Yusuf.
Dia sih gak ganteng-ganteng amat. Tapi wajahnya yang selalu berseri-seri
membuat dia nyaman aja dipandang. Badannya yang tinggi gak atletis juga sih, tapi
bagus aja kalau seandainya dia jadi model. Dia adalah siswa pindahan dari Sukabumi.
Belum sampai 2 bulan dia di sini. Tapi lihatlah, semua guru tiba-tiba sudah
suka aja sama dia. Setiap ada pelajaran, hampir selalu dijadikan contoh.
Dikasih kepercayaan lebih dari guru. Dan anehnya, teman-teman juga akhirnya
nurut-nurut aja tuh sama dia. Apalagi cewek-cewek di sekolah ini. Kalau ada Yusuf
lewat, mereka pasti aja caper. Benerin rambut, kerudung, rapihin baju, basahin
bibir, manis-manisin senyum… Huh! Apa maksud coba?
Tapi
sungguh aku juga gak bisa menolak. Pesona yang dia punya luar biasa. Dia juga
memiliki posisi yang special di hati aku. Perlahan menggeser Yoga kecengan aku.
Yoga yang juga tampan, kalah wibawa sama Yusuf. Kalo soal ketampanan ya jelas
Yoga lebih tampan. Tapi kalian jangan tanyakan soal kecerdasan dan wawasan
pengetahuannya, anak pindahan itu lebih unggul dari siapapun. Temenku Rara
bilang Yusuf sempurna. Banyak cewek yang ngantri. Berlomba-lomba mendapatkan
perhatiannya.
**
Siang
itu Yusuf sedang asik sendiri mengerjakan LKS yang diberikan guru. Padahal
tugas itu untuk dikerjakan di rumah. Tapi istirahat begini dia malah asik
menyelesaikannya. Apa gak mumet tuh kepala. Sedangkan tadi saja kami sudah
dijejali dengan pelajaran matematika sama Pak Agus yang pintarnya minta ampun
sampai aku kadang gak bisa mengerti apa yang beliau ajarkan. Ah, Pak Agus
memang terlalu pintar. Harusnya beliau tuh jadi dosen saja. Ngajar mahasiswa
yang otaknya udah siap serius se-serius-seriusnya. Kalo anak SMA kan lagi
masa-masanya pengen main. Lagian juga masa sih pak Agus itu gak mengalami
masa-masa SMA. Pusing tau pak, belajar matematika itu. Tapi lain halnya dengan Yusuf,
dia itu seolah gak pernah mengalami kendala, belajar apapun sepertinya dia
asik-asik aja. Ah, andai aku bisa seperti dia.
Aku
berdiri di depan pintu, mengobrol dengan Rara. Sejak tadi sebenarnya Rara asik
mengintip gerak-gerik Yusuf. Kalo aku sih hanya curi-curi pandang sedikit aja.
Aku kan sekarang sedang suka sama Yoga. Hm… tapi entahlah. Rasanya Yoga mulai
tidak terlalu menarik di mataku. Tapi kalau aku ikutan suka sama Yusuf gimana?
Aku tak mau menyakiti hari Rara yang sejak anak baru itu pindah ia menjadi
susah tidur, dan mendadak menjadi rajin dan-dan juga bersolek. Rara yang
awalnya sama cueknya sama aku, ia mendadak sama tingkahnya dengan Mayang dan
juga Silvy yang selalu sibuk membetulkan tatanan rambut, merapihkan baju. Jadi
sering ngaca, juga menyemprotkan parfum ke baju setiap ganti pelajaran.
Yusuf
tampaknya menyadari jika kami sedang mengintip di balik pintu kelas. Ia
langsung ber-ekhem-ekhem. Entah sengaja atau kebetulan, matanya bertemu pandang
denganku. Ajiip, matanya indah sekali, sumpah. Tajam tapi meneduhkan.
Senyumnya… alamaaaak, manis semanis gula. Hatiku bagai sekumpulan semut yang
siap mengerubuninnya, menjilatinya sampai habis. Yusuf… ah… senyum kamu bikin
senyum Yoga gak manis lagi. Tatapan mata kamu bikin tatapan Yoga terasa biasa
saja. Aku berani menyimpulkan bahwa saat ini yang benar-benar membuat hatiku
dag-dig dug der adalah kamu. Bukan Yoga lagi. (Yoga… maafin ya… gak jadi ah, aku
ngefans sama kamu. Yusuf lebih keren! Ups!).
“Lagi
ngapain kalian di sana?” Yusuf bertanya sembari melangkah nyemperin kami ke arah
pintu.
“Euh…
eh… kami… gak ngapa-ngapain.” Aku gugup gak bisa jawab yang bener.
“Masuk
sini. Ini kan kelas kalian juga” Yusuf dengan tulus mengajak kami masuk.
Seperti tamu yang dipersilahkan masuk ke rumah oleh pribuminya kami mengekor Yusuf.
Lalu duduk di bangku kedua dari pintu. Cemilan yang sejak tadi Rara pegang dan
belum dibuka kami buka dan makan bersama sambil mengobrol ke sana kemari. Yusuf
bilang dia baru saja selesai mengerjakan tugas pekerjaan rumah yang tadi siang
diberikan oleh guru. Yusuf memang pandai, ia begitu cermat menggunakan waktu.
Kalau aku sih, punya PR hari rabu paling juga dikerjakan hari selasa sehari
sebelumnya. Heheh
Rara
yang sejak tadi diam, mulai memberanikan diri bertanya.
“Yusuf,
kamu udah punya pacar?”
Aduh,
kenapa juga pertanyaan seperti itu yang mesti keluar dari mulut Rara. Terlalu
fulgar. Haha. Tapi gak apa-apa aku juga sebenarnya ingin mendengarkan apa
jawabannya.
“Eh?”
Yusuf tampak kaget. “Aku?” seperti gugup Yusuf kebingungan mencari jawaban.
“Harus bilang ya punya atau enggak?” Kalimatnya ia akhiri dengan senyum yang
lagi-lagi terlalu manis buatku.
“Hm…
Iya penting banget buat aku” Rara menjawab manatap. Kenapa juga temanku ini?
Perasaan mulai tidak mengenakkan. Sepertinya Rara perlu waktu berdua dengan Yusuf.
Bahasan ini mulai menjurus. Serius.
Aku
beranjak, berniat meninggalkan mereka berdua di ruangan kelas. Namun Yusuf
menahan tanganku.
“Mau
kemana Yulia?” Genggaman tangannya begitu lembut di pergelangan tangan kananku.
Ada semacam degup yang begitu kencang di dadaku. Darahku berdesir hangat dari
ujung kaki ke ujung kepala. Ah, rasa apa ini. Aku tersenyum kepada Yusuf,
begitupun dia, senyum yang manis, manis sekali.
“Aku
mau ke belakang dulu, sepertinya aku gak boleh ada di sini.” Ucapku sekenanya.
Aku bisa melihat Rara yang semberut melihat Yusuf menahan tanganku. Lalu
toba-tiba matanya berubah membinar saat mendengar jawabanku barusan. Aku
melangkahkan kaki. Tapi baru saja dua langkah, Yusuf menahanku kembali.
“Yulia,
aku gak mau ditinggal berdua di sini” Pandangan matanya penuh dengan
permohonan. “Apa kata orang jika aku ketahuan hanya berdua dengan Rara di sini.
Lagian Rara juga gak akan membicarakan sesuatu yang rahasia, iya kan Ra?” ia
bertanya kepada Rara. Dijawab dengan delikan mata penuh kekecewaan. Namun Rara
masih terlihat berusaha tersenyum demi agar Yusuf gak kehilangan feeling
kepadanya. Tak mungkin ia memasang wajah cemberut. Akan terlihat jelak nanti
mukanya di depan Yusuf. Aku akhirnya mencoba menyibukan diri. Mengambil novel
dari tas sekolah ku. Lalu membuka halaman demi halaman. Rara mulai asik dengan Yusuf.
Bertanya tentang hal apapun yang mampir di kepalanya. Sementara aku mulai asik
dengan novel bikinan pengarang kesayanganku.
**
Bel
masuk berbunyi. Teman-teman sekelas masuk bergerombol. Ada yang masih sibuk
dengan cemilan, ada yang kasuk dengan ketawa-ketawa yang entah habis membahas
topic lucu apaan mereka. Sementara aku berpindah tempat duduk kembali ke
bangkuku. Terhalang dua meja dari meja Yusuf. Dari mejaku, aku bisa melihat
Yusuf dengan jelas. Tinggal tengok kanan sedikit, maka aku bisa menikmati wajah
manisnya dengan jelas. Ah kamu Yusuf… manis sekali.
Terdengar
ucapan salam dari arah pintu. Ibu Rani masuk dengan menenteng laptop dan
beberapa buku. Badannya yang mungil tampak agak kesusahan membawa bawaannya.
Dengan sigap Yusuf membantu ibu Rani membawakan buku-buku dan menyimpannya di
meja. Yusuf bertambah menakjukan di mataku.
Ibu
Rani memulai pelajaran. Kali ini bahaannya adalah tentang apresiasi puisi.
Sebelum memulai, terlebih dahulu Ibu Rani memberikan kesempatan kepada siswa
untuk ke depan dan membacakan puisi yang telah disediakan. Hening, tak ada satupun
yang mau maju. Aku sebenarnya ingin. Tak akan pernah aku melewatkan kesempatan
utuk mengasah kemampuanku membaca puisi di depan kelas. Membaca puisi adalah
hobiku semenjak aku duduk di bangku SD. Tapi semenjak Yusuf datang dan menjadi
anggota kelas kami entah mengapa aku sering menjadi merasa kikuk. Seolah aku
faham bahwa Yusuf jauh lebih hebat dari aku.
“Ayo
Yulia, bisa maju ke depan?” Tiba-tiba suara ibu Rani memecah keheningan. Deg!
Aku kaget bukan kepalang. Mau gak mau aku harus maju, perintah guru harus
selalu diturut. Gak ada salahnya aku ke depan membacakan puisi. Adapun perasaan
malu oleh Yusuf aku enyahkan segera.
Aku
membacakan puisi dengan lantang, dengan gaya andalanku. Teman-teman sekelas
bersorak dan bertepuk tangan. Hanya Yusuf yang tidak. Ia hanya tersenyum manis
saat beradu pandang denganku.
Ibu
Rani kemudian meminta satu orang lagi untuk kembali membacakan puisi. Kemudian
Yusuf maju membawa buku tulisnya ke depan. Lalu di depan ia bercakap-cakap
sebentar dengan suara yang tak begitu terdengar ke belakang. Entah membicarakan
apa mereka. Namun kemudian Ibu Rani mengangguk. Yusuf membacakan puisi
karangannya sendiri di depan kelas.
Puisinya
bagus sekali, membuat semua mata terpukau. Beberapa hati perempuan dibuat
berbunga-bunga. Merasa ke-ge eran dengan isi puisinya tersebut. Puisi yang baru
saja dibacakan Yusuf adalah tentang perasaannya. Ia sedang jatuh cinta kepada
seseorang yang katanya baru saja dikenalnya. Tapi siapakah dia?
Ibu
Rani membahas tentang unsur-unsur puisi, majas, dam lain-lain yang harus
diperhatikan dalampembuatan puisi.
Pelajaran
Bahasa Indonesia tak terasa begitu cepat selesai. Ibu Rani memang pandai
memilih metode untuk menjelaskan pelajaran kepada siswa. Eh, atau mungkin
karena aku memang suka banget sama pelajaran yang satu ini. Jadinya waktu
terasa begitu cepat berlalu.
Bel
pulang berbunyi. Pelajaran diakhiri dengan berdo’a bersama. Lantas semuanya berhamburan
ke luar, melangkahkan kaki dengan tujuan masing-masing. Pulang, nongkrong di
kantin untuk makan siang, menunggu jemputan, atau menunggu pacar keluar dari
kelasnya, janjian pulang bareng.
Aku
melangkahkan kaki dengan semangat, masakan ibu di rumah sudah terbayang di
kepala. Janji ibu untuk membuatkan masakan kesukaanku hari ini membuat perutku
terasa bertambah lapar. Rara tampak senyum-senyum sendiri, ada apakah gerangan?
“Ra,
kenapa mesem-mesem aja? Aku pulang duluan ya.” Aku mempercepat langkah. Rara
menahan tanganku.
“Nanti
dulu dong… temenin aku menunggu Yusuf mau kasih surat.”
“Apa?
Surat? Kamu nembak dia?” Tawaku terbahak meledek Rara.
“Enggak,
aku Cuma membalas puisi yang dia bacakan tadi di kelas.” Rara menjawab penuh keyakinan.
Padahal aku tahu jelas, Rara gak begitu pandai membuat puisi. Heheh. Aku menggaruk
kepala, tak yakin dengan apa yang akan dilakukan oleh Rara. Tapi demi teman
dekat, aku lupakan dulu rasa laparku.
Dari
kejauhan Yusuf berjalan bertiga dengan temannya Rifan dan Ilham. Merka tampak
asik membicarakan sesuatu. Yusuf meliha kea rah kami. Eh, entah kearahku,
ataukah mungkinkah hanya kepada aku. Ia tersenyum. Seperti biasa, senyum yang
manis, manis sekali. Aku membalas. Lalu aku menyenggol pundak Rara, kasih
kode,agar ia segera menyapa Yusuf dan memberikan suratnya segera, aku ingin
cepat pulang. Rara mengangguk, lalu ia berlari ke arah yusuf. Entah apa yang
mereka bicarakan. Namun Ilham dan Rifan menghampiriku, memberikan sesuatu.
Mereka bilang itu dari Yusuf. AKu kaget bukan kepalang, ketika aku membuka
lipatan kertas itu,
Dear Yulia,
Tahukah kamu, setiap gerak gerikmu
adalah ide brilian untuk setiap bait puisi yang aku tuliskan. Bolehkan aku
sering-sering menatapmu untuk sekedar penawar rindu? Jangan merasa risih ya…
Jujur, aku mengagumimu.
Yusuf.
Aku
diam memaku dengan perasaan yang teramat sangat bahagia. Ada hamparan taman
bunga yang begitu luas di dadaku. Ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan. Yusuf, aku juga mengagumimu. Rifan dan
Ilham pamit pulang, disusul yusuf yang juga pamit,
“Duluan
ya Yulia, sampai ketemu besok.” Ucap yusuf sambil melambaikan tangan.
Aku
hanya mengguk. Bahagia, gugup, dan entah apa lahi rasa yang aku punya saat itu. Rara juga pamit,
“Yulia,
aku duluan.” Rara pamit sambil bergegas.
“Mau
kemana Ra, buru-buru amat?”
“Lapar!”
Ujar Rara ketus. Lalu ia berlari meninggalkanku sendiri. Dengan rasa lapar yang
sudah menjadi kenyang dengan surat daru Yusuf.
“Sampai
ketemu besok yusufku sayang…”
Kakiku
melangkah dengan ringan, pulang menuju rumah. Aku temui ibu dan aku ceritakan
semuanya kejadian hari ini kepadanya, juga tentang yusuf yang ternyata punya
rasa yang sama denganku.
No comments:
Post a Comment