Amara
gadis kelas 2 SMA bertubuh mungil. Tinggi badannya hanya sekitar 150cm dan
berat badannya mungkin hanya 42 kg. Parasnya tidak terlalu cantik, tapi ia
memiliki senyum yang sangat manis. Ia pun ramah kepada setiap orang. Dia juga memiliki
sikap easy going, diajak kemana aja dia pasti mau, itu kalau lagi gak disuruh
oleh ibunya. Tapi jangan coba-coba minta dia menemani kamu pergi ke suatu
tempat jika dia sedang dalam masa PMS. Pasti dia nolak habis-habisan. Karena
pada
saat PMS dia cuma ingin segala kemauannya di-iya kan. Jika tak ada yang
bisa mengerti kemauannya, maka ia akan mengurung diri seharian di dalam kamar,
itupun jika sedang hari libur. Jika bukan hari libur, maka jangan aneh jika
Amara hanya duduk sendiri di pojokan kelas, atau di bangku belakang sambil
coret-coret di buku membuat gambar atau nemuliskan sesuatu yang menurut
sebagian teman-teman di kelasnya Amara suka menulis puisi tentang keadaan
hatinya. Apa yang Amara tulis akan lebih bagus dan puitis ketika ia bĂȘte di masa
PMS.
Di
kelasnya Amara ditaksir sedikitnya oleh tiga teman laki-lakinya. Yang satu
bernama Pandu anak anggota Pramuka, yang satu lagi namanya Yuda anak OSIS yang
satu lagi Santo tak ikut apa-apa.
Ketiganya belum ada yang berhasil merebut hati Amara sejak semester satu. Dan sekarang semester dua sudah mau habis, tapi Amara belum memberikan tanda-tanda siapa yang akan dijadikannya pacar. Ketiganya dekat, ketiganya sudah pernah menyatakan cinta secara terang-terangan, dan ketiganya tahu bahwa mereka punya saingan. Tapi Amara bilang, “Lebih baik sahabatan saja.” Mungkin saja Amara tak mau jika ketiga pengagumnya itu menjadi musuhan jika dia memilih salah satu dari mereka bertiga. Tapi bisa juga dia memang tidak memilih satu orang pun di antaranya.
Ketiganya belum ada yang berhasil merebut hati Amara sejak semester satu. Dan sekarang semester dua sudah mau habis, tapi Amara belum memberikan tanda-tanda siapa yang akan dijadikannya pacar. Ketiganya dekat, ketiganya sudah pernah menyatakan cinta secara terang-terangan, dan ketiganya tahu bahwa mereka punya saingan. Tapi Amara bilang, “Lebih baik sahabatan saja.” Mungkin saja Amara tak mau jika ketiga pengagumnya itu menjadi musuhan jika dia memilih salah satu dari mereka bertiga. Tapi bisa juga dia memang tidak memilih satu orang pun di antaranya.
**
Sabtu
pagi, seluruh siswa dikumpulkan di lapangan upacara untuk mendapatkan
pengumuman. Pengumumannya adalah seluruh siswa dipulangkan jam 10:00 karena
guru-guru akan melaksanakan rapat persiapan akreditasi. Seperti siswa yang
lain, Amara pun merasa senang bisa pulang lebih awal. Dia sengaja pulang secara
diam-diam tanpa diketahui oleh Pandji, Yuda dan Santo. Jika mereka tahu, pasti
ketiganya ikut pulang bareng atau bersaing untuk mendapatkan kesempatan
membonceng dan mengantar Amara pulang.
Di
gerbang sekolah, Amara berpapasan dengan Gagah. Anak laki-laki paling tampan
idola semua cewek di sekolah ini. Gagah adalah kakak kelas Amara. Badannya
tinggi, wajahnya ganteng, kulitnya bersih, hitam manis. Menurut cerita banyak
orang, ia adalah anak orang kaya. Ayahnya adalah salah satu pejabat di
departemen kehutanan, entah sebagai apa. Tapi jika kalian bertemu dengan Gagah,
maka akan terlihat jelas dari penampilan nya, dia memamng beda. Tasnya,
sepatunya, motor yang dia pakai, baju, topi, sepatu olahraganya, jaketnya, selalu
menggunakan barang-barang kelas atas.
Gagah
tersenyum manis kepada Amara. Amara membalas, sama manisnya. Pandangan mereka
bertemu beberapa saat. Nafas Amara tertahan sejenak. Degup jantungnya berdebar
kencang. Ia kagum kepada Gagah. Jujur dalam hatinya ia pun sudah sejak lama
menyukai laki-laki itu. Tapi ia tidak berani menunjukkannya kepada Gagah
seperti yang teman-teman cewek kebanyakan. Mereka terang-terangan menunjukkan
perhatiannya kepada Gagah. Demi mendapatkan tempat di hati laki-laki ganteng itu.
Tapi Amara tidak begitu ia sadar tak harus dengan tebar pesona untuk
mendapatkan perhatian seseorang.
Gagah
menghampiri.
“Boleh
aku temani kamu pulang?”
“Eh?”
“Boleh
gak? Kok malah eh?” Gagah tersenyum lebih manis dari senyumnya yang tadi. Degup
kencang di dadanya membuat Amara tak bisa menolak ajakan Gagah. Tak bisa
dipungkiri ia merasa bahagia mendapatkan kesempatan itu. Kesempatan langka yang
mungkin sangat diinginkan oleh teman-teman ceweknya satu sekolah.
Amara
diantar pulang oleh Gagah, walaupun dalam hati kecilnya terbersit keinginan
untuk pergi kemana dulu sebelum akhirnya pulang. Meskipun dalam fikirannya
timbul pengandaian, seandainya jarak rumahnya tidah hanya ditempuh waktu 10
menit. Ingin rasanya ia dibonceng oleh Gagah lebih dari satu jam, dua jam
bahkan lebih. Tapi itu tak mungkin ia dapatkan. Karena jarak dari sekolah ke
rumahnya hanya berjarak sekitar 3km.
Di
sepanjang perjalanan yang terlalu pendek itu, Gagah bertanya banyak hal,
tentang pacar, tentang kesukaan, tentang hal yang paling ia sukai, hal yang
paling ia benci. Dan tak lupa Gagah juga membahas tentang hobinya, tentang hal
yang paling ia sukai. Dan pertanyaan penting yang selalu Gagah tanyakan
sepanjang perjalanan adalah, “Terus kemana lagi jalan nya, belok kiri atau
kanan?” Ini adalah pertama kalinya Gagah mengantar Amara, ia sama sekali belum
mengetahui di mana letak rumah Amara.
Sesampainya
di rumah Amara,
“Terimakasih
ya sudah mengizinkan aku mengantar pulang.”
“Aku
yang makasih udah diantar pulang.” Amara tersipu, ia sadar, pasti pipinya
memerah.
“Boleh
gak kalau aku sering-sering anterin kamu?”
“Biar
apa?”
“Biar
aku tahu jika kamu telah sampai ke rumah.”
“Haha..”
Amara tertawa, begitupun Gagah.
“Aku
gak diajak masuk dulu?” Tanya Gagah.
“Eh,
ayo masuk dulu, maaf lupa.” Amara salah tingkah. Tangannya memainkan tali tas
yang ia kenakan di bahunya.
“Gak
mau ah, mau pulang aja.”
“Ikh
dasar.”
“Dasar
apa?”
“Dasar
Negara.”
“Negara
apa?”
“Hm…
apa ya…?” Amara bingung, gak bisa jawab.
“Aku
tahu.” Gagah sigap menjawab.
“Apa?
Negara apa?
“Negara Indonesia. Hahaha…”
“Hahaha…
iya deh iya…”
“Yasudah
aku pergi dulu ya…”
“Iya..
hati-hati.”
“Dadah
Amara…”
“Dadah
Gagah…”
Amara
mengantar kepergian Gagah dengan tatapan penuh hangat sambil melambaikan tangan.
Dalam hatinya ada perasaan bahagia yang teramat sangat. Gagah kakak kelas yang
diidolakan banyak orang baru saja mengantarnya pulang. Ia juga semakin sadar
bahwa bukan hanya dari penampilannya saja Gagah memiliki daya tarik, tapi Gagah
juga sangat asik diajak ngobrol.
Sejak
kejadian tadi siang, Amara menjadi senyum-senyum sendiri. Hatinya merasa
bahagia tiada tara. Di langit-langit kamarnya mulai digantungkannya sebuah
cita-cita. Menjadi pacar Gagah.
**
Setelah
pertemuan itu Amara dan Gagah semakin dekat. Sering bertemu, makan sma-sama di
kantin, pulang bareng, atau mengerjakan tugas di perpustakaan. Kebanyakan Amara
yang mendapatkan bantuan mengerjakan PR nya.
Gagah
sangat perhatian, membuat amara merasa nyaman dan merasa cita-citanya yang
digantung di langit-langit kamar sebentar lagi akan terwujud. ia berharap Gagah
tidak hanya ingin dekat saja. Ia ingin lebih dari itu. Dan benar saja, pada
hari jum’at ketika proses belajar mengajar berakhir lebih cepat, di lorong
kelas IPS Gagah menyatakan cintanya kepada Amara. Tentunya disambut dengan baik
oleh Amara. Penantiannya dan cita-citanya terwujud. Amara resmi menjadi pacar
Gagah hari itu.
Hari
ini Amara pulang tidak diantar oleh Gagah, karena Gagah harus melakasnakan
solat jum’at, dan ia memilih untuk solat jum’at di mesjid sekolah, karena
waktudzuhur akan segera tiba. Amara berpamitan kepada pacarnya untuk segera
pul;ang. Tak lupa Gagah wanti-wanti agar Amara berhati-hati dalam perjalanan
pulangnya. Amara berjanji ia akan berhati-hati dan memberi kabar jika sudah
sampai di rumahnya.
Adzan
dzuhur berkumandang, Amara berniat pulang dan hendak naik angkot seperti biasa
pulang ke rumahnya. Ia berjalan kaki menuju jalan raya. Namun di pertigaan
Amara dicegat oleh tiga orang anak perempuan yang ia tahu kakak kelasnya. Dari
ketiga orang tersebut Amara hanya mengenal satu dari mereka. Ia adalah Anggi,
salah satu anggota band sekolahnya. Yang dua lagi ia tak tahu namanya, bahkan
yang satu sepertinya benar-benar baru ia lihat kali ini.
“Maneh budak polontong rek ka mana, hah?
(Kamu anak belagu mau kemana, hah?” Tiga anak perempuan itu menghalangi jalan.
Seolah Amara tidak boleh melewati jalan itu.
“Maaf
kak, aku hanya mau lewat” ucap Amara mencoba tetap tenang.
“Mau
kemana memangnya?” Dengan nada sinis seorang yang baru saja Amara lihat kali
itu bertanya dengan tatapan penuh kemarahan.
“Maaf
kak, kakak ini siapa? Aku baru lihat.”
“Dia
pacarnya Gagah!” Ujar Anggi dengan nada membentak.
Ada
sesuatu yang menyelinap di hati Amara. Perasaan yang pada akhirnya ia rasakan
sebagai perasaan cemburu, bertambah dengan perasaan kecewa. Baru saja Gagah
menyatakan cintanya satu jam yang lalu, kini di depannya ada perempuan yang
mengaku sebagai pacarnya Gagah. Gagah ini apa maunya? . Berbagai pertanyaan
muncul di kepalanya. MEngapa gagah tidak berterus terang jika ia sudah memiliki
pacar? Mengapa juga harus menyatakan cinta kepadanya satu jamyang lalu. Rasa
bahagia itu baru saja berkembang menjadi harapan-harapan yang indah, seketika
harus hancur dengan kalimat yang baru saja ia dengar dari mulut kakak kelasnya.
Mata Amara berkaca-kaca menahan rasa kecewa. Rasanya ingin nangis di tempat
itu, tapi Amara mencoba tetap kuat.
“Heh!
Malah diam!” Bentak Anggi sekali lagi. “Dengerin
tuh Lisna mau ngomong!” Anggi mempersilakan kawannya untuk bicara.
Orang
yang memiliki nama Lisna mendekat.
“Amara,
kamu amara kan?” Amara mengangguk tanpa bersuara sepatah katapun. “Ingat ya,
jangan lagi mendekati Gagah. Gagah itu kecengan aku sejak SMP dan sekarang ia
harus jadi milik aku. Jangan sampai usaha ku pindah kesini untuk deketin Gagah
gagal gara-gara bocah ingusan kayak kamu!” Klaimat Lisna seolah tak lagi
terlalu terdengar di telinganya Amara. Hancur hatinya telah membuat telinganya
terasa tuli.
“Satu
lagi.” Ujar Lisna. “Kalo aku lihat kamu masih bareng sama Gagah, kamu lihat
akibatnya! Kamu gak akan bisa ikut belajar lagi di sekolah ini!”
Amara
sudah tak tahan lagi, ia berlari meninggalkan Lisna dan Anggi serta dua orang
kawannya yang terbahak mengiringi kepergian Amara dari hadapan mereka.
**
Hari-hari
berikutnya, Amara jalani tanpa komunikasi dengan Gagah. Beberapa kali Gagah
menelpon, memanggil, menyapa, Amara tak meladeninya. Ia selalu menghindar dari
Gagah pacar barunya itu. Entah apa yang harus ia lakukan, ia sendiri tak tahu. Yang
jelas, ia masih ingin bisa belajar dengan tenang tanpa diganggu oleh Anggi dan
kawan-kawan. terutama Lisna, yang seolah selalu menguntit Amara kemanapun ia pergi. Sepertinya ia memastikan bahwa amaran benar-benar tidak bersama Gagah.
Amara merasa risih dengan keadaan seperti itu, semangat belajarnya sempat menurun. Ia pun menjadi pendiam. Tapi ada yang berubah, tulisannya bertambah bagus, puisi yang dimuat di mading sekolah bertambah banyak. Walaupun isinya tentang rasa sakit hati semua.
Amara merasa risih dengan keadaan seperti itu, semangat belajarnya sempat menurun. Ia pun menjadi pendiam. Tapi ada yang berubah, tulisannya bertambah bagus, puisi yang dimuat di mading sekolah bertambah banyak. Walaupun isinya tentang rasa sakit hati semua.
Beberapa
hari berikutnya, ia sering melihat Gagah jalan bareng Lisna. Mungkin mereka
sudah jadian. Masa bodo dengan semua itu. Amara berharap bisa segera melupakan
Gagah. Adapun Pandu, Santo dan Yuda, mereka takan mampu menjadi pengganti Gagah. Lebih baik mereka dijadikan teman saja.
No comments:
Post a Comment