Search This Blog

Tuesday, July 12, 2016

DI SEBUAH HALTE BUS.

Ciamis mulai gelap. Ini jam enam petang. Hujan turun dengan derasnya. Gamal duduk sendiri di sebuah halte bus. Tubuhnya menggigil merasakan dingin yang teramat sangat. Hari ini dia lupa membawa jas hujan. Tadi berangkat terburu-buru, gara-gara sebuah dering telepon yang berasal dari Dini gadis yang dicintainya. Ia bilang ingin bertemu saat itu juga. Dari suaranya Gamal bisa menyimpulkan jika Dini sedang bersedih. Dini menelpon dengan suara yang bercampur isak tangis. Gamal khawatir, untuk itu ia berangkat dengan sangat terburu-buru. 

Sudah hampir jam tujuh, hujan belum juga mereda. Gamal merapatkan tubuhnya ke tembok untuk menghindari cipratan air yang berlebihan. Jaketnya telah dingin dan sedikit basah di bagian lengan.
Di antara rinai hujan fikirannya menerawang. Memikirkan apa yang baru saja ia lakukan. Ia berjuang untuk sesuatu yang mungkin saja tak akan pernah ia miliki. Ia berkorban untuk sesuatu yang bisa jadi tak akan pernah menjadi sumber kebahagiaannya. Ah, tapi tak mengapa. Gamal selalu melakukan semuanya dengan tulus. Tak peduli orang yang ia tolong itu siapa. Tak perduli orang yang ia beri kebaikan itu menerimanya dengan baik ataupun tidak. Bagi dia, hanya ada satu dan nol. Jika sudah ingin berbuat baik, maka ia lakukan dengan sepenuh hati, tapi jika ragu, maka ia tak akan pernah melakukannya sama sekali.
Tapi terkadang untuk hal yang baru saja ia lakukan, tak jarang muncul keraguan. Boleh atau tidak, bisa atau tidak, menimbulkan masalah ataukah tidak. Sebuah keinginan yang menyeruak dalam hatinya selalu berhasil mengalahkan logika. Gamal yang tangguh dan teguh pendirian kalah dengan sebuah rengekan Dini. Tingginya penghargaannya terhadap pentingnya nilai kejujuran harus kalah dengan sebuah permintaan kecil Dini. Tak bisa dipungkiri selama beberapa bulan ini, Dini-lah yang bisa membuatnya tersenyum bahagia, membuatnya merasa penting dan diperlukan, membuatnya merasa menjad pelengkap hidup seseorang.
Ya, Dini. Gadis yang baru saja ia temui. Dalam keadaan sedih. Dini yang tadi pagi bertengkar dengan pacarnya, Dini yang siang tadi benar-benar menangis dan tak tahu harus berbuat apa untuk berbaikkan dengan pacarnya. Dini yang butuh saran dengan segera, Gamal datangi dengan perasaan iba dan kasih sayang yang teramat besar dalam hatinya. Tak peduli Dini milik siapa.
Tapi semua bohong! Justru kali ini Gamal sangat peduli bahwa Dini milik siapa. Perasaan cinta yang semakin tumbuh dengan subur kepada Dini semakin menyiksanya. Satu sisi, dia tak bisa membohongi perasaannya, sisi yang lain ia harus tahu diri. Dini adalah kekasih sahabatnya. Sahabat yang sedari kecil selalu bersama.
Dini dan Seno menjalin hubungan sudah sangat lama. Gamal yang selalu setia mengantar Seno apel ke rumah Dini setiap malam minggu. Gamal pula yang dengan sabar menunggu mereka melepas rindu. Ia melihat semuanya. Melihat bunga-bunga cinta yang tumbuh di antara mereka dari mulai menyemai benih sampai dengan tumbuh subur berdaun rindang. Gamal pula yang menjadi saksi setiap pertengkaran, setiap perdebatan, dan menyaksikan mereka berbaikan kembali. Gamal-lah sang pendamai. Sang pencari solusi. Dengan saran Gamal Seno merasa tenang dan atas saran Gamal tangisan Dini mereda.
Tapi sejak dia mendapatkan sebuah amanat dari Seno untuk menggenggam sebuah rahasia tentang kekasih baru Seno, ia mulai gusar. Hatinya tiba-tiba sakit mengetahui Dini dikhianati. Ingin rasanya membocorkan rahasia tersebut kepada Dini, tapi ia juga tahu jika Seno masih sangat mencintai Dini, hanya saja ia tak tahan dengan kesendiriannya di tempat yang jauh dari Dini. Di kota tempatnya bekerja Seno memiliki kekasih lain. Dan di sini Gamal memdapat tugas untuk menjagai, lebih tepatnya mengawasi Dini agar tetap setia kepada Seno.
Sungguh tidak adil buat Dini. Dini dituntut setia sedangkan kekasih yang selama ini dia percayai sepenuhnya malah memiliki kekasih yang lain di luar sana. Tapi sebagai sahabat, apa boleh buat. Gamal tak mampu berbuat apa-apa.
Hujan semakin deras, sederas perasaannya kepada Dini. Satu jam yang lalu, setelah dia berusaha menghibur, Dini masih cemberut, masih belum bisa tersenyum lebar. Pertengkaran yang terjadi antara Dini dan Seno cukup serius. Sungguh ingin rasanya memberikan saran “Sudahi saja!” tapi Garry takp ernah memiliki keberanian itu. Kalimat itu selalu ia pendam dalam-dalam.
Bayangan tentang Dini masih tergambar jelas di matanya. Kejadian satu jam yang lalu masih sangat melekat dalam hati Gamal. Dini memeluknya dengan sangat erat, menagis sejadiinya di dalam pelukan Gamal. Bibirnya tak berhenti mengadukan semua perlakuan Seno kepadanya. Gamal membalas pelukan dan menenangkan Dini. Tangis Dinipun perlahan reda. Dan tak bisa ditahan, Gamal akhirnya mengucapkan  sesuatu yang sebenarnya tak boleh ia ucapkan.
“Jangan menangis Dini, ada aku di sini, Gamal-mu yang selalu menyayangimu.”
Sungguh kalimat itu keluar begitu saja. Dini tersentak, melepas pelukan, dan bergerak menjauh dari dirinya. Gamal sangat menyesal. Dini bisu, diam seribu bahasa. Tangisannya memang reda, tapi sore ini Gamal bukan menjadi penyemangat, bukan lagi sebagai pencari solusi, melainkan datang sebagai pemicu kegundahan yang baru dalam hati Dini. Dengan seribu penyesalan, Gamal pamit dengan puluhan permohonan maaf jika dia telah mengatakannya.
Kakinya melangkah pergi dari rumah Dini, dan tak lama kemudian hujan deraspun turun tanpa henti.
Sudah satu jam lebih Gamal berdiam diri di halte bus itu. Dingin yang menjalar di tubuhnya tak lagi terasa. Kini hatinya lebih dingin dari sekedar rasa dingin karena hujan. Penyesalannya tentang sebuah jas hujan tak seberapa jika dibandingkan dengan penyesalannya telah mengatakan perasaan yang sesungguhnya kepada Dini. Dan seandainya hujan redapun, mungkin ia enggan pulang. Ia akan membiarkan dirinya membeku di sana sebagai bayaran atas apa yang telah ia perbuat.
Bayangan Seno melintas. Ia mengingat semuanya. Permintaan sahabatnya untuk menjaga Dini untuknya, permintaan untuk menjaga rahasia jika ia ‘hanya mencari selingan’, memintanya agar menjadi kawan dan sahabat paling setia selamanya. Memang Gamal dan Seno telah seperti saudara. Sudah 15 tahun mereka bersahabat. Selalu diberi kesempatan untuk belajar dalam kelas yang sama, meja yang sama, dan memiliki orantua yang memang sejak dulu bersahabat. Meski ia tahu jika Seno berkhianat kepada Dini, lantas apa bedanya dengan dia yang menghianati sahabatnya sendiri. Aaaaargh, semua sangat membingungkan.
Cinta yang terlanjur tumbuh subur dalam hatinya kepada Dini begitu sulit dipangkas. Jangankan dipangkas habis, memotong pucuknya saja dia tak pernah mampu. Cintanya semakin besar, berdaun rindang, kokoh bercabang. Semakin sering ia bertemu Dini maka semakin sulit rasa itu dihilangkan. apalagi jika melihat Dini menangis, maka perasaan sayang nya kian menjadi. Gamal tak mau melihat Dini tersakiti.
Kota Ciamis sudah berubah menjadi gelap. Rinai hujan tampak berkilatan di bawah cahaya lampu jalan. Gamal semakin enggan pulang.
Ponselnya berdering. Dengan perasaan malas ia melihat pangilan dari siapa. Dini memanggil.
“Hallo…”
“Iya Din… Ada apa?”
“Gamal kamu di mana?”
“Di rumah”
“Jangan bohong, aku dengar suara hujan dan klakson mobil. Kamu menunggu hujan reda di mana?”
“Di Halte Lama”
“Aku kesana”
Telepon ditutup. Gamal bingung, tak sempat melarang Dini. Ia menghela nafas panjang. Pasrah menunggu hal yang akan terjadi. Mencoba menebak-nebak.
“Sepertinya Dini akan marah besar kepadanya karena tadi sore belum sempat memarahiku. Tapi jika akan marah, ,mengapa tidak di telepon saja? Oh, mungkin dia ingin memakiku langsung. Atau mungkin menamparku keras-keras. Ah, aku tak tahu. “ gumamnya dalam hati.
Tak harus menunggu lama, Dini telah berdiri di hadapannya dengan badan basah kuyup. Di tangannya memegang sebuah payung berwarna biru toska. Payung yang sering Gamal lihat dipakai Seno jika ia pulang apel kehujanan. Payung itu sering dia lihat di dalam mobil Seno. Ah, menebalkan. Mengapa bayangan itu muncul.
Dini mendekat, bibirnya mengatup rapat. Sudah dekat dia tetap membisu. Gamal tak mengetahui apa sebenarnya yang Dini mau.
Dini meletakkan payungnya kemudian berhambur ke pelukan Gamal. Ditengah isakan tangisnya ia berkata “Aku sayang kamu Gamal… Sungguh…”
Tangannya memeluk Gamal semakin erat. Hujan deras dan kilapan lampu jalan menjadi saksi bisu kejadian itu. Gamal tak bergeming, tubuhnya kaku. Ia tak berani membalas pelukan walau sesungguhnya sangat ingin ia lakukan.
“Gamal kamu kenapa?”
Dini melepaskan pelukkan dan merasa heran dengan sikap diamnya Gamal.
“Aku tak mau mengecewakan Seno, dia sahabatku dan dia mencintaimu Dini…”
Dini menangis, menutup mukanya.
“Tapi aku tahu kamu sudah sayang sama aku sejak lama…”
“Dan aku tahu, kamu sangat mencintai Seno sejak pertama kalian bertemu, aku menyaksikan semuanya. Aku melihat cinta kalian tumbuh di hadapanku. Aku sakit? Iya! Tapi aku tak mau menghianati persahabatan kami”
“Tapi Seno sering jahatin aku Gamal… Sedangkan kamu lain. Kamu baik, kamu selalu membuat aku senang”
“Jangan bohongin hati kamu Dini. Aku tahu kamu masih sangat menyayangi Seno. Aku tak mau aku hanya jadi pelarian kamu. Aku memang sayang sama kamu, tapi jika aku harus menjadi milikmu, aku tak mau ada orang lain di hatimu. Seperti tak ada orang lain pada hatiku selain kamu.”
Dini menghela nafas panjang. Begitupun Gamal. Lalu,
“Pulanglah Dini… sudah malam”
Dini melangkah pergi. Halte bus hening. Lalu lintas mulai lengang, hujan mulai mereda. Angin mendingin. Ini sudah jam 8 malam. Semua bisu, tak terkecuali bibir Gamal dan Dini. Mereka diam mematung. Hanya perdebatan pada hati mereka masing-masing yang menjadi pengisi malam ini.





Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment