Search This Blog

Tuesday, March 1, 2016

BAPER



“Kamu kenapa de?” Suara mas Permadi mengagetkanku. Sejak tadi dia bercerita kesana- kemari jujur aku tidak terlalu memperhatikan. Topik yang dia pilih benar-benar bukan topik yang menarik. Seharusnya dia tahu, bagaimana perasaanku saat dia terus-menerus membahas kisah cintanya bersama mbak Tia. Kisah cinta yang menurtku malah biasa saja. Gak terlalu asik untuk disimak. Apa
indahnya coba? mas Permadi dengan berbagai kesibukannya dan mbak Tia yang juga sibuknya minta ampun. Kapan mereka punya waktu untuk bertemu sekedar menikmati kebersamaan, bercanda dan membicarakan masa depan dengan serius. Masalah rencana pernikahan mereka misal? Eh, apa? Pernikahan? No, no, no! Jangan! Jangan sampai mereka menikah. Ah, aku tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hatiku ketika harus menyaksikan mas Permadi duduk bersanding di pelaminan bersama mbak Tia. Melihat mereka sibuk berjabat tangan dengan orang banyak dan  diberikan ucapan selamat juga dihujani berbagai ucapan do’a. “Semoga kalian bahagia selamanya ya…”, “ Semoga menjadi keluarga sakinah mawadah wa rahmah ya…”, “ Lekas dikasih momongan ya…" Ah…  Demi Tuhan aku tak suka jika bayangan itu melintas di fikiranku. Pergi, pergilah jauh wahai bayangan-bayangan yang membuat kepalaku sakit! Dan kenapa pula harus ada mbak Tia di dunia ini? Harusnya kan hanya ada aku seseorang yang menghuni hatinya mas Permadi.
“Hai… Melamun ya de…” Suara mas Permadi mengagetkanku lagi. Tangannya asik melempar pakan ke kolam. Puluhan ikan koki berwarna merah dan orange berdesakkan berebutan makanan. Menciptakan cipratan-cipratan kecil air di kolam itu. Kami sudah memesan menu makan siang, sengaja memilih tempat yang menghadap ke kolam ikan. Tempat favorit kami. Memang tempat ini bisa dibilang sering kami kunjungi bersama.
“Hm… gak kok Mas. Aku tak apa-apa, hanya lagi kurang focus saja” aku berusaha mengelak.
“Ah, Mas tahu adik mas ini lagi mikirin sesuatu” Tuh kan,apa aku bilang, lagi-lagi dia hanya menganggap aku sebagai adik. Padahal sudah sejak lama aku mengaguminya, sudah sejak lama aku jatuh cinta kepadanya, dan semakin hari, semakin jatuh saja. Apa mas Permadi itu tak pernah mengerti bagaimana perasaanku kepadanya, tidakkah ia bisa membaca sikap dan perlakuanku?
“Gak kok Mas, hehe.” Aku tersenyum berusaha menyembunyikan perasaan, walau itu tak pernah bisa benar-banar aku sembunyikan. “Yasudah, Mas mau terusin lagi ceritanya atau mau makan dulu? Nadia lapar Mas…”
Menyimak cerita mas Permadi membuat perutku keroncongan. Kini aku faham, api cemburu juga bisa menghabiskan energi dalam tubuh. Buktinya sekarang aku sangat lapar. Apalagi makanan yang tadi kami pesan sudah terhidang di meja lesehan.
“Kamu ini ya Nad… kalau masalah makan saja semangat sekali” Tangan mas Permadi mengacak-ngacak rambutku. Kami duduk bersebelahan hanya berjarak setengah meter. Sebetulnya ingin rasanya aku duduk lebih rapat lagi. Lalu aku senderan, dan ah… andai kamu tahu Mas.
Mas Permadi mengambilkan nasi dan lauknya ke piringku. Kebiasaan itu selalu terpelihara sejak dulu. Ia memang penuh kasih sayang dan sangat perhatian. Bersamanya aku merasa memiliki perlindungan, hidupku terasa aman dan tenang. Andai kelak ia menjadi suamiku, maka aku bersumpah, aku akan mengikrarkan diri bahwa aku adalah perempuan yang paling bahagaia sedunia.
Mas Permadi adalah tetanggaku, teman mainku sedari kecil. Ia mengetahui semua kekurangan dan kelebihanku. Ibu kami bersahabat sangat dekat. Ayah kami pun satu profesi. Keluarga kami sering melakukan perjalanan bersama, liburan, atau sekedar berbelanja bulanan sekalipun. Wajar jika banyak orang yang mengaggap keluarga kami memiliki hubungan saudara. Dan mungkin karena itu pula mas Permadi menganggap aku adiknya. Ya, hanya sebagai adiknya.
Usia kami berbeda 5 tahun, kini aku 20 tahun dan Mas Permadi 25. Jarak usia yang ideal untuk menjadi sepasang suami istri.  Sejak mas Permadi mengalami cinta pertama di kelas 3 SMP ia mulai menceritakan segala tek-tek bengek perasaan yang ia miliki untuk teman perempuan yang ia sukai. Awalnya aku bahagia mas Permadi menyukai teman perempuannya. Temannya itu cantik dan baik sekali kepadaku. Kami pernah beberpa kali bertemu saat dia datang bersama teman-temannya ke rumah mas Permadi untuk mengerjakan tugas sekolah bersama-sama. Sejak SMP mas Permadi sudah terlihat begitu dewasa, ia memperlakukan perempuan dengan sangat sopan. Tidak seperti kebanyakan laki-laki seusianya, mas Permadi sama sekali tidak terlihat gerogi atau salah tingkah. Ia pandai mengontrol sikap. Mungkin itu pula alasanya mengapa sejak SMP mas Permadi banyak disukai perempuan. Dan yang paling aku suka, walaupun dia dikunjungi banyak teman-teman satu sekolah nya ia tak pernah lupa mengenalkan aku kepada mereka, membuat aku merasa begitu berarti bagi mas Permadi. Walaupun setiap kali aku diperkenalkan hanya sebagai adik.
Kali kedua cerita tentang jatuh cinta yang ia ceritakan kepadaku yaitu ketika ia duduk di bangku kelas 3 SMA. Dan aku kelas satu SMP. Perempuan yang ia sukai cantik sekali. Sejak saat itulah entah kenapa aku merasa benar-benar tidak lagi menyukai teman perempuan mas Permadi yang berwajah cantik, apalagi yang mas Permadi sukai.
Entah berapa gadis yang ia kenalkan kepadaku, dan entah berapa kali aku harus merasa patah hati karenanya. Selama itu pula entah berapa laki-laki yang aku tolak cintanya demi untuk menunggu mas Permadi menyatakan cintanya kepadaku. Mungkinkah?
Dua minggu yang lalu, aku bercerita kepadanya bahwa Adi teman kuliahku menyatakan cintanya kepadaku. Aku melihat mimik muka yang aneh pada wajah mas Permadi. Aku tahu itu ekspresi ketidaksukaan. Aku senang bukan kepalang. Aku fikir aku berhasil membuat mas Permadi merasa cemburu. Dan ketika aku bialang aku menolaknya, raut mukanya seketika berubah menjadi sumringah, dia bilang “Baguslah Nad, mendingan kamu terus menjomblo biar terus berada di sisi Mas.” Entah apa maksud dari kalimat tersebut. Aku benar-benar berharap selanjutnya dialah yang akan mengakhiri status jomloku di usia yang ke 20 ini.
Dan kini di saat aku mulai memiliki harapan yang lebih besar, bahkan aku telah memutuskan untuk menyatakan cinta terlebih dahulu seandainya mas Permadi tak juga menyatakannya, dia malah membawa cerita baru, tentang seseorang yang dia sukai di tempat kerjanya.  Ternyata anggapanku bahwa mas Permadi mengajakku makan siang berdua saja adalah untuk menyatakan cintanya kepadaku adalah salah besar. Dia memang tak berubah, masih sama seperti dulu, aku hanyalah tempat curhatnya. Aku adalah tempat terbaik untuk di sakiti, dipana-panasi dengan kisah cintanya. Sudah ratusan episode yang aku simak. Tak ada satupun yang happy ending. Semunya kandas, tak ada yang berjalan lama. Entah itu karena pacarnya yang terlalu pengekang, matre, pencemburu, atau bahkan karena pacarnya itu ketahuan selingkuh. Tak jarang mas Permadi bercerita kepadaku dengan hati yang luluh lantak, hancur seolah tak memiliki harapan. Siapa lagi yang membuat dia berhasil move on jika bukan aku? Siapa lagi yang selalu mengingatkan agar tidak lupa makan dan menjaga kesehatan saat dia larut dalam kesedihan jika bukan aku, (dan tentu saja ibunya juga). Tapi kan aku banyak berperan dalam hidupnya. Setidaknya aku adalah orang yang benar-benar selalu ada, menerima segala kekurangannya, mengetahui semua kekonyolannya. Akulah yang tak pernah meninggalkannya dalam keadaan apapun. Tidak seperti mereka yang datang silih berganti hanya untuk menyakiti hati mas Permadi.
“Mas, aku ingin tahu, bagaimana rasanya dikagumi oleh orang yang sudah dekat sejak kecil? Orang yang setiap hari bertemu denganmu. Aku bahkan ingin tahu, apa efeknya ke perasaanmu dan bahkan kehidupanmu ketika kamu aku do’akan setiap pagi, siang dan malam agar Allah menjagamu? Bagaimana rasanya Mas? Merasa tenangkah? Merasa baikankah? Mas, aku sadar mungkin aku bukan orang yang terbaik untuk mu, tapi tidakkah kamu sadar Mas, bahwa kedekatan kita selama ini telah melahirkan benih-benih cinta yang kemudian tumbuh subur dalam hatiku. Berdaun rindang, dan berakar kokoh. Susah aku pangkas, ia semakin tumbuh tinggi menjulang. Setiap hari aku selalu ingin bersamu. Satu jam saja aku tidak mendapatkan kabar darimu gelisahnya minta ampun. Lalu bagaimana denganmu Mas? Tidakkah Mas memiliki perasaan yang sama untuk sekedar membalas perasaanku? Aku mencintaimu Mas, sungguh.”
Sayangnya kalimat-kalimat itu hanya berkecamuk di dalam kepalaku. Lagi-lagi aku harus menyimpannya baik-baik di tempat paling rahasia hatiku. Semetara mas-ku malah asik dengan handphonenya sembari menikmati makan siangnya. Mungkin dia sedang BBMan dengan mbak Tia. Hm… mbak Tia lagi! Aku mulai kehilangan nafsu makan ketika melihat mas-ku mulai senyum-senyum sendiri setelah membaca beberapa pesan di hanphone pintarnya. Merasa diabaikan? Tentu saja. Ah… Mas, kamu ini memang tidak pernah berubah. Kapan kamu sadar Mas? Buka mata hati kamu, lihat, ada aku di sini.
“Nad, lihat deh, Tia kasih aku gambar ini” Mas Permadi menunjukkan gambar berisi kata-kata romantis di hanphonenya. “Tia memang romantis banget orangnya Nad” Aku hanya bisa mengangguk perlahan dan berusaha tersenyum semanis mungkin agar mas-ku tak kecewa. Hatiku terasa retak mendengar ucapan tersebut. Bagaimana bisa laki-laki yang aku cintai memuji-muji perempuan lain tepat di pendengaranku.
Aduh Mas… Kamu ini ya…
Makanan sudah habis, ingin rasanya aku segera pulang meninggalkan mas Permadi dengan rasa bahagianya, dan bunga-bunga cintanya untuk mbak Tia. Masabodo dengan perasaan yang aku punya, toh semuanya takan pernah berubah, aku akan tetap mencintainya. Hanya kali ini sepertinya aku ingin menyendiri, menenangkan diri. Makan siang kali ini benar-benar gak asik.
“Mas, makasih ya, aku sudah kenyang, aku pulang duluan aja ya.” Mas permadi bengong demi mendengar perkataanku. “Mas maasih mau di sini kan?” Tanganku meraih tas yang sejak tadi aku letakan di bawah meja lesehan, bersiap-siap untuk beranjak pergi.
“Lho, kenapa Nad, Mas kok ditinggal sendiri?” Aku menggeleng mengangkat bahu, tak tahu jawaban apa yang harus aku berikan kepada mas Permadi. “Jangan dulu pulang dong… Mas masih pengen bareng kamu tau Nad.” Mas Permadi memalas, memasang wajah sedikit manja, lucu, manis, dan menurutku itu menggemaskan, bikin greget. Wajahnya yang seperti itulah yang sering membuatku susah memejamkan mata di malam hari. Menyebalkan! Kalimatnya tadi membuat aku kembali memiliki harapan. Membuat aku berubah fikiran seketika.
“Iya deh Mas, tapi jangan lama-lama ya, aku ada acara” jawabku sekenanya.
“Hahahaha, sejak kapan kamu jadi sibuk begitu Nad? Biasanya kamu selalu punya banyak waktu buat Mas. Mau kemana emang?” Mas Permadi tertawa terbahak, seolah nikmat sekali. Membuat aku bertambah kesal, merasa mendapatkan ledekan.
“Nad, kamu bisa temenin Mas gak?”
“Kemana Mas?” Asik, mas Permadi ngajakin aku jalan-jalan. Sepertinya sakit hatiku akan sedikit terobati. Awas aja kalo mas bahas lagi mbak Tia! Benakku tak berhenti berkata-kata.
“Nyari hadiah ulangtahun buat Tia”
Jleb!




Share/Bookmark

2 comments:

  1. aku juga sedang merasakan rindu yang teramat berat

    ReplyDelete
  2. Hallo Dania... Hantarkan segera rindumu, biar tidak terasa terlalu berat. :-)
    terimakasih sudah berkunjung..

    ReplyDelete