Search This Blog

Monday, February 22, 2016

Maaf ya... Rara

Yusuf. Dia sih gak ganteng-ganteng amat. Tapi wajahnya yang selalu berseri-seri membuat dia nyaman aja dipandang. Badannya yang tinggi gak atletis juga sih, tapi bagus aja kalau seandainya dia jadi model. Dia adalah siswa pindahan dari Sukabumi. Belum sampai 2 bulan dia di sini. Tapi lihatlah, semua guru tiba-tiba sudah suka aja sama dia. Setiap ada pelajaran, hampir selalu dijadikan contoh. Dikasih kepercayaan lebih dari guru. Dan anehnya, teman-teman juga akhirnya nurut-nurut aja tuh sama dia. Apalagi cewek-cewek di sekolah ini. Kalau ada Yusuf lewat, mereka pasti aja caper. Benerin rambut, kerudung, rapihin baju, basahin bibir, manis-manisin senyum… Huh! Apa maksud coba?
Tapi sungguh aku juga gak bisa menolak. Pesona yang dia punya luar biasa. Dia juga memiliki posisi yang special di hati aku. Perlahan menggeser Yoga kecengan aku. Yoga yang juga tampan, kalah wibawa sama Yusuf. Kalo soal ketampanan ya jelas Yoga lebih tampan. Tapi kalian jangan tanyakan soal kecerdasan dan wawasan pengetahuannya, anak pindahan itu lebih unggul dari siapapun. Temenku Rara bilang Yusuf sempurna. Banyak cewek yang ngantri. Berlomba-lomba mendapatkan perhatiannya.
**
Siang itu Yusuf sedang asik sendiri mengerjakan LKS yang diberikan guru. Padahal tugas itu untuk dikerjakan di rumah. Tapi istirahat begini dia malah asik menyelesaikannya. Apa gak mumet tuh kepala. Sedangkan tadi saja kami sudah dijejali dengan pelajaran matematika sama Pak Agus yang pintarnya minta ampun sampai aku kadang gak bisa mengerti apa yang beliau ajarkan. Ah, Pak Agus memang terlalu pintar. Harusnya beliau tuh jadi dosen saja. Ngajar mahasiswa yang otaknya udah siap serius se-serius-seriusnya. Kalo anak SMA kan lagi masa-masanya pengen main. Lagian juga masa sih pak Agus itu gak mengalami masa-masa SMA. Pusing tau pak, belajar matematika itu. Tapi lain halnya dengan Yusuf, dia itu seolah gak pernah mengalami kendala, belajar apapun sepertinya dia asik-asik aja. Ah, andai aku bisa seperti dia.
Aku berdiri di depan pintu, mengobrol dengan Rara. Sejak tadi sebenarnya Rara asik mengintip gerak-gerik Yusuf. Kalo aku sih hanya curi-curi pandang sedikit aja. Aku kan sekarang sedang suka sama Yoga. Hm… tapi entahlah. Rasanya Yoga mulai tidak terlalu menarik di mataku. Tapi kalau aku ikutan suka sama Yusuf gimana? Aku tak mau menyakiti hari Rara yang sejak anak baru itu pindah ia menjadi susah tidur, dan mendadak menjadi rajin dan-dan juga bersolek. Rara yang awalnya sama cueknya sama aku, ia mendadak sama tingkahnya dengan Mayang dan juga Silvy yang selalu sibuk membetulkan tatanan rambut, merapihkan baju. Jadi sering ngaca, juga menyemprotkan parfum ke baju setiap ganti pelajaran.
Yusuf tampaknya menyadari jika kami sedang mengintip di balik pintu kelas. Ia langsung ber-ekhem-ekhem. Entah sengaja atau kebetulan, matanya bertemu pandang denganku. Ajiip, matanya indah sekali, sumpah. Tajam tapi meneduhkan. Senyumnya… alamaaaak, manis semanis gula. Hatiku bagai sekumpulan semut yang siap mengerubuninnya, menjilatinya sampai habis. Yusuf… ah… senyum kamu bikin senyum Yoga gak manis lagi. Tatapan mata kamu bikin tatapan Yoga terasa biasa saja. Aku berani menyimpulkan bahwa saat ini yang benar-benar membuat hatiku dag-dig dug der adalah kamu. Bukan Yoga lagi. (Yoga… maafin ya… gak jadi ah, aku ngefans sama kamu. Yusuf lebih keren! Ups!).
“Lagi ngapain kalian di sana?” Yusuf bertanya sembari melangkah nyemperin kami ke arah pintu.
“Euh… eh… kami… gak ngapa-ngapain.” Aku gugup gak bisa jawab yang bener.
“Masuk sini. Ini kan kelas kalian juga” Yusuf dengan tulus mengajak kami masuk. Seperti tamu yang dipersilahkan masuk ke rumah oleh pribuminya kami mengekor Yusuf. Lalu duduk di bangku kedua dari pintu. Cemilan yang sejak tadi Rara pegang dan belum dibuka kami buka dan makan bersama sambil mengobrol ke sana kemari. Yusuf bilang dia baru saja selesai mengerjakan tugas pekerjaan rumah yang tadi siang diberikan oleh guru. Yusuf memang pandai, ia begitu cermat menggunakan waktu. Kalau aku sih, punya PR hari rabu paling juga dikerjakan hari selasa sehari sebelumnya. Heheh
Rara yang sejak tadi diam, mulai memberanikan diri bertanya.
“Yusuf, kamu udah punya pacar?”
Aduh, kenapa juga pertanyaan seperti itu yang mesti keluar dari mulut Rara. Terlalu fulgar. Haha. Tapi gak apa-apa aku juga sebenarnya ingin mendengarkan apa jawabannya.
“Eh?” Yusuf tampak kaget. “Aku?” seperti gugup Yusuf kebingungan mencari jawaban. “Harus bilang ya punya atau enggak?” Kalimatnya ia akhiri dengan senyum yang lagi-lagi terlalu manis buatku.
“Hm… Iya penting banget buat aku” Rara menjawab manatap. Kenapa juga temanku ini? Perasaan mulai tidak mengenakkan. Sepertinya Rara perlu waktu berdua dengan Yusuf. Bahasan ini mulai menjurus. Serius.
Aku beranjak, berniat meninggalkan mereka berdua di ruangan kelas. Namun Yusuf menahan tanganku.
“Mau kemana Yulia?” Genggaman tangannya begitu lembut di pergelangan tangan kananku. Ada semacam degup yang begitu kencang di dadaku. Darahku berdesir hangat dari ujung kaki ke ujung kepala. Ah, rasa apa ini. Aku tersenyum kepada Yusuf, begitupun dia, senyum yang manis, manis sekali.
“Aku mau ke belakang dulu, sepertinya aku gak boleh ada di sini.” Ucapku sekenanya. Aku bisa melihat Rara yang semberut melihat Yusuf menahan tanganku. Lalu toba-tiba matanya berubah membinar saat mendengar jawabanku barusan. Aku melangkahkan kaki. Tapi baru saja dua langkah, Yusuf menahanku kembali.
“Yulia, aku gak mau ditinggal berdua di sini” Pandangan matanya penuh dengan permohonan. “Apa kata orang jika aku ketahuan hanya berdua dengan Rara di sini. Lagian Rara juga gak akan membicarakan sesuatu yang rahasia, iya kan Ra?” ia bertanya kepada Rara. Dijawab dengan delikan mata penuh kekecewaan. Namun Rara masih terlihat berusaha tersenyum demi agar Yusuf gak kehilangan feeling kepadanya. Tak mungkin ia memasang wajah cemberut. Akan terlihat jelak nanti mukanya di depan Yusuf. Aku akhirnya mencoba menyibukan diri. Mengambil novel dari tas sekolah ku. Lalu membuka halaman demi halaman. Rara mulai asik dengan Yusuf. Bertanya tentang hal apapun yang mampir di kepalanya. Sementara aku mulai asik dengan novel bikinan pengarang kesayanganku.
**
Bel masuk berbunyi. Teman-teman sekelas masuk bergerombol. Ada yang masih sibuk dengan cemilan, ada yang kasuk dengan ketawa-ketawa yang entah habis membahas topic lucu apaan mereka. Sementara aku berpindah tempat duduk kembali ke bangkuku. Terhalang dua meja dari meja Yusuf. Dari mejaku, aku bisa melihat Yusuf dengan jelas. Tinggal tengok kanan sedikit, maka aku bisa menikmati wajah manisnya dengan jelas. Ah kamu Yusuf… manis sekali.
Terdengar ucapan salam dari arah pintu. Ibu Rani masuk dengan menenteng laptop dan beberapa buku. Badannya yang mungil tampak agak kesusahan membawa bawaannya. Dengan sigap Yusuf membantu ibu Rani membawakan buku-buku dan menyimpannya di meja. Yusuf bertambah menakjukan di mataku.
Ibu Rani memulai pelajaran. Kali ini bahaannya adalah tentang apresiasi puisi. Sebelum memulai, terlebih dahulu Ibu Rani memberikan kesempatan kepada siswa untuk ke depan dan membacakan puisi yang telah disediakan. Hening, tak ada satupun yang mau maju. Aku sebenarnya ingin. Tak akan pernah aku melewatkan kesempatan utuk mengasah kemampuanku membaca puisi di depan kelas. Membaca puisi adalah hobiku semenjak aku duduk di bangku SD. Tapi semenjak Yusuf datang dan menjadi anggota kelas kami entah mengapa aku sering menjadi merasa kikuk. Seolah aku faham bahwa Yusuf jauh lebih hebat dari aku.
“Ayo Yulia, bisa maju ke depan?” Tiba-tiba suara ibu Rani memecah keheningan. Deg! Aku kaget bukan kepalang. Mau gak mau aku harus maju, perintah guru harus selalu diturut. Gak ada salahnya aku ke depan membacakan puisi. Adapun perasaan malu oleh Yusuf aku enyahkan segera.
Aku membacakan puisi dengan lantang, dengan gaya andalanku. Teman-teman sekelas bersorak dan bertepuk tangan. Hanya Yusuf yang tidak. Ia hanya tersenyum manis saat beradu pandang denganku.
Ibu Rani kemudian meminta satu orang lagi untuk kembali membacakan puisi. Kemudian Yusuf maju membawa buku tulisnya ke depan. Lalu di depan ia bercakap-cakap sebentar dengan suara yang tak begitu terdengar ke belakang. Entah membicarakan apa mereka. Namun kemudian Ibu Rani mengangguk. Yusuf membacakan puisi karangannya sendiri di depan kelas.
Puisinya bagus sekali, membuat semua mata terpukau. Beberapa hati perempuan dibuat berbunga-bunga. Merasa ke-ge eran dengan isi puisinya tersebut. Puisi yang baru saja dibacakan Yusuf adalah tentang perasaannya. Ia sedang jatuh cinta kepada seseorang yang katanya baru saja dikenalnya. Tapi siapakah dia?
Ibu Rani membahas tentang unsur-unsur puisi, majas, dam lain-lain yang harus diperhatikan dalampembuatan puisi.
Pelajaran Bahasa Indonesia tak terasa begitu cepat selesai. Ibu Rani memang pandai memilih metode untuk menjelaskan pelajaran kepada siswa. Eh, atau mungkin karena aku memang suka banget sama pelajaran yang satu ini. Jadinya waktu terasa begitu cepat berlalu.
Bel pulang berbunyi. Pelajaran diakhiri dengan berdo’a bersama. Lantas semuanya berhamburan ke luar, melangkahkan kaki dengan tujuan masing-masing. Pulang, nongkrong di kantin untuk makan siang, menunggu jemputan, atau menunggu pacar keluar dari kelasnya, janjian pulang bareng.
Aku melangkahkan kaki dengan semangat, masakan ibu di rumah sudah terbayang di kepala. Janji ibu untuk membuatkan masakan kesukaanku hari ini membuat perutku terasa bertambah lapar. Rara tampak senyum-senyum sendiri, ada apakah gerangan?
“Ra, kenapa mesem-mesem aja? Aku pulang duluan ya.” Aku mempercepat langkah. Rara menahan tanganku.
“Nanti dulu dong… temenin aku menunggu Yusuf mau kasih surat.”
“Apa? Surat? Kamu nembak dia?” Tawaku terbahak meledek Rara.
“Enggak, aku Cuma membalas puisi yang dia bacakan tadi di kelas.” Rara menjawab penuh keyakinan. Padahal aku tahu jelas, Rara gak begitu pandai membuat puisi. Heheh. Aku menggaruk kepala, tak yakin dengan apa yang akan dilakukan oleh Rara. Tapi demi teman dekat, aku lupakan dulu rasa laparku.
Dari kejauhan Yusuf berjalan bertiga dengan temannya Rifan dan Ilham. Merka tampak asik membicarakan sesuatu. Yusuf meliha kea rah kami. Eh, entah kearahku, ataukah mungkinkah hanya kepada aku. Ia tersenyum. Seperti biasa, senyum yang manis, manis sekali. Aku membalas. Lalu aku menyenggol pundak Rara, kasih kode,agar ia segera menyapa Yusuf dan memberikan suratnya segera, aku ingin cepat pulang. Rara mengangguk, lalu ia berlari ke arah yusuf. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun Ilham dan Rifan menghampiriku, memberikan sesuatu. Mereka bilang itu dari Yusuf. AKu kaget bukan kepalang, ketika aku membuka lipatan kertas itu,
Dear Yulia,
Tahukah kamu, setiap gerak gerikmu adalah ide brilian untuk setiap bait puisi yang aku tuliskan. Bolehkan aku sering-sering menatapmu untuk sekedar penawar rindu? Jangan merasa risih ya… Jujur, aku mengagumimu.
Yusuf.
Aku diam memaku dengan perasaan yang teramat sangat bahagia. Ada hamparan taman bunga yang begitu luas di dadaku. Ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan. Yusuf, aku juga mengagumimu. Rifan dan Ilham pamit pulang, disusul yusuf yang juga pamit,
“Duluan ya Yulia, sampai ketemu besok.” Ucap yusuf sambil melambaikan tangan.
Aku hanya mengguk. Bahagia, gugup, dan entah apa lahi rasa yang aku punya saat itu. Rara juga pamit,
“Yulia, aku duluan.” Rara pamit sambil bergegas.
“Mau kemana Ra, buru-buru amat?”
“Lapar!” Ujar Rara ketus. Lalu ia berlari meninggalkanku sendiri. Dengan rasa lapar yang sudah menjadi kenyang dengan surat daru Yusuf.
“Sampai ketemu besok yusufku sayang…”
Kakiku melangkah dengan ringan, pulang menuju rumah. Aku temui ibu dan aku ceritakan semuanya kejadian hari ini kepadanya, juga tentang yusuf yang ternyata punya rasa yang sama denganku.



Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment