Hai
kamu, yang namanya selalu aku temukan di halaman pertama buku kenanganku, yang gambarnya
aku pajang
terpampang di dinding bilik hatiku, yang ceritanya aku kemas rapi tapi takan pernah selesai kutuliskan, yang kisahnya begitu berkaitan erat dengan kisahku, aku simpan dengan aman dan bersifat rahasia, aku sembunyikan di dalam kotak kecil yang indah, dan aku jaga baik-baik. Aku simpan dalam laci hatiku, untuk aku buka sesekali jika aku sedang rindu. Ya seperti kali ini, kau tahu? Aku sedang rindu. Sungguh!.
terpampang di dinding bilik hatiku, yang ceritanya aku kemas rapi tapi takan pernah selesai kutuliskan, yang kisahnya begitu berkaitan erat dengan kisahku, aku simpan dengan aman dan bersifat rahasia, aku sembunyikan di dalam kotak kecil yang indah, dan aku jaga baik-baik. Aku simpan dalam laci hatiku, untuk aku buka sesekali jika aku sedang rindu. Ya seperti kali ini, kau tahu? Aku sedang rindu. Sungguh!.
Aku
mengenalmu dahulu. Ketika aku duduk di bangku kelas satu SMA. Kamu adalah temannya
teman dekatku. Kamu pasti tak akan pernah lupa dengan nama sahabatmu itu.
Akupun tak akan pernah lupa, jika dia bernama Angga Riyan Pradana. Suka aku
panggil Angga, tapi kamu memiliki pangilan lain, yaitu Ari. Waktu itu aku dan Angga
sedang terlibat yang namanya TTM alias teman tapi mesra. Dia bukan pacarku, dia
juga bukan kekasih resmiku. Aku dan dia tak pernah jadian dan meresmikan jika
kami pacaran. Sebelum aku mengenalmu, Angga adalah teman terbaik yang bisa aku
jadikan tempat aku bercerita tentang segala kegundahan hati yang aku rasakan di
masa itu. Masa-masa remaja yang penuh dengan berbagai rasa. Angga juga yang
selaku jadi penenang kemarahan dan pereda setiap tangisan yang aku punya. Dia
adalah sayap pelindung bagiku, orang yang paling mengerti perasaanku, dan aku
tahu bahkan kaupun tahu jika dia amat sangat menyayangiku. Namun sayangnya
saking sayangnya dia kepadaku dia tak mau merebutku dari seseorang yang katanya
pacarku, dengan alasan tak mau memaksakan kehendak. Padahal kali itu aku mau
jika dia mau. Aku dan Angga tak pernah bisa benar-benar memiliki kisah yang
bisa kami akui sebagai kisah pacaran kami. Entah mengapa.
Angga
yang selalu baik hati, suatu ketika mengenalkan sahabatnya kepadaku. Seseorang yang
katanya sangat special, sahabat yang dekat dan bahkan sangat dekat. Angga
mengenalkankamu kepadaku. Kamu beda satu angkatan denganku.
Oiya,
Aku dan Angga beda dua angkatan. Aku kelas satu dan Angga kelas tiga. Sementara
kamu itu kelas dua. Aku dan Angga satu almamater, tapi kamu tidak. Kamu adalah
anak SMK di kota kita. Sampai sekarang aku tak pernah tahu mengapa kamu memilih
sekolah di sana. Mengapa tak memilih sekolah di sekolahku agar bisa satu
sekolah dengan Angga, dan biar kita lebih sering bertemu.
Tapi
benar kata kamu beberapa waktu lalu ketika kita secara tidak sengaja
berkomunikasi lewat media sosial, bahwa ada hikmahnya kita berjauhan. Ya, batul
sekali, jika seandainya kita dulu satu sekolah, maka mungkin kita tak akan
pernah memiliki cerita seindah yang kita miliki. Bahkan mungkin saja kali ini
kita ( terutama aku) tak akan pernah memiliki rindu yang memperindah hati kita.
Takan pernah aku rekam senyum manis kamu karena jika satu sekolah bisa saja
kamu hanya akan jadi kaka kelas biasa, sahabatnya Angga-ku, yang juga Angga-mu.
Ok
dear, kita lanjutkan. Biarkan aku bercerita mengobati kerinduanku yang telah
terpendam begitu dalam. Biarkan aku mengenangmu semampu yang aku bisa. Biarkan
aku larut dalam kenangan masalaluku, masa lalu kita yang indah.
Sebelumnya
biarkan aku sebut namamu. Nama biasa namun aku rasa itu nama yang sangat indah.
Kamu tahu? Ada degup jantung yang kencang saat ini saat aku akan menyebutkan
namamu. Argy. Argy Pranata Gally. Nama yang indah bukan? Jika yang lain tidak
setuju maka biarlah.
**
Sebenarnya
aku tak begitu ingat kapan pertama kali kita bertemu, tepatnya aku tak ingat
secara jelas (maaf) kapan pertama kali Angga mengenalkan kamu kepadaku. Yang
jelas, pertama kali kita berkenalan, kamu memakai topi berwarna coklat tua, bentuknya
seperti topi yang sering dikenakan oleh Glan Fredly. Dan menurutku topi itu
memang dibuat khusus untukmu, karena hanya kamu yang pas mengenakannya, hanya
wajah kamu yang tampak begitu manis dengan topi itu. Kulit kamu yang gak
seputih Angga, telah mengubah keyakinanku bahwa laki-laki tak harus berkulit
putih untuk menjadi tampan dan manis. Kamu, kamu sangat manis saat itu. Aku
senang sekali berkenalan dengan kamu. Kitapun berjabat tangan di depan gerbang
rumah kost ku saat iu, dengan mantap kamu menyebutkan nama panggilanmu, “Gally”.
Manis sekali. Jujur, saat itu adalah kali pertama aku mengagumi seseorang pada
pandangan pertama. Gally, kamu benar-benar memukau.
**
Angga
lulus.
Aku
naik ke kelas dua, Angga lulus dan melanjutkan sekolahnya di Jakarta, ikut
dengan Ayahnya yang bekerja di sana. Kali itu aku sedih, Karena tak akan lagi bertemu
Angga di sekolah. Tapi aku tak khawatir, karena masih bisa bicara lewat telepon
dengan dia.
Selanjutnya,
hari-hari begitu terasa berbeda, Angga semakin jarang memberi kabar, mungkin
dia sibuk dengan kegiatannya di Jakarta. Hanya pada saat-saat liburan dan jika
ada kegiatan besar yang mengundang alumni saja kami bisa bertemu. Dan entah mengapa
aku selalu senang jika Angga datang menemuiku bersama kamu. Kamu, Gally yang
lucu. Selalu bisa mencairkan suasana. Menghadirkan gelak tawa di antara kita bertiga.
Suatu
hari, aku ingat itu hari minggu. Di sekolahku ada kegiatan besar, kagiatan
rutin tahunan. Lomba pentas seni antar sekolah se-kota Bandung. Hari itu Angga
datang sebagai alumni dan memintaku untuk datang sama-sama ke sekolah. Aku
mengiyakan. Angga datang ke rumah kostan tanpa kamu. Dia bercerita jika pagi
hari sudah menelpon kamu dan kamu tidak bisa berangkat pagi dengan alasan belum
mandi dan masih ngantuk, padahal sebelumnya di malam hari kamu sudah janji akan
menemani.
Tapi
tahukah kamu? Jika di sepanjang perjalanan menuju sekolah aku selalu bertanya
kepada Angga “Mana Gally?”, “Kapan Gally datang?”, atau “Kenapa Gally belum
juga kelihatan menyusul?” dengan ringannya Angga menjawab “Gak usah khawatir,
dia sudah gede, nanti juga datang sendiri”. Entah mengapa aku gusar menunggumu.
**
Di
Sekolah.
Kami
nonton acara perlombaan yang tampak sangat meriah. Namun kemeriahan itu tak
bisa memanjakan mataku. Mataku mencari sesuatu yang lebih menarik perhatianku.
Aku mencarimu di setiap sudut keramaian, di antara orang-orang yang berjejalan
hadir di sana kali itu. Tapi kamu, tak jua aku temukan.
Siang
yang terik membuatku lapar, Angga mengajakku untuk mencari makan, dan mengabarkan
jika Gally akan datang. Sungguh aku senang.
Lagi-lagi
kamu muncul dengan topi warna coklat tuamu, dengan baju belang-belang biru
putih. Kamu bertambah manis dari hari sebelumnya. Kitapun jalan bertiga dan
seperti biasa kamu selalu menjadi pencair suasana. Yang dapat membuat kebersamaan
kita semakin hangat.
Siang
itu kita habiskan bersama, dengan canda tawa. Kalian pulang dan aku pulang ke
rumah kostan. Lambaian tangan kamu sore itu lebih aku perhatikan daripada
ucpana Angga yang memintaku untuk segera beristirahat. Oiya, sore itu Angga
pamit akan kembali ke Jakarta. Aku setengah sedih setengah lagi tidak, karena aku
tahu kamu masih ada di kota ini, ini musim liburan. Dan aku juga masih ada
kegiatan ekskul di sekolah, masih menunda pulang ke rumah.
Malam
harinya.
Jam
20.00 kamu menelponku. Kamu bilang kamu senang mengenal aku. Kalau bisa kamu
ingin berterima kasih kepada Angga karena sudah membiarkanmu bekenalan dengan
pacarnya (padahal kali itu aku bukan pacar Angga.hanya saja kau tak tahu itu).
Dan yang lebih membuat aku senang, kamu bilang jika Angga menitipkanmu untuk
sering kau jenguk saat Angga di Jakarta.
Oiya,
saat itu media komunikasi belum secanggih sekarang, telepon genggam masih
sebatas bisa dipakai SMS dan telepon. Dan itupun harganya mahal. Dengan meminta
Gally menemuiku sesekali ke kostan maka Angga akan mendapatkan kabar dan merasa
tenang karena ada yang menjagaku.
Satu
waktu, Gally datang sendiri ke kosatan ku siang hari. Mengaku sedang bete, gak
ada teman main, karena kini Angga tak ada lagi. Tak ada lagi yang bisa diajak
pergi seperti dulu. Akupun menyambut dengan bahagia, karena setidaknya aku
merasa Angga hadir dengan datangnya kamu.
Tapi
ternyata kamu begitu beda. Kamu bukan Angga. Jujur aku lebih merasakan
kenyamanan saat berada dekat kamu. Kamu itu unik dan kreatif sekaligus penuh
kejutan. Dengan kamu aku rasa hidup lebih berwarna. Dan tanpa disadari,
ternyata sebenarnya aku harus minta maaf kepada Angga karena perlahan aku mulai
nyaman dengan kamu dan melupakan nya setiap berada dekat dengan kamu. Kita
ngobrol kesan- kemari. Mulai dari menceritakan kisah lucu kamu dengan Angga
sampai dengan cerita tentang keluargamu, adik-adikmu, dan kesukannmu. Sampai sekarang
aku tak akan berhenti bilang, jika kamu memang lucu.
Malam
hari setelah beberapa kali kita mencuri waktu, kamu menelponku dan bilang jika
kamu memiliki perasaan yang lebih dari sekedar teman. Dan dengan alasan yang
sangat jelas, aku mengiyakan dan membolehkan kamu untuk menjadi penghuni baru
di hatiku, dengan catatan kamu tak boleh cemburu jika tiba-tiba ada Angga
menemuiku. Kamupun sepakat dan kita berjanji akan menjaga rahasia kita. Jika Angga
ada, maka kita hanyakah teman biasa, dan jika Angga tak ada, ya… kamu tahu aku
sebagai apa.
Sejak
pengakuan itu, aku selalu tak bisa menahan rindu kepadamu. Kita menjadi sering
bertemu. Untuk sekedar makan bersama, jalan-jalan, mencari CD film dan game
kesukaanmu di toko CD langgananmu, makan nasi goreng kesuaknnmu, atau
berkeliling kota dengan berjalan kaki. Aku tak pernah merasa lelah, semua itu
indah jika dilakukan dengan kamu. Terimakasih Gally, sampai saat ini jika aku
pulang dan melihat tempat-tempat kenangan kita, selalu ada getar yang sama seperti
yang aku rasakan ketika kita melewatinya bersama. Sungguh kamu adalah manusia
paling lengkap yang aku kenal Gally. Semuanya ada padamu. Aku tak bilang jika
kamu sempurna, tapi kenyamanan yang aku dapat darimu membuatku merasa lengkap dan
sempurna.
**
Liburan
sekolah tahun kedua.
Angga
datang berkunjung, memenuiku, dan mengajakku makan malam bersama. Karena waktu
kepulangannya ke Bandung hanya sebentar, maka agar rindunya kepadaku terobati
dan juga rindaunya kepada sahabat terbaikknya tersampaikan pula, maka malam itu
Angga mengajakmu serta untuk makan malam bersama. Suasana makan malam itu
bagiku adalah saat yang paling membingungkan. Aku tak tahu harus bersikap apa.
Yang aku tahu hanya satu. Janjiku kepadamu, jika di depan Angga aku harus
bersikap wajar, jangan ada yang berubah, harus seperti biasanya, tanpa ada rasa
kepadamu.
Angga
mengambilkan makanan ke piringku, dan kamu mengambilnya sendiri ke piringmu.
Angga mengambilkan minuman untukku dan kamu mengambil punyamu sendiri. Angga
mengambilkanku tisyu dan kamu mengambil tisyu dan membersihkan tangan dan mulutmu
sendiri dengan tisyu itu. Aaaaargh sungguh aku tak mau kamu melihat itu semua.
Aku khawatir hatimu hancur.
Setelah
makan selesai, Angga mengajak kita untuk berjalan-jalan. Kangen kota Bandung katanya.
Kita berdua mengiyakan, mengikuti kemauan orang yang sedang rindu dengan
kotanya.
Malam
itu malam minggu, bulan separuh mengantung di langit yang cerah, kita bertiga
duduk di pelataran alun-alun kota. Angga duduk dan memintaku bersandar di balik
punggungnya. Kita bertiga menikmati malam yang indah itu dengan perasaan yang
tidak menentu di dalam hatiku. Sesekali aku melihat ke arahmu yang duduk bersebrangan.
Melempar-lemparkan batu kerikil sejauh yang kau mampu. Aku faham, itu adalah
ekspresi kekesalanmu.
Angga
tak henti-hentinya mejailimu dan mengeluarkan kalimat ledekan. “Makanya ajakin
pacar kamu ke sini!”
Dan
kamu menjawab. “Iya, sayangnya dia jauh, kalau saja dia ada dekat kayak kamu
sama Metta, akan aku bawa dia ke sini dan aku pasti melakukan hal yang sama
kayak kalian.”
“Melakukan
hal yang sama?” Angga tampak tidak mengerti apa maksud perkataanmu.
“Iya,
sender-senderan… Kan seru, sambil mandangin langit yang cerah,bulannya indah… romantis…”.
Lalu kamu membaringkan tubuhmu, menghadap langit yang tinggi. Tanganmu kau
lipaykan di kepala sebagai bantal, lalu kau bersenandung, menyanyikan salah
satu lagu Slank kesukaanmu.
Ada
helaan nafas panjang yang penuh dengan beban yang terhembus dari rongga dadamu
saat kau mengucapkan kalimat itu.
Aku mencoba mengerti perasaanmu malam itu,
tapi aku juga ingat janji kita, jika kita harus bersikap wajar, dan mengabaikan
perasaan masing-masing yang terlanjur tumbuh di hati kita. Sungguh maafkan aku
malam itu Gally.
Jam
menungjukkan pukul 21:00, aku harus segera pulang. Kalian mengantarkanku
pulang. Dan setelah satu jam kemudian, telepon kostan berbunyi, ternyata kamu
menelpon dan melaporkan semua perasaanmu sepanjang siang. Kamu cemburu, kamu
tak suka, kamu tak rela atas apa yang terjadi. Kamu marah, dan di sana aku baru
tahu jika orang sebaik dan sekocak kamu bisa marah semarah itu. Aku tak bisa
tidur malam itu, dengan kebingungan yang luar biasa. Satu sisi aku
merasabersalah kepadamu, sisi lain, aku sudah merasa berusaha menjaga janji
kita, dan juga memenuhi permintaanmu untuk menjaga perasaan Angga sahabatmu.
(Sungguh Gally, malam itu aku tak mengerti apa yang harus aku lakukan.)
Dua
hari kamu tak menelponku, untuk kemudian kamu datang secara tiba-tiba dan
seolah tak ada apa-apa diantara kita. Kamu sudah tak marah lagi dan aku senang
bisa kembali melihat senyum manismu. Kamu memang baik Gally, terimakasih.
**
Ujian
Akhir Nasional
Hari
itu hari tenang, kelas tiga SMA dipersilahkan untuk libur danmempersiapkan diri
untuk menghadapi ujian akhir. Menjadi sebuah kejutan, kamu dan Angga sama-sama
datang ke kosan sore hari dengan alasan akan membantuku memnghafal dan memberi
semangat. Kamu dan Angga benar-benar membantuku belajar. Kamu membacakan soal,
aku menjawab dan Angga mengoreksi apakah jawabanku benar atau salah. Ya Tuhan…
entah apa yang harus aku ucapkan kali itu. Dua orang yang aku tahu
menyayangiku, kini sedang membantuku menghadpi Ujian akhir. Sore itu begitu
indah, kamu yang lucu datang dan menemaniku melakukan latihan-latihan soal
ujian.
Ujian
Akhir ku pun berjalan lancar. Dan hasilnya cukup memuaskan. Aku lulus dan
kuliah di Jakarta,bertemu lagi dengan Angga, dan meninggalkan kamu di kota
kita. Aku kuliah dan melanjutkan cerita bersama Angga, cerita yang tak pernah usai.
Karena memang kami masih dengan status yang tak jelas. Di kampusku aku bertemu
dengan perempuan yang mengaku sedang dekat dengan Angga, hal itu menjadikanku
merasa mulai tak berani lagi menyimpan nama Angga dalam ingatan.
Tahun
pertama kuliah, aku mendapatkan kiriman hadiah kado ulangtahunku yang kamu
kirim dari luar pulau, dan ternyata itu
dari kamu. Kamu yang ternyata sudah bekerja di sebuah kapal. Terimakasih sudah
mengirimiku boneka teddy bear lucu kali itu. Aku tak menyangka jika kamu masih tetap meningat hari ulangtahunku walaupun kamu sedang berada sangat jauh di sebrang samudra sana. Air matakau berderai, aku bangga kepadamu
Gally, dan tangisan itupun berarti aku rindu…
**
Sekarang,
berapa tahun ya kita berpisah? Lama sekali kamu menghilang. Dan perasaanku
kepadamu masih seperti dulu. Tiba-tiba aku mendapat kabar kamu menikah. Dan aku
bisa melihat dengan jelas, perempuan yang menjadi istrimu itu cantik sekali. Aku
yakin itu pilihan terbaikmu, sekaligus orang terbaik yang Tuhan pilihkan
untukmu. Andai aku berani, ingin aku
sampaikan kepadanya, agar ia menjaga Gally ku yang kini menjadi Gally nya
baik-baik. Karena aku tak ingin terjadi apapun yang buruk kepadamu. Aku sayang
kamu Gally, dari dulu hingga sekarang. Sayang sekali kita tak pernah
dipersatukan.
Dan
sungguh Tuhan selalu melakukan yang terbaik untuk semua mahluknya. Walau kita
dulu pernah menyimpan rasa yang begitu indah pada hati masing-masing, dan
kemudian kita akhirnya tidak bersatu, maka jangan salahkan takdir. Aku percaya
ini adalah jalan yang paling baik dan terbaik. Kamu tahu kenapa aku bisa
berkata demikian Gally?
Coba
kamu fikirkan, kita selalu kompak, selalu sehati, kita memiliki cara yang sama
menikmati kegilaan, menikmati kekonyolan, dan kita selalu sepakat dengan sebuah
pilihan yang sama. Kita tak perlu banyak berdebat dalam mengambil sebuah
keputusan. Karena kita memiliki kesuakaan yang sama. Tapi Gally, hidup
memerlukan orang yang berbeda karakter dengan kita, kenapa? Kadang kita perlu
diingatkan, ketika salah kita perlu mendapat marah seseorang, ketika keliru
kita perlu arahan dari orang lain.
Gally...
andaikan aku menjadi istrimu, bisa jadi aku tak bisa tunduk patuh kepadamu,
karena aku terlalu faham sifatmu. Jika kau jadi suamiku, bisakah kamu untuk
tetap tidak kalah dengan rengekan manjaku untuk meminta mu meralat sebuah
keputusan? Aku tak yakin kau bisa melakukannya. Kamu itu super baik, kamu pasti
mengikuti apa saja kemauanku.
Gally…
kamu pasti sering mendengar, jika cinta itu tak harus memiliki. Aku sepakat
dengan itu. Karena hakikat mencintai yang paling luhur adalah kerelaan
melapaskan. Rela melepaskan dia yang kita cintai untuk hidup bersama orang lain
yang lebih tepat untukknya. Dan kali ini, terlepas dari kerinduanku kepadamu
yang terkadang memuncak tak tertahankan, ada kerelaan yang ikhlas, jika aku bahagia
melihatmu dengan kehidupanmu yang sekarang. Semoga Engkau selalu bahagia. Cukup
aku titipkan kau kepada-Nya. Biarlah aku memelukmu erat dengan do’a-do’aku.
Aku
memang tidak memilikimu, aku memang tidak bisa menikmati senyummu setiap hari.
Tapi Gally… memiliki kenangan hidup masa remaja yang indah bersama kamu adalah
hal yang paling berharga untuk aku.
Aku
yang selalu menyimpan namamu,
Metta
Diyanna.
No comments:
Post a Comment