Jam
08:00 hari selasa. Pagi ini Bandung sangat cerah. Matahari bersinar terang
sinarnya hangat menyapa kulit. Orang-orang berlalulalang tampak sibuk dengan
kegiatan masing-masing. Beberapa orang tempak sangat bersemangat, yang lain
tampak sibuk menengok arloji yang melingkar di tangannya berkali-kali,
sepertinya akan telat datang ke tempat kerja. Sementara di kamarnya, Riani
masih sibuk dengan baju-baju yang ia keluarkan dari lemari
Masih memilih dan
menimbang-nimbang baju apa yang akan ia kenakan untuk pertemuan nanti. Waktu
persiapan hanya tersisa sekitar dua jam. Seperti janjinya, jam 10 Randi akan
menjemput ke rumahnya. Riani sudah mandi, badannya udah wangi, rambutnyapun
sudah wangi, keramas dan diberi fitamin rambut. Namun ia merasa belum menemukan
baju yang tepat untuk ia kenakan.
Kemarin
lusa, Randi menelponnya berharap ingin bertemu. Sudah sejak empat bulan yang
lalu mereka tidak saling melepas rindu. Randi yang sibuk dengan pekerjaannya
dan juga sibuk mengantar sang tunangan pergi kesana kemari, belanja, ke salon,
jalan-jalan, mengantar dan menjemputnya ke tempat kerja, lantas mengantarnya
pulang, lebih persis sebagai sopir pribadi bagi wanitanya itu. Randi merasa
jenuh dan merindukan Rianinya yang dulu. Riani yang selalu ada untuknya.
Menemani waktu senggangnya. Riani yang ia cintai sejak duduk di bangku SMA,
Riani yang sejak lama ia mimpikan untuk menjadi pendampingnya kelak. Namun
keadaan berkata lain, orangtua Randi lebih memilihkan calon istri yang punya
pekerjaan tetap, pegawai kantoran, yang bekerja di perusahaan milik orangtuanya
sendiri. Orang kaya, memiliki masa depan yang cerah. Sementara Riani kini,
masih asik dengan kebebasannya. Ia lebih memilih traveling sebagai hobinya, dan
wartawan sebagai pekerjaan pilihannya. Orangtua Randi tidak menyetujuai
hubungan mereka.
Randi
bertunangan dengan Sandra sekitar setahun yang lalu, menyisakan luka yang
begitu menganga di hati Riani. Namun Randi berhasil meyakinkan hatinya, bahwa
walaupun telah bertunangan dengan Sandra, nama Riani tak pernah ia hapus dalam
hatinya. Riani tetaplah Riani, cinta sejatinya. Randipun masih sering
menghubungi lewat pesawat telepon, email, akun-akun media sosial, masih sama
seperti dulu, mengucapkan kata-kata rindu, sayang dan cinta. Tak pernah ada
yang berubah. Hanya jadwal pertemuan mereka yang terhambat bentang jarak dan
waktu. Riandi yang sibuk, dan tinggal di luar kota, menuntut mereka untuk bisa
menahan gejolak rindu yang ada. Rianipun harus bersabar dengan kisah cinta yang
ia jalani. Yang ia pegang sekarang hanyalah satu keyakinan. Yakin bahwa dari
dulu hingga sekarang Randi masih tetap mencintainya. Dan sampai kapanpun, ia
akan terus berusaha menjadi yang terbaik untuk Randi. Saat Randi bersedih, maka
Rianilah orang pertama yang akan menghibur hati Randi. Saat Randi merasa rapuh,
karena gagal dalam masalah pekerjaan,maka siapa lagi yang akan membangkitkan
semangatnya kembali jika bukan Riani. Riani memang manusia tersabar yang
tercipta untuk Randi. Dia adalah perempuan paling mengerti, dan membuat Randi
selalu merasa nyaman berada di sisinya. Alasan itulah yang membuat Randi tak
mau meninggalkan Riani walaupun janur kuning mungkin sebentar akan melengkung
menandai pernikahannya bersama Sandra. Ia tak bisamenentang keinginan kedua
orangtuanya.
Jam
sudah menunjukkan pukul 09:30. Riani sudah siap, baju yang dirasa tepat sudah
ia kenakan. Dalam benaknya, hari ini ia akan jalan-jalan seperti biasa
mengunjungi tempat-tempat pavorit mereka di Bandung. Kaos lengan pendek
berwarna pich dipadukan dengan celana jeans biru. Sepatunya sudah siap, tas nya
pun sudah siap dengan warna senada. Parasnya yang cantik ia rias dengan makeup
tipis, menunjukkan kesan natural. Tampilannya memang tidak sefeminim Sandra,
namun Riani selalu terlihat menarik di mata dan hatinya Randi.
Bip.
Hanphone
nya berbunyi, Randi memberi kabar, bahwa sekitar setengah jam lagi ia akan tiba
di rumah Riani. Senyum Riani terkembang, menambah kesan manis di wajahnya.
Dadanya gak berhenti merasakan detak jantungnya. Entah kenapa, degup rindunya
kali ini begitu merdu. Fikirannya tak mau lepas membayangkan bagaimana nanti
ketika pertama kali bertemu Randi, membukakan pintu, dan ucapan apa yang harus
ia katakan kepadanya. Riani gelisah, waktu 30 menit terasa begitu cepat
berjalan. Perlahan tapi pasti, jarum jam berputar. Waktu yang tersisa semakin
berkurang. Seiring dengan itu degup jantung Riani semakin kencang. Perasaan
bahagianya tak dapat lagi ia bendung. Pangeran pujaan hatinya akan segera
datang.
Lima
menit lebih cepat, tombol bel yang dipasang di dekat pintu bagian depan rumah
ada yang menekan. Bel berbunyi, suaranya terdengar sampai ke kamar Riani yang
sedang dipenuhi oleh bunga-bunga penantian. Riani berlari ke ruangan depan.
Namun ibunya sudah mendahuluinya membukakan pintu dan mempersilahkan masuk
tamunya. Tamu itu tidak datang sendiri, Randi datang bersama beberapa orang,
dengan menggunakan pakaian yang resmi. Dua orang diantaranya ia kenali sebagai
orangtua Randi. Keduanya menyalami ibu Riani dan berbasa basi bertanya kabar. Randi tampak begitu tampan dengan kemeja yang
ia kenakan, dua orang pemuda dengan usia yang terlihat lebih muda dari Randi
mengenakan kemeja dengan warna senada.
Belum
habis rasa keterkejutan Riani, ibunya yang ternyata mengenakan baju yang tidak
biasa pun memanggil Riani untuk segera mendekat. Tidak seperti biasa pagi itu
ibunya mengenakan gamis yang bagus, Riani baru tahu ibunya memiliki baju itu.
Tak lama kemudian, ayah Riani datang dari balik pintu ruangan keluarga,
mengenakan kemeja yang tak kalah rapih dengan ayah Randi. Ada apa ini?
Bi
Inah menyajikan makanan dan minuman diatas meja. Mempersilahkan tamu-tamu untuk
mencicipinya. Ibu Riani menarik tangan putrinya untuk masuk kembali kekamarnya.
Tak lupa terlebih dahulu pamit kepada tamu yang baru saja datang. Riani mengekor
mengikuri ibunya diantarkan oleh pandangan mata Randi yang sejak tadi tak lepas
memandangi wajah kekasihnya tersebut. Pandangan yang penuh kerinduan, dan
sebuah kebahagiaan yang tak bisa dibendung terpancar di sana.
Di
dalam kamar, Ibu Riani mendandani putrinya. Menyuruh berganti pakaian dengan
pakaian yang telah ia pilihkan, menyisir rambutnya, memperbaiki makeupnya. Ibu
Riani memang sangat terampil menyulap penampilan putrinya. Selama itu pula
mulut Riani tak berhenti bertanya dan menyalahkan ibunya. “Mengapa Ibu tidak
memberi tahu?” ibunya hanya tersenyum menghadapi tingkah putrinya itu.
Dalam
waktu sekejap, Riani sudah berubah wujud, menjadi putri cantik yang mempesona.
Mata Randi terbelalak demi melihat kekasihnya keluar dari kamarnya. Semua orang
berdecak kagum, merasa pangling. Riani yang biasa bergaya tomboy sekarang
begitu feminim dan anggun.
Setelah
berbasa-basi, tak lama kemudian, ayah Randipun mengemukakan tujuannya datang
bersama keluarga ke rumah Riani. Mereka bermaksud melamar Riani, dan menyampaikan
permohonan maaf jika selama ini telah mengalangi hungungan anaknya dengan orang
yang dicintainya. Bagai mendapatkan durian runtuh, bahkan Riani merasa
kebahagiaannya lebih dari perumpamaan itu. Ia bersyukur berkali-kali, seolah
tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, matanya sampai berkaca-kaca
menahan lonjakan rasa bahagia.
Belum
berhenti di sana perasaan bahagia Riani. Randi bangkit dari duduknya.
Mengeluarkan sebuah kotak berwarna merah dari sakunya. Seraya mengucap
basmalah, sebuah cincin berlian disematkan ke jari manis Riani. Diiringi oleh
ucapan-ucapan rasa syukur dari semua orang yang ada di sana. Hati Riani
mendadak seringan kapas, terbang tinggi mengangkasa. Ruangan tamu rumahnya
mendadak menjadi taman bunga yang paling indah, wangi kebahagiaan semerbak
memenuhi ruang penciumannya. Hari itu adalah hari bahagianya. Jawaban dari
semua penantian yang selama ini ia jalani, buah dari kesabaran dan kesetiaannya
kepada Randi selama 12 tahun lamanya. Orangtua Randi membatalkan pertunangan
putranya dengan Sandra, dan merestui hubungan mereka. Bulir-bulir air mata
mengalir dari sudut kedua matanya, dan itulah tangisan bahagia.
No comments:
Post a Comment