“Kadang aku
berfikir
Dapatkah kita
terus coba
Mengayuh perahu
kita
Menyatukan ingin kita
Sedang selalu saja khilaf yang kecil mengusik
Sedang selalu saja khilaf yang kecil mengusik
Bagai angin
berhembus kencang goyahkan kaki kita”
Lagu Dengar Bisiku-nya
The Rain mengalun menyayat hati. Seakan menjadi theme song babak cerita yang sedang aku alami saat ini.
Hari sudah gelap. Kulihat
jam menunjukkan pukul 9 malam. Gerimis turun, membasahi Kota Bandung. Jalanan
banjir, menimbulkan kemacetan di setiap ruas jalan. Bis kota yang aku tumpangi
melaju dengan sangat lambat. Seolah sengaja memberikan kesempatan untuk aku
meratapi kesedihan Air mataku mengalir deras membasahi pipi. Dadaku terasa
sesak, merasakan sisa-sisa kekesalan pertengkaran tadi pagi sebelum berangkat
kerja.
Tadi pagi aku terlibat
pertengkaran serius dengan suamiku. Laki-laki yang meminangku lima tahun yang
lalu. Dengan percaya diri yang tinggi datang kepada kedua orangtuaku, dan
menyatakan bahwa dia siap menjadi suami. Padahal saat itu kami sama sekali
bukan pasangan kekasih, kami tidak memiliki hubungan apapun. Jujur, aku hanya
berteman dengannya. Namun, karena dia sering datang ke rumah untuk sama-sama
menyelesaikan tugas kuliah, maka orangtua ku menyangka kami memiliki hubungan
khusus.
Kami berteman sejak
semester pertama, kebetulan kami memilih program study yang sama, satu kelas
pula. Lama kelamaan kami merasa cocok satu sama lain, sering jalan bareng, dan
bertukar ilmu seputar mata kuliah yang kami pelajari. Namun aku perjelas lagi,
kami saat itu tidak pacaran. Kami hanya teman biasa, bisa dibilang kami adalah
sahabat baik.
Namun lain lagi dengan
pandangan orangtuaku.Melihat Rian, begitu nama suamiku, orangtuaku mempertanyakan soal hubungan kami,
dan berkata, “Jika serius, maka menikah saja”. Sungguh aku sama sekali tidak
menyangka. Laki-laki yang sama sekali bukan kekasihku, dan aku tidak memiliki
perasaan spesial kepadanya, berani menyatakan siap menikahiku di hadapan
keluarga besarku. Kamipun menikah 6 bulan kemudian. Sejak saat itu aku bertekad
akan mencintai sahabatku yang akhirnya menjadi suamiku itu apapun kondisinya.
Selama tiga tahun pertama
kehidupan rumahtangga kami berjalan dengan sangat baik. Masalah yang datang
terbilang cukup sederhana, dan selalu bisa kami selesaikan dengan baik. Niat
awal kami menikah adalah untuk beribadah. Atas dasar niat itulah kami bisa
menjalani kehidupan rumah tangga dengan nyaman dan perasaan tentram
Namun tahun berikutnya,
semenjak aku diangkat menjadi PNS, dan suamiku memilih untuk keluar dari
pekerjaannya di Jakarta, demi untuk berkumpul bersama keluarga, setiap hari
bertemu, semakin terlihat sifat asli masing-masing masalah-masalah satu persatu
bermunculan. Sebagian besar masalah yang kami hadapi adalah masalah perbedaan
pendapat. Begitu banyak hal yang ternyata begitu bersebrangan di antara kami. Selama
ini memang kami tak pernah berlarut-larut dalam permusuhan, tapi kali ini? Ya
Tuhan… ini adalah pertengkaran terhebat dari sekian pertentangan yang pernah
kami lalui.
*
“Lalu apa mau Bunda
sekarang?” Suamiku seperti menyerah. “Ayah sudah tidak tahan lagi menghadapi
sikap Bunda yang kerap ingin menang sendiri”.
Aku tertunduk diam
menahan tangisan. Mengunci mulut rapat-rapat agar aku tak lantas mencaci,
seperti yang sebelumnya aku lakukan, sehingga memancing emosi suamiku. Bagaimana
bisa ia berkata jika aku selalu ingin menang sendiri? Padahal dia sendiri?
Akhir-akhir ini aku merasa jika ia tak lagi mencintaku. Sikapnya dingin, dan
tidak lagi sehangat dulu. Aku tak tahu apakah ada perempuan lain yang mungkin
lebih bisa membuatnya nyaman?
Oh Tuhan, aku tak sanggup
membayangkan hal itu terjadi. Sungguh aku mencintai suamiku. Apapun keadaannya.
Aku tak akan pernah lagi menuntut apakah ia berpenghasilan banyak ataukah
tidak, apakah ia bekerja kantoran atau tidak. Sungguh aku khilaf, aku lupa. Sejak
awal, mengapa aku menikah dengannya bukan karena dia tampan
dan mapan. Namun aku memilih dia karena dia memiliki potensi kemapanan, dan aku melihat tanggungjawabnya. Ia mau bekerja keras. Aku tak
peduli ia pria mapan atau bukan. Yang penting bagiku adalah ia pria seiman
denganku, mau sama-sama menjalankan bahtera rumahtanngga sebagai bentuk ibadah.
Itu cukup.
Masalah besar lainnya,
berawal ketika aku mulai sibuk bekerja. Di tempat kerja banyak sekali menyita
waktuku. Perjalanan yang jauh dan rute perjalanan yang sering sekali mengalami
kemacetan, membuat perjalanan semakin menyita waktu. Pulang dan pergi aku
terpaksa harus bersabar menghadapi kemacetan. Menjadi seorang Pegawai Negri
Sipil memang tidak selalu menyenangkan.
Betapa banyak waktu yang harus aku korbankan. Waktu untuk anak-anakku, waktu
istirahatku, dan waktu untuk suamiku. Ia yang dulu selalu setia mendampingiku,
mengantar dan menjemputku ke tempat kerja, sungguh telah aku abaikan
keinginan-keinginannya.
Pikiranku menerawang jauh
kepada kejadian-kejadian yang telah lalu. Mencoba mengintrosfeksi diri, apa
kesalahanku yang menjadikan suamiku begitu marah dan menghukumku tak lagi
mengantarkan ku bekerja jika aku harus masuk pagi-pagi. Dan tega membiarkan aku
pulang larut malam tanpa ia jemput.
Kemarin, saat libur tiba.
Sepeti biasa aku mengajak suamiku untuk jalan-jalan menghibur anak-anak yang
setiap hari sudah disibukkan dengan kegiatan sekolah. Namun tiba-tiba suamiku
menolak. Dan memilih untuk pergi bersepedah bersama teman-temannya. Aku kesal
dan protes habis-habisan. Aku penat dengan pekerjaan yang jadwalnya begitu
padat. Ingin rasanya aku merasakan liburan bersama keluraga seperti dulu lagi
sebelum aku akhirnya bekerja di tempat yang sekarang.
Memang menjadi wanita
karier adalah keinginanku sendiri, sebelumnya suamiku juga sudah bertanya beberapa
kali apakah aku yakin atas keputuskanku. Namun kali itu aku tak menghiraukan
saran dan gambaran-gambaran yang akan terjadi jika seandainya aku bekerja. Namun
aku fikir itu jika aku memiliki ijazah, dan apa salahnya jika aku ikut bekerja
untuk membantu ekonomi keluarga?.
Aku merasa begitu lelah
bekerja, mencari uang tambahan untuk biaya hidup dan sekolah anak-anak. Tapi
ketika aku ingin diperhatikan, ingin mendapatkan liburan, suamiku malah
asik-asik main dengan teman-temannya.
Hhhh….
*
Di luar, hujan menderas, rinainya
menyisakan uap air di kaca bis kota. Namun hujan di dalam hatiku jauh lebih
menderas ketika lirik lagu The Rain-nya berlanjut menjadi :
bila
gundahmu tak menghilang
hentikan dulu dayung kita
bila kau ingin lupakan aku
ku tak tahu apalah daya
hentikan dulu dayung kita
bila kau ingin lupakan aku
ku tak tahu apalah daya
Di
akhir pertengkaran kami tadi pagi, suamiku juga berkata, “Jika Bunda sudah tak
nyaman dengan ayah silahkan Bunda pergi mencari yang lebih bisa membahagiakan
Bunda”. Aku menangis sesenggukan. Lalu suamiku melanjutkan,
“Laki-laki
yang lebih mapan, dan bisa memberikan Bunda segalanya. Apalah ayah, Ayah bukanlah
seorang pengusaha sukses, Ayah juga bukan PNS seperti Bunda. Ayah hanya
seseorang yang mencoba bergelut di bidang bisnis kecil-kecilan dengan
penghasilan yang tidak tetap. Kadang ada, kadang tidak”.
Aku
menelan ludah, menahan nafas, betapa benar, apa yang dikatakan suamiku, memang
akhir-akhir ini bisnis suamiku memburuk, penghasilan yang didapatkan tidak
sebesar saat ia bekerja sebagai manager di Jakarta dulu.
“Namun
Bunda… Selama ini ayah selalu berusaha
memberikan nafkah semampu Ayah. Jika ayah tak lagi bisa mengantar Bunda, itu
tandanya Ayah lelah Bunda. Memang Ayah bukan pekerja kantoran, yang bekerja
tiap hari duduk di belakang komputer, atau mengawasi anak buah seperti dulu. Kebanyakan
Ayah hanya diam di rumah, dan pergi ke kantor 2-3 kali seminggu untuk
menyelesaikan janji-janji Ayah dengan klien. Adapun Ayah pergi, pulang larut
malam, itu Ayah lakukan untuk mencari tambahan agar kita bisa hidup lebih layak
seperti yang Bunda inginkan. Tapi Bunda… kali ini ayah bukan ingin membela
diri, tapi coba Bunda lihat, rumah bersih karena siapa? Setiap pagi, siapa yang
menyiapkan sarapan anak-anak? Siapa yang mengantar dan menjemput mereka sekolah,
siapa yang menyiapkan makan siang mereka, siapa yang membantu menyelesaikan
tugas-tugas sekolah mereka? Lalu hampir tiap malam, siapa yang membacakan
dongeng saat mereka akan pergi tidur Bunda? Ketika mereka sakit, Ayah biarkan
bunda terlelap karena tahu Bunda lelah bekerja. Ayah siap bergadang. Bunda… Apa
Bunda tidak kasihan pada Ayah, seorang laki-laki yang ingin bebas seperti
laki-laki lain. Bisa kemana saja dan bertemu dengan teman-teman. Itu kan hanya
sesekali Bunda…”
Lalu
Suamiku menambahkan, “Ayah minta maaf jika selama ini Bunda tidak bahagia”.
Lalu ia pergi entah kemana. Lagi-lagi membiarkanku berangkat sendiri berlomba
dengan waktu dan kemacetan, agar tidak kesiangan sampai di tempatku bekerja.
Tadi
pagi aku merasa sesak tidak bisa menerima perkataan suamiku, karena merasa
dipojokkan. Namun kini dadaku semakin sesak lagi ketika aku menyadari bahwa
betapa suamiku sudah menggantikan peranku menjadi seorang ibu untuk
anak-anakku. Selama ini aku hanya bekerja dan pulang ke rumah kemudian langsung
beristirahat. Melupakan tugas-tugasku. Tugasku sebagai istri, tugasku sebagai
ibu. Ia sudah begitu banyak mengalah untukku. Selama ini aku terlalu percaya
diri, dan merasa telah banyak berjasa dalam hal mencari uang untuk kehidupan
keluarga. Padahal jika diingat-ingat kembali, suamikulah yang menyediakan semuanya.
Maafkan
aku sayang… seharusnya aku tak begitu. Aku tak berhak melarang-larangmu pergi
ke manapun. Karena sesungguhnya kau yang telah bersedia membatasi diri dengan
membebaskanku pergi bekerja. Sekarang saat aku merasa kau tak lagi mencintaiku,
aku benar-benar merasa menyesal. Aku tak mau kehilangan cintamu yang telah
berhasil kau pupuk selama masa pernikahan kita. Cinta yang didasari oleh niat
yang mulia. Kali ini aku berjanji, akan
berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Dan jika aku harus memilih antara
profesiku beserta penghasilanku, atau keutuhan rumahtangga kita, maka aku akan lebih
memilih kau suamiku tercinta.
Aku
mencintaimu dan mencintai keluarga kita. Aku tak akan pergi mencari siapapun
yang lebih membuat nyaman. Karena kaulah Laki-laki yang paling bisa membuatku
nyaman. Aku tak mau kehilanganmu.
Genggam tanganku
jangan bimbang.
Tak usahlah lagi
dikenang
Naif diri yang
pernah datang. Jadikan pelajaran sayang
Dengar bisikanku oh dinda. Coba lapangkan dada kita
Dengar bisikanku oh dinda. Coba lapangkan dada kita
T'rima aku apa
adanya. Jujur hati yang kita jaga
Lagu nya berlanjut ke paragrap akhir, lagu
yang sangat aku hafal. Dadaku merasa sedikit lapang, bersamaan dengan niat baik
yang hadir dalam hatiku. Aku ingin segera sampai di rumah, segera memohon maaf
kepada suamiku. Aku benahi kembali hatiku, aku besedia menerimanya apa adanya. Semoga
ia memaafkanku. Dan kami kembali memiliki keseharian yang ceria seperti
biasanya.
“Sayang… Aku pulang”
No comments:
Post a Comment