Search This Blog

Wednesday, March 30, 2016

Senja Indah itu Bernama Piyu



Kawan, tahukah kamu, aku jatuh cinta kepada seseorang yang tak mungkin aku miliki cintanya. Kau tahu kenapa? Karena kini ia telah menjadi milik orang lain. Dan aku tahu dia adalah tipe orang yang setia, tak mudah merubah janji, tak mungkin berhianat atas sesuatu yang telah ia sanggupi. Termasuk menyanggupi untuk hidup bersama sampai mati dengan istrinya yang ia nikahi sejak lima tahun yang lalu.

Kawan, pernahkah kalian bayangkan, hidup bertetangga dengan orang yang kita cintai, dan harus menyaksikan kehidupan rumah tangganya bersama seseorang yang tentunya sangat mencintainya, itu sangatlah menyakitkan. Harus melihatnya  mondar-mandir di depan rumah, mengasuh buah hati mereka, mengantar istrinya berbelanja, dan melakukan hal-hal bersama yang terlihat jelas oleh mata. Aku tak bisa membayangkan apa yang mereka lakukan di dalam rumah, jika mataku tak berhasil menembus ke tempat mereka berada. Hati ini hancur membayangkannya. Kalian tahu, bagaimana rasanya? Rasanya bagai hidup segan mati tak mau. Aku malas hidup untuk waktu yang lama, jika hanya harus menyaksikan kemesraan mereka di depan mata setiap hari. Dan aku juga tak mau mati jika aku tak berhasil menempati ruang di hatinya, walaupun hanya sekelumit saja.
**
Aku adalah anak kuliahan smester 7. Sedang mengurusi urusan skripsi yang mulai bikin kepala mengepul dan badan panas dingin. Bahan penelitian yang menurut pembimbing selalu kurang, atau bahasa yang aku gunakan pada pembahasannya kurang tepat atau apalah semua masalah-masalah itu cukup membuatku pusing tujuh keliling setiap hari, ya hampir setiap hari aku merasakan kepenatan. Kepenatan di kampus, di ruang kelas, dan di dalam kamarku yang selalu terlihat ada banyak bayangmu di setiap sudutnya. Di langit-langit kamarku bahkan banyak tergantung cita-citaku untuk memilikimu. Walau aku tahu itu hal yang sangat mustahil. Aku bahkan pernah gila, di kepalaku pernah hadir fikiran seandainya aku bisa membawamu kabur dan memaksamu menikahiku. Hahaha, itu adalah keinginan yang begitu gila yang sempat muncul dalam benakku.
Namun seiring dengan waktu, aku semakin sadar, bahwa cinta itu tak harus memiliki, aku juga sadar, jika tingkatan cinta paling tinggi adalah merelakan orang yang kita cintai memilih kehidupannya yang bahagia walaupun bukan bersama diri kita sendiri.
Empat tahun aku belajar tentang hal itu. Dan hampir berhasil. Kini aku bisa tersenyum dengan lega saat melihat kehidupan rumah tangganya rukun, kini aku merasa bahagia melihat tawanya dan juga tawa istrinya terkembang di bibirnya. Dan aku juga mulai senang menggendong putranya yang lucu, mengajarkannya belajar jalan, belajar bicara, dan aku lakukan itu sungguh dengan kasih sayang.  
**
Delapan bulan  yang lalu. Bab III skripsiku menemukan jalan buntu. Lagi-lagi kepalaku dibuat pusing tujuh keliling. Hari-hari terasa tidak bersemangat. Aku akhirnya memutuskan untuk keluar dari tempatku bekerja. setiap hari, aku lebih sering mengurung diri di kamar, bergelut dengan buku-buku dan berbagai informasi yang aku dapatkan di internet, sambil berharap ada inspirasi dan jalan keluar agar skripsiku lebih cepat selesai.Itupu tak lantas bisa membuat skripsiku terselesaikan dengan baik. Aku masih menemukan jalan buntu.
Sore hari, entah sore hari yang keberapa, aku mulai bosan mengurung diri di kamar. Ingin rasanya aku coba menghirup udara segar sore hari kembali. menemui para tetangga yang menunggu senja berganti malam dengan mengobrol bersama tetangga sepulang kerja. Karena hanya itulah satu-satunya waktu baik untuk salaing bertegur sapa. Dari pagi hingga matahari nyaris terbenam mereka baru sampai di rumah. 
Aku bersiap, mengganti pakaian menggunakan sweater biar berasa hangat. Memandangi anak-anak yang asik bermain di pelataran taman, mengusir penat, dan menunggui mas Piyu pulang kerja adalah kegiatan tujuanku kali itu. Aku hanya ingin melihat senyumnya, itu saja. Setelah itu, aku pamit kepada tetangga yang masih berkumpul menunggu adzan magrib berkumandang, kemudian pulang ke rumah masing-masing. 
Aku berdiri di depan cermin besar di kamarku, memandangi bayangan wajahku. Mencoba tersenyum manis, karena senyum manis itulah yang biasa aku pakai untuk membalas sapaan para tetangga. Kakiku siap melangkah ke luar kamar, tiba-tiba telepon genggamku berdering. Piyu memanggil. Sungguh aku tak menyangka jika dia yang menelponku. Seharusnya ia sudah pulang kerja mengendarai motor dengan jaket kesayangnnya. Dan berapa puluh menit kemudian ia lewat didepan rumahku. Sudah menjadi kebiasaan dia menganggukan kepala dan melempar senyum yang begitu manis ke arahku. Senyum yang selama ini selalu membuat aku tak nyenyak tidur.
Aku mengangkat telepon dengan perasaan yang tak menetu. Aku kembali menghempaskan badanku ke tempat tidur. Memeluk guling agar aku tidak terlalu gugup.
“Halo” suara dari sebrang.
“Iya” Dadaku berdegup kencang tak sanggup melontarkan kata-kat alagi. Nafasku rasanya sesak, bagaimana bisa dia menelponku.
"Lagi apa? Masih belum berani keluar rumah?"
"Eh, kok Mas tahu?"
"Ya tahu lah... Kenapa gak kelihatan pergi? Gak kuliah? Gak masuk kerja?”
“Hm… gapapa, lagi males aku nya.” Hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Kenapa males, katanya pengen segera lulus…” Suaranya melembut, menenangkanku. “Bukankah kamu punya cita-cita ingin melanjutkan S2?, Ayo dong semangat, jangan banyak ngeluh, jalani ya… tetap semangat!”
“Iya, makasih banyak Mas Piyu… Kok bisa menelponku, Mas di mana ini?”
“Masih di kantor, baru mau pulang. Ya bisa laah… Pengen aja nyemangatin yang lagi patah semangat, kenapa? Gak boleh?” Goda Piyu.
“Hm… Boleh Mas… makasih ya…” Ingin rasanya aku katakan bahwa aku benar-benar bahagia menerima telepon darinya.
“Iya… Aku tak mau gadis periang kayak kamu kehilangan semangat dan senyum manisnya…” (Aku tak yakin jika dia bilang senyum aku manis. Tapi itu bukan mimpi, ia benar-benar mengucapkannya)
“Hm… makasih Mas ya… (Kamu benar-benar bikin aku semangat sore ini). Aku janji, skripsi ini akan segera selesai dan aku akan segera wisuda.”
“Iya, harus semangat ya Ri, Karena kamu juga salah satu sumber semangatku dua tahun ini.”
 (Apa? Apa aku gak salah dengar? Hatiku berjingkrak-jingkrak kegirangan)
"Mas ini bisa aja" Hanya kalimat itu yang berhasil terlontar. Aku yakin pipi ku kali itu memerah. Aku tak pandai menyembunyikan perasaan. Andai saja mas Piyu bicara langsung di hadapanku, maka aku akan lebih mati kutu.
“Ya bisa lah... emang begitu adanya “
Hatiku mendadak seringan kapas, melayang terbang, kepentok langit-langit kamar yang di sana bergantungan cita-citaku untuk mendapatkan secuil hatinya. Hatiku yang seringan kapas terbang mendekati mimpi-mimpi itu dan menari bersama melompat-lompat bahagia, hari ini aku mendapatkan semangat yang luar biasa dari Piyu, tetanggaku. Laki-laki beristri beranak satu.
“Kenapa bisa begitu?” (Seandainy akamu tahu Mas, sebetulnya kau ingin kamu menyemangatiku setiap hari)
“Kamu tanya aja hati kamu!” (Tak perlu aku tanya hatiku Mas, kini aku tahu, kamu pun menyimpan rasa itu untuk aku, walau kamu selalu berusaha menyembunyikannya)
“Yasudah, kalau ada apa-apa kamu boleh minta bantuan aku. Aku siap membantu.”
Entah mengapa aku begitu yakin sekelumit tempat rahasia dalam hatinya telah terisi namaku. Karena cinta itu tak harus selalu dikatakan, cukup sikap dan sorot mata yang menjelaskan. Dari mana aku tahu? Dari perhatian dan kepeduliannya kepadaku selama ini, dan dari sorot matanya saat memandangku ketika kami tak sengaja bertemu ketika ia dan istrinya sedang mengasuh putranya senja hari di taman komplek.
Mulai sore itu aku bersumpah tak akan lagi berniat merebut dia dari istrinya. Aku tak akan sejahat itu.Dengan mengetahui mas Piyu peduli kepadaku, itu sudah lebih dari cukup. Aku pun harus melanjutkan hidup, tanpa merusak kebahagiaan orang lain. Setiap pagi aku bersemangat, karena akhirnya aku tahu jika semangatku juga menjadi semangat bagi seseorang.  Dan hampir setiap  sore aku menikmati senja indah bersama anak kecil lucu titisan Piyu, menikmati senyum manisnya yang mirip dengan senyuman ayahnya. Aku semakin akrab dengannya, begitu pula dengan istrinya Piyu, aku merasa hubungan kami semakin dekat. Aku dan mbak Dini sudah seperti saudara. Aku tak akan pernah menyakiti hatinya yang begutu tulus, biarlah cintaku untuk mas Piyu aku simpan dalam-dalam, aku rapihkan dalam kotak rahasia, dan kusimpan dalam bilik tersembunyi di dalam hatiku. Sampai pada akhirnya aku menemukan laki-laki yang seperti mas Piyu yang bisa aku miliki seutuhnya dan mencintaiku dengan segenap perasaannya.


Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment