Siang
ini muram, langit mendung, solah mengerti rasa hatiku. Aku berbaring di atas
ranjang pasien, menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Tergambar
jelas tayangan-tayangan yang membuatku teringat akan semua kebaikan kedua
orangtuaku, dan tergambar jelas, betapa aku belum sepenuhnya bisa menjadi kebanggan
mereka.
Ruangan terasa ramai, ini jam besuk. Banyak terdengar sapaan dan pertanyaan mengenai kabar pasien di balik tirai sebelah. Beberapa anggota keluarganya datang berkunjung bergantian, menghibur dan memberikan semangat, agar segera sembuh. Tapi aku? Aku sendirian di sini, hanya menjadi pendengar semua percakapan itu, semua yang berhasil ditangkap oleh indra pendengaranku tak sengaja bisa ku simak dengan baik, walau akhirnya terasa kelu di hatiku.
Suasana yang cukup ramai di ruang perawatan ini tak lantas membuatku merasa ada yang menemani. Di sini tetap hening, dan hatiku tetap sepi. Baru setengah hari aku terbaring di sini, dipasangi infuse dan baru saja aku disuapi oleh ayah, makan siang kemudian makan obat. Lalu tak lama kemudian, mataku dengan tak berkedip memandangi punggung ayah yang berlalu pergi untuk mengunjungi ibu yang juga sedang sakit di ruangan yang lain. Kasihan ayah…
Ruangan terasa ramai, ini jam besuk. Banyak terdengar sapaan dan pertanyaan mengenai kabar pasien di balik tirai sebelah. Beberapa anggota keluarganya datang berkunjung bergantian, menghibur dan memberikan semangat, agar segera sembuh. Tapi aku? Aku sendirian di sini, hanya menjadi pendengar semua percakapan itu, semua yang berhasil ditangkap oleh indra pendengaranku tak sengaja bisa ku simak dengan baik, walau akhirnya terasa kelu di hatiku.
Suasana yang cukup ramai di ruang perawatan ini tak lantas membuatku merasa ada yang menemani. Di sini tetap hening, dan hatiku tetap sepi. Baru setengah hari aku terbaring di sini, dipasangi infuse dan baru saja aku disuapi oleh ayah, makan siang kemudian makan obat. Lalu tak lama kemudian, mataku dengan tak berkedip memandangi punggung ayah yang berlalu pergi untuk mengunjungi ibu yang juga sedang sakit di ruangan yang lain. Kasihan ayah…
**
Hari
ini hari selasa. Tanggal 14 Juni. Bertepatan dengan hari ke-9 Ramadhan. Bulan
yang penuh berkah, penuh hikmah, penuh kenangan. Bagaimana tidak, di bulan ini
orang-orang muslim yang beriman berlomba-lomba mencari pahala, meraih
keridoannya, berlomba-lomba melaksanakan ibadah, tadarus, solat sunnah,
bersedekah, dan mengikuti kegiatan kajian islami, seperti yang sering dilakukan
oleh ibuku tercinta. Ia tak pernah dengan sengaja melewatkan kegiatan kajian
islam, jika ia memiliki waktu senggang di sela-sela kesibukannya sebagai bidan di
rumah sakit, maka ia akan berangkat menghadiri kajian itu. Sejauh apapun, ibuku
selalu bersemangat menuntut ilmu agama walaupun itu bukan pada bulan Ramadhan. Itu
hal yang selalu membuatku bangga menjadi putrinya.
Di
bulan Ramadhan juga aku dilahirkan. Namaku saja Farisya Ramadhani. Ayahku
sengaja menamaiku demikian biar aku ingat kalau aku terlahir di bulan yang suci
dan penuh berkah. Dan kalian tahu? Setiap waktu aku selalu berharap semoga aku
bisa menjadi berkah setiap saat untuk ayah dan ibuku yang selama ini selalu menyayangiku.
Ayah dan ibuku yang selama ini telah mengikuti segala keinginanku tanpa aku
sadari betapa seringnya aku merepotkan dan membuat rasa lelah bergelayut di
fikiran, hati dan fisik mereka. (Maafkan aku Ayah… Ibu...)
Sungguh,
Ramadhan kali ini begitu berbeda. Jika tahun lalu aku masih bisa bermanja-manja
meminta ini itu kepada ayah dan ibu. Mau ini mau itu. Mau kolak mau rujak, Mau
pizza mau apapun untuk menu berbuka atau hidangan apapun untuk santap sahur,
lalu ayah dan ibu selalu berusaha untuk memenuhi keinginanku dan keinginan
adikku, demi semangat kami menyelesaikan puasa hingga magrib tiba setiap
harinya. Kali ini berbeda. Aku, dan ibu harus terbaring di rumahsakit yang sama
dengan penyakit yang sama pula. Demam berdarah.
Aku
sedih, mengapa ini harus terjadi saat kami ingin khusyuk beribadah? Dan mengapa
juga harus terjadi bersamaan. Belum lagi, sejak beberapa hari yang lalu adikku
juga sakit panas. Beruntung ia kini sembuh dan harus menginap di rumah om dan
tante, karena ayah sibuk menjaga kami.
Ayah
ku, ayahku yang masih sehat, semoga Allah selalu menjagamu, menjaga
kesehatanmu, agar ayah selalu kuat menjaga kami bertiga. Aku, ibu, dan adikku.
Sungguh
ingin aku sampaikan bahwa aku sayang sama ayah, begitu pula ada rasa yang sama
besarnya kepada ibu. Sungguh bukan keinginanku untuk berbaring di sini,
berbaring di ruangan yang berbeda. Aku tak tega melihat ayah yang harus bolak-balik
ruangan, demi menjaga kami berdua. Tapi hebatnya ayahku, di wajahnya tak pernah
tampak kelelahan, walaupun aku tahu betapa lelahnya ia. (Kuat ya ayah…)
Ingin
rasanya aku segera sembuh, dan ikut membantu ayah, menjagai ibu, atau menjaga
adik di rumah, tapi apa daya kini tanganku pun harus diinfus dan aku harus
berbaring di sini. Aku hanya bisa berdo’a semoga Allah menjaga ayah, ibu dan
adik. Aku percaya, Ramadhan yang penuh dengan ujian ini adalah bentuk kasih
sayang Allah kepadaku dan keluargaku.
Semoga
Allah segera mengangkat segala bentuk penyakit dan menyehatkan kami kembali.
Aku tak mau Ramadhan ini berlalu dan dihabiskan dengan rasa sakit dan khawatir
akan kesehatan ayah, ibu dan adikku. Aku ingin sembuh, ingin ibu segera sembuh,
dan tentunya aku ingin ayah selalu sehat. Dan kami sama-sama bahagia menyambut
hari kemenangan tiba. Semoga.
No comments:
Post a Comment