Search This Blog

Sunday, July 31, 2016

Satu Malam yang Mencekam


Juli, tahun 2005.
Hari sabtu, hari terakhir sekolah. Buku laporan pendidikan telah dibagikan. Berbagai ekspresi kegembiraan, haru biru dan bahkan beberapa ada yang bersedih karena nilainya menurun atau tidak sesuai harapan tergambar pada beberapa wajah remaja berseragam putih abu yang masih berada di lingkungan SMA I Ciamis.

Libur semester dua telah tiba berbarengan dengan musim hujan. Hampir tiap hari hujan turun. Walau tak begitu deras, gerimis sekali dalam sehari pasti datang. 
Di sebuah ruang UKS, sekumpulan anak remaja sedang mengadakan rapat persiapan terakhir sebuah kegiatan besar tahunan. Fikiran mereka terfokus kepada kegiatan yang akan dilaksanakan dua hari lagi. Melupakan isi rapot yang baru saja mereka terima dari wali kelas masing-masing.
Defan, sebagai ketua umum PMR unit SMA N I Ciamis memimpin jalannya rapat. Yang lain menyimak dengan mimic muka yang serius. Ada masalah yang cukup menantang pada kegiatan kali ini, yaitu musim hujan.
“Pastikan peserta membawa perlengkapan yang diperlukan saat musim hujan dan obat-obatan pribadi.” Ucap Defan di akhir pembicarannnya. Ada kekhawatiran yang menggantung di kepalanya. Berbagai pertanyaan menggelayuti hati nya. Akankah berjalan dengan lancar proses perkemahan yang akan dilaksanakan di bawah tanggungjawabnya? Seorang remaja yang masih berusia 16 tahun harus memimpin sebuah kegiatan di luar sekolah. Di daerah pegunungan, hutan yang gelap, jauh dari pemukiman warga. Dan sekarang musim hujan. Mampukah ia melindungi kawan-kawannya dan terutama adik kelasnya yang merupakan peserta kegiatan pengambilan syal tahun ini. Acara paling penting dan merupakan penentuan siapa yang menjadi anggota penuh atau malah mundur dan mengulang tahun depan.
**
Minggu pagi. Defan bergegas pergi menuju rumah Husen. Husen adalah seorang senior alumni. Lima angkatan di atasnya. Tapi Husen masih sering aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan di sekolah bahkan bisa dibilang jika Husen adalah tangan kanan Pembina PMR. Dia lebih berpengalaman dalam hal mengadakan kegiatan di luar. Dia pula yang lebih menguasai ilmu medan peta dan kompas. Karena sebelumnya ia juga merupakan anggota aktif pramuka.
“Kang, di kegiatan besok Akang bisa hadir mendamping dari awal sampai akhir kan?” Ucap Defan penuh kekhawatiran. Sejak beberapa hari belakangan ini entah mengapa untuk menjadi ketua panitia kegiatan kali ini hatinya selalu gundah. Seolah-olah akan ada sesuatu yang buruk akan menimpanya.
“Haha. Kamu kenapa? Tampak gusar begitu Fan? Tenang laaaah… Kegiatan sebelumnya kan bagus. Bisa terlaksana dengan baik. Tak ada masalah kan?” Husen mencoba menenangkan hati juniornya.
“Tapi Kang, tempat yang kita pilih untuk perkemahan kan tempat baru. Aku belum pernah bermlam di sana. Dan sepanjang sejarah organisasi kita belum pernah melaksanakan kegiatan perkemhan di sana. Atau Akang pernah?”
“Belum pernah!” Tukas Husen singkat.
“Lantas?”
“Lagian siapa sih orang yang kau tunjuk sebagai koorlap sehingga memilih tempat itu?” Pandangan mata Husen kosong, suaranya mulai datar. Ia menghela nafas panjang. Membuang jauh-jauh sebuah rasa yang sesungguhnya sedang ia sembunyikan dari adik kelas yang kini ada di hadapannya dan sedang membutuhkan sebuah keyakinan bahwa kegiatan yang akan dilangsungkan besok pagi dapat berjalan dengan baik.
“Ahmad  Kang! Ahmad yang menjadi Koorlap sekarang. Ia aktif di organisasi Pecinta Alam. Makanya aku percaya kepadanya. Dan bukan hanya keputusanku. Ia dipilih berdasarkan hasil rapat awal penentuan paniatia kegiatan.”
“Oh… dia…”  Husen manggut-manggut.
“Akang kenal dia?”
“Ya, aku tahu. Beberapa hari yang lalu aku diundang ke rapat persiapan kegiatan pecinta alam. Mereka juga akan mengadakan kegiatan pengambilan syal, tapi mereka masih satu minggu lagi. Selama ini Ahmad memang dianggap cakap dalam menentukan rute pendakian di organisasi mereka.” 
“Tapi Kang, kita PMR. Bukan disiapkan sebagai pendaki” Defan resah.
“Lalu mengapa kau pilih dia jika akhirnya tak percaya? Sebenarnya kamu ini kenapa? Tampak gelisah begitu?” Husen menepuk bahu adiknya. “Sudahlah… sekarang pulang, dan siapkan perlengkapan untuk besok berangkat. Yang lainnya sudah siap?”
“Sudah Kang. Besok Mobil truk besar akan menjemput kita di gerbang sekolah jam setengah tujuh.”
“Ok, baguslah kalau begitu. Jangan terlalu khawatir, mencoba tempat baru tak ada salahnya kan…? Akang tahu tempat itu. Orangtua akang punya kebun pisang di sana dulu. Tapi sudah dijual kepada penduduk setempat. Memang akang sudah jarang kesana lagi. Tapi setidaknya….”
Kalimatnya terpotong. Entah karena apa. Langit mulai cerah. Matahari mulai terasa hangat. Hari ini cuaca cukup baik. Semoga bertahan sampai besok dan lusa.
“Setidaknya apa Kang?” Dahi Defan mengernyit heran. Mengapa Husen tampak ragu meneruskan kalimatnya.
“Setidaknya Akang tahu keadaan di sana.” Husen tersenyum. “Sudahlah… Sana pulang! Hari ini cerah. Semoga Besok harinya baik ya. Agar anak-anak sehat dan acara berjalan lancar. Optimis saja ya…” Lagi-lagi Husen menepuk pundak juniornya.
“Iya Kang. Terimakasih. Sampai ketemu besok ya Kang. Aku pulang dulu.” Defan beranjak bermaksud pulang dan berkemas. Ia menghidupkan motornya. Dan sebelum pulang tak lupa ia mengingatkan Husen untuk mengajak kawan-kawan alumni yang lain.
“Iya Fan iya… Agas, Doni, Joko, sudah Akang kontak. Mereka siap. Lagian mereka bilang, sekertaris kegiatan sudah menelpon mereka seminggu sebelumnya.”
Defan tersenyum lega. Sekarang ia tidak lagi merasa sendiri. Ada Kang Husen da kawan-kawannya yang akan membantu. Kekhawatiran yang akhir-akhir ini muncul tanpa alasan perlahan sirna walaupun tak semuanya hilang.
Cijoho adalah nama daerah yang memang tak terlalu asing di telinganya. Namun tempat itu tak termasuk daftar tempat berkemah yang pernah dipakai untuk kegiatan organisasi yang digelutinya selama ini. Tapi benar kata Kang Husen, tempat baru kenapa tidak. Toh Ahmad juga sudah berhasil mengantongi izin pemerintah setempat untuk melakukan kegiatan itu.
**
Seminggu yang lalu.
“Fan, mau lapor nih. Aku sudah minta izin kepala desa di sana. Katanya kita boleh mengadakan kemping di sana. Ada tanah lapang yang lumayan luas untuk nanti kita mendirikan tenda. Di bawah lapang sekitar satu KM ada mesjid di tengah-tengah pemukiman penduduk bisa kita gunakan untuk tempat efakuasi jika tiba-tiba hujan deras dan tidak memungkinkan untuk tidur di tenda.” Ahmad menjelaskan dengan penuh kebanggan bahwa ia telah melakukan tugasnya dengan baik.
“Oh, syukurlah. Terimakasih ya Mad. Semoga kegiatan kita berjalan lancar.”
“Aamiin” balas Ahmad dengan senyum lebar. “Dan tahu gak Bro? Kata tetua di sana kita adalah orang pertama yang melakukan kemping di sana. Yang lain belum ada yang berani. Hahaha”. Ahmad tertawa lepas seolah kegiatan ini akan menjadi pencapai rekor MURI karena menjadi orang pertama yang akan kemping di tempat itu.”
“Kita yang pertama? Aman gak nih? Jangan-jangan belum ada yang berani itu karena ada sesuatu yang membahayakan Mad.” Dahi Defan mengernyit memikitkan alasan-alasan mengapa belum pernah ada orang yang melakukan kemping di sana. Kepalanya mulai menerka-nerka ada apa kira-kira?.
“Ya… tak usah khawatir laah… Orang lain belum pernah, bisa jadi kan memang tempat itu belum mereka ketahui. Dan apa salahnya jika kita coba. Kalau perizinannya bgus, tempatnya enak, nanti yang lain bakalan ikut kita. Iya gak?”
Defan hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya sebagai bentuk apresiasi terhadap pekerjaan kawannya sebagai koordinator lapangan.
Sejak saat itu keraguan-keraguan, dan kecemasan-kecemasan muncul. Kecemasannya bertambah banyak ketika hari berikutnya ia diajak oleh Ahmad untuk melihat tempatnya langsung, ada semacam kekhawatiran yang luar biasa dalam hati dan fikirannya.
Sebuah lapangan sepak bola berada di atas bukit. Di kiri kanan jalan kedatangan terpasang tiang gawang yang terbuat dari bambu. Sepertinya ini memamng lapangan sepak bola kampung setempat yang digunakan musiman. Tampak sekali jarang tersentuh pemain. Rumputnya tinggi, hanya tampak rumput-rumput bekas saputan arit pencari rumput untuk makanan ternak. Di bagian sudut timur lapanagn ada sebuah rumpun bambuu yang tampak rindang. Sepertinya sengaja ditanam untuk berteduh para pemain sepak bola selepas permainannya. Karena di sana tidak ada lagi pohon selain rumpun bamboo itu.
Memandang ke sekeliling hanya tampak bukit-bukit lain. Pohon-pohon albasiah dan ladang singkong memenuhi seluruh pemandangan. Tampak beberapa pohon pinus di antara pohon-pohon albasiah.
Lapangan itu jauh dari sumber air. Satu-satunya sumber air ada di mesjid yang jaraknya kurang lebih satu kilo meter sebelum pendakian meuju tanah lapang itu.
Jalan menuju masjid yang disebutkan Ahmad cukup curam. Jalan setapak dengan tanah merah yang jika hujan turun pasti jalan itu sangat licin. Rumah di sekitar mesjid hanya ada tiga rumah. Mesjid itu cukup jauh dari pemukiman penduduk.
Mesjid itu adalah bangunan tua yang masih tampak kokoh. Dindingnya berwarna putih pucat, berpagar besi yang tampak tua berkarat. Di depannya ada sebuah kolam besar dan sebuah jamban beratapkan asbes. Airnya bening, begitu deras keluar dari pipa bambu berukuran besar. Seandainya dipakai air minum pasti segar bahkan tanpa dimasak sekalipun.
Lantai halaman mesjid dipasangi papingblock rapih tapi sudah ditumbuhi lumut membuat semuanya nyaris berwarna hijau.
Hari itu langit mendung. Awan menghitam. Membuat kekhawatiran Defan bertambah besar dari hari sebelumnya. Sebetulnya sejak ia diajak melihat tempat untuk kagiatan ia sudah merasa khawatir. Khawatir jika nanti turun hujan. Khawatir jika semua peserta dan kawan-kawannya masuk angin lalu sakit akibat kedinginan. Dan kekhawatiran-kekhawatiran yang lain muncul setelah ia bercakap-cakap dengan seseorang yang ia temui saat ia istirahat dan melaksanakan solat dzuhur di tengah-tengan kegiatan survey tempat kala itu.
Seorang kakek tua yang baru saja memimpin solat dengan makmum yang tak begitu banyak. Menghampiri Defan setelah jamaah yang lain meninggalkan mesjid.
“Jang, Benar ujang akan melakukan kemping di lapang atas?”
“Iya benar Abah.” Jawab Defan. Ahmad duduk diam di sebelahnya.
“Sudah mendapat izin dari pak Kuwu?”
“Sudah Bah. Kemarin lusa saya ke rumah pak Kuwu. Tapi hanya ada istrinya kemudian setelah menelpon Pak Kuwu, Bu Kuwu mengiyakan. Katanya kami boleh berkemah di sana.” Giliran Ahmad yang menyampaikan jawaban.
Mendengar jawaban tersebut hati Defan terhenyak. Jadi izin itu bukan dari pak Kuwu langsung. Tapi hanya melalui percakapan via telepon dengan istrinya.
Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya bergumam. Entah gumaman apa yang ia ucapkan. Dua pasang telinga Defan dan Ahmad pun tak bisa menebak rangkaian kaliamat apa yang Kakek tua itu ucapkan.
“Daud, Kuwu baru itu tahu apa dengan keadaan tanah lapang itu. Dia hanya warga pendatang yang kebetulan dipercaya warga untuk memimpin desa karena dia berpendidikan dan memiliki pengalaman dalam kepemerintahan.”
“Jadi bagaimana Bah? Ada apa dengan tanah lapang itu?” Defan penasaran.
“Bukan hanya tanah lapang Jang!. Kakek tua beranjak dari duduknya. Lalu ia berlalu meninggalkan Ahmad dan Defan yang bengong tak mengerti perkataan kakek tua itu.
**
Senin Pagi.
Jam 06:00 sebuah mobil truk sudah terparkir di halaman depan gerbang sekolah. Beberapa remaja sibuk mengangkut barang bawaan dan mengumpulkannya di lantai jalan tepat di bawah pintu bak truk yang terbuka. Tampak empat orang yang berada di atas, sibuk menyusun barang bawaan. Dua orang lagi mengangkat tas-tas ransel menaikkannya ke bagian bibir truk.
Di bagian lain. Sekumpulan remaja berbaris rapih. Mendengarkan penyuluhan sebelum berangkat dari Pak Tiyo. Seorang guru di sekolah tersebut yang sudah tiga tahun mendapatkan kepercayaan sebagai Pembina PMR. Beliau berpesan kepada penitia agar menjaga peserta, dan peserta harus mau mengikuti peraturan yang ada demi kelancaran acara. Yang paling penting adalah, harus menjaga nama baik sekolah, menjaga sopan santun dan tatakrama selama kegiatan serta tidak meninggalkan jejak sampah setelah selesai kegiatan. Pak Tiyo akan datang di hari kedua, Karena siang ini ada acara yang tak bisa ditinggalkan. Ia berpesan kepada alumni agar mendukung dan membantu jalannya kegiatan dan berperan sebagai pelindung bagi adik-adik juniornya.
**

Jam 09:00
Mobil yang ditumpangi sampai di sebuah persimpangan jalan. Para peserta dan panitia turun berhamburan dari atas truk. Setelah itu koorlap mengatur semua peserta. Berbaris berbanjar dan mulai melakukan longmarch menuju tempat berkemah dengan beban ransel di pundak masing-masing. Sie acara pun berbaur memamdu perjalanan, memimpin peserta menyanyikan lagu-lagu ceria agar mereka tidak mudah lelah. Tampak sekali senyum dan semangat di wajah peserta dan panitia.
Langit Cijoho redup, awan menyelimuti. Matahari tertahan sinarnya. Embun pagi masih bergelayutan di antara dedaunan. Rumput-rumput masih basah tersapu ayunan langkah peserta kegiatan yang berjalan gegap gempita. Hari ini akan memulai kegiatan yang menentukan dirinya menjadi anggota penuh atau tidak. Sebuah syal kebanggaan berwarna kuning terang sebentar lagi akan menghiasi leher dan pundak mereka. Dengan syal itu mereka akan lebih mendapat pengakuan di sekolah, dan berhak terlibat dalam kegiatan PMI di lingkungan kabupaten. 
Ahmad mulai membelokkan arah perjalanan. Jalan setapak terbentang panjang. Terjal berkelok-kelok dan menajak. Defan dan Husen berjalan paling belakang, menjaga jarak dari pejalan kaki yang lain. Ada pembicaraan serius diantara mereka.
**
Jam 11:30
Seluruh peserta dan panitia sampai di puncak bukit. Sebuah lapangan sepak bola yang luas dengan rumput yang hijau menjadi tempat peristirahatan yang cukup nyaman. Beberapa orang berbaring meluruskan kaki dan tubuh mereka. Sebagian lagi tampak hanya duduk selonjor dan bercerita tentang kesan selama perjalanan. Sie acara memberi pengumuman bahwa semua orang boleh membuka perbekalan dan makan siang bersama sampai dengan jam 12:00. Setelah itu dipersilahkan untuk solat dzuhur dan jam 13:00 akan dimulai pendirian tenda secara serentak.
Semua mengikuti kegiatan dengan baik. Langit semakin gelap dan mendung mulai menjalar di langit Cijoho. Begitupun mendung di hati Defan dan Husen. Meraka memiliki kekhawatiran yang sama besarnya tanpa mau membagi kekhawatiran mereka masing-masing. Defan malu terhadap Husen. Bagaimanapun ia adalah seorang ketua umum. Ia tak boleh terlihat gentar di hadalan seniornya. Husen pun tak mau membagi kekhawatorannya itu, ia tahu, jika ia bercerita maka bukan hanya Defan yang gentar, seluruh panitia dan peserta bisa jadi balik kanan dan kegiatan tak akan berjalan lancar. Akhirnya mereka simpan rasa itu dalam hati masing-masing.
**
Pendirian tenda dipimpin Ferry dan kawan-kawannya. Team koorlap juga ikut terlibat. Defan, Ahmad, Siti, Tesha, Widi, Denny dan beberapa sie acara bergabung dengan kumpulan alumni untuk membicarakan sebuah hal penting.
Tesha Sebagai ketua sie acara membuka rapat penting itu. Menjelaskan apa yang akan dibahas.
“Langit semakin mendung. Bagaimana jika ternyata malam ini hujan deras?” Siti selaku penanggungjawab kesehatan menyatakan kekhawatirannya.
“Kita akan coba bertahan dulu di tenda, anak-anak sudah dianjurkan untuk membuat parit yang dalam agar air tidak masuk ke tenda jika nanti hujan”. Tukas Ahmad.
“Tapi ini lapangan terbuka. Jika hujannya disertai angin kencang bagaimana?” Widi menimpali. Ia sama khawatirnya dengan Tesha dan Siti. Mereka faham betul dengan fisik peserta. Ada beberapa yang memang agak lemah dengan kesehatannya. Dan beberapa ada yang menderita asma. Jika hujan dan udara dingin tak bisa dibayangkan kalau mereka sampai sakit. Semua akan repot. Butuh tempat nyaman untuk membuat peserta yang mudah sakit merasa aman.
“Di bawah ada mesjid. Jaraknya sekitar satu KM dari sini. Jika hujan turun peserta diefakuasi ke sana.” Ujar Defan.
“Jika hujannya tak terlalu deras, boleh lah kita tetap di sini. Satu KM itu jauh. Kasian peserta.” Ahmad menimpali.
“Tidak! Jika hujan mau deras mau tidak, semua harus turun. Kecuali jika ada yang siap piket di sini menunggui barang-barang. Jika tidak ada yang siap berjaga maka semua barang ikut dibawa ke bawah!” ujar Defan.
“Lho, lalu perkemahan macam apa kalau semua barang dibawa ke bawah?” Apa gunanya kita mendirikan tenda di sini?” Ahmad mulai tak bisa tenang.
“Ini semua demi kebaikan kita!” Suara Defan mulai meninggi. Tesha, Siti dan Widi mencoba menenangkan. Para alumni saling pandang. Husen mulai bicara.
“Kita lihat saja nanti. Jika hujannya memang hanya gerimis, kita boleh tetap tinggal di sini. Dengan syarat tak ada peserta yang tendanya tergenang air. Nanti setelah peserta selesai mendirikan tenda, pastikan paritnya kalau sudah selesai semua. Jangan ada tenda yang berdiri tanpa parit di sekelilingnya. Pastikan pula semua tenda ditaburi garam kerosok di sekelilingnya agar tak ada binatang yang masuk ke tenda.”
“Iya Kang, siap!” Ahmad sigap. Ia adalah koordinator lapangan kegiatan itu. Ia yang menanggungjawabi hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan lapangan.
“Sekarang kita harus tenang. Jangan terlihat khawatir yang berlebihan di depan peserta. Jika kita terlihat tegang maka akan menurunkan semangat dan minat peserta dalam mengikuti kegiatan ini.” Husen kembali mencoba menyemangati panitia.
**
Jam 15:00
Tenda sudah berdiri. Tenda utama panitia sudah selesai. Parit sudah selesai. Garam kerosok sudah ditabur di sekitar tenda. Kegiatan inti akan segera dimulai. Acara pertama adalah uji pengetahuan ke PMR-an. Dipegang oleh sie acara dan panitia yang bebas dari pekerjaan saat itu. Koorlap, sie konsumsi, sie kesehatan, semua turut andil. Kecuali Defan, Ahmad, Tesha, Widi, juga Denny. Mereka masih disibukan dengan diskusi merencanakan plan B, jika hujan deras malam nanti.
Gerimis tipis mulai turun. Lalu menderas. Hujan kecil membasahi lapangan tenda dan rerumputan. Para peserta diarahkan ke tenda masing masing. Kegiatan ujian pengetahuan berlanjut di dalam tenda dengan mentor dan penguji yang mengunjungi tenda masing-masing kelompok peserta menggunakan jas hujan. Sejauh ini kegiatan masih berjlan lancar.
**
Selepas magrib.
Seorang peserta melapor ke posko panitia. Temannya menderita sesak nafas akibat asma. Ia memerlukan pertolongan dengan segera.
Team kesehatan segera mendatangi tenda peserta yang bersangkutan. Hujan masih turun. Tapi tidak sederas tadi siang. Sebagian hampir putus asa jika acara akan bisa dilangsungkan. Sebagian lagi tetap memiliki harapan jika nanti malam hujan akan mereda.
Penderita asma ditangani. Diberikan bantuan pernafasan melalui tabung oksigen kecil yang disediakan. Satu peserta kembali melapor. Di tendanya ada yang kaki nya kram. Team kesehatan yang lain kembali bekerja menangani yang sakit.
“Sepertinya peserta harus kita pindahkan.” Ujar Defan. Suara gemericik air di luar tenda terdengar jelas. Suasana lapangan sepak bola sunyi. Beberapa panitia berjaga di luar dan di beberapa tenda peserta dengan penerangan lampu senter seadanya. Lampu lilin yang disiapkan dengan lampionnya tak jadi dipasang karena hujan belum juga reda.
“Jalan licin, apakah tidak akan membahayakan kawan-kawan kita?” Ahmad meragukan rencana Defan.
“Apa kamu mau yang sakit bertambah banyak?” Mata Defan tertuju ke wajah Ahmad yang terlihat samar-samar diantara remang sinar cahaya lilin.
“Kalau kita turun justru kemungkinan yang sakit makin banyak. Kita harus berjalan jauh dalam keadaan hujan. Belum lagi jalanan licin.” Ahmad mengemukakan pendapat.
“Kita tak tahu sampai kapan hujan turun. Dan kita tak bisa menjamin berapa yang bisa bertahan di sini dalam keadaan sehat. Kasihan sie kesehatan. Mereka mulai lelah bekerja padahal kegiatan kita baru saja dimulai.”
“Aaaaaargh terserah!” Ahmad membentak.
“Apanya yang terserah. Aku yang bertaggungjawab dalam kegiatan ini. Dan kamu, kamu telah gagal menentukan lokasi perkemahan. Dan tempat ini… tempat ini…” Defan tak melanjutkan kalimatnya.
“Tempat ini kenapa Fan?” Tesha penasaran.
“Ah, sudahlah. Sekarang kasih tahu panitia yang lain. 10 menit lagi kita turun. Hentikan kegiatan dan siapkan semuanya. Beritahu agar semua berkemas bawa perlengkapan dan barang-barang yang sekiranya penting dan mudah dibawa. Umumkan segera, untuk tinggalkan tenda. Semuanya kenakan jas hujan masing-masing, nyalakan lampu senter masing-masing. Sebelum berangkat kumpulkan semuanya di depan tenda sini.”
“Baik Fan…” Tesha bergegas.
“Widi, Kang Husen dan alumni lain di mana?”
Sejak tadi Widi sudah memulai mengemasi barang-barang yang berhubungan dengan kesekretariatan, dan beberapa barang yang mungkin rusak jika terkena hujan. “Tadi berkeliling bersama Denny mendatangi tenda-tenda peserta Fan.”
“Baiklah, akan aku cari dia.” Deffan keluar tenda dan bergegas mencari Husen, Agas, dan yang lainnya. Sementara Widi bertahan dalam tenda yang gelap. Hanya berteman lampu darurat. Berusaha bertahan di keheningan malam dan sayup-sayup suara-suara kawan-kawannya di luar tenda yang letaknya agak berjauhan. Widi gentar, tapi kali ini ia harus berani.
**
Jalanan yang licin dengan susah payah akhirnya bisa dilalui oleh peserta dan panitia. Penderita asma sudah aman di dalam mesjid. Yang kakinya kram, sudah ditangani dan bisa berjalan kembali.  Semua orang turun dan berdiam di mesjid perkampungan. Sementara Ahmad dan dua orang temannya sesama koorlap memilih tetap tinggal di perkemahan, dengan alasan menunggui barang-barang. Ditemani Joko, alumni angkatan 2004.
Gerimis mulai mereda, jam menunjukkan pukul 20:30. Kegiatan diisi dengan kegiatan mentoring dan kegiatan kerohanian.
 Defan, Tesha, Widi, Siti dan Denny kembali berkumpul. Mereka adalah panitia inti. Mereka juga sudah menjadi sahabat sejak lama. Semua pendapat selalu bisa disatukan jika dengan mereka. Husen dan Agas tak lupa bergabung dengan mereka. Membicarakan plan B agar acara tetap bisa berjalan lancar.
“Setelah mentoring acara selanjutnya apa?” Agas melontarkan pertanyaan.
“Istirahat Kang. Lalu nanti dibangunkan untuk jurit malam.” Jawab Tesha. Badan Tesha mulai tak enak. Tadi ia telat makan. Ia adalah penanggungjawab acara. Ia yang lebih banyak berhubungan dengan peserta. Saat akan makan tadi hujan menderas, Tesha harus segera memberi pengumuman kepada peserta tentang pengalihan acara. Makan malamnya tertunda. Kini perutnya terasa kembung dansedikit pusing.
 “Lalu bagaimana sebaiknya? Apakah jurit malam akan tetap dilaksanakan?” sedangkan Koorlap kita semuanya ada di perkemahan. Koorlapnya pundung… Hahaha.” Denny terbahak mengingat sikap Ahmad yang bersikeras tak mau ikut turun.
“Sudahlah… Biarkan dia. Lagian lumayan kan jadi ada yang menjagai tenda dan beberapa barang panitia yang ada di atas.” Ujar Siti.
“Jurit malam akan tetap dilaksanakan walau tanpa koorlap.” Ujar Deffan dengan mantap.
“Yang membuat rute nya?” Dahi Tesha mengernyit.
“Denny, Widi, dan Kamu.” Deffan tidak sedang bercanda. Kali ini apa yang diucapkannya adalah perintah. Bagaimanapun ia adalah ketua organisasi. Dia yang harus dituruti malam ini.
Husen dan Agas saling pandang. “Begini saja, yang membuat rute biar Husen saja. Husen kenal daerah ini. Ya kan Sen?” Mata Agas  mendelik ke arah Husen. Dibalas anggukkan Husen.
“Okelah, siapa yang akan ikut saya membuat rute sekalian jalan-jalan. Heheh. Dari tadi tegang mulu.” Husen mencoba mencairkan suasana.
“Aku ikut.” Tesha semangat.
“Ah, kamu, emang kuat jalan jauh?” Siti meledek.
“Ehh… kuat donk. Bosen ah sama peserta terus. Jalan-jalan sam Kang Husen sekalian uji nyali kan seru.”
“Yasudah, Tesha hayu ikut.” Husen setuju. “Lalu siapa lagi yang akan ikut?” masa berdua aja?”
“Aku mah disini aja bisi ada yang sakit lagi.” Siti beralasan.
Hening… Semua saling pandang. “Ayooo… masa sama alumni semua.” Agas mendesak adik kelasnya agar belajar bertanggungjawab.
“Yasudah aku saja. Ah laki-laki tak ada yang mau.” Widi cemberut. Ia beranjak turun dari teras mesjid dan lalu mengenakan sandal jepitnya. “Ayo Tesha… kita beraksi. Menjadi super woman.”
“Ayo… semangat!” Tesha bersiap.
“Yasudah kami pergi dulu ya Gas. Nitip anak-anak.” Husen berpesan kepada Agas. Husen dan Agas adalah saudara sepupu. Jadi hubungan mereka lebih dekat. Dalam hal berorganisasi juga mereka memiliki kemampuan yang sama. Mereka juga memiliki latar belakang yang sama. Pernah aktif di Pramuka. Mereka cukup cakap dalam ilmu medan, peta kompas, dan berpengalama dalam berbagai kegiatan perkemahan. Otak mereka cerdas dalam memutuskan plan B dan C jika plan A tidak terealisasi dengan baik.
Sementara Deffan, jangan ditanya. Ia memang ketua. Tapi jika masalah berjalan dalam kegelapan Widi lebih berani daripada dirinya. Widi adalah anak perempuan pertama yang dibesarkan dengan didikan keras. Walaupun seorang perempuan ia telah dilatih untuk berani oleh ayahnya termasuk berjalan di malam hari dengan keadaan gelap gulita sekalipun.
 **
Cijoho malam hari.
Hujan terdengar berbunyi gemericik membasahi apapun yang dijatuhinya. Tanpa jas hujan dan tanpa payung, ketiga pencari rute jurit malam berjalan menyusuri jalan beraspal. Jalan yang sepi tanpa suara. Semua penduduk yang rumahnya terlewati tampak senyap. Mungkin mereka memang sudah terlelap dalam tidurnya masing-masing.
Jalan sedikit menanjak. Widi dan Tesha berjalan di sisi sebalah kanan dan kiri Husen. Husen bercerita dengan suara sedikit tertahan. Berbisik agar tak menimbulkan suara gaduh. Mereka harus berhati-hati menjaga pandangan penduduk. Malam ini mereka berjalan hanya bertiga. Laki-laki dan perempuan.
“Nah… dulu keluarga Akang punya kebun di sini. Cukup luas. Hanya karena ayah dan ibu merasa tak sempat memeliharanya, maka kebunnya dijual dan dibelikan tanah yang dekat dengan tempat tinggal yang sekarang.”
Tesha dan Widi keduanya menganguk saja. Mereka mulai gusar. Langkah kaki nya mulai tak seirama dengan hati dan fikirannya. Kakinya memang terus melangkah. Tapi hati dan fikiran mereka ingin rasanya secepatnya kembali ke mesjid tempat kawan-kawannya berkumpul tadi.
Langkah mereka semakin melambat. Rumah terakhir sudah terlewati. Sisanya hanya ladang jagung dan ketela pohon. Lampu senter yang mereka bawa menagkap sesuatu. Tepat di depannya. Widi melihat dengan jelas sesosok tanpa rupa berdiri tegap dipinggir sebuah pilar. Dan entah bangunan apa itu namanya. Hanya tampak samar-samar. Sekilas seperti bangunan rumah tua, sekilas pula di sekelilingnya tampak seperti pekuburan. Sosok itu berdiri tegap berwarna putih hitam ah, entah apa rupanya. Seolah ia terganggu dengan kedatangan mereka bertiga  Tapi Widi enggan bicara. Hatinya mencoba menguatkan semangat. Barangkali itu hanya penglihatannya saja.
Tapi tiba-tiba Tesha bergumam,
“Kang Husen itu apa?” Tangannya merangkul erat lengan sebelah kiri Husen. Widi pun demikian. Ia mulai memegangi tangan kanan Husen lebih erat. Kali itu Husen satu-satunya orang yang mereka andalkan bisa melindungi mereka dari bahaya yang mungkin menimpa.
“Bukan apa-apa. Bagaimana kita lanjut atau kembali?” Husen mulai memberikan tawaran kepada dua juniornya.
Belum juga Widi dan Tesha menjawab, dua buah cahaya menyerupai cahaya mobil mendekat.
“Gak usah takut. Di depan ada mobil.” Ujar Husen mencoba menenangkan. Langkah mereka menjadi pelan. Degup jantung mereka pun mulai tenang. Mereka yakin ada manusia lain yang masih berkeliaran malam itu selain mereka.
Cahaya mobil yang semula tampak terang kini memudar. Mereka terus berjalan berusaha tidak perduli dengan mobil dan focus terhadap tujuan mereka membuat rute perjalanan malam untuk peserta kegiatan. Namun beberapa detik kemudian, sebuah suara lengkingan burung gagak memekakan telinga. Entah dari mana asalnya.
“Kkkkkaaaakkkk!”
Seketika tubuh mereka berbalik arah. Lari sekencang-kencangnya. Tesha menangis, begitupun Widi. Husen mencoba terus menenangkan keduanya.
“Hai, tak usah lari, lihat di gelakang kita ada motor. Lihat lampunya mengikuti kita.” Widi dan Tesha menengok ke belakang. Benar saja. Sebuah sorot lampu mengikuti langkah mereka. Tapi suara gagak itu terus menteriaki kuping mereka memaksa mereka segera pergi dari tempat itu. Langkah mereka menjadi cepat kembali. Dan tempat yang sekilas tampak pekuburan pun kembali mereka lewati. Sosok yang sebelumnya mereka lihat tampak begitu nyata, besar dan tanpa rupa. Sungguh menakutkan. Dan anehnya bangunan yang tadi sempat tertangkap penglihatan mereka sebelumnya sama sekali tidak ada. Semuanya tampak nyata. Di sana memang komplek pekuburan yang terhampar luas. Husen yang menjadi andalan Widi dan Tesha berteriak member komando.
“Lariiiiiii!.”
Widi dan Tesha lari sekuat tenanga. Beberapa menit kemudian sampailah mereka di pelataran mesjid disambut oleh kakek tua yang seminggu yang lalu bertemu dengan Deffan dan Ahmad di mesjid itu.
Tesha terkulai lemas, begitupun Widi dan Husen. Tesha pingsan dan Widi diam enggan bicara. Hanya Husen yang sadar. Dan bertanya ada apa sebenarnya. Mengapa seisi mesjid begitu ramai. Siti, Defan dan Denny menjelaskan bahwa sebagian besar peserta dan beberapa panitia mengalami kesurupan masal. Dan sedang ditangani oleh beberapa ustad dan kiai yang datang ke sana. Pembina PMR pun sudah ada di sana dengan beberapa guru yang diajaknya menghadiri kegiatan itu.
Awalnya Husen ingin menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi dan dialami mereka bertiga. Tapi ini bukan waktu yang tepat. Ia sadar harus segera membantu menenangkan adik-adik juniornya. Widi dan Tesha dipisahkan dan ditangani oleh kakek tua. Sang kakek sudah diberi informasi oleh Husen jika mereka melihat sesuatu.
Suasana mesjid malam itu terasa semakin mencekam ketika Tesha tiba-tiba menjerit-jerit dan meraung-raung. Matanya melotot berwarna merah tajam. Sang kakek tua kewalahan. Beberapa warga berkumpul dan membacakan ayat-ayat suci. Peserta kegiatan ditangani oleh Denny, berusaha menengkan, agar tak ada yang merasa ketakutan. Semuanya berdo’a. Hujan turun kembali dengan derasnya. Menghasilkan suara gemuruh bersahutan dengan suara pengajian. Bebebrapa orang menangis terisak, beberapa lagi memanggil-manggil ibu dan ayahnya, sebagian lagi masih tetap berusaha tenang dan ikut komat-kamit membacakan do’a-do’a.
Agas mendekat ke arah Husen. Ia membisikkan sesuatu. Lalu Husen mengangguk tanda setuju. Tak lama kemudian Agas dan dua orang rekannya pergi menggunakan jas hujan dan sebuah lampu senter.
**
Jam 02:00
Lapangan bola tempat mereka mendirikan tenda-tenda gelap gulita. Agas mencoba mencari orang yang sebelumnya bertugas menjaga tenda. Ahmad, Joko dan dua orang rekannya.
“Ahmad… Joko…! Wey… Di mana kalian?”
Tak ada satupun jawaban yang terdengar. Agas mencoba mencari dengan cahaya seadanya. Tiba-tiba sorotan lampu senter menangkap sesuatu di bawah rumpun bambu, Ahmad, Joko dan kedua kawannya saling berpegangan tampak sangat ketakutan. Agas dan kedua rekannya segera bergegas mendekat.
“Ada apa ini? Kenapa kalian malah berdiam diri di sini?”
“Ssssssttt…” Ahmad memberi kode, Agar Agas dan yang lainnya tak usah terlalu berisik. Dahi Agas mengernyit, tidak mengerti. Tapi tak ada pilihan lain, ia menurut, diam.
“Matikan cahaya senternya!” Ahmad berbisik.
Kilatan petir menyambar, menimbulkan cahaya terang di malam hari. Agas dan kedua rekannya yang baru saja datang terbelalak, melihat semua tenda porak poranda. Semua rata dengan tanah.
“Kenapa begini?” Agas berbisik sangat pelan.
“Angin besar.” Joko menjawab singkat.
“Itu sebabnya kalian berdiam diri di sini? Kenapa tidak turun? Agas masih tidak mengerti mengapa mereka bertahan di sana.
“Lampu senter nya di tenda, kami tak bisa turun tanpa penerangan. Rekan Ahmad membantu menjawab.
“Lalu kenapa kita tidak cari sekarang? Ini aku bawa lampu. Kita ambil lampu nya sekarang!”
“Jangan. Di perkemahan ada beberapa anjing, atau entah srigala, mereka bisa melukai kita.”
“Apa?” Agas dan temannya hampir serentak, keheranan.
“Baik, sekarang kita turun memakai lampu senter seadanya.”
“Tenda dan barang-barangnya?” Joko dan Ahmad hampir bersamaan.
“Keselamatan kita dan kawan-kawan kita lebih penting. Di bawah sedang genting, kalian yang masih waras harus membantu kami.”
“Waras?”
“Ya, beberapa orang di bawah baru sembuh dari kesurupan. Dan masih ada yang belum bisa sadar.” Ujar Agas.
“Kalau begitu ayo kita segera ke bawah. Hati-hati. Gunakan lampunya!”
“Baik. Kita berjalan bersama janga terlalu berjauhan.”
“Iya”. Jawab mereka serepak.
Hujan kian deras. Udara malam semakin dingin detambah dengan tiupan angin kencang. Suara anjing melolong bersahutan membuat nyali menciut. Tujuh orang berjalan beriringan. Berhati-hati dan sangat berhati-hati. Agas bertugas menerangi jalan keenam temannya. Hatinya ingin segera sampai di mesjid tempat teman-teman yang lainnya berkumpul. Hatinya ingin segera siang dan pulang.
**
Pukul 04:30
Adzan magrib berkumandang. Malam itu hanya beberapa orang yang berhasil tidur karena kelelahan. Sebagian besar yang lain tak mampu sedikitpun memejamkan mata. Hatinya terus diliputi kekhawatiran. Siti dan Widi telah sibuk menghiung peserta dan panitia. Memastikan bahwa semuanya lengkap tidak kurang dan tidak lebih. Denny dan beberapa sie konsumsi menyiapkan air hangat menggunakan kompor paraffin. Membuatkan teh manis untuk semua orang yang sama-sama berangkat kemarin pagi bersamanya. Hatinya pilu, menyesali mengapa kegiatan yang mereka rencanakan matang-matang harus berakhir demikian.
Defan dan Husen membicarakan rencana selanjutnya. Didampingi oleh pak Tiyo Pembina mereka. Tesha masih lemas dan masih berbaring di sudut mesjid. Agas dan kawan-kawannya mendampingi peserta, menghibur mereka, dan mengajak mereka untuk segera mengambil air wudhu bergantian sebentar lagi solat subuh berjamaah.
**
Pukul 06:00
Peserta mendapatkan sarapan kiriman. Pak Tiyo memesan nasi bungkus dari kota. Peserta dan panitia makan bersama dengan lahap sambil tak henti membicarakan apa yang terjadi semalam di tengah-tengah kunyahannya.
Husen, Agas, Widi, Deffan, Denny, Siti, Ahmad, dan beberapa rekan kembali ke perkemahan. Tenda-tenda yang berserakkan dirapihkan dan dibereskan. Banyak jejak-jejak binatang di sana. Tanah lapang becek, rumput-rumput basah sisa hujan semalam
“Kau tahu, semalam Widi melihat hantu ketika akan membuat rute perjalanan malam.” Siti mulai bercanda. Maksudnya adalah memberi informasi kepada orang lain yang belum tahu apa yang terjadi tadi malam. Sekaligus menyindir Ahmat sang koorlap yang memilih diam di tenda.
“Syuuut jangan bahas dulu, Widi masih takut.” Deffan mengingatkan.
“Akang lihat juga?” Siti bertanya kepada Husen.
“Iya” Husen menjawab singkat.
“Tempat ini memang angker. Begitu kata beberapa warga yang bilang padaku pertama kali aku survey kesini.” Ahmad mulai berterus terang.
“Apa? Jadi kamu sudah tahu kalu tempat ini angker?” Agas menatap tajam Ahmad.
“Iya, tapi aku fikir itu hanya omong kosong. Aku tak percaya hal begituan.” Ucapnya datar. Semua yang ada di sana hening. Hanya bisa menggelengkan kepala.
“Aku tahu.” Ujar Widi
“Widi kamu tahu apa?” Denny penasaran.
“Aku tahu kalau tempat ini angker. Termasuk rumpun bambu itu.” Dagu Widi digerakkan untuk menunjuk tempat diamana bambu itu berada.
“Semalam kami ketakutan. Bersembunyi di bawah rumpun bambu itu.” Joko menimpali. Mengenang kejadian semalam.
“Ketakutan kenapa?” Kening Siti Mengernyit. “Takut sama angin topan?”
“Bukan. Ada segerombol srigala menghampiri tenda kita tepat setelah tenda-tenda runtuh oleh angin besar. Kami tak ada pilihan lain. Rumpun bambu itu satu-satunya pilihan untuk kami berlindung dari hujan.” Ahmad menjelaskan.
“Benar, Srigala tak akan mau mendekat ke sana.” Ucap Widi.
“Kenapa Wid?” Siti heran.
“Karena ada sesuatu yang membuat mereka takut di sana. Kalian beruntung selamat malam ini. Mungkin yang ada di sana takut karena semalam kalian ngumpet bertujuh. Hahaha …”
Widi tertawa di akhir kalimat. Ia sudah lebih tenang sekarang. Bayangan kejadian semalam sudah perlahan sirna. Widi memang bukan pertama kali mengalami kejadian seperti itu. Di kampungnya ia sempat beberapa kali merasakan ketakutan yang luar biasa, melihat sosok yang serupa, mendengar lolongan srigala, lengkingan suara gagak, dan cahaya yang menyerupai lampu sekalipun. Cahaya yang sesungguhnya adalah berasal dari ekor harimau yang keluar malam hari. Kakeknya bilang itu adalah harimau jadi-jadian. Mahluk halus yang menyerupai harimau. Berbeda dengan harimau yang ada di kebun binatang. Widi percaya kepada hal yang gaib, tapi ia tak mau terlalu memjadikannya momok yang menakutkan. Anggap saja mereka sial tertangkap mata manusia. Karena itu Widi tak mau mengingat-ingat kejadian semalam, agar lekas lupa dan tak merasa ketakutan lagi. Walaupun jujur, tadi malam itu rasanya takut sekali sampai-sampai Widi menangis sambil memacu kakinya berlari sekencang mungkin.
“Tempat ini memang angker. Tapi aku tak menyangka akan seperti ini kejadiannya. Sejak dulu aku sudah tahu. Dan itulah alasan mengapa orangtuaku menjual tanah di tempat itu. Itu pun lama sekali lakunya. Tak ada orang yang mau membelinya. Dan yang tadi malam kamu lihat itu Widi… di sana tak ada rumah. Hanya ada beberapa pekuburan yang dulu jumlahnya tak sampai 10. Akang juga tak tahu mengapa sekarang begitu banyak. Sudah sangat lama pula Akang tak kesini.” Husen membagi cerita.
“Kenapa Akang menyetujui kami melaksanakan perkemahan di tempat ini?” Defan seolah menyalahkan persetujuan Husen.
“Fan… Itu hal gaib. Mereka tak ada hubungan nya dengan dunia manusia. Akang fikir kita ini sudah berada jauh di zaman modern. Kita harus lebih berani dan membuang jauh ketakutanketakutan akan hal yang demikian. Bukankah manusia derajatnya lebih tinggi daripada mahluk lain? Akang memang sempat sangat khawatir.  Tapi melihat mimik mukamu itu lho. Kamu terlihat sangat khawatir, makanya Akang bermaksud menantangmu dan membiarkanmu  memimpin kegiatan. Nanti setelah selesai baru akan Akang ceritakan. Akang juga tak menyangka akan menjadi seperti ini.”
“Kamu juga Ahmad… kalau jadi koorlap, jangan asal… jadi aja…” Siti meledek Ahmad yang mulai merasa menyesal.
“Iya… maaf  ya semuanya... Aku tak menyangka ternyata mahluk halus ingin ikut pengambilan syal juga… hahah…”  Ahmad masih bisa bercanda.
“Huus. Kalo ngomong jangan kemana aja!” Widi nyolot. Ia kesal dengan keputusan Ahmad mengambill tempat itu.
**
Pukul 08:00
Mobil truk besar datang menjemput. Semua peserta dan panitia pulang ke kota. Kegiatan pengambilan syal direncanakan ulang, dilaksanakan sekitar dua minggu lagi. Sesuai dengan pesan Pembina, harus tanpa kemping. Untuk menghindari traumatik pada peserta. Dan juga kita harus menjaga kepercayaan orangtua siswa, mereka tak akan mengizinkan anak-anaknya mengikuti kegiatan mengingat pengalaman malam ini cukup mengkhawatirkan.
Pukul 09:00 Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Meninggalkan cerita berkesan pengambilan Syal PMR yang tak terealisasikan dengan baik. Meninggalkan  mesjid Cijoho, meninggalkan lapangan sepak bola dan rumpun bambu yang penuh misteri, meninggalkan tempat dimaan Widi, Tesha dan Husen melihat sosok yang tak seharusnya dilihat, meninggalkan kenangan kebersamaan saling bahu membahu menyelesaikan masalah, dan meninggalkan warga dan kakek tua yang sejak awal tidak setuju dengan kegiatan itu.
________________________________TAMAT____________________________________



   
  







Share/Bookmark

5 comments:

  1. Merinding? haha. Seharusnya lebih merinding dari ini. Tapi kakak masih memiliki keterbatasandalam penyampaian
    Terimakasih sudah berkunjung ya...

    ReplyDelete