“Kamu
kenapa de?” Suara mas Permadi mengagetkanku. Sejak tadi dia bercerita kesana-
kemari jujur aku tidak terlalu memperhatikan. Topik yang dia pilih benar-benar
bukan topik yang menarik. Seharusnya dia tahu, bagaimana perasaanku saat dia terus-menerus
membahas kisah cintanya bersama mbak Tia. Kisah cinta yang menurtku malah biasa
saja. Gak terlalu asik untuk disimak. Apa
indahnya coba? mas Permadi dengan
berbagai kesibukannya dan mbak Tia yang juga sibuknya minta ampun. Kapan mereka
punya waktu untuk bertemu sekedar menikmati kebersamaan, bercanda dan
membicarakan masa depan dengan serius. Masalah rencana pernikahan mereka misal?
Eh, apa? Pernikahan? No, no, no! Jangan! Jangan sampai mereka menikah. Ah, aku
tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hatiku ketika harus menyaksikan mas
Permadi duduk bersanding di pelaminan bersama mbak Tia. Melihat mereka sibuk
berjabat tangan dengan orang banyak dan
diberikan ucapan selamat juga dihujani berbagai ucapan do’a. “Semoga
kalian bahagia selamanya ya…”, “ Semoga menjadi keluarga sakinah mawadah wa
rahmah ya…”, “ Lekas dikasih momongan ya…" Ah… Demi Tuhan aku tak suka jika bayangan itu melintas
di fikiranku. Pergi, pergilah jauh wahai bayangan-bayangan yang membuat
kepalaku sakit! Dan kenapa pula harus ada mbak Tia di dunia ini? Harusnya kan
hanya ada aku seseorang yang menghuni hatinya mas Permadi.
“Hai…
Melamun ya de…” Suara mas Permadi mengagetkanku lagi. Tangannya asik melempar
pakan ke kolam. Puluhan ikan koki berwarna merah dan orange berdesakkan
berebutan makanan. Menciptakan cipratan-cipratan kecil air di kolam itu. Kami
sudah memesan menu makan siang, sengaja memilih tempat yang menghadap ke kolam
ikan. Tempat favorit kami. Memang tempat ini bisa dibilang sering kami kunjungi
bersama.
“Hm…
gak kok Mas. Aku tak apa-apa, hanya lagi kurang focus saja” aku berusaha
mengelak.
“Ah,
Mas tahu adik mas ini lagi mikirin sesuatu” Tuh kan,apa aku bilang, lagi-lagi
dia hanya menganggap aku sebagai adik. Padahal sudah sejak lama aku mengaguminya,
sudah sejak lama aku jatuh cinta kepadanya, dan semakin hari, semakin jatuh
saja. Apa mas Permadi itu tak pernah mengerti bagaimana perasaanku kepadanya,
tidakkah ia bisa membaca sikap dan perlakuanku?
“Gak
kok Mas, hehe.” Aku tersenyum berusaha menyembunyikan perasaan, walau itu tak
pernah bisa benar-banar aku sembunyikan. “Yasudah, Mas mau terusin lagi
ceritanya atau mau makan dulu? Nadia lapar Mas…”
Menyimak
cerita mas Permadi membuat perutku keroncongan. Kini aku faham, api cemburu
juga bisa menghabiskan energi dalam tubuh. Buktinya sekarang aku sangat lapar.
Apalagi makanan yang tadi kami pesan sudah terhidang di meja lesehan.
“Kamu
ini ya Nad… kalau masalah makan saja semangat sekali” Tangan mas Permadi
mengacak-ngacak rambutku. Kami duduk bersebelahan hanya berjarak setengah
meter. Sebetulnya ingin rasanya aku duduk lebih rapat lagi. Lalu aku senderan,
dan ah… andai kamu tahu Mas.
Mas
Permadi mengambilkan nasi dan lauknya ke piringku. Kebiasaan itu selalu
terpelihara sejak dulu. Ia memang penuh kasih sayang dan sangat perhatian.
Bersamanya aku merasa memiliki perlindungan, hidupku terasa aman dan tenang.
Andai kelak ia menjadi suamiku, maka aku bersumpah, aku akan mengikrarkan diri
bahwa aku adalah perempuan yang paling bahagaia sedunia.
Mas
Permadi adalah tetanggaku, teman mainku sedari kecil. Ia mengetahui semua
kekurangan dan kelebihanku. Ibu kami bersahabat sangat dekat. Ayah kami pun
satu profesi. Keluarga kami sering melakukan perjalanan bersama, liburan, atau
sekedar berbelanja bulanan sekalipun. Wajar jika banyak orang yang mengaggap
keluarga kami memiliki hubungan saudara. Dan mungkin karena itu pula mas Permadi
menganggap aku adiknya. Ya, hanya sebagai adiknya.
Usia
kami berbeda 5 tahun, kini aku 20 tahun dan Mas Permadi 25. Jarak usia yang
ideal untuk menjadi sepasang suami istri.
Sejak mas Permadi mengalami cinta pertama di kelas 3 SMP ia mulai
menceritakan segala tek-tek bengek perasaan yang ia miliki untuk teman
perempuan yang ia sukai. Awalnya aku bahagia mas Permadi menyukai teman
perempuannya. Temannya itu cantik dan baik sekali kepadaku. Kami pernah beberpa
kali bertemu saat dia datang bersama teman-temannya ke rumah mas Permadi untuk
mengerjakan tugas sekolah bersama-sama. Sejak SMP mas Permadi sudah terlihat
begitu dewasa, ia memperlakukan perempuan dengan sangat sopan. Tidak seperti
kebanyakan laki-laki seusianya, mas Permadi sama sekali tidak terlihat gerogi atau
salah tingkah. Ia pandai mengontrol sikap. Mungkin itu pula alasanya mengapa
sejak SMP mas Permadi banyak disukai perempuan. Dan yang paling aku suka,
walaupun dia dikunjungi banyak teman-teman satu sekolah nya ia tak pernah lupa
mengenalkan aku kepada mereka, membuat aku merasa begitu berarti bagi mas
Permadi. Walaupun setiap kali aku diperkenalkan hanya sebagai adik.
Kali
kedua cerita tentang jatuh cinta yang ia ceritakan kepadaku yaitu ketika ia
duduk di bangku kelas 3 SMA. Dan aku kelas satu SMP. Perempuan yang ia sukai
cantik sekali. Sejak saat itulah entah kenapa aku merasa benar-benar tidak lagi
menyukai teman perempuan mas Permadi yang berwajah cantik, apalagi yang mas
Permadi sukai.
Entah
berapa gadis yang ia kenalkan kepadaku, dan entah berapa kali aku harus merasa
patah hati karenanya. Selama itu pula entah berapa laki-laki yang aku tolak
cintanya demi untuk menunggu mas Permadi menyatakan cintanya kepadaku.
Mungkinkah?
Dua
minggu yang lalu, aku bercerita kepadanya bahwa Adi teman kuliahku menyatakan
cintanya kepadaku. Aku melihat mimik muka yang aneh pada wajah mas Permadi. Aku
tahu itu ekspresi ketidaksukaan. Aku senang bukan kepalang. Aku fikir aku
berhasil membuat mas Permadi merasa cemburu. Dan ketika aku bialang aku
menolaknya, raut mukanya seketika berubah menjadi sumringah, dia bilang
“Baguslah Nad, mendingan kamu terus menjomblo biar terus berada di sisi Mas.”
Entah apa maksud dari kalimat tersebut. Aku benar-benar berharap selanjutnya
dialah yang akan mengakhiri status jomloku di usia yang ke 20 ini.
Dan
kini di saat aku mulai memiliki harapan yang lebih besar, bahkan aku telah memutuskan
untuk menyatakan cinta terlebih dahulu seandainya mas Permadi tak juga
menyatakannya, dia malah membawa cerita baru, tentang seseorang yang dia sukai
di tempat kerjanya. Ternyata anggapanku
bahwa mas Permadi mengajakku makan siang berdua saja adalah untuk menyatakan
cintanya kepadaku adalah salah besar. Dia memang tak berubah, masih sama
seperti dulu, aku hanyalah tempat curhatnya. Aku adalah tempat terbaik untuk di
sakiti, dipana-panasi dengan kisah cintanya. Sudah ratusan episode yang aku
simak. Tak ada satupun yang happy ending. Semunya kandas, tak ada yang berjalan
lama. Entah itu karena pacarnya yang terlalu pengekang, matre, pencemburu, atau
bahkan karena pacarnya itu ketahuan selingkuh. Tak jarang mas Permadi bercerita
kepadaku dengan hati yang luluh lantak, hancur seolah tak memiliki harapan.
Siapa lagi yang membuat dia berhasil move on jika bukan aku? Siapa lagi yang
selalu mengingatkan agar tidak lupa makan dan menjaga kesehatan saat dia larut
dalam kesedihan jika bukan aku, (dan tentu saja ibunya juga). Tapi kan aku
banyak berperan dalam hidupnya. Setidaknya aku adalah orang yang benar-benar
selalu ada, menerima segala kekurangannya, mengetahui semua kekonyolannya.
Akulah yang tak pernah meninggalkannya dalam keadaan apapun. Tidak seperti
mereka yang datang silih berganti hanya untuk menyakiti hati mas Permadi.
“Mas,
aku ingin tahu, bagaimana rasanya dikagumi oleh orang yang sudah dekat sejak
kecil? Orang yang setiap hari bertemu denganmu. Aku bahkan ingin tahu, apa
efeknya ke perasaanmu dan bahkan kehidupanmu ketika kamu aku do’akan setiap
pagi, siang dan malam agar Allah menjagamu? Bagaimana rasanya Mas? Merasa
tenangkah? Merasa baikankah? Mas, aku sadar mungkin aku bukan orang yang terbaik
untuk mu, tapi tidakkah kamu sadar Mas, bahwa kedekatan kita selama ini telah
melahirkan benih-benih cinta yang kemudian tumbuh subur dalam hatiku. Berdaun
rindang, dan berakar kokoh. Susah aku pangkas, ia semakin tumbuh tinggi menjulang.
Setiap hari aku selalu ingin bersamu. Satu jam saja aku tidak mendapatkan kabar
darimu gelisahnya minta ampun. Lalu bagaimana denganmu Mas? Tidakkah Mas
memiliki perasaan yang sama untuk sekedar membalas perasaanku? Aku mencintaimu Mas,
sungguh.”
Sayangnya
kalimat-kalimat itu hanya berkecamuk di dalam kepalaku. Lagi-lagi aku harus
menyimpannya baik-baik di tempat paling rahasia hatiku. Semetara mas-ku malah
asik dengan handphonenya sembari menikmati makan siangnya. Mungkin dia sedang
BBMan dengan mbak Tia. Hm… mbak Tia lagi! Aku mulai kehilangan nafsu makan
ketika melihat mas-ku mulai senyum-senyum sendiri setelah membaca beberapa
pesan di hanphone pintarnya. Merasa diabaikan? Tentu saja. Ah… Mas, kamu ini
memang tidak pernah berubah. Kapan kamu sadar Mas? Buka mata hati kamu, lihat,
ada aku di sini.
“Nad,
lihat deh, Tia kasih aku gambar ini” Mas Permadi menunjukkan gambar berisi
kata-kata romantis di hanphonenya. “Tia memang romantis banget orangnya Nad” Aku
hanya bisa mengangguk perlahan dan berusaha tersenyum semanis mungkin agar
mas-ku tak kecewa. Hatiku terasa retak mendengar ucapan tersebut. Bagaimana
bisa laki-laki yang aku cintai memuji-muji perempuan lain tepat di
pendengaranku.
Aduh
Mas… Kamu ini ya…
Makanan
sudah habis, ingin rasanya aku segera pulang meninggalkan mas Permadi dengan
rasa bahagianya, dan bunga-bunga cintanya untuk mbak Tia. Masabodo dengan
perasaan yang aku punya, toh semuanya takan pernah berubah, aku akan tetap
mencintainya. Hanya kali ini sepertinya aku ingin menyendiri, menenangkan diri.
Makan siang kali ini benar-benar gak asik.
“Mas,
makasih ya, aku sudah kenyang, aku pulang duluan aja ya.” Mas permadi bengong
demi mendengar perkataanku. “Mas maasih mau di sini kan?” Tanganku meraih tas
yang sejak tadi aku letakan di bawah meja lesehan, bersiap-siap untuk beranjak
pergi.
“Lho,
kenapa Nad, Mas kok ditinggal sendiri?” Aku menggeleng mengangkat bahu, tak
tahu jawaban apa yang harus aku berikan kepada mas Permadi. “Jangan dulu pulang
dong… Mas masih pengen bareng kamu tau Nad.” Mas Permadi memalas, memasang
wajah sedikit manja, lucu, manis, dan menurutku itu menggemaskan, bikin greget.
Wajahnya yang seperti itulah yang sering membuatku susah memejamkan mata di
malam hari. Menyebalkan! Kalimatnya tadi membuat aku kembali memiliki harapan.
Membuat aku berubah fikiran seketika.
“Iya
deh Mas, tapi jangan lama-lama ya, aku ada acara” jawabku sekenanya.
“Hahahaha,
sejak kapan kamu jadi sibuk begitu Nad? Biasanya kamu selalu punya banyak waktu
buat Mas. Mau kemana emang?” Mas Permadi tertawa terbahak, seolah nikmat sekali.
Membuat aku bertambah kesal, merasa mendapatkan ledekan.
“Nad,
kamu bisa temenin Mas gak?”
“Kemana
Mas?” Asik, mas Permadi ngajakin aku jalan-jalan. Sepertinya sakit hatiku akan sedikit
terobati. Awas aja kalo mas bahas lagi mbak Tia! Benakku tak berhenti
berkata-kata.
“Nyari
hadiah ulangtahun buat Tia”
Jleb!
aku juga sedang merasakan rindu yang teramat berat
ReplyDeleteHallo Dania... Hantarkan segera rindumu, biar tidak terasa terlalu berat. :-)
ReplyDeleteterimakasih sudah berkunjung..