Siang ini cuaca tidak begitu bersahabat. Langit tampak mendung
menahan beban beratnya air yang siap ditumpahkan ke bumi. Angin berhembus
perlahan, terasa dingin. Aku duduk di sebuah ruangan yang diberi nama Lab PAI. Ruangan
berukuran kira-kira 5x5 meter persegi. Ruangan ini tak sebagus ruangan tempat
belajar PAI di tempatku mengabdikan diri. Ini lebih nyaman, lebih lengkap dan
benar-benar mendukung kegiatan pembelajaran siswa di sekolah ini. Betapa
beruntungnya Ivan, kawanku bisa mengajar di sekolah ini.
Yusef, teman yang bersama-sama denganku datang ke tempat ini, entah apa yang dia lakukan, aku tak peduli.
Aku dengar siang itu ia begitu ngantuk karena begadang semalaman mengerjakan
tugas yang lainnya. Memang minggu ini begitu padat dengan tugas, makalah, mini
riset dan persoalan ujian tengah semester yang harus kami selesaikan dengan
mencuri waktu di sela-sela waktu senggang diantara deretan tugas-tugas lain
yang harus kami selesaikan dengan segera.
Aku, bukanlah orang yang terlalu hebat, dan bukan pula orang kaya
yang mampu membayar uang kuliah dengan uang yang ‘wah!’. Aku hanya bagian dari deretan orang-orang yang memiliki keinginan dan tekad yang kuat untuk memperbaiki diri
dan meningkatkan kualitas diri dengan memperkaya ilmu pengetahuan. Sementara itu aku tak memiliki ketersediaan biaya seperti sebagian besar dari teman-teman yang lain.
Makanya aku hanya bisa mengikuti kelas khusus yang memiliki jam kuliah dua
hari, selebihnya aku pergi bekerja mencari rupiah untuk hidup dan membayar
kuliah.
Ah, aku tak akan membahas terlalu jauh tentang hal itu. Yang pasti
kalian semua pasti sudah bisa membayangkan bagaimana lelahnya kuliah sambil
bekerja, bagaimana sulitnya, kerja kerasnya membagi waktu untuk
menyelesaikan tugas kuliah, menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan, membagi waktu untuk
orang-orang terkasih, bahkan membagi waktu untuk sekedar beristirahat. Hm..,
istirahat? Kali ini bahakan hampir tak bisa aku dapatkan waktu seperti itu.
Tapi aku harus tetap kuat karena waktu terus berjalan, menuntut untuk aku
kalahkan. Menunggu ku untuk terus bergerak mengikuti semua alur yang ada.
Dan ya! Kelelahan itu tergambar di wajah nya Yusef, teman
seperjuangan ku hari ini. Pantas saja ia
tak terdengar lagi suaranya, rupanya dia sudah tertidur lelap di atas karpet
Lab PAI, tentunya setelah meminta izin Ivan yang menjadi salahsatu pengelola
Lab ini.
Oh iya, belum aku beri tahu, siang ini aku dan Yusef datang untuk melaksanakan
sebuah mini riset. Menyebar angket kepada beberapa siswa yang merupakan sample dari tiga tigkatan siswa
yang akan kami teliti.
Sekolah tempat Ivan bekerja begitu nyaman. Itu sepintas kesan yang aku dapatkan. Bangunannya megah dan
siswanya ramah . Tak bisa aku pungkiri mereka begitu hebat dan cerdas. Aku bisa
melihatnya dengan jelas dari beberapa orang siswa yang tadi kami wawancarai.
**
Jam menunjukkan pukul 14:30. Hujan turun cukup deras. Kawan ku Ivan
masih mengajar di kelasnya. Sementara aku berkutat dengan penghitungan data
angket yang baru saja dikumpulkan setelah diisi oleh kelompok sample
terkahir. Aku menyalin data satu persatu. Dan Yusef, aku biarkan ia terlelap
di arah yang berlawanan. Tubuhnya terbaring begitu saja di sisian ruangan. Aku
sendiri duduk di pojokan karena mendekati saklar, laptopku habis batrai.
Tiba di baris ke sepuluh. Aku menuliskan sebuah nama Hanif SA.
Entah apa nama lengkapnya. Namun tiba-tiba jariku terhenti menuliskan
angka-angka di layar notebookku. Ingatanku memutar kembali rekaman kejadian
interview yang baru saja berlalu beberapa puluh menit yang lalu. Tercipta
sebuah senyum simpul di bibirku. Rongga dada dan bahuku terkembang, aku
menghela nafas panjang. Entah itu ekspresi rasa kagum ataupun rasa syukur yang
teramat dalam.
Seorang siswa bernama Hanif yang saat wawancara sama sekali tak
berpakaian rapih. Bajunya ia biarkan keluar begitu saja, saat duduk di karpet
kakinya tak bisa ia lipat. Tampak begitu santai dan kurang beretika. Kesan
pertama aku memang merasa kurang berkenan dengan apa yang ia lakukan. Sebab
sebanyak tiga kelompok sample yang aku interview semua menunjukkan sikap sopan
dan santun kepada orang yang baru ditemui, orang asing yang menjadi tamu,
bahkan sebagai orang yang lebih tua. Mereka yang laki-laki melipat kakinya
dengan rapih dalam posisi sila. Dan yang perempuan pun demikian. Menutup
rapat kakinya dengan rok-rok mereka yang panjang. Sopan dan sangat bersahaja.
Mereka mampu bersikap manis dan bisa mengikuti proses wawancara dengan baik.
Tapi tidak dengan Hanif. Ia begitu santai. Di tangannya kanan dan
kirinya melilit gelang-gelang yang tidak dipakai oleh kawannya, gelang-gelang
tangan yang tidak untuk dipakai untuk pergi ke sekolah. Kakinya ia tekuk dan
merangkulkan kedua tangannya di atas kedua lututnya. Hatiku sempat merasa tak
nyaman dengan sikapnya. Tapi aku selalu mencoba memaklumi setiap apa yang orang
lain lakukan. Toh, tak selamanya setiap orang bisa bersikap seperti apa yang
kita inginkan.
Hanif, pemuda berkulit sawo matang dengan rambut sedikit ikal itu
tersenyum manis saat menjawab pertanyaan pertama. Ia menjawab dengan mantap
pertanyaan itu bahkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya sampai dengan pertanyaan
terakhir, aku suka dengan semua jawaban yang ia lontarkan. Kesan yang kurang
baik yang aku rasakan sebelumnya saat pertama kali melihatnya kini berganti menjadi
decak kagum yang aku tahan dalam-dalam dalam hati.
“Jika seandainya diknas mengizinkan adanya pelajaran tambahan dalam
hal keagamaan Islam, dalam hal ini misalkan mata pelajaran pengembangan PAI
seperti Fiqih, Akidah Akhlaq, dan lain sebagainya, maka apakah Anda setuju atau
tidak dengan kebijakan itu?”
“Sangat setuju!” Jawaban itu keluar dengan mantap. Menambah kesan
bahwa anak muda ini benar-benar cerdas.
“Alasan Anda?”
“Jaman sekarang dunia sudah gila. Banyak sekali orang terutama anak
muda yang seolah melupakan pentingnya ilmu pengetahuan agama. Sehingga mereka
larut dalam hingar bingar kehidupan. Lupa aturan, lupa tatakrama dan lupa
kepada hukum benar salah. Dosa dan juga keharusan.”
“Jika Anda diberi pilihan, kajian apakah yang paling Anda harapkan
untuk memperdalam ilmu agama Islam?”
“Saya menginginkan pengajaran Aqidah Akhlaq dan….. bla bla bla“
Jawaban yang panjang lebar membuat aku banyak belajar daripadanya
tentang keberanian mengemukaan pendapat, tentang seorang pemuda yang cerdas,
kritis, dan bandel. Bandelnya Hanif adalah bandel yang baik. Itu menurutku.
Termasuk jawaban sebuah pertanyaan yang ia jawab dengan kalimat,
“Seandainya sekolah itu tidak menuntut banyak kepada para siswa untuk
berprestasi di semua bidang dan membiarkan siswa mengikuti pelajaran sesuai
dengan passion nya masing-masing, maka aku yakin akan banyak melahirkan
siswa-iswa yang berkualitas, memiliki bakat dan potensi yang matang yang bisa
dikembangkan dengan sungguh-sungguh. Sistem pendidikan yang diberlakukan
sekarang cukup menjadi pengekangan tersendiri kepada siswa. Krena merasa
terbebani dengan tuntutan nilai tinggi di setiap bidang mata pelajaran.” Ujar
Hanif.
Ia juga memberikan keterangan bahwa tingginya KKM setidaknya
membuat para siswa bertindak curang dan tidak jujur demi mendapatkan nilai yang
mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal yang diinginkan.
“Jujur, kalau ulangan kadang-kadang aku nyontek teh! Menyontek
karena ingin nilai yang tinggi.” Ujar Hanif sambil tertawa renyah sekali.
Aku hanya bisa tersenyum mendengarkan kalimatnya itu. Anak ini
benar-benar tak tanggung-tanggung membeberkan kebiasanya secara gamblang. Ia
begitu jujur dan nampak seolah tiada beban. Seolah yakin bahwa ia memang menjadi pihak yang
benar.
Aku menunggu kalimat-kalimat berikutnya yang tanpa disadari aku telah
berhasil dihipnotisnya. Aku menjadi penunggu yang setia, dan penuh harap atas
kalimat-kalimat yang akan keluar dari mulut pemuda itu.
Hanif begitu cakap. Bahkan aku sempat berfikir seandainya ada 1000
pemuda seperti dia di kota Bandung, maka bisa dibayangkan oleh kalian semaju
dan sehebat apa kota ku ini. Seandainya aku bisa membawa Hanif ke sekolah
tempatku mengabdikan diri, lalu aku minta Hanif berbicara untuk memotifasi
semua murid-muridku, maka aku yakin, Hanif pasti bisa menghipnotis banyak
murid-muridku.
Ingin rasanya aku menceritakan sosok Hanif ini kepada semua
murid-muridku. Bahwa mengisi masa muda itu memiliki banyak cara yang lebih
positif daripada sekedar mencoba menghisap sebatang rokok atau mencoba meneguk
minuman keras yang haram itu. Ah, Hanif begitu berbeda dengan murid-murid
berandal di sekolah tempatku bekerja.
Maka suatu hari ingin rasanya aku katakana kepada murid-murid
berandal itu jika ingin banyak gaya, baju keluar, tak taat aturan, maka itu
harus diimbangi dengan isi kepala. Diimbangi dengan kecerdasan yang memadai.
Jangan seperti pepatah ‘tong kosong nyaring bunyinya’, banyak cakap tapi otak
tak ada isinya. Lihat Hanif, ia bajunya tak serapih Aufa, kawan yang duduk di
sebelahnya. Tapi lihat isi dari pembicaraannya, sungguh berbobot dan beralasan,
juga bisa dipertanggungjawabkan. Kamu hebat, Hanif!.
Hujan semakin deras, Yusef masih lelap dalam tidurnya. Dan Ivan
belum kembali dari kelasnya. Aku masih diam di pojok ruangan Lab PAI, masih
melanjutkan pekerjaan menghitung data. Bayangan Hanif masih tak mau pergi dari
ingatan. Aku masih asik membayangkan dan tak berhenti mengagumi anak itu.
“Teteh[1]
ini psikolog ya?” Matanya berbinar saat mengajukan pertanyaan itu di akhir
pertemuan kami. Aku tersentak mendengar pertanyaan itu. Dan mungkin lebih tepatnya
ia sedang melakuakan konfirmasi, untuk memastikan jika aku benar-benar seorang psikolog ataukah bukan.
Namun sayang nya aku tak bisa menjadi apa yng ia harapkan. Aku
bukanlah seorang psikolog seperti yang ia katakan. Aku hanya seorang guru SMP
yang sedang berusaha menjadi seorang mahasiswa yang baik. Mengerjakan
tugas-tugas, dan mencoba bersikap sebaik mungkin di hadapan orang yang baru saja
aku kenal. Sebisa mungki mereka harus memliki kesan baik terhadap diriku sejak
pandangan pertama.
Hanya saja pertayaan Hanif itu membuat aku tersadar dan teringat
kembali dengan apa yang aku cita-citakan sejak dulu ketika aku lulus dari SMU.
Sejak dulu aku begitu bercita-cita ingin sekali menjadi psikolog. Telah
tergambar jelas di kepalaku harus kemana aku melanjutkan study. Sudah aku
bayangkan betapa senang dan asiknya aku menjalani pekerjaan sebagai seorang
psikolog setelah aku lulus menyelesaikan pendidikan dalam bidang itu. Namun
sayang, kedua orangtuaku meragukan semuanya. Semua alasan yang dikemukakan
memaksa aku untuk mengubur cita-cita itu.
“Neng, kamu itu perempuan, profesi paling baik untuk kau
perempuan adalah guru atau bidan.” Kalimat seperti itu yang selalu diucapkan
oleh ibu dan ayahku beberapa tahun yang lalu.
“Jurusan kuliah macam apa itu? Mau jadi apa kamu nanti?” Pertanyaan
itu memekikanku dan memaksaku untuk menahan berbagai argument di dalam hati di tengah
isak tangisku saat itu. Ingin rasanya aku memaparkan semua alasan jika menjadi
psikolog tidak seburuk yang selama itu ayah dan ibuku fikirkan. Ah, tapi
sudahlah, semua sudah berlalu, aku sudah terlanjur menjadi seorang guru, yang
baru saja tersadarkan kepada cita-cita masa lalunya.
Perkataan Hanif tadi benar-benar menyadarkanku. Mengapa tidak?
Mengapa tidak aku kejar mimpi itu? Ah, entahlah.
Tapi sungguh, hanya Hanif yang bilang seperti itu. seolah dia yang
lebih tahu apa yang pernah aku cita-citakan dulu. Mataku berbinar, senyumku
terkembang, ada semacam ketenangan dan percaya diri yang meningkat tiba-tiba
sore ini. Hanya Hanif dan benar hanya Hanif yang berhasil menyadarkanku, bahwa,
ini belum terlambat. Aku bisa mengejarnya nanti. Kuliah lagi? Ok, kita lihat
nanti.
Hujan mulai menipis. Adzan Ashar berkumandang, Yusef terbangun
seperti orang linglung. Sambil merapihkan posisi duduk, ia celingukan dan
mengusap-ngusap wajah serta mengucek-ngucek mata dengan tangannya. Lantas ia
melihat arloji di tangan kanannya.
“Ah, sudah adzan lagi, Aku lama ya tiduran di sini?”
Polos sekali orang ini. “Aku saja bekerja sendirian. Tanpa
dibantu olehnya, dari awal sampai selesai begini, ya jelas lama lah...” Gerutuku
dalam hati.
Tapi tak mengapa, demi keselamatan juga kok. Jika Yusef
tidak aku biarkan tidur bisa jadi saat perjalanan pulang nanti ia mengantuk dan
membahayakan nyawa kami. Syukurlah Yusep sudah sempat memejamkan mata, eh,
setidaknya ia telah berhasil balas dendam dengan rasa kantuknya.
Aku hanya mengangguk saat dia bertanya, “Mau pulang sekarang?”,
“Mana Ivan?”
“Ivan masih di kelasnya, iya ayo kita pulang, hujan sudah mereda”
ujarku.
Yusef merapihkan bajunya dan bersegera mengenakan jaket merah
hitamnya.
“Kita solat di sini atau di mana?”
Ivan datang membawa setumpuk berkas dan perlengkapan mengajarnya.
“Solat nya di ruang guru saja. Ayo aku antar.”
“Lalu tugas kita?” Aku meragukan tugas kami akan terselesaikan
tepat waktu atau tidak.
“Kita lanjutkan lusa. Sekarang kita pulang dulu, sudah sore.
Jalanan macet, biar tidak terlalu sore sampai di rumah.”
Ivan benar. Kami harus segera pulang.
Langit gelap, jalanan basah. Hujan deras tadi menyisakan tetes air
yang bergelayutan di dedaunan pohon sepanjang jalan yang kami lalui. Yusef
mulai menggigil, ia bilang badannya panas dingin seperti masuk angin. Aku mulai
khawatir ia tidak bisa mengendarakan motornya dengan baik.
“Sef, kamu kuat?”
“Pasti kuat!!” Dengan mantap dan suara yang lantang ia menjawab
pertanyaan ku seperti seseorang yang meneriakan semangat perjuangan. Kemudian
kami tertawa terbahak di antara dinginnya sore itu, tanpa jaket atau baju
hangat.
Laju kendaraan mulai melambat dan tak lama kemudian kami terjebak macet
total di daerah Cicadas, kami harus memutar arah mencari jalan alternatif menghindari
kemacetan yang berkepanjangan. Selanjutnya perjalanan kami lanjutkan dengan
percakapan ringan seputar wawancara tadi, termasuk tentang Hanif yang
menyadarkanku kepada cita-cita lama, menjadi seorang psikolog.
“Kamu serius punya cita-cita itu?” Yusep seperti meragukan apa yang
aku mimpikan sejak dulu.
“Iya benar!, Kenapa? Apa aku tak ada passion ke sana?” Dahiku
mengernyit walaupun aku yakin Yusef tak akan melihatnya.
“Oh, tidak juga.” Yusef tertegun dan kami saling diam. Hanya bunyi-bunyi
klakson kendaraan yang terdengar.
“Tapi…” Lagi-lagi Yusef menahan pembicaraannya.
“Tapi kenapa?”
“Lanjutkan Hany… Kamu pasti bisa! Nanti lanjutkan pas kuliah S3.”
Ah, terimakasih kawan. Aku pasti akan berusaha.
[1] Teteh : (bahasa sunda)
diperuntukan untuk memanggil perempuan yang lebih tua daripada si pemanggil.
No comments:
Post a Comment