Search This Blog

Saturday, April 30, 2016

ANDAI SETIAP HUJAN DATANG BERSAMA KAMU



Menangis lagi gara-gara dia? Oh, ini kesekian ratus kali aku menangisinya. Sebetulnya aku tidak ingin melakukan ini, sama sekali tidak. Namun hati ini benar-benar tak mau diajak kompromi. Setiap kali mengingatnya, setiap kali itupula kesedihan muncul dan air mata mengalir deras. Setiap kali itu juga aku tak pernah berhenti berusaha untuk menyelaraskan hati dengan logika. Ketika hati bersedih, logika berkata jika aku tak perlu sesedih itu.
Ketika Hati terasa sakit, logika pun berkata jika aku tak perlu sesakit itu. Jika hati sedang merindu, logika berkata jika sesungguhnya aku tak perlu serindu itu. Aku tak perlu secinta dan tak perlu jatuh sedalam itu kepadanya. Tapi aku tak pernah berhasil. Matanya yang indah, senyumnya yang manis, suaranya, nasihatnya, kasih sayangnya, sosoknya, dan tentunya semua kenangan indah yang pernah kami lewati empat tahun yang lalu selalu membayang-bayangi. Membuatku tak pernah benar-benar bisa menghapus namanya dari tempat teristimewa dalam hatiku.
Dia, Yuda. Seseorang yang sangat aku cintai dan mencintaiku hingga kini (begitu hatiku berkata). Yuda tak pernah bisa digantikan oleh siapapun. Semakin aku berusaha, semakin melekat saja sosok itu dalam hatiku. Semakin aku berusaha menghapusnya, maka senyumnya yang manis, akan selalu terbayang di mataku. Setiap kepalaku berkata, “jangan mengingatnya” maka bayangan-bayangan tentang masa-masa indah bersamanya malah datang bergantian, bagaikan tayangan episode-episode drama kehidupan yang paling indah, berkesan dan tak mudah dihapuskan.
Empat tahun, aku berusaha untuk membuka hati kepada setiap kaum adam yang datang menawarkan cinta. Tapi pintu hatiku lagi-lagi tertutup kala Yuda hadir dalam ingatan. Seolah hatiku sudah penuh sesak dengan namanya, sehingga sudah tidak ada lagi tempat untuk menyimpan nama lain.
Aku mengenal Yuda enam tahun yang lalu. Ia adalah tetanggaku. Tetangga baik dan merupakan orang pertama yang menyambut kedatangan kami sebagai tetangga baru. Dia yang memberikan bantuan kepada ayahku ketika menurunkan barang-barang dari bagasi mobil. Ia juga yang pertama kali mengundang kami untuk singgah di rumahnya yang hanya terhalang dua rumah dari rumahku.
Sejak awal pertemuan, aku rasa aku sudah jatuh hati kepadanya. Wajahnya yang manis, badannya yang tinggi atletis, sikapnya yang ramah, dan pembawaannya yang tenang, menyisakan kesan tersendiri di hatiku saat pertemuan pertama itu. Sejak hari itu aku selalu berharap bertemu dengan Yuda kembali. Secepatnya. Ya, secepatnya.
Usia kami memang terpaut jauh, sepuluh tahun. Ketika pertama kali aku menyadari jika aku jatuh cinta kepadanya aku bermaksud untuk menyimpannya saja dalam hati. Karena aku fikir, laki-laki sehebat dan setampan Yuda, pasti sudah memiliki calon istri di usianya yang sudah cukup pas untuk memiliki istri. Saat itu usianya 28 dan aku 18 tahun.
Kali kedua pertemuan kami. Kami bertemu di sebuah tempat makan. Yuda mengadakan pertemuan dengan rekan kerjanya di sebuah tempat makan dekat kampusku. Ia tersenyum kepadaku lalu memanggilku dan tiba-tiba mengenalkan aku kepada teman-temannya. Yuda mengenalkanku sebagai tetangga. Itu memang kenyataan, aku hanya tetangganya. Tapi ada semacam pengharapan yang sebetulnya tak boleh aku biarkan tumbuh dalam hatiku. (aku berharap Yuda mengenalkan aku sebagai pacar atau mungkin calon istri)
Kali keempat, lima, enam dan seterusnya merupakan pertemuan-pertemuan yang mungkin menurutnya biasa saja. Tapi menurut ku itu adalah pupuk yang mujarab untuk membuat perasaanku semakin tumbuh subur kepadanya.
**
Kali kesekian, saat perasaanku telah tumbuh terlalu subur, berdaun rindang, berakar kokoh, sudah sangat susah ku pangkas, Yuda mengajakku bertemu untuk makan siang bersama. Saat itu aku merasa senang bukan kepalang. Bagaimana tidak, harapanku terjawab sudah. Jika aku boleh mengambil kesimpulan saat itu, aku rasa Yuda mulai menyukaiku, dan perasaanku kepadanya mulai terjawab.
Dan memang benar adanya, sejak saat itu kami menjadi lebih sering bertemu, aku sendiri lebih banyak berbagi cerita tentang hal apapun yang aku alami. Bagiku dia adalah manusia paling sabar medengarkan semua ceritaku. Bagiku dia adalah sosok yang lengkap. Ia adalah kakak laki-laki yang paling baik, dia adalah sayap pelindungku, dia adalah pelangi yang membuat hidupku penuh warna. Dengannya aku lebih semangat menjalani hidup (pasca putus dari pacarku sebelum ketemu Yuda), dia adalah sesuatu yang paling menyegarkan lebih segar dari embun pagi, dia adalah penghilang hausku. Bertemu dengannya bisa membuat aku lupa jika aku sedang lapar, melihat senyum nya saja bisa menjadi pembangkit semangat jika aku sedang merasa bosan, lelah, dan jenuh dengan setumpuk tugas yang harus aku selesaikan. Bagiku dia adalah semacam powerbank yang bisa membuat batraiku penuh kembali saat aku merasa down dan kehabisan energi. Dia adalah segalanya.
Ketika aku merasa dia memperlakukanku special aku merasa memiliki hidup yang indah, merasa akan berumur panjang. Setiap hari bahkan aku merasa memiliki semangat ratusan kali lipat jauh lebih semangat dibandingkan dari semangatku sebelum bertemu Yuda.
Kami semakin dekat dan dekat. Yuda semakin perhatian dan semakin memperlakukan ku lebih. Aku seringg dijemput olehnya sepulang dari dari kampus, lantas ia membawaku kabur untuk makan siang, makan malam, atau jalan-jalan ke toko buku, bahkan menonton di bioskop kesayangan. Nonton film-film kesuakaan dia yang lebih banyak tentang petualangan dan berbau action. Sedangkan jika aku meminta menonton film romantis, dia benar-benar hanya menemaniku dan tak jarang dia tidur di sebelahku dan bangun saat film sudah selesai. Dia bilang “Malas sedih-sedihan”. Yuda ia tak pernah mengeluh dan tak pernah protes dengan kemauanku. Dia selalu meng-iyakan, membuatku merasa menjadi perempuan yang paling special.
Tapi sejauh itu pula aku sendiri belum tahu kami beri judul apa kedekatan kami itu. Sampai suatu hari, hari bersejarah itupun terjadi. Dan benar-benar takan mampu aku lupakan sampai kapanpun.
**
Hari itu hujan lebat. Jam menunjukkan pukul 16:00. Aku menunggu hujan reda di halte bis di depan kampusku bersama beberapa orang yang juga terjebak di sana. Hujan yang lama tak jua reda membuat jalan tergenang air, semakin banyak dan semakin meninggi. Aku mulai khawatir, khawatir tak bisa segera pulang. Tidak ada tanda-tanda hujan akan segera reda. Payung yang biasa aku bawa tertinggal di rumah. Belum lagi aku membawa banyak diktat kuliah, jika aku memaksakan menerobos hujan dan pulang segera menggunakan bis atau angkot sudah pasti notebook sab semua isi tasku basah kuyup. Aku lebih memilih untuk bertahan dan menunggu reda di sana.
Aku duduk di bangku halte sambil  melindungi tasku agar tidak terkena basahan hujan. Dalam dekapanku, terasa ada getaran dari dalam tasku. Telepon genggamku berbunyi. Sebuah pesan masuk, dari Yuda. Ia bertanya aku ada di mana. Setelah aku jelaskan, tak lama kemudian tampak di sebrang jalan, tepat di hadapan tempat aku duduk, seorang laki-laki yang sangat aku kenal turun dari mobilnya membawa payung lalu berjalan menuju ke arahku. Yuda menjemputku. (Aku senang kamu datang).
Hujan yang begitu deras tak mampu melindungi baju kami. Bajuku dan juga bajunya basah kuyup. Aku duduk di sebelahnya, tak lupa aku berkali-kali mengucapkan terimakasih karena ia telah bersedia menjemputku.
Hujan yang begitu deras membuat Yuda merasa khawatir akan keselamatanku, itu adalah alasan yang dia berikan, ketika aku bertanya mengapa dia mencariku dan datang menjemputku. (Terimakasih banyak, aku merasa tersanjung dengan sikapmu).
Aku duduk di sebelahnya. Dia memberikan jaket kering yang tersimpan di jok belakang mobil. Aroma khas parfumnya mulai tercium, saat itu aku berandai-andai jika aroma itu berasal dari pelukan pemiliknya. Yuda rela basah-basahan membirkan aku merasa nyaman dan hangat. Walau sebenarnya badanku masih terasa dingin karena bajuku basah, tapi perlakuan Yuda yang melindungiku, sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasa nyaman dan hangat.
Mobil melaju perlahan, air menggenang cukup tinggi. Tibalah kami di tempat yang benar-benar tak mungkin dilewati. Khawatir mesin mobil terisi air, Yuda memberhentikan mobilnya di pinggir jalan yang tidak terlalu tinggi genangannya. Memintaku bersabar jika pulang agak telat. Menunggu jalanan agak surut. Lantas menyarankan ku untuk menelpon ke rumah, agar orangtua tidak khawatir. Aku mengangguk setuju saja. (Seandainya terjebak lebih lama pun aku rela asalkan bersamamu)
“Kamu dingin Nay?” tangan Yuda menyentuh lembut jemariku. Degup jantungku terasa berubah menjadi lebih kencang. Itu memang bukan kali pertama tanganku dipegang oleh Yuda, namun biasanya sentuhan itu hanya sebatas bantuan jika kami akan menyebrang jalan bersama, Yuda refleks memegang tanganku. Tapi kali ini sentuhannya tampak serius. Aku bisa menebak, pasti ada sesuatu yang ingin Yuda katakan. Lebih dari sekedar bertanya aku kedinginan atau tidak. (Ayolah katakan jika kamu mencintaiku dan lalu resmikan hubungan kita).
Aku menggeleng.
“Gak dingin kok… hangat pake jaket kamu” (Bahkan hatiku lebih hangat lagi, karena hadirnya desir hangat yang sejak tadi menjalar dari ujung kaki ke ujung kepalaku).
“Nay… boleh aku bertanya sesuatu?” Yuda tak melepaskan genggamannya, bahkan kali ini kedua tangannya meraih tanganku. Ditariknya tanganku lalu meletakkannya di dadanya. Matanya memandang mataku dengan lembut namun tajam menghujam dadaku. Membuat aku cukup salah tingkah dibuatnya. (Ayolah tanyakan saja, jika kamu bertanya “Apakah aku mencintaimu?”,  maka jawabannya adalah “Ya”  aku mencintaimu, sangat mencintaimu dari dulu. Dan jika pertanyaannya “maukah kamu jadi pacarku?”, maka aku pun akan menjawab “Mau sekali”)
“Tanya apa?” Ucapku gugup.
“Sebesar apa harapan kamu kepada hubungan kita?” ternyata pertanyaannya bukanlah pertanyaan  yang aku harapkan. Jawabannya pun tidak semudah yang aku fikirkan. Jawaban apa yang harus aku berikan? Aku ingin menjadi pacarnya, kekasihnya, tunangannya, dan lalu menjadi istrinya. Hidup selama mungkin bersamanya. Sampai hanya maut memisahkan. Tapia bagaimana aku menyampaikannya? Aku tak memiliki cukup keberanian untuk mengungkapkan itu semua. Masih ada semacam keraguan. Aku takut cintaku bertepuk sebelah tangan. Aku diam. Tak tahu harus mulai dari mana untuk memberikan jawaban.
“Kenapa diam Nay?” Yuda kembali bertanya. Aku terus diam belum mampu berkata apa-apa. Lalu,
“Nay… jika kamu tak mampu menjawab pertanyaanku tadi coba jawab yang ini” Yuda lantas menghela nafas panjang. Seolah ada beban berat di dadanya.
“Kenapa kamu datang terlambat Nay…? Kenapa kamu datang setelah aku memutuskan sesuatu yang tak bisa aku batalkan?” Pandangan Yuda tak lepas dari wajahku. Matanya mulai berembun. Setitik air mata siap melincur di pipinya.
Aku diam tak mengerti. Kusapu air matanya yang tenyata lebih cepat mengalir dari dugaanku. Itu adalah pertama kalinya aku melihat Yuda menangis. Dia yang selalu berhasil memompa semangatku, dan selalu berhasil menggagalkan tangisanku  menggantinya dengan tawa kini menagis di hadapanku.
“Kamu kenapa Kak Yuda?” Aku masih belum mengerti. Ada apa ini?
“Aku mencintaimu Nay… sungguh” Hatiku seolah seringan kapas, melayang terbang, menerobos langit-langit mobilnya Yuda, terbang tinggi mengagkasa dan melayang setinggi tingginya. Akhirnya perkataan itu meluncur juga dari mulutnya. Selama ini memang perlakuan Yuda kepadaku bisa saja merupakan cerminan perasaannya, tapi untuk sebagian besar perempuan, kadang cinta itu harus diikrarkan. Biar pasti, biar tahu, biar gak mengantung antar iya dan tidak. Dan kali ini Yuda mengatakannya.
Tangan Yuda mempererat genggamannya. Namun air matanya kembali jatuh. Aku bertambah merasa bingung.
“Lalu kenapa Kak Yuda menangis? Nayla juga cinta sama kakak, bahkan sejak Nayla pertama kali ketemu Kakak, Nayla suka, nayla nyaman, Nayla punya harapan yang lebih. Jujur selama ini Nayla menunggu Kakak mengucapkan kalimat itu, tapi kenapa Kakak menangis? Bukankah jika kita memiliki perasaan yang sama seharusnya kita bahagia?”
Tanganku meraih wajahnya, kusapu lagi kedua pipinya yang sedikit basah. Aku mencoba tersenyum dan tetap berusaha mencari jawaban mengapa tangisan itu harus muncul.
“Aku mencintaimu. Dan seharusnya rasa ini tak harus aku biarkan tumbuh terlalu subur. Tapi kamu, sudah terlalu jauh masuk dalam aliran darahku, mejadi penyemangat hidupku yang selama ini sempat hilang. Namun kenapa kamu datang terlambat?” lagi-lagi pertanyaan itu yang muncul dari mulut Yoga.
“Aku gak ngerti, apanya yang terlambat Kak?” Aku menatap wajahnya. Kini matanya lebih memilih memandang percikan air hujan di balik kaca mobil.
“Aku sudah dijodohkan dan sebentar lagi kami harus menikah”
Bagai dihamtam kilatan petir, tubuhku lemas seketika. Hatiku yang tadi seringan kapas, sedang melayang tinggi di udara, layu kalah oleh tetesan air hujan. Hujan yang deras di luar sana kalah derasnya dengan hujan di hatiku. Hatiku yang sejak tadi berbunga-bunga kini hancur berantakan. Seolah aku ingin menjerit sejadinya. Mengapa aku harus mendengar dua kenyataan yang bertolak belakang sekaligus. Aku merasa bahagia dan sekaligus bersedih sesedih-sedihnya. Ya, kamu benar, aku salah. Kenapa aku datang terlambat?. Kenapa aku tidak menjadi tetanggamu sejak aku berusia balita jika perlu. Biar kamu tak usah melihat yang lain, tiap hari kita bertemu, Agar kamu tak sempat jatuh cinta dengan yang lain. Agar kamu dijodohkan kepadaku bukan kepada orang lain. Biar kamu menikah denganku bukan dengan orang lain. Ah… Kak Yuda…
“Aku minta maaf Nay… Seharusnya aku tak membiarkan cintamu tumbuh subur kepadaku. Tapi aku juga tak bisa memnagkas habis rasa ini. Sekali lagi sungguh aku mencintaimu.”
Kami saling diam, berdialog dengan hati masing-masing. Air mataku tak berhenti mengalir, lebih deras dari air matanya, dan lebih deras dari hujan yang perlahan mulai mereda.
Udara yang dingin solah menambah dinginnya hati dan perasannku. Saat itu aku mati rasa. Aku tak tahu mana yang lebih pantas aku rasakan. Satu sisi aku bahagia mendengar pengakuan cinta Yuda, sisi lain hatiku hancur sehancur-hancurnya.
“Nay… Sekali lagi maafkan aku, seharusnya aku tak perlu mengakuinya. Tentang perasaan ini biar aku pendam saja. Tapi kamu harus tahu Nay, bahwa aku pun tahu jika kamu mencintaiku dengan tulus, dan aku juga merasa harus memberi tahu jika cintamu kepadaku tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi Sofi, sudah selesai kuliah S2, dan itu pertanda kami harus segera menikah. Sesuai kesepakatan ayahku dan juga almarhum ayah Sofi beberpa tahun lalu.”
“Kak… Aku tak rela…” Aku berhambur ke pelukannya. Disambut pelukan erat Yuda. Tangannya mendekap hangat tubuhku. Mengelus rambutku. Aku tak bisa berhenti menangis, sesenggukan di dadanya yang juga terdapat hati. Hati yang sama hancurnya dengan hatiku.
“Kalau Kakak mencintaiku, mengapa Kakak tidak membatalkannya saja?” Aku mencoba menggoyahkan keyakinan Yuda atas apa yang telah ia putuskan. Mencoba merebut Yuda dari tunangannya, mencoba menggagalkan perjodohan mereka, mencoba meraih dan memiliki cinta yang baru saja aku dapatkan pengikrarannya.
“Aku sudah coba Nay, tanpa kamu minta. Aku sudah coba berdialog dengan ayah, tapi beliau tidak setuju. Janji Ayah dengan sahabatnya sudah terlanjur diikrarkan. Apalagi ayah Sofi sebelum meninggal sudah menitipkan putrinya kepada kami. Aku tak bisa melanggar keinginan ayah Nay…  Jujur sekarang aku ini bagai hidup segan mati tak mau…” Tangan Yuda mempererat kembali pelukannya seolah tak mau lepas. Aku pun demikian, aku tak mau melepaskan dekapannya yang mungkin ini adalah kali pertama dan terakhir dalam hidupku.
“Aku tau Kak…” Perlahan aku melepaskan diri dari pelukannya. Aku mulai bersikap bijak. Walaupun nyatanya hatiku tak bisa menerimanya. Tapi aku harus menghargai keputusan yang Yuda ambil. Tak ada yang salah darinya, kecuali ia telah membiarkan aku jatuh cinta terlalu dalam kepadanya. Perjodohan merekapun telah berlangsung lama sebelum kami saling kenal. Aku tak mau merebutnya dari Sofi. Mungkin dia adalah jodoh terbaik yang dipilihkan orangtuanya. Ia telah tamat S2, sementara aku masih anak smester empat. Masih jauh perjalanan. Seandainya Yuda gagal menikah dengan Sofi belum tentu orangtuaku mengizinkan aku menikah dengan segera, dan belum tentu juga Yuda mau menungguku sampai aku lulus kuliah.
Bathinku berkecamuk. Satu sisi berkata, relakan! Sisi lain berkata, rebut dan pertahankan! Namun aku membayangkan betapa hancurnya hati Sofi jika Yuda harus meninggalkannya. Entah kenapa walaupun aku belum mengenal Sofi, dan belum sempat mendengar cerita Yuda tentang Sofi, tapi aku yakin sekali jika Sofi adalah perempuan yang sangat baik dan pantas menjadi pendamping Yuda.
Aku menyeka linangan air di sudut mata, mencoba mengumpulkan kepingan hati yang retak berantakan. Aku susun kembali menjadi utuh. Aku berusaha memulihkan kesadaran. Mencoba menguatkan diri, dan mencoba menerapkan teori dan pendapat bahwa cinta tak harus memiliki. Bahwa hakikat cinta yang paling tinggi adalah merelakan dan melepaskan. (Tuhan, beri aku kekuatan).
Aku meraih tangan Yuda. Dan menggenggamnya dengan erat. Aku menciumi punggung tangnya, lalu,
“Kak… atas nama cinta, Nayla rela Kakak menikah dengan Sofi. Terimakasih sudah mengatakan perasaanmu yang sebenarnya, terimakasih sudah menemani hari-hariku. Bagi Nayla Kakak adalah sosok mahluk yang luar biasa tak akan pernah bisa terlupakan. Kakak adalah sosok lengkap, penyemangat hidup Nayla sampai kapanpun. Kakak adalah sayap pelindung saat Nayla rapuh dan butuh perlindungan. Kakak akan tetap menjadi powerbank-nya Nayla saat Nayla kehabisan stok energi. Mungkin nanti jika Nayla lagi gak bersemangat Nayla akan mengingat Kakak biar Nay semngat lagi.”
Aku menyeka air mata berkali-kali. Dan air mata Yuda kembali mengalir. Aku kembali menghambur ke dalam pelukan Yuda. Yuda mengdekapku dengan erat.
“Jika ini pertemuan terkahir kita Nayla rela Kak… Nayla doakan semoga Kakak bahagia sama mbak Sofi.”
Yuda mengecup keningku untuk pertama kali dan aku tahu itu juga untuk kali terkahir.
“Terimakasih Nayla… Kamu luar biasa. Hal itu yang selalu membuatku selalu bersemangat. Kamu perempuan yang hebat Nay…” Yuda kini berusaha tersenyum. Dan akupun demikian. Walau luka memar di mana-mana, ada semacam perasan lega setelah aku mengatakan bahwa aku rela Yuda menikah dengan Sofi.
“Maafkan kakak Nay…” Tangan Yuda kembali menggenggam tanganku dengan erat. Aku mengangguk dengan senyum yang ku rasakan kini lebih tulus dan terasa ringan.
Hujan mulai mereda. Genangan air mulai surut. Hari mulai gelap, jam menunjukkan jam 17:30. Kami memutuskan untuk pulang. Pulang ke arah yang sama, tujuan yang sama, komplek perumahan yang sama, berhenti di gang yang sama, berbeda sekitar dua puluh meter saja. Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam. Lagi-lagi hanya berdialog dengan hati masing-masing. Aku lebih berusaha menenangkan diri, dan sekali lagi berusaha yakin jika cinta tidak harus memiliki. Sementara Yuda, entah apa yang ia fikirkan. Yang aku tahu di matanya, masih tergambar sejuta penyesalan mengapa dia membiarkan dirinya jatuh cinta dan mengapa membiarkan aku jatuh cinta kepadanya. Tapi yang aku tahu pula ia adalah sosok pria bertanggungjawab, ia takan melanggar janji dan keputusan yang telah ia buat. (Semoga termasuk janjinya untuk tetap mengingat dan menyimpan mamaku di hatinya).
**
Enam bulan kemudian Yuda dan Sofi Menikah. Aku  pun hadir di resepsinya. Aku tak kuat berlama-lama ada di sana. Tapi aku cukup lega, melihat Sofi yang begitu cantik dan anggun. Aku sangat yakin jika Sofi adalah perempuan yang setia. Di wajahnya terpancar kebahagiaan yang luar biasa saat duduk di pelaminan berdampingan dengan Yuda. Sangat tampak di matanya jika Sofi sangat mencintai Yuda. (Aku merasa lega jika kamu dijagai oleh perempuan sebaik Sofi).
Selama tiga bulan, adalah hari-hari yang menyakitkan bagiku. Dimana aku harus terus-terusan melihat Yuda lewat bolak-balik di depan rumahku bersama istrinya. Aku tak sanggup memandang Yuda, Pernah sesekali kami bertemu pandang, tampak matanya masih memandangku dengan pandangan yang dulu (pandangan penuh cinta). Tapi aku tak mau menyakiti hati mbak Sofi. Aku lebih banyak ngobrol dengan mbak Sofi jika kebetulan kami bertemu.
Tiga bulan kemudian mereka akhirnya pindah ke rumah baru mereka. Rumah yang di sebelahku dijual dan ditinggali oleh orang lain. Satu sisi aku merasa lega karena aku tak harus lagi merasakan hatiku terkoyak jika melihat mereka berjalan berdua, dan sisi lain aku jelas merasa kehilangan.
**
Kini empat tahun berlalu, Yuda telah dikaruniai anak laki-laki yang lucu. Mbak Sofi yang selalu mengirim kabar tentang kebahagiaan mereka. Entah apa yang Yuda katakan tentang aku kepada mbak Sofi, karena aku merasakan mbak Sofi begitu dekat dengan ku. Ia selalu memberikan kabar dan tak lupa memberikan semangat kepadaku. Terutama saat aku menyelesaikan skripsi dua tahun lalu. Mbak Sofi lah yang banyak menyemangatiku untuk segera menyelesaikan semuanya. Waktu aku wisuda, Mbak Sofi datang dengan Yuda, membawa putranya yang semakin ganteng (seperti ayahnya). Mereka menghadiahi ku bunga. Rangkaina bunga kesuakkanku (Bunga yang sama yang diberikan Yuda saat aku berulang tahun dulu dan merayakan nya bersama Yuda dengan makan malam, dan Yuda menghadiahi sekotak donat yang khusus dipesan bertuliskan “HBD Nayla” dan sebuah rangkaian bunga. Dan hal itu pula yang menambah rasa percaya diriku bahwa Yuda benar-benar telah mencintaiku).
Aku simpan bunganya sampai layu, kering dan berguguran.

**
Sejak wisuda dua tahun lalu, aku semakin jarang bertemu Yuda, aku mencoba membiarkan dia terhapus dari hatiku. Aku juga mencoba membiarkan Yuda benar-benar mencintai Sofi perempuan yang baik sekali. Walaupun sepenuhnya aku tak pernah berhasil melupakan Yuda.
Aku mencoba membuka hati untuk laki-laki lain (ku harap ada yang seperti Yuda). Tapi aku belumberhasil menemukannya.
Kalian tahu apa yang sebenarnya selalu membuat aku susah melupakan Yuda? Persaanku kepadaYuda? Parasnya yang tampan? Kebaikannya? Kenangan indah kami? Bukan hanya itu semua. Lalu apa? Jawabanya adalah turunnya hujan, Ya, setiap hujan turun berarti ada Yuda di sana. Ada tangisan rindu di sela-sela derai hujan yang turun dari langit. Seperti saat ini, ketika aku berdiri di halte yang sama, menunggu hujan reda, dengan hujan yang deras di sudut mataku, mengenang semua tentang cerita cinta kami. Aku selalu berharap jika hujan yang turun menyertakan Yuda yang dikirim Tuhan untukku.
Tapi sudahlah, bairlah cintaku kepadanya abadi seperti hujan yang pasti akan turun ke bumi pada waktu yang ditentukan Tuhan. Semoga nanti Tuhan pun menurunkan jodoh untukku. (Yang seperti Yuda).
Apakah ada di antara kalian yang seperti Yuda? Jika ada, aku mau.


Share/Bookmark

3 comments: