Aku
rasa hari ini matahari terlalu terik. Badanku berkeringat, baju yang aku
kenakan basah di bagian punggung. Tanganku meraih botol minuman yang disediakan
mas Farid di mobil. Dia sengaja membelikan beberapa minuman dan makanan sebelum
menjemputku dari tempat kerja tadi. Aku mereguknya perlahan, rasa hausku pun
berkurang.
Dari
kejauhan mas Farid tampak tergesa-gesa keluar dari gedung kantor pelayanan
perizinan. Ia membuka bagasi mobil tanpa berkata-kata. Rupanya ada dokumen yang
tertinggal.
Setelah menemukan kertas yang dicarinya dari sebuah map, ia lantas melambaikan tanganya kepadaku sambil tersenyum manis, memberi kode, “Tunggu sebentar”.
Setelah menemukan kertas yang dicarinya dari sebuah map, ia lantas melambaikan tanganya kepadaku sambil tersenyum manis, memberi kode, “Tunggu sebentar”.
Saat
ini, mas Farid sedang mengurusi surat perizinan pendirian banguan untuk tempat
usaha pribadinya. Usaha ini telah mas Farid rintis dari dulu. Katanya sih ya.., ia menjadi kembali bersemangat
setelah merasa begitu dekat denganku.
Punggung
mas Farid menghilang ditelan tembok-tembok gedung kantor pelayanan perizinan
itu. Gedung dengan cat warna putih yang terlihat usang itu berdiri kokoh di tengah-tengah lahan yang aku
kira sebelumnya ini adalah sebuah padang rumput yang luas di daerah kabupaten
Bandung. Lihat saja sekelilingnya, di luar pagar pembatas, rerumputan masih
terhampar hijau menyejukkan mata. Aku sendiri sekarang diam di dalam mobil di
bawah pohon ketapang yang rindang. Pintu mobil sengaja dibuka, ac dimatikan,
agar bisa menghirup udara segar. Mas Farid bilang, tak baik jika terlalu banyak
menghirup udara ber-ac di dalam mobil. Jika ada kesempatan menghirup udara
segar, maka lakukanlah.
Rasanya
mas Farid lama sekali berada di dalam gedung. Lamunanku mulai menerawang mengenang
masa-masa indah bersama mas Farid.
Hm…
Kedatangan cinta memang tak bisa diduga dan tak bisa direncanakan. Lihat saja,
dulu kami berada dalam kisah yang berbeda. Masing-masing punya cerita dengan
babak-babak yang sama sekali tidak berkesinambungan. Mas Farid sebagai tokoh
apa, dan aku pun demikian. Dia ebagai tokoh ayah yang baik disukai anak-anak
namun merasakan kelelahan hati yang teramat sangat karena memiliki istri yang
super sibuk sehingga dia harus mengurusi kedua anaknya. Dari mulai sarapan,
mengantar sekolah, menemani mengerjakan tugas sekolah sampai dengan membacakan
cerita dongeng pengantar anak-anak tidur.
Semetara
aku sebelum di sini, juga sebagai istri seorang eksekutif muda yang gila kerja lupa
waktu untuk keluarga. Kalau aku boleh berpendapat, kami ini dipertemukan oleh
Allah dalam keadaan yang tepat. Mas Farid membutuhkan seorang istri yang lebih
bisa mengerti, dan aku membutuhkan seorang suami yang bisa memberikan perhatian
dan perlindungan di tengah kesibukan
pekerjaannya.
Istrinya
yang sibuk dengan segudang pekerjaannya menolak untuk mengurangi kesibukannya
demi anak-anak. Membuatnya merasa kurang berharga sebagai seorang suami. Otoritas
sebagai suami diabaikan. Dimana posisi menjadi terbalik ia harus mengurusi
rumah dan anak-anak, sementara istrinya menggilai pekerjaannya sebagai bidan
yang bekerja di dua tempat. Di lembaga pemerintah dan di tempat praktek yang
dibangun bersama dengan rekan seprofesinya. Sementara anak-anak dibiarkannya haus
kasih sayang seorang ibu. Pergi pagi pulang larut malam ketika keduanya telah
tertidur lelap.
Setelah
beberapa kali meminta istrinya mengurangi kesibukannya ia malahdituding sebagai
pengekang. Padahal kurang apa, bisnisnya sedang berjalan baik. Disela-sela
kesibukan mengurusi anak-anak, ia masih bisa memanage usaha dengan baik.
Nasib
mu memang malang Mas, istrimu memilih meminta mengakhiri pernikahan yang selama
ini kalian bangun selama 8 tahun, bukan waktu yang sebentar. Kesabaranmu telah
disia-siakan. Tapi hati anak-anakmu tak bisa dibohongi, mereka memilih untuk
tetap tinggal bersamamu. Sesil dan Vito kini tumbuh sebagai anak-anak yang santun
dan berperangai sangat menyenagkan. Kamu hebat Mas, aku yakin sampai kapanpun
anak-anakmu akan tetap mengidolakanmu. Jangankan mereka, aku saja yang awalnya
bukan siapa-siapanya kamu sangat mengagumi kesabaranmu dan sikap kelemah
lembutan yang kamu miliki. Mungkin itu pula yang menjadikan aku tiba-tiba jatuh
hati kepadamu Mas. Aku merasa menemukan sosok ayah yang aku harapkan selama ini
untuk Atar putraku. Dan kini harapan terkabul tanpa pemaksaan. Sungguh aku tidak
merebutmu, dan kamupun tidak merebutku dari mantan suamiku. Kita bertemu dalam
kondisi telah sama-sama sendiri.
Sementara
aku memiliki masa lalu kehidupan rumah tangga yang sama buruknya. Bahkan bisa
dikatakan lebih memilukan daripada kisah yang mas Farid alami. Jika mereka
berpisah karena alasan sudah tak sejalan, tapi kisahku? Mantan suamiku adalah
laki-laki yang paling romantis selama masa pacaran. Walaupun pada akhirnya aku
baru sadar, jika pacaran itu tidak menjamin kebahagiaan dalam kehidupan rumah
tangga. Saat pacaran dulu mantan suamiku, Randi, adalah benar-benar sosok pria
idaman. Tak pernah lupa memberikan hadiah di setiap moment yang tepat. Membuat
aku merasa memiliki hidup yang sempurna. Randi adalah pria yang tampan,
berbadan tinggi atletis. Perempuan mana yang tak akan merasa bertambah tingkat rasa
percaya dirinya saat berjalan bergandengan dengannya. Pada usianya yang masih
muda ia telah meraih kesuksesan dalam karirnya. Sampai saatnya tiba kami
menikah, pesta pernikahan kami digelar dengan sangat mewah. Semua keluarga memiliki
pakaian seragam terbaik didesain khusus oleh desainer yang dibayar Randi. Aku benar-benar
merasa sangat bersyukur mendapatkan suami yang bisa membahagiakan semua anggota
keluarga besarku. Banyak yang berdecak kagum dan tak henti-hentinya melontarkan
pujian kepadaku mendapatkan suami kaya dan sangat menyayangiku.
Namun
baru saja pernikahan kami seumur jagung, pendapat miring tentang suamiku mulai
berdatangan. Mulai dari kabar-kabar yang aku dengar bahwa ada yang melihat
suamiku bersama perempuan lain. Kabar itu sangat menyakitkanku. Tapi aku tak
mau langsung percaya sebelum aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Walau
kabar demi kabar yang aku dengar selalu memporakporandakan benteng pertahananku,
membuat air mataku mengalir deras berkali-kali, namun aku tak pernah berhenti
mencintai Randi. Ia tetap suamiku, ayah dari anak yang sedang aku kandung saat
itu.
Hal
yang menyakitkan berikutnya adalah ketika aku baru saja melahirkan putra ku,
seorang perempuan datang ke rumah mengaku sebagai istri Randi, yang dinikahi
empat bulan lalu. Betapa hancur perasaanku saat itu. Apalagi beberapa rekan
kerja Randi yang kebetulan sudah cukup kenal dekat denganku sejak sebelum
menikah dulu, secara tidak sengaja membongkar sebuah kenyataan. Bahwa Randi
pernah berkata kepadanya jika Randi menikahiku hanya karena aku adalah
perempuan yang paling baik, paling setia, dan paling sabar untuk disakiti
olehnya. Sungguh setelah kedatangan perempuan yang mengaku sebagai istri Randi
aku merasa sudah tak tahan lagi. Aku mengajukan gugatan cerai yang tidak mudah
dikabulkan. Randi tak mau menceraikanku. Ia memohon maaf atas sikapnya selama
ini, ia mengaku khilaf atas semuanya. Maka demi rasa cintaku, terutama demi
putraku yang memerlukan ayahnya, aku terima permohonan maaf Randi. Kami kembali
hidup normal, walaupun ada Lina istri kedua Randi.
Tahun
kedua pernikahanku dengan Randi, Lina datang bersama bayinya. Menangis tersedu
membawa kabar menyakitkan. Ternyata Lina telah beberapa kali memergoki Randi pergi
berdua dengan sekretris barunya. Masalahpun semakin pelik. Dengan hati yang
pilu, aku berusaha menguatkan diriku dan menghibur putraku yang kerap bertanya
kemana papahnya.
Tahun
ketiga pernikahan aku dan Randi akhirnya resmi bercerai. Aku kembali ke
kehidupan biasa bersama orangtuaku. Tanpa fasilitas yang serba mewah. Tak
satupun harta yang aku bawa pergi dari rumah Randi, aku tak mau ada satupun
kenangan yang aku bawa tentang Randi. Walaupun aku tak pernah benar-benar mampu
menghapus rasa cintaku kepada Randi.
Dua
tahun aku bekerja keras menghidupi putraku dengan bekerja di sebuah perusahaan percetakan.
Tempat kerja yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal orangtuaku, sesekali di
tengah-tengah kesibukanku aku masih bisa pulang menemui putraku di rumah.
Perlahan akupun bisa melupakan masa laluku bersama Randi. Aku mulai asik
sendiri, hidup bersama putraku, kedua orangtuaku serta adik ku yang selalu
menerimaku apa adanya, dan membantuku dengan tulus menjaga dan membesarkan Atar
samapai berusia lima tahun.
Sampai
suatu hari aku bertemu mas Farid, ia datang sebagai klien ke perusahan tempatku
bekerja. Kerja sama kami berjalan lancar, dari sana kami menjadi sering
melakukan pekerjaan bersama. Aku merasa menemukan rekan kerja yang sefaham, aku
dan mas Farid selalu kompak jika melakukan pekerjaan bersama membuat pekerjaan
cepat terselesaikan dengan akhir yang menyenangkan. Selama kedekatan kami
sebagai partner kerja, aku semakin mengenal mas Farid yang akhirnya aku tahu
bahwa ia sudah tiga tahun hidup sendiri dengan dua orang anak tinggal
bersamanya. Perasaan nyaman tumbuh menjadi perasaan cinta kasih yang tak lagi
bisa ku sangkal. Apalagi setelah aku tahu jika mas Farid adalah seorang duda,
harapanku muncul, aku mulai berani kembali membuka hati. Begitupun mas Farid,
memiliki perasaan yang sama denganku. Mas Farid akhirnya menikahiku enam bulan
yang lalu.
Sungguh
ini di luar dugaan, Atar putraku sangat dekat dan terlihat sangat nyaman berada
di dekatnya, begitupun Sisil dan Vito menerimaku dengan sangat baik sebagai
istri dari ayah mereka. Keduanya pun tidak keberatan jika harus menolongku
menjagai Atar. Mereka memperlakukan Atar seperti adik mereka sendiri.
Sungguh
Allah Maha Adil telah membalas kepedihan yang selama ini aku lalui, juga
keresahan hati mas Farid selama berumah tangga bersama istrinya beberapa tahun
silam. Kini kami hidup rukun dan bahagia. Kami sama-sama mengubur kenangan
pahit yang pernah kami alami, dan sama-sama membuka lembaran baru membina
kehidupan rumah tangga.
Matahari
mulai condong ke barat ketika mas Farid membuka pintu mobil, mengagetkanku dari
lamunan. Ia mengecup keningku, lalu mengelus perutku dengan lembut, sambil
berkata “Maaf ya nak… kamu lama nungguin papah”. Bibirku tersenyum, sebagai
bentuk rasa syukur yang teramat sangat. Mas Farid mengelus rambutku. “Jangan
kebanyakan melamun… kasihan dede bayi kesepian, gara-gara mamanya diam aja…”
“Iya
Mas… enggak kok. Gimana urusannya sudah selesai?” Ujarku seraya membetulkan
posisi duduk.
“Alhamdulillah
selesai, kita sekarang bisa bernafas lega. Mulai bulan depan usaha kita bisa
mulai beroprasi. Adik mas yang akan mengelola usaha ini. Semoga dia bisa
memegang kepercayaan yang Mas kasih”
“Lho,
kenapa gak sama Mas dulu aja? Kan ini masih merintis Mas…”
“Gak
ah… Mas tak mau terlalu sibuk. Biar sempat antar jemput Kakak Sesil dan Vito ke
sekolah, mengawasi bi Inah jagain Atar, dan menemani kamu membesarkan bulatan
ini…” Kalimatnya diakhiri dengan senyum yang begitu manis. Tangannya kembali
mengelus perutku yang sebetulnya belum terlihat penampakan kehamilan. Aku baru
saja tahu bahwa aku hamil empat minggu dua hari yang lalu. Mas Farid kembali
mengecup keningku.
“Dinda..,
Jika suatu saat Mas memintamu berhenti bekerja, kamu bisa melakukannya?” Mas
Farid bertanya dengan pandanngan mata penuh harap.
“Aku
mau Mas… Seandainya Mas memintaku untuk berhenti besok, sekarang juga aku
ngomong sama atasanku” Mas Farid menggeleng,
“Mas
gak akan membatasimu, lakukan apa saja yang kau mau, tapi jangan sampai lupa
waktu, jaga kesehatan dan anak-anak kita ya…” Aku mengagguk patuh.
“Kamu
lapar? Kita makan siang yuk! Mas tahu tempat makan paling enak di daerah dekat
sini”
Tanpa
menunggu persetujuanku mas Farid mengemudikan mobil keluar dari area parkir,
menuju tempat makan yang katanya enak itu. Langit mulai redup, namun mentari tetap
bersinar terang. Cerah, secerah hatiku.
No comments:
Post a Comment