Ciamis mulai gelap. Ini jam enam petang. Hujan turun dengan
derasnya. Gamal duduk sendiri di sebuah halte bus. Tubuhnya menggigil merasakan
dingin yang teramat sangat. Hari ini dia lupa membawa jas hujan. Tadi berangkat
terburu-buru, gara-gara sebuah dering telepon yang berasal dari Dini gadis yang
dicintainya. Ia bilang ingin bertemu saat itu juga. Dari suaranya Gamal bisa
menyimpulkan jika Dini sedang bersedih. Dini menelpon dengan suara yang
bercampur isak tangis. Gamal khawatir, untuk itu ia berangkat dengan sangat
terburu-buru.
Sudah hampir jam tujuh, hujan belum juga mereda. Gamal merapatkan
tubuhnya ke tembok untuk menghindari cipratan air yang berlebihan. Jaketnya
telah dingin dan sedikit basah di bagian lengan.
Di antara rinai hujan fikirannya menerawang. Memikirkan apa yang
baru saja ia lakukan. Ia berjuang untuk sesuatu yang mungkin saja tak akan
pernah ia miliki. Ia berkorban untuk sesuatu yang bisa jadi tak akan pernah menjadi
sumber kebahagiaannya. Ah, tapi tak mengapa. Gamal selalu melakukan semuanya
dengan tulus. Tak peduli orang yang ia tolong itu siapa. Tak perduli orang yang
ia beri kebaikan itu menerimanya dengan baik ataupun tidak. Bagi dia, hanya ada
satu dan nol. Jika sudah ingin berbuat baik, maka ia lakukan dengan sepenuh
hati, tapi jika ragu, maka ia tak akan pernah melakukannya sama sekali.
Tapi terkadang untuk hal yang baru saja ia lakukan, tak jarang muncul
keraguan. Boleh atau tidak, bisa atau tidak, menimbulkan masalah ataukah tidak.
Sebuah keinginan yang menyeruak dalam hatinya selalu berhasil mengalahkan
logika. Gamal yang tangguh dan teguh pendirian kalah dengan sebuah rengekan
Dini. Tingginya penghargaannya terhadap pentingnya nilai kejujuran harus kalah
dengan sebuah permintaan kecil Dini. Tak bisa dipungkiri selama beberapa bulan
ini, Dini-lah yang bisa membuatnya tersenyum bahagia, membuatnya merasa penting
dan diperlukan, membuatnya merasa menjad pelengkap hidup seseorang.
Ya, Dini. Gadis yang baru saja ia temui. Dalam keadaan sedih. Dini
yang tadi pagi bertengkar dengan pacarnya, Dini yang siang tadi benar-benar
menangis dan tak tahu harus berbuat apa untuk berbaikkan dengan pacarnya. Dini
yang butuh saran dengan segera, Gamal datangi dengan perasaan iba dan kasih
sayang yang teramat besar dalam hatinya. Tak peduli Dini milik siapa.
Tapi semua bohong! Justru kali ini Gamal sangat peduli bahwa Dini
milik siapa. Perasaan cinta yang semakin tumbuh dengan subur kepada Dini
semakin menyiksanya. Satu sisi, dia tak bisa membohongi perasaannya, sisi yang
lain ia harus tahu diri. Dini adalah kekasih sahabatnya. Sahabat yang sedari
kecil selalu bersama.
Dini dan Seno menjalin hubungan sudah sangat lama. Gamal yang
selalu setia mengantar Seno apel ke rumah Dini setiap malam minggu. Gamal pula
yang dengan sabar menunggu mereka melepas rindu. Ia melihat semuanya. Melihat
bunga-bunga cinta yang tumbuh di antara mereka dari mulai menyemai benih sampai
dengan tumbuh subur berdaun rindang. Gamal pula yang menjadi saksi setiap
pertengkaran, setiap perdebatan, dan menyaksikan mereka berbaikan kembali. Gamal-lah
sang pendamai. Sang pencari solusi. Dengan saran Gamal Seno merasa tenang dan
atas saran Gamal tangisan Dini mereda.
Tapi sejak dia mendapatkan sebuah amanat dari Seno untuk
menggenggam sebuah rahasia tentang kekasih baru Seno, ia mulai gusar. Hatinya
tiba-tiba sakit mengetahui Dini dikhianati. Ingin rasanya membocorkan rahasia
tersebut kepada Dini, tapi ia juga tahu jika Seno masih sangat mencintai Dini,
hanya saja ia tak tahan dengan kesendiriannya di tempat yang jauh dari Dini. Di
kota tempatnya bekerja Seno memiliki kekasih lain. Dan di sini Gamal memdapat
tugas untuk menjagai, lebih tepatnya mengawasi Dini agar tetap setia kepada Seno.
Sungguh tidak adil buat Dini. Dini dituntut setia sedangkan kekasih
yang selama ini dia percayai sepenuhnya malah memiliki kekasih yang lain di
luar sana. Tapi sebagai sahabat, apa boleh buat. Gamal tak mampu berbuat
apa-apa.
Hujan semakin deras, sederas perasaannya kepada Dini. Satu jam yang
lalu, setelah dia berusaha menghibur, Dini masih cemberut, masih belum bisa
tersenyum lebar. Pertengkaran yang terjadi antara Dini dan Seno cukup serius.
Sungguh ingin rasanya memberikan saran “Sudahi saja!” tapi Garry takp ernah
memiliki keberanian itu. Kalimat itu selalu ia pendam dalam-dalam.
Bayangan tentang Dini masih tergambar jelas di matanya. Kejadian satu
jam yang lalu masih sangat melekat dalam hati Gamal. Dini memeluknya dengan
sangat erat, menagis sejadiinya di dalam pelukan Gamal. Bibirnya tak berhenti
mengadukan semua perlakuan Seno kepadanya. Gamal membalas pelukan dan
menenangkan Dini. Tangis Dinipun perlahan reda. Dan tak bisa ditahan, Gamal akhirnya
mengucapkan sesuatu yang sebenarnya tak
boleh ia ucapkan.
“Jangan menangis Dini, ada aku di sini, Gamal-mu yang selalu
menyayangimu.”
Sungguh kalimat itu keluar begitu saja. Dini tersentak, melepas
pelukan, dan bergerak menjauh dari dirinya. Gamal sangat menyesal. Dini bisu,
diam seribu bahasa. Tangisannya memang reda, tapi sore ini Gamal bukan menjadi
penyemangat, bukan lagi sebagai pencari solusi, melainkan datang sebagai pemicu
kegundahan yang baru dalam hati Dini. Dengan seribu penyesalan, Gamal pamit
dengan puluhan permohonan maaf jika dia telah mengatakannya.
Kakinya melangkah pergi dari rumah Dini, dan tak lama kemudian
hujan deraspun turun tanpa henti.
Sudah satu jam lebih Gamal berdiam diri di halte bus itu. Dingin
yang menjalar di tubuhnya tak lagi terasa. Kini hatinya lebih dingin dari
sekedar rasa dingin karena hujan. Penyesalannya tentang sebuah jas hujan tak
seberapa jika dibandingkan dengan penyesalannya telah mengatakan perasaan yang
sesungguhnya kepada Dini. Dan seandainya hujan redapun, mungkin ia enggan
pulang. Ia akan membiarkan dirinya membeku di sana sebagai bayaran atas apa
yang telah ia perbuat.
Bayangan Seno melintas. Ia mengingat semuanya. Permintaan
sahabatnya untuk menjaga Dini untuknya, permintaan untuk menjaga rahasia jika
ia ‘hanya mencari selingan’, memintanya agar menjadi kawan dan sahabat paling
setia selamanya. Memang Gamal dan Seno telah seperti saudara. Sudah 15 tahun
mereka bersahabat. Selalu diberi kesempatan untuk belajar dalam kelas yang
sama, meja yang sama, dan memiliki orantua yang memang sejak dulu bersahabat. Meski
ia tahu jika Seno berkhianat kepada Dini, lantas apa bedanya dengan dia yang
menghianati sahabatnya sendiri. Aaaaargh, semua sangat membingungkan.
Cinta yang terlanjur tumbuh subur dalam hatinya kepada Dini begitu
sulit dipangkas. Jangankan dipangkas habis, memotong pucuknya saja dia tak
pernah mampu. Cintanya semakin besar, berdaun rindang, kokoh bercabang. Semakin
sering ia bertemu Dini maka semakin sulit rasa itu dihilangkan. apalagi jika
melihat Dini menangis, maka perasaan sayang nya kian menjadi. Gamal tak mau
melihat Dini tersakiti.
Kota Ciamis sudah berubah menjadi gelap. Rinai hujan tampak
berkilatan di bawah cahaya lampu jalan. Gamal semakin enggan pulang.
Ponselnya berdering. Dengan perasaan malas ia melihat pangilan dari
siapa. Dini memanggil.
“Hallo…”
“Iya Din… Ada apa?”
“Gamal kamu di mana?”
“Di rumah”
“Jangan bohong, aku dengar suara hujan dan klakson mobil. Kamu menunggu
hujan reda di mana?”
“Di Halte Lama”
“Aku kesana”
Telepon ditutup. Gamal bingung, tak sempat melarang Dini. Ia
menghela nafas panjang. Pasrah menunggu hal yang akan terjadi. Mencoba
menebak-nebak.
“Sepertinya Dini akan marah besar kepadanya karena tadi sore belum
sempat memarahiku. Tapi jika akan marah, ,mengapa tidak di telepon saja? Oh,
mungkin dia ingin memakiku langsung. Atau mungkin menamparku keras-keras. Ah,
aku tak tahu. “ gumamnya dalam hati.
Tak harus menunggu lama, Dini telah berdiri di hadapannya dengan
badan basah kuyup. Di tangannya memegang sebuah payung berwarna biru toska.
Payung yang sering Gamal lihat dipakai Seno jika ia pulang apel kehujanan.
Payung itu sering dia lihat di dalam mobil Seno. Ah, menebalkan. Mengapa bayangan
itu muncul.
Dini mendekat, bibirnya mengatup rapat. Sudah dekat dia tetap
membisu. Gamal tak mengetahui apa sebenarnya yang Dini mau.
Dini meletakkan payungnya kemudian berhambur ke pelukan Gamal.
Ditengah isakan tangisnya ia berkata “Aku sayang kamu Gamal… Sungguh…”
Tangannya memeluk Gamal semakin erat. Hujan deras dan kilapan lampu
jalan menjadi saksi bisu kejadian itu. Gamal tak bergeming, tubuhnya kaku. Ia tak
berani membalas pelukan walau sesungguhnya sangat ingin ia lakukan.
“Gamal kamu kenapa?”
Dini melepaskan pelukkan dan merasa heran dengan sikap diamnya Gamal.
“Aku tak mau mengecewakan Seno, dia sahabatku dan dia mencintaimu
Dini…”
Dini menangis, menutup mukanya.
“Tapi aku tahu kamu sudah sayang sama aku sejak lama…”
“Dan aku tahu, kamu sangat mencintai Seno sejak pertama kalian
bertemu, aku menyaksikan semuanya. Aku melihat cinta kalian tumbuh di
hadapanku. Aku sakit? Iya! Tapi aku tak mau menghianati persahabatan kami”
“Tapi Seno sering jahatin aku Gamal… Sedangkan kamu lain. Kamu
baik, kamu selalu membuat aku senang”
“Jangan bohongin hati kamu Dini. Aku tahu kamu masih sangat
menyayangi Seno. Aku tak mau aku hanya jadi pelarian kamu. Aku memang sayang
sama kamu, tapi jika aku harus menjadi milikmu, aku tak mau ada orang lain di
hatimu. Seperti tak ada orang lain pada hatiku selain kamu.”
Dini menghela nafas panjang. Begitupun Gamal. Lalu,
“Pulanglah Dini… sudah malam”
Dini melangkah pergi. Halte bus hening. Lalu lintas mulai lengang,
hujan mulai mereda. Angin mendingin. Ini sudah jam 8 malam. Semua bisu, tak
terkecuali bibir Gamal dan Dini. Mereka diam mematung. Hanya perdebatan pada
hati mereka masing-masing yang menjadi pengisi malam ini.
No comments:
Post a Comment