Search This Blog

Sunday, November 27, 2016

Waktu Tak Pernah Menunggu



Langit Bandung kini begitu cerah. Warnanya biru, tanpa awan putih di sana. Baru jam 6 pagi, tapi sudah terasa begitu terik. Pandu bergegas, langkahnya dipercepat secepat mungkin. Agar tiba di kelas dengan segera.

Sepuluh menit yang lalu ia baru ingat jika sebenarnya ia telah berjanji akan datang lebih awal untuk menemui Kareen sebagai tebusan kesalahan sebelunya. Katanya ada sesuatu hal yang penting yang ingin Kareen bicarakan. Sesampainya di kelas ia tak menemui seorangpun di dalamnya. Jam pelajaran memang baru akan dimulai pada jam 07.00.
Pandu menghela nafas panjang, terasa ada kekesalan sekaligus perasan lega yang bercampur aduk di dalam dadanya. Ia merasa kesal karena kini bajunya berkeringat gara-gara berlari demi untuk tidak mengecewakan temannya. Sisi lain ia merasa lega karena tak lagi kena marah Kareen. Perempuan jutek yang kerap marah-marah gara-gara ia terlambat datang.
Memang setiap kali ada janji bertemu untuk belajar atau mengerjakan tugas dan hal apapun temannya yang satu itu selalu ingin ontime. Dia paling benci dengan keterlambatan. 
Namun semua itu sangatlah wajar. Bagaimana tidak, Kareen memang memiliki pola hidup yang jauh lebih teratur dibandingkan dirinya. Ia sosok yang sangat disiplin. Pandai mengatur waktu, kapan waktunya belajar, menyelesaikan pekerjaan rumah, namun tetap menyempatkan waktu untuk bercengkrama dengan teman-temannya. Menjadi pintar dan rajin belajar, tidak lantas menjadikan ia jauh dari pergaulan. dibalik kebawelan nya ia adalah sosok yang menyenangkan. Suka membantu teman. Sehingga ia tak hanya pintar dan cerdas di kelas. Ia juga menjelma menjadi perempuan yang begitu disegani oleh semua orang. Pantas jika hari ini ketika ia belum muncul di kelas, banyak orang yang merasa kehilangan. Hanya jangan main-main soal keteatan waktu. Ia akan sangan kesal jika seseorang membuatnya menunggu.
Pandu merogoh saku celananya. Mengeluarkan ponsel bermaksud menghubungi Kareen dan mengatakan jika ia telah datang tepat waktu. Namun beberapa kali tak ada jawaban.
Pandu merasa kesal, lalu ia mencoba menelpon temannya yang biasa pergi bersama ke sekolah.
“Halo” Seseorang menjawab telepon di sebrang sana.
“Gus, lo di mana?”
“Masih di rumah. Lo di mana? Tumben nelpon, biasanya langsung nyamper”.
“Gue udah di kelas”.
“Lho? Betulkah?”  
“Iya.. Janjian sama Kareen.” Ucapannya diiringi dengan gelak tawa keduanya.
“Asiiik… Ada yang mau jadian nih.” Goda Bagus.
“Ah… kagak. Cuma berusaha nebus kesalahan aja. Dia ngambek keamrin. Tapi sekarang dia malah belum datang. Haha.”
“Oh, yasudah, tunggu saja di kelas. Kalau memang janjiannya di kelas. Nanti Kareen cemberut lagi, repot kalo dia sudah marah-marah.”
“Hahah, iya iya.”
Telepon di tutup. Pandu duduk di meja paling pojok. Biar bisa memangdang setiap orang yang datang, fikirnya.
Jam 06:50 teman-teman sekelasnya sudah mulai berdatangan. Tapi Kareen belum kelihatan juga batang hidungnya. Di mana dia?
Bagus masuk ke ruangan dengan terengah-engah. Lantas ia langsung menghampiri Pandu yang masih asik dengan ponselnya.
“Mana Kareen?” Matanya memandang sekeliling mencari sosok Kareen. Namun tidak berhasil ia temukan.
“Aku gatau, ia belum datang dari tadi.”
“Hm.. gak biasanya. Sudah kamu hubungi dia?”
“Belum” jawab Pandu singkat.
“Coba deh kamu tanya sama Nina. Ia kan teman deketnya. Siapa tahu ia tahu di mana Kareen.”
“Tanya aja sana kalo Nina nya ada!” Pandu menggerakkan dagunya, sebagai ekspresi perintah kepada bagus. Dengan matanya tetap terpaku kepada ponselnya. Sejak tadi ia juga menunggu Nina namun kawannya itu sama saja dengan Kareen belum muncul di kelas. Mungkin karena rumahnya jauh atau mungkin jalanan macet maka dari itu ia terlambat datang datang ke kelas. Atau mungkin nak itu masih di kantin.
“Mana Nina? Gak ada ah.” Keluh Bagus.
“Iya memang gak ada…” jawab Pandu ketus.
“Coba telpon dia dong.” Bagus mendesak
“Sudah dari tadi” Lalu pandu menekan nama kontak Kareen. Dua kali nada sambung terdengar. Namu telepon tak juga ada jawaban.
“Gak jawab dia, mungin sedang sibuk sarapan di kantin”. Ujar Pandu.
“Aciye… ada yang kesal dan kangen..” Goda Bagus.
Pandu hanya menatap kesal kawannya. Fikirannya tak bisa tenang, ingat dengan kejadian kemarin siang. Percakapannya dengan Kareen dan sikapnya yang aneh selalu membayangi benaknya. Ia pun taj bisa berkonsentrasi belajar.
Mata pelajaran pertama sudah berlangsung satu jam. Kareen belum juga muncul bergabung di tengah kawan-kawannya. Pak Satriyo pasti marah jika ada siswanya yang terlambat masuk kelas. Maka dari itu sepertinya Kareen tak akan datang. Kenapa dia ini?
Semuanya mulai merasa heran. Beberapa orang telah menghubungi ponselnya, namun lagi-lagi mereka tidak mendapatkan jawaban. Tak ada satupun telepon yang berhasil tersambung kepada Kareen. Kareen aadalah siswa paling rajin, tak pernah menghilang tanpa kabar.
Saat jam pelajara kedua hanya guru piket yang masuk. Guru matematika mereka sedang mengikuti pelatihan. Tentu saja ini menjadi kabar yang sangat menggembirakan untuk seiri kelas. Guru piket hanya menyampaikan tugas LKS harus dikerjakan dan dikumpulkan.
“Kareen kemana ya Nina?” Ujar bagus, yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.
Nina yang masih sibuk mengerjakan soal menggelengkan kepala.
“Aku juga gak tahu, biasanya dia ngasih kabar kalo ada apa-apa.
“Mungkin dia habis pulsa” Ujar Fahmi menimpali.
“Iya semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan dia” Semacam ada nada kekhawatiran dalam diri Pandu. Bingung sekaligus cemas akan keadaan Kareen.
Kemana si bawel itu sebenarnya? Gumam Pandu. Namun kalimat itu ditahannya dalam-dalam. Takut terdengar oleh kawan-kawannya terutama yang duduk berdekatan. Dalam hati kecilnya ada kekhawatiran yang luar biasa. Ia takut terjadi apa-apa dengan perempuan jutek bawel namun entah mengapa ia selalu merindukan kehadirannya. Ia rindu dimarahi, ia rindu lihat bibirnya yang manyun saat ngambek sama dia. Dan entah rasa apa itu, sulit sekali ia terjemahkan. Ia sadar betul sikap Kareen kepadanya berbeda dengan apa yang dirinya perlakukan kepada teman-teman lain sekelasnya. Kareen lebih dekat dan lebih sering berbicara dengannya dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Seiring berjalannya waktu, sering nya mereka berjalan bersama, mengerjakan tugas sama-sama lambat laun ada perasaan yang tumbuh di dalam dada Pandu kepadanya. Walau ia sendiri tak mau terburu-buru menyimpulkan jika itu adalah cinta. Karena ia sendiri tak yakin jika Kareen memiliki perasaan yang sama terhadapya.
“Heiy malah melamun. Gimana nyambung kagak sama Kareen?” Suara Bagus mengagetkannya.
Pandu mengerlingkan matanya, kesal. Apa pula urusannya Bagus, kok dia yang malah rajin sekali mengingatkan untuk menghubungi Kareen. Ia hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban pertanyaan Bagus. Ia merasa putus asa. Susah sekali menghubungi Kareen. Ia cemas da merasa kehilangan.
“Sudah lah, nanti kita cari dia ke kostan nya.” Ujar Bagus sambil merapihkan buku ke dalam tas nya.
Jam pelajaran sudah habis, bel pulang berbunyi lebih awal, semua guru harus rapat persiapan Ujian akhir. Hari ini hnaya tiga mata pelajaran. Itupun dua guru tidak masuk. Beberapa kawan bergegas meninggalkan ruangan dengan tujuan masing masing. Nina mendekati Bagus dan Pandu.
“Gus, Pandu, Ada kabar dari Kareen tidak?” Mata Nina memandang kedua kawannya bergantian.
“Kagak…” Bagus menjawab singkat. Pandu tak menjawab, ia sibuk dengan ponselnya memanggil sebuah kontak bernama Kareen. Yang sejak tadi tak juga mendapatkan jawaban.
“Kamu kenapa Pandu? Gelisah amat?” Nina meledek
“Dia kehilangan banget sama Kareen Nin…” Ujar Bagus menimpali.
“O… Ekhm!” Nina berdehem berkali-kali menyindir Pandu. Sementara Pandu tak peduli dengan ulah kedua temannya. Ia terus berkonsentrasi dengan ponselnya.
Seseorang menjawab telepon di sebrang sana, tapi ia yakin itu bukan suara Kareen. Dia mengangkat telepon dengan suara sedu-sedan seolah baru selesai menangis bahkan mungkin ia sedang menangis.
“Halo nak…” Suara dari sana.
“Iya halo, bisa bicara dengan Kareen?” Kening Pandu mengernyit, kebingungan siapa yang mengangkat telepon Kareen.
“Kareen nya…” Suara ibu-ibu di sebrang sana tak menuntaskan pembicaraannya. Suara hiruk pikuk terdengar, membuat Pandu semakin merasa heran. Bagus dan Nina tak mengerti mengapa Pandu tercenung seperti itu.
“Ada apa Pandu?” Tanya Nina.
“Loud speaker Pandu, kencengin, biar kami dengar!” Bagus meminta agar Pandu mengeraskan teleponnya.
“Halo, halo…” Pandu berusaha menyambung percakapan.
Seseorang menjawab, namun suaranya lain.
“Halo, ini siapa?” Ujar seseorang yang dari suaranya terdengar lebih muda dari yang tadi berbicara.
“Iya, ini Pandu, teman Kareen. Bisa bicara dengan Kareen?” Mereka bertiga seolah membuka daun telinganya lebar-lebar menunggu jawaban.
“Oh… Pandu… Ini Lusi kakak sepupunya Kareen. Kareen sedang kritis di Rumah Sakit. Kami seekeluarga sedang menunggunya di sini.”
“Hah? Kak Lusi Kareen di rumah sakit mana?”
Setelah Lusi menyebutkan nama rumah sakit yang letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah mereka, ketiganya tak lagi berfikir panjang langsung menuju rumah sakit yang disebutkan tadi.
*
“Kareen terbaring lemas di ranjang pasien ICU. Wajahnya yang cantik terlihat begitu pucat pasi darikejauhan. Kondisinya begitu mengkhawatirkan. Berbagai macam alat terpasang di tubuhnya. Pandu, Bagas, dan Nina hanya bisa melihatnya dari balik kaca. Karena tidak mendapatkan izin dari pihak rumah sakit. Jam kunjungan telah habis, dan yang boleh menunggu Kareen hanya satu orang keluarga terdekat saja. Di sisi ranjang pasien ibu Kareen menungguinya dengan mata sembab, tangan kirinya tak melepaskan genggamannya di pergelanagan tangan Kareen, semetara tangan kanannya memegangi mushaf Al-Qur’an. Ia tak henti-hentinya membacakan ayat-ayat Al-Qur’an di dekat telinga anak semata wayangnya.
Nina tak kuat menahan tetesan air mata yang sejak tadi menggenang di kedua kelopak matanya. Ia tak tega melihat sahabatnya dalam kondisi seperti itu. Selama ini ia tak pernah tahu jika sakit yang dideritanya seserius ini. 
Bagus tertunduk lesu, sementara Pandu menyandarkan tubuhnya ke tembok sisian ruang ICU. Sejak tadi laki-laki itu tak banyak bicara. Hatinya begitu kelu. Ingin rasanya ia menangis sejadinya. Namun ia malu dengan Nina dan Bagus. Bagaimanapun ia seorang laki-laki. Tak mau terlihat lemah. Walaupun hatinya begitu tersayat. Hatinya merasa tercabik-cabik. Ingin rasanya ia lah yang menemani Kareen di sisi ranjang pasien saat itu. Ingin rasanya ia yang membisikkan sesuatu kepadanya. Ingin rasanya ia memberi tahu bahwa sungguh ia menyayangi Kareen dan mengkhawatirkankeadaannya. 
"Kareen... Kamu harus sembuh sayang..." Gumamnya dalam hati. "Semog aTuhan memberimu kekuatan". 
Di tengah isak tangisnya ia tak henti-hentinya mengucapkan berbagai permohonan dan do'a. Agar Tuhan menyelamatkan Kareen, dan memberikan kesempatan kepadanya untuk membahagiakan gadis yang dicintainya.  
*
Dua hari yang lalu, Kareen dan Pandu bertengkar. Gara-gara Pandu tidak mengikuti saran Kareen untuk mengerjakan tugas kelompok satu persatu. Akhirnya tugasnya menumpuk padahal deadline sudah dekat. Pandu yang senang jika melihat Kareen ngambek, malah meledek dan terus menjailinya, membuat Kareen bertambah marah.
“Pandu, aku benci sama kamu!” Kareen hampir menangis. Sementara Pandu malah tertawa terbahak melihat sikap Kareen yang menurutnya semakin lucu dan menggemaskan. Jika ia tak ingat sedang di muka umum ingin rasanya ia memeluk Kareen setelah ia menangis dan menenangkannya. Sungguh itu hanya bercanda, ia senang melihat gadis yang selama ini ia sukai ngambek-ngambek dan kesal dengannya. Sebetulnya mudah saja, setelah ngambek tinggal menggodanya lagi membuat Kareen tertawa, itu sudah biasa dilakukan oleh Pandu. Dan itu yang membuat Pandu semakin merasa percaya jika Kareen juga memiliki rasa yang sama. Pandu merasa jika Kareen juga mulai mencintai dirinya.
“Duuuh.. yang maraah…” Ledek Pandu. Kareen yang semakin kesal meninggalkan Pandu sendiarian. Lalu berlalu meninggalkannya. Pandu mengejar dan memegangi tangannya.
“Kareen, please, maafkan aku… Jangan marah begitu lah… kayak anak kecil tau”. Ledek Pandu. Bibir Kareen semakin maju, cemberut. Dibuangnya tatapan matanya jauh-jauh, enggan melihat wajah laki-laki yang sedang meohon maaf kepadanya.
“Jangan marah ya… Nanti pokoknya tugasnya selesai aja. Kareen yang cantik tak perlu bantuin, tinggal duduk manis. Kalo perlu duduk nya sebelahan sama aku tiap kali aku mengerjakan tugas. Hehe. Mau gak?” Lagi-lagi Pandu menggoda Kareen.
“Ogah!” Jawab Kareen ketus. Ia menghempaskan tangan Pandu sekuat tenanga, lalu berlari dan menyetop sebuah taxi lalu berlalu meninggalkan Pandu dengan wajah melongo, bingung harus berbuat apa.
Pandu bingung dan tak menyangka  jika Kareen semarah itu kepadanya.
Sore hari, saat mentari mulai tenggelam, ia melihat Kareen sedang on di salah satu media sosialnya. Lalu Pandu mencoba memberanikan diri menyapa gadis itu.
“Sore Kareen, masih marah?”
Dua menit tak ada jawaban.
“Cantik.. Maffin aku ya… Habisnya kalo kamu kesal lucu banget. Tapi suwer gak bakalan lagi bikin kamu kesal deh, aku janji.
Menit-menit berlalu, Kareen masih tidak memeberikan jawaban. Namun Pandu tahu ia masih online.
Pandu menghela nafas panjang. Perasaan menyesal mulai menjalar memenuhi ruang hatinya. Mengapa juga ia harus mengekspresikan perasaan yang aneh dalam dadanya dengan kejailan yang tak bisa ia hilangkan. Ia suka kapada Kareen namun mengapa ia kerap menjaili gadis itu habis-habisan sampai ia menangis seperti siang tadi. Namun sejauh ini biasanya Kareen tak pernahlama-lama marah nya. Setelah ia nangis dan kesal tak perlu waktu lama untuk mengembalikan senyumnya yang manis terbit kembali.
Pandu putus asa, mungkin besok pagi ia bisa menemui Kareen langsung dan meminta maaf kepadanya.
Pagi hari di kantin sekolah, Pandu melihat Kareen sedang duduk sendirian menikmati segelas susu colat hangat. Pandu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia langsung mendekati Kareen.
“Kareen, sungguh aku inta maaf. Aku menyesal telah membuatmu menangis kemarin siang. Kamu bisa memaafkanku kan Kareen.. Please…” Pandu memohon.
Kareen diam memaku. Mulutnya terkunci rapat.
“Kareen… Kamu ini kenapa? Kok ngambeknya awet…” Goda Pandu. Sifat jailnya mulai muncul kembali, namun ia segera ingat, mulai hari ini ia tak boleh menggoda Kareen lagi, ia harus berubah dan sebisa mungkin harus bersikap ramah jika ingin gadisnya tetap mau berada di sisinya walaupun hanya sebagai teman biasa.
“Kareen… Kalau kamu gak bisa memaafkan aku, aku pasti gak akan bisa tidur semalaman, bahkan malam-malam berikutnya, aku tak akan pernah nyenyak tidur Kareen. Aku juga tak akan enak makan Kareen. Kamu tega Kareen… Please…”
Kareen tetap membisu, dan meneguk Susu coklat hangatnya sampai habis dengan santai.
“Yeah… susunya habis. Padahal aku mau…” Pandu menggumam lirih, namun cukup bisa didengar oleh Kareen. Entah mengapa ungkapan iu malah berhasil membobol pertahanan Kareen, ia tak lagi mampu menahan tawanya. Konyol sekali ini anak, ekspresinya tadi lucu sekali. Gumamnya dalam hati.
“Alhamdulillah… Kareen ku telah kembali.” Pandu mengelus dada mengucap syukur kerena Kareen sudah bisa tertawa. Dan itu artinya Kareen sudah memaafkannya. Sesaat ia harus menahan nafas, menikmati perubahan wajah Kareen yang menjadi lebih cantik karena senyum dan tawanya.
“Pandu! Kamu itu ya… Jahaaaat!” Teriak Kareen. Bibirnya yang mungil dibuatnya manyun membuat ia semakin menggemaskan di mata Pandu.
“Eh, Jangan kenceng-kenceng bilang jahatnya, nanti didenger orang…” Pandu mencondongkan badannya mendekat ke arah Kareen sambil setengah berbisik. Telunjuknya dilekatkan di bibirnya meminta Kareen menekan suaranya.
Seketika Kareen menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya yang putih. Parasnya bersemu kemerahan. Dan kemudian mereka tertawa bersama.
“Kamu siiih, nyebelin!” Kareen tertunduk tak mau membalas pandangan Pandu yang tak mau pergi dari wajahnya. Kali itu ia merasa pipinya menghangat, ia tahu, dalam keadaan seperti itu pasti pipiya kembali memerah. Kareen salah tingkah.
“Tapi ngangenin kaan?” Goda Pandu.
“Iya… aku gak bisa lama-lama ngambek sama kamu Pandu. Padahal aslinya kemarin aku kesel banget sama kamu. Sampe aku bingung harus ngehukum kamu apa. Kesel pokoknya!” Matanya yang bulat, membelalak, mengerling sesaat ke arah Pandu, lalu berpaling kembali ke arah lain, seolah ia tak mau bertemu pandang dengan Pandu.
“Kalau sekarang? Udah kepikiran apa belum mau ngehukum apa?” Bisik Pandu lirih, dengan nada menggoda Kareen.
“Sekarang aku malah gak mau ngehukum kamu Pandu tapi kayaknya kamu akan sedih dalam waktu yang lama deh…” Kalimat itu diucapkannya dengan pandangan yang kosong.  Nada bicaranya mendadak datar. Matanya terasa menghangat lalu perih. Ada aliran sungai kecil mengalir dari kedua matanya.
“Kareen, kamu kenapa…?” Pandu cemas. Ia berpindah duduk di sebelah Kareen. Tak mengerti mengapa gadisnya tiba-tiba bersedih.
“Pandu… Aku sebentar lagi kayakanya pergi. Tapi kamu nanti jangan sedih ya, kalau gak bakalan ada lagi orang yang bisa kamu bercandain sampai nangis-nangis” Kalimatnya terputus-putus karena diucapkan dengan isak tangis. Bahunya berguncang karena menahan tangisan yang seharusnya meledak.
“Eh… kenapa bilang begitu? Memangnya kamu mau kemana?” Pandu merasa bingung sekaligus semakin tak mengerti dengan apa yang diucapkan Kareen.
“Udah kamu gak perlu tau, karena ada yang lebih membebaniku dari sekedar memberitahukanmu kemana aku akan pergi”. Ia mengusap air mata dengan ujung jilbabnya. Bola matanya memerah.
Pandu hanya tertegun menunggu kalimat Kareen berikutnya. Dalam hatinya berkecamuk beribu pertanyaan, mengapa Kareen sampai menangis seperti itu. Sebelumnya ia adalah gadis yang selalu ceria, kecuali jika ia membuatnya kesal.
“Pandu…” Air matanya kembali mengalir deras.
“Iya Kareen…” Seolah Pandu menahan napas demi menunggu apa yang akan diucapkan Kareen kepadanya.
“Aku harus memberi tahu mu satu hal sebelum aku pergi, biar kau pergi dengan tenang” Ucapnya yang kini lebih tenang.
“Aku tak peduli jika aku ini perempuan. Aku yakin aku harus ngomong sekarang, karena kau tak tahu jika aku nanti malam masih bisa menuliskan pesan atau malah aku tak punya kemampuan apa-apa lagi. Makanya mumpung aku masih bisa menemui kamu, aku ingin bilang sesuatu sama kamu, langsung. Kamu dengarkan baik-baik ya…” Kalimatnya diucapkan begutu mantap. Seolah memang sudah diersiapkan jauh-jauh hari.
Pandu hanya bisa mengagguk perlahan. “Katakan saja apa yang ingin kamu katakana Kareen jika itu kan membuatmu benar-benar memaafkanku dan percaya kepadaku jika aku tak akan mengulangi kesalahanku lagi kepadamu. Aku akan berhenti jail, sungguh”. Pandu penuh dengan keseriuasan.
“Iya, aku percaya… “ Kareen tersenyum begitu tulus, walaupun air matanya tak berhenti berlinang. Lalu, “Pandu, aku suka sama kamu” Mata Kareen memandangi Pandu dengan mantap. Membuat Pandu salah tingkah. Dadanya terhenyak, kaget sekaligus bahagia mendengar ucapan itu. Ternyata ia tak perlu bersusah payah mengungkapkan kalimat itu kepada Kareen karena ternyata Kareen pun menyukainya. Namun sisi lain ada rasa kesal, mengapa Kareen duluan yang mnyatakannya kepadanya. Ia sebagai laki-laki merasa kalah dan malu. Seolah ia bukan gentle man. Tapi tak mengapa setidaknya ia tahu bahwa Kareen menyimpan perasaan yang sama.
“Pandu kok diam… Aku tak peduli kamu suka atau enggak sama aku, tapi aku harus bilang padamu biar aku pergi dengan tenang.” Kini Kareen lebih berani menatap Pandu lamat-lamat. Menunggu jawaban keluar dari bibir Pandu.
Mata pandu melebar, ia tersenyum dengan sangat tulus.
“Terimakasih Kareen, aku juga suka sama kamu, bahkan sejak lama aku menyukaimu. Tapi maaf jika aku mengungkapkannya dengan bentuk kajailanku. Kamu lucu jika sedang marah, aku suka jika kamu kesal.” Pandu serius. Sebenarnya inginsekali ia berjingkrak-jingkrak sebagai ekspresi kebahagiaan. Kini ia tahu gadis yang ia sukai ternyata memiliki perasaan yang sama.Dia sendiri yang mengatakannya barusan. Iasendiri yang mengakkuinya. Tak perlu ia bertanya dan mencari tahu lagi. 
Pandu meraih tangan Kareen, mengucapkan terimakasih sekali lagi karena telah mengakui perasaannya. Namun tiba-tiba perasaannya dibuat campur aduk ketika keseriusan Kareen berubah menjadi gelak tawa.
“Hahaha, tapi ini becanda Pandu… Hahaha” Kareen terbahak dan Pandu hanya diam dengan perasaan dongkol. Sialan, Kareen sudah mempermainkan hatiku. Gumamnya dalam hati.  
“Ah… Kamu ini ya…” Pandu kesal. Dan Kareen berlalu meninggalkannya sendirian di meja kantin. Lalu berteriak dari jauh, jangan lupa besok datang lebih awal jam 6 di kelas ya! Jika tidak aku ngamuk lho ya.” Kareen mengepalkan telapak tangannya ke arah Pandu. Membuatnya menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis fikir mengapa ia bisa tertipu oleh sandiwaranya Kareen. Dan merasa begitu cemas saat Kareen menangis sesenggukkan.
Tapi tunggu, apa bisa Kareen menangis sehebat itu jika hanya pura-pura?
*
“Keluarga Pasien atas nama nona Kareen…” Suara seorang perawat laki-laki memanggil keluarga Kareen.
Bagus dan Nina serentak mengarahkan pandangan ke arah suara itu. Pandu yang masih bersandar pada tembok membetulkan posisi berdirinya. Lamunan tentang kejadian kemarin buyar dengan suara itu. Bertambah cemaslah hatinnya.
Keluarga Kareen berkumpul di depan ruangan ICU. Ada tangisan pecah dari dalam ruangan ICU, ibu Kareen menangis menyebut-nyebut nama naknya. Disusul oleh pecahnya tangisan keluarga yang ada di sana. Kareen telah pergi untuk selamanya.
Nina menangis sesenggukkan di kursi tunggu. Memeluk erat tas warna biru toska yang ternyata merupakan pemberian Kareen sahabat baiknya saat ulangtahunnya bulan lalu.
Bagus tak bisa menahan air matanya. Sementara kedua mata Pandu sudah perih sejak tadi. Air matanya tumpah tak tertahankan lagi. Baginya dunia seakan runtuh, hatinya seolah disayat seribu sembilu.
Hari kemarin adalah pengakuan kesungguhan perasaan Kareen yang sempat membuatnya ragu-ragu. Kini ia yakin sudah jika Kareen telah membawa pergi sepotong hatinya. Sepotong hati yang tak akan pernah bisa disatukan kembali.
Ternyata selama ini Kareen mengidap leukemia. Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, namun Tuhan selalu punya jalan yang terbaik untuk mahluk Nya.
“Pergilah Kareen dengan tenang, kini aku sungguh-sungguh menepati janjiku jika aku tak akan lagi membuatmu menangis dan menjaili mu. Tapi kini aku yang tak akan pernah berhenti menyesali kekonyolanku itu. Aku menyesal Kareen, mengapa aku tidak sejak dulu mengatakannya kepadamu. Mungkin kita bisa menikmati hari-hari bersama tanpa kekesalan dan tanpa kejailanku kepadamu. Dan setidaknya aku bisa menjadi teman mu mengisi hari-hari terakhirmu dengan bahagia, bukan dengan kekesalan dan isak tangis gara-gara ulah konyolku. Maafkan aku Kareen”. Pandu terus terisak.  
Hati Pandu semakin perih. Rasa sesal dan kehilangan nya kepada Kareen tak akan lenyap dalam waktu yang lama. Ia sangat mencintai dan menyayangi Kareen, namun ia tak pernah benar-benar memiliki keberanian untuk mengungkapkannya kepada Kareen. Kecuali di saat –saat terakhir kehidupan Kareen. Itupun karena Kareen yang memulai. Pandu benar-benar merasa menjadi orang yang paling tolol selama ini. Di saat-saat terakhir Kareen ia malah sering membuat nya kesal dan marah bahkan menangis akibat ulahnya yang kekanak-kanakan.
Hatinya semakin perih ketika melihat jasad Kareen akan dipindah dari ruang ICU ke kamar jenazah. Bagus mengelus pundaknya yang berguncang, berharap bisa memberikan ketenangan. Ia tahu, sedalam apa perasaan sakit yang dialami kawan baiknya itu. Sejak lama ia tahu jika Pandu menyukai Kareen.
Waktu memang tak pernah menunggu. Pun tak pernah bisa kembali. Lakukan yang terbaik untuk orang yang kita cintai, ungkapkan apa yang perlu dikatakan sebelum mereka akhirnya pergi atau kita akan menyesal selamanya. Tak ada yang salah dengan sebuah ungkapan kejujuran. Dan jika tak mampu membuat orang lain bahagia dengan kehadiranmu, maka setidaknya jangan pernah membuat mereka menangis sedih gara-gara hal konyol yang kita lakukan.


Share/Bookmark

3 comments: