudah ada di hadapanku. Kakiku melangkah perlahan, membuka pintu, mencari tahu ada apa di balik pintu. Benarkah itu sebuah tempat nonton? 
Pintu terbuka, tak ada siapa-siapa di sana, Hanya ada tulisan usang, tertempel di tembok depan pintu, "selamat datang". Sebenarnya tempat apa ini? Ruangannya sempit, lembab. Aku mengurungkan niat, bulu kudukku mulai berdiri, merasakan keganjilan-keganjilan yang ada. 
Aku berniat pergi dari sana, dan kembali ke lantai dasar, mencari sepupuku. Namun belum sempat kakiku melangkah, mataku menangkap sesuatu di sudut ruangan, tepat di balik pintu yang aku buka, ada rak sepatu. Di atas rak tersebut tertera tulisan “Simpan sandal dan sepatu pada rak yang telah disediakan!” Ada beberapa sepatu yang aku kenali sebagai sandal dan sepatu perempuan. Aku merasa lega, berarti ada orang lain yang juga datang kemari. Aku menyimpan sepatuku di rak itu. Sempat tercium bau amis dan bau aneh yang mengganggu penciumanku. Ini bukan bau sepatu atau kaos kaki yang kotor, tapi semacam… bau besi berkarat, atau lebih tepatnya bau darah! 
Ah, tapi aku tak mau berfikiran yang bukan-bukan, mungkin itu karena gedung bioskop ini kurang mendapatkan perawatan. Mungkin penjaganya hanya satu dua orang, jadi tidak sempat membersihkan setiap hari.
Petunjuk-petunjuk yang menempel di dinding, menuntun langkah kakiku. Sebuah lorong gelap dengan penerangan terbatas, mirip lorong theater 21. Sepuluh langakah dari ruangan tempat aku menyimpan sepatu tadi, lorong tiba-tiba menyempit, dan kakiku dipaksa melangkah pada sebuah tangga menurun terbuat dari kayu. “Mau ke man ini?” Gumamku dalam hati. Kakiku terus melangkah mengikuti panggilan rasa kepenasaranan. Tangga kayunya semakin menurun. Namun hatiku mulai senang, saat telingaku menangkap suara-suara gaduh, yang kufikir mirip dengan suara-suara pertunjukan film di theater 21. Kakiku semakin semangat menuruni tangga.
Langkahku terhenti di anak tangga ke sekian.  Nyaliku menciut, sisi keberanianku menghilang 90%, Tepat di bawah tangga sekumpulan perempuan berjilbab panjang berwarna abu-abu dan putih, berkerumun di hadapan TV yang hanya berukuran sekitar 21’, sangat sederhana. Tapi mengapa suarnya begitu mirip dengan suara di theater betulan. Padahan aku tidak menemukan perangkat yang mendukung itu. Tak ada home theater ataupun alat pengeras lain. Jelas, hanya sebuah TV kecil. Hatiku mulai gusar. Ini aneh!
Mereka seolah tak menyadari kedatanganku. Tapi ada satu yang menghadap ke arahku, perempuan yang berdiri di belakan TV, wajahnya sangat menyeramkan. Hidungnya yang aku rasa terlalu mancung, dan lihat bagian tubuhnya dari pinggang ke bawah. Itu bukan kaki, tapi ular! Sekuat tenanga aku menjerit, berteriak sebisaku. Kakiku ku paksa menaiki tangga lagi, namun rasanya berat sekali. Mendengar jeritanku, perempuan-perempan yang sedang berkerumun di depan TV itu kompak menoleh, dengan gerakan yang sangat cepat. Hidung mereka panjang, jilbab nya penuh darah, mulutnya bertaring dan penuh dengan darah segar. “Habis makan apa mereka?” Fikiran itu yang terlintas di kepalaku. Dalam ketakutan yang luar biasa, mataku kembali menangkap sesuatu. Perempuan-perempuan itupun ternyata sama, berkaki ular. Mereka semua bergerak mendekat ke arahku. Suara decitan kulit ular besar yang basah bergesekan dengan lantai yang lembab. Dari mulutnya mereka mengeluarkan desisan-desisan panjang, mirip suara ular besar. ‘Ssssssssssss”. Tangannya yang panjang menjulur dari balik kainnyan yang juga panjang, basah oleh cairan berwarna merah.
Aku berbalik, menaiki tangga kecil dari kayu itu. Lagi-lagi, kakiku masih merasakan beban yang teramat sangat berat. Aku berusaha sekuat tenaga. Mulutku mengucap do’a-do’a sebisanya. Membacakan ayat-ayat suci yang aku hafal dan melintas dikepalaku saat itu. “Tuhan, tolong aku, selamatkan aku dari sini, aku mohon…!” Permohonan itu yang aku ulang-ulang di dalam hatiku.
Kakiku mulai terasa ringan, titian tangga kayu yang sempit itu berhasil aku naiki beberapa tangga. Tapi pasukan ular berbadan manusia itu terus mengejarku. Tangannya menggapai-gapai, mencoba meraih kakiku. Satu tangan basar berair, berhasil mencengkram pergelangan kakiku, sekonyong-konyong menarikku. Tubuhku melayang sejenak, lantas jatuh berdebam di lantai dingin, tepat di antara kerumunan perempuan-perempuan dengan kain panjang, basah dan tak berhenti mendesis. Mereka yang aku kira lebih dari sepuluh mendekat dengan gerakan perlahan. Mulutku terus mengucap do’a - do’a. Memohon pertolongan. Kakiku mulai mereka lukai, perih. Mataku melihat bagian betis dan pahaku dirobek-robek. Telingaku menangkap suara “Krek” bunyi gigitan yang entah di mana aku sudah tak merasakan apa-apa lagi. Hatiku menjerit berpasrah diri kepada-Nya, mataku berair mata menagis sejadinya. Sempat melintas di kepalaku, wajah sepupuku yang dingin, dia yang menunjukkan ku ke tempat ini, semoga Tuhan mengampuni kesalahnnya. 
Mataku mulai tak bisa melihat apa-apa. Suara riuh dan desisan mereka mulai tak bisa aku tangkap dengan telingaku. Hawa dingin menyergap tubuhku, denyut jantung melemah, dan lantas aku tak sadarkan diri. Aku pergi.
**
Adzan subuh berkumandang, aku tersadar dari mimpi panjang yang seram. Kurasakan detak jangtungku begitu cepat, kening dan leher serta sekujur tubuhku basah dengan keringat dingin.
“Astagfirullahaladzim… Ampuni hamba Ya Allah…”Berkali-kali aku mengusap wajah dan memejamkan mata. Mimpi itu benar-benar membuatku ketakutan walaupun aku sudah tersadar.
Telepon genggamku berbunyi, sepupuku mengirim pesan BBM
“Kakak udah bangun? Siap-siap ya… jam 6 aku samper kakak. Kalo terlalu siang telat kita nanti. See U kak..”
Jariku seolah tertahan, aku tak mau membalas pesan itu. Tapi... Bismillah, ini hanya mimpi.  
     

Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment