Search This Blog

Tuesday, March 22, 2016

DUA BELAS TAHUN

Jam 08:00 hari selasa. Pagi ini Bandung sangat cerah. Matahari bersinar terang sinarnya hangat menyapa kulit. Orang-orang berlalulalang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Beberapa orang tempak sangat bersemangat, yang lain tampak sibuk menengok arloji yang melingkar di tangannya berkali-kali, sepertinya akan telat datang ke tempat kerja. Sementara di kamarnya, Riani masih sibuk dengan baju-baju yang ia keluarkan dari lemari
Masih memilih dan menimbang-nimbang baju apa yang akan ia kenakan untuk pertemuan nanti. Waktu persiapan hanya tersisa sekitar dua jam. Seperti janjinya, jam 10 Randi akan menjemput ke rumahnya. Riani sudah mandi, badannya udah wangi, rambutnyapun sudah wangi, keramas dan diberi fitamin rambut. Namun ia merasa belum menemukan baju yang tepat untuk ia kenakan.

Kemarin lusa, Randi menelponnya berharap ingin bertemu. Sudah sejak empat bulan yang lalu mereka tidak saling melepas rindu. Randi yang sibuk dengan pekerjaannya dan juga sibuk mengantar sang tunangan pergi kesana kemari, belanja, ke salon, jalan-jalan, mengantar dan menjemputnya ke tempat kerja, lantas mengantarnya pulang, lebih persis sebagai sopir pribadi bagi wanitanya itu. Randi merasa jenuh dan merindukan Rianinya yang dulu. Riani yang selalu ada untuknya. Menemani waktu senggangnya. Riani yang ia cintai sejak duduk di bangku SMA, Riani yang sejak lama ia mimpikan untuk menjadi pendampingnya kelak. Namun keadaan berkata lain, orangtua Randi lebih memilihkan calon istri yang punya pekerjaan tetap, pegawai kantoran, yang bekerja di perusahaan milik orangtuanya sendiri. Orang kaya, memiliki masa depan yang cerah. Sementara Riani kini, masih asik dengan kebebasannya. Ia lebih memilih traveling sebagai hobinya, dan wartawan sebagai pekerjaan pilihannya. Orangtua Randi tidak menyetujuai hubungan mereka.

Randi bertunangan dengan Sandra sekitar setahun yang lalu, menyisakan luka yang begitu menganga di hati Riani. Namun Randi berhasil meyakinkan hatinya, bahwa walaupun telah bertunangan dengan Sandra, nama Riani tak pernah ia hapus dalam hatinya. Riani tetaplah Riani, cinta sejatinya. Randipun masih sering menghubungi lewat pesawat telepon, email, akun-akun media sosial, masih sama seperti dulu, mengucapkan kata-kata rindu, sayang dan cinta. Tak pernah ada yang berubah. Hanya jadwal pertemuan mereka yang terhambat bentang jarak dan waktu. Riandi yang sibuk, dan tinggal di luar kota, menuntut mereka untuk bisa menahan gejolak rindu yang ada. Rianipun harus bersabar dengan kisah cinta yang ia jalani. Yang ia pegang sekarang hanyalah satu keyakinan. Yakin bahwa dari dulu hingga sekarang Randi masih tetap mencintainya. Dan sampai kapanpun, ia akan terus berusaha menjadi yang terbaik untuk Randi. Saat Randi bersedih, maka Rianilah orang pertama yang akan menghibur hati Randi. Saat Randi merasa rapuh, karena gagal dalam masalah pekerjaan,maka siapa lagi yang akan membangkitkan semangatnya kembali jika bukan Riani. Riani memang manusia tersabar yang tercipta untuk Randi. Dia adalah perempuan paling mengerti, dan membuat Randi selalu merasa nyaman berada di sisinya. Alasan itulah yang membuat Randi tak mau meninggalkan Riani walaupun janur kuning mungkin sebentar akan melengkung menandai pernikahannya bersama Sandra. Ia tak bisamenentang keinginan kedua orangtuanya.

Jam sudah menunjukkan pukul 09:30. Riani sudah siap, baju yang dirasa tepat sudah ia kenakan. Dalam benaknya, hari ini ia akan jalan-jalan seperti biasa mengunjungi tempat-tempat pavorit mereka di Bandung. Kaos lengan pendek berwarna pich dipadukan dengan celana jeans biru. Sepatunya sudah siap, tas nya pun sudah siap dengan warna senada. Parasnya yang cantik ia rias dengan makeup tipis, menunjukkan kesan natural. Tampilannya memang tidak sefeminim Sandra, namun Riani selalu terlihat menarik di mata dan hatinya Randi.

Bip.

Hanphone nya berbunyi, Randi memberi kabar, bahwa sekitar setengah jam lagi ia akan tiba di rumah Riani. Senyum Riani terkembang, menambah kesan manis di wajahnya. Dadanya gak berhenti merasakan detak jantungnya. Entah kenapa, degup rindunya kali ini begitu merdu. Fikirannya tak mau lepas membayangkan bagaimana nanti ketika pertama kali bertemu Randi, membukakan pintu, dan ucapan apa yang harus ia katakan kepadanya. Riani gelisah, waktu 30 menit terasa begitu cepat berjalan. Perlahan tapi pasti, jarum jam berputar. Waktu yang tersisa semakin berkurang. Seiring dengan itu degup jantung Riani semakin kencang. Perasaan bahagianya tak dapat lagi ia bendung. Pangeran pujaan hatinya akan segera datang.

Lima menit lebih cepat, tombol bel yang dipasang di dekat pintu bagian depan rumah ada yang menekan. Bel berbunyi, suaranya terdengar sampai ke kamar Riani yang sedang dipenuhi oleh bunga-bunga penantian. Riani berlari ke ruangan depan. Namun ibunya sudah mendahuluinya membukakan pintu dan mempersilahkan masuk tamunya. Tamu itu tidak datang sendiri, Randi datang bersama beberapa orang, dengan menggunakan pakaian yang resmi. Dua orang diantaranya ia kenali sebagai orangtua Randi. Keduanya menyalami ibu Riani dan berbasa basi bertanya kabar.  Randi tampak begitu tampan dengan kemeja yang ia kenakan, dua orang pemuda dengan usia yang terlihat lebih muda dari Randi mengenakan kemeja dengan warna senada.

Belum habis rasa keterkejutan Riani, ibunya yang ternyata mengenakan baju yang tidak biasa pun memanggil Riani untuk segera mendekat. Tidak seperti biasa pagi itu ibunya mengenakan gamis yang bagus, Riani baru tahu ibunya memiliki baju itu. Tak lama kemudian, ayah Riani datang dari balik pintu ruangan keluarga, mengenakan kemeja yang tak kalah rapih dengan ayah Randi. Ada apa ini?

Bi Inah menyajikan makanan dan minuman diatas meja. Mempersilahkan tamu-tamu untuk mencicipinya. Ibu Riani menarik tangan putrinya untuk masuk kembali kekamarnya. Tak lupa terlebih dahulu pamit kepada tamu yang baru saja datang. Riani mengekor mengikuri ibunya diantarkan oleh pandangan mata Randi yang sejak tadi tak lepas memandangi wajah kekasihnya tersebut. Pandangan yang penuh kerinduan, dan sebuah kebahagiaan yang tak bisa dibendung terpancar di sana.

Di dalam kamar, Ibu Riani mendandani putrinya. Menyuruh berganti pakaian dengan pakaian yang telah ia pilihkan, menyisir rambutnya, memperbaiki makeupnya. Ibu Riani memang sangat terampil menyulap penampilan putrinya. Selama itu pula mulut Riani tak berhenti bertanya dan menyalahkan ibunya. “Mengapa Ibu tidak memberi tahu?” ibunya hanya tersenyum menghadapi tingkah putrinya itu.

Dalam waktu sekejap, Riani sudah berubah wujud, menjadi putri cantik yang mempesona. Mata Randi terbelalak demi melihat kekasihnya keluar dari kamarnya. Semua orang berdecak kagum, merasa pangling. Riani yang biasa bergaya tomboy sekarang begitu feminim dan anggun.

Setelah berbasa-basi, tak lama kemudian, ayah Randipun mengemukakan tujuannya datang bersama keluarga ke rumah Riani. Mereka bermaksud melamar Riani, dan menyampaikan permohonan maaf jika selama ini telah mengalangi hungungan anaknya dengan orang yang dicintainya. Bagai mendapatkan durian runtuh, bahkan Riani merasa kebahagiaannya lebih dari perumpamaan itu. Ia bersyukur berkali-kali, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, matanya sampai berkaca-kaca menahan lonjakan rasa bahagia.

Belum berhenti di sana perasaan bahagia Riani. Randi bangkit dari duduknya. Mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari sakunya. Seraya mengucap basmalah, sebuah cincin berlian disematkan ke jari manis Riani. Diiringi oleh ucapan-ucapan rasa syukur dari semua orang yang ada di sana. Hati Riani mendadak seringan kapas, terbang tinggi mengangkasa. Ruangan tamu rumahnya mendadak menjadi taman bunga yang paling indah, wangi kebahagiaan semerbak memenuhi ruang penciumannya. Hari itu adalah hari bahagianya. Jawaban dari semua penantian yang selama ini ia jalani, buah dari kesabaran dan kesetiaannya kepada Randi selama 12 tahun lamanya. Orangtua Randi membatalkan pertunangan putranya dengan Sandra, dan merestui hubungan mereka. Bulir-bulir air mata mengalir dari sudut kedua matanya, dan itulah tangisan bahagia.













Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment