Dik, Ciamis pagi ini dingin sekali. Sama dinginnya dengan secangkir kopi
yang tak sempat aku teguk tadi malam. Cangkirnya masih berada di atas meja
sejak tadi malam. Aku sampai lupa waktu, tercenung duduk di teras depan
rumah, memandangi malam yang gelap tapi seolah menjadi terang benderang ketika
bayang wajahmu muncul di pelupuk mataku.
Mendengarkan apapun yang tertangkap telingaku, tapi rasanya suaramu yang
selalu memenuhi ruang pendengaranku. Terngiang-ngiang tak mau hilang. Aku
semalam menunggui jam dinding yang seolah begitu lambat
jarumnya berputar, lama sekali untuk menahan rindu kepadamu Dik…
Ini baru saja
jum’at malam. Harus menunggu berapa jam lagi agar aku bisa kembali bersenda
gurau dengan kamu. Hari senin masih lama. Walau hanya lewat chat, aku seolah
bisa memandangmu, aku seolah bisa mencium bau wangi farpum di bajumu, wangi
yang sama sejak dulu kamu duduk di bangku SMA.
Dik, kamu tahu, semalam aku susah sekali memejamkan mata. Aku tak
bisa mengusir kenangan yang kian menari dalam ingatan. Aku tahu, aku bukan
siapa-siapanya kamu. Kitapun tak pernah denga sengaja mengukir janji untuk
melanjutkan kehidupan bersama. Tapi sungguh dik, kamu adalah manusia pertama
yang berhasil membuatku tak pernah mampu benar-benar melupakan sosok manusia
lain.
Mungkin hanya sekitar dua jam aku lupa. Hanya dua jam saja aku
benar-benar tertidur lelap, itupun lagi-lagi kamu masih sempat hadir kedalam mimpiku. Kenapa Dik, kamu begitu menguasai fikiranku? Dan kini saat aku kembali
terjaga, nama yang paling dulu aku ingat adalah namamu, Lucina Handayani.
**
“Gara… Kamu lagi apa? Sudah bangun belum?”
Suara ibu memanggil dari
balik pintu kamar.
“Iya Bu… sudah”
Aku menjawab sambil setengah meloncat dari tempatku berbaring. Segera kurapikan selimut hangat itu, dan membereskan bantal juga
guling yang selalu setia menemani tidurku jika aku kembali ke rumah ini. Rumah
masa kecilku yang aku tinggalkan setiap semingggu sekali aku pulang. Pulang
menemui kasur ini, bantal dan guling ini, selimut ini, menemui rumahku,
orangtuaku, adik-adikku. Satu lagi yang tak pernah aku lupakan, menemui boneka
harimau besar, yang seingatku itu dihadiahkan Bapak ketika aku duduk di bangku
SD. Boneka itu awet hingga sekarang. Ibuku dengan telaten merawatnya, mencucikannya ke laundry setiap tiga bulan sekali. Sampai sekarang si loreng itu masih setia menemaniku tidur walau aku tidak
lagi memeluknya.
Oh iya Dik, aku juga ingat, saat kamu datang ke sini dulu, kamu
bilang bahwa kau suka sama si loreng. Kamu ingat gak Dik?
Pintu sekali lagi di ketuk dari luar, ibuku memanggil agar aku
segera turun untuk sarapan bersama di ruang makan. Memang sudah menjadi
kebiasaan di dalam keluargaku jika makan harus bersama-sama. Ibu dan Bapak bilang
biar keluarga tetap terasa hangat. Apalagi kini aku sudah jarang ada di rumah.
Aku adalah orang yang paling ditunggu untuk hadir di setiap acara makan.
Aku pergi sejenak ke kamar mandi untuk mencuci muka. Hari ini
Ciamis begitu dingin membuatku harus menunda jadwal mandi. Sangat berbeda
dengan kota Tanggerang yang udaranya panas, setiap hari bajuku basah dengan
keringat.
Aku menuruni tangga satu persatu. Seolah meniti satu demi satu
bayangan masa lalu. Kamu juga dulu pernah menaiki anak tangga ini Dik. Kamu
pernah naik ke ruang atas rumahku, dan kita bicara di teras atas memandangi
langit yang biru dan kita bercanda bersama di sana walau pada kenyataannya kamu
bersama dia.
Ah, sudahlah, aku tak mau mengingat dia. Dia yang hanya bisa
membuatku merasa cemburu karena saat itu dia lebih dahulu bisa merebut hatimu.
Tapi aku tahu, itu bukan salahmu, karena aku sendiri datang belakangan dan
tanpa tahu kenapa hatiku tiba-tiba jatuh kepadamu. Lucina Handayani.
Di anak tangga terakhir, aku melihat bayangmu saat kamu pamit
pulang, kamu melambaikan tangan dengan manja. Kamu bilang “Sampai ketemu lagi,
Kak Gara lucu orangnya ya, aku suka sama kakak”.
Sejak saat itu mungkin kita
berbeda dalam mengartikan kata "suka". Aku yakin kamu hanya suka karena aku sering
bercanda dan pandai meramaikan suasana. Tapi laindengan hatiku. Aku berharap dan
bahkan membuat kesimpulan sendiri bahwa kamu benar-benar suka kepadaku sejak
saat itu, karena aku juga sudah terlanjur menyukaimu. Walupun kamu pada
kenyataannya adalah milik dia. Ya, dia sahabatku sejak kecil. Dia yang sengaja
membawamu main ke sini untuk dikenalkan sebagai pacarnya. Ah, kamu tahu bagaimana rasanya menjadi aku saat itu?
Pada awalnya aku bahagia melihatnya memiliki pacar secantik dan
sebaik kamu. Tapi ternyata kamu bukan hanya cantik dan baik. Tapi kamu juga
pandai mencuri hatiku. Dan aku cemburu kepadanya saat itu. Dik… aku rindu
menatapmu.
**
Ruang makan sudah ramai dengan percakapan serta senda gurau
adik-adikku dan juga ibu dan bapak. Mereka belum memulai sarapannya. Menunggu
kursi tempatku terisi. Aku duduk berhadapan dengan ibu.
“Gara, bagaimana kabarnya Susan?” tiba-tiba kalimat itu
mengagetkanku. Lamunan tentang kamu buyar seketika. Susan adalah seseorang yang
kini menjadi kekasihku. Sudah sejak dua tahun kami bersama, dan sudah sejak dua
bulan yang lalu pula kami bahkan berencana untuk bertunangan. Tapi orangtuanya belum
mengizinkan kami menikah karena masih ada kakak Susan yang belum menikah. Kami
terpaksa harus menunggu demi menghormati perasaan kakaknya.
Dadaku terhenyak mendengar nama Susan disebut. Ada semacam perasaan
bersalah yang terlalu besar bersarang di dalam hatiku. Susan adalah gadis yang baik, dia selalu
sabar menghadapi apapun kelakuanku. Ya, sejak dulu aku memang tidak banyak berubah.
Masih suka kekonyolan, masih suka ngumpul bareng teman-teman yang sama gilanya
seperti aku. Menyukai kebebasan. Selama ini Susan tak pernah mengeluh dengan
semua kekurangannku. Dia benar-benar perempuan yang baik.
Seperti kamu Dik, dari dulu tak pernah mengeluhkan sifat dan kebiasaanku.
Bahkan aku kira kita itu adalah orang paling kompak. Kita sering satu pemikiran.
Keinginan dan apa yang kita sukai selalu sama.
Kamu tak pernah lupa jika aku
menyukai pete kan Dik? Makanan paling bau dan sebagian besar gadis benci dengan
laki-laki pemakan pete, tapi kamu tidak. Bahkan kamu pernah menemaniku makan
nasi goreng pete kesukaanku waktu itu. Terimakasih Dik…
“Susan kemarin menelpon ibu, ia bertanya kabar, dan katanya hari
ini dia akan ke sini datang menemui kamu. Ia berpesan sama ibu, kalau kamu tak
usah ke rumahnya. Biar dia yang ke sini sambil jalan-jalan juga katanya. Habis
makan kamu cepet mandi ya, biar pas Susan datang sudah wangi.” Ujar ibu. Aku
mengangguk sambil terus mengunyah sarapan.
Walaupun aku sudah berusia 27 tahun, ibu tetap saja memperlakukanku
sebagai anak kecilnya, tak jarang ibu mengingatkanku untuk melakukan ini itu
agar jangan sampai aku lupa melakukannya. Ibu memang luar biasa.
**
Jam 10-an Susan datang. Menggunakan rok pendek berwarna biru tua selutut
dengan kaos merah muda. Dia cantik. Tersenyum kepadaku. Menyapa hangat lalu
menjabat tangaku. Dan berkata “Gara aku kangen, kamu apa kabar?”
Aku menjawab dengan anggukan, dan bertanya kabar dia. Tak lupa aku
membalas dengan senyuman pula. Senyum yang kata kamu manis Dik. Aku
juga gak tahu manisnya seperti apa, tapi aku selalu senang jika kamu sudah
bilang begitu. Aku merasa tersanjung.
Susan aku persilahkan duduk. Aku berniat mengambilkan minuman dan
makanan kecil. Tapi yang disuruh duduk malah pamit katanya kangen sama ibu dan
bapak. Ia berlalu meninggalkanku sendiri di teras depan. Duduk di kursi yang
semalam aku duduki untuk melamunkan segala hal tentang kamu Dik.
Sungguh lamunan itu tak akan pernah hilang. Seperti kekalnya
harapan dalam hatiku bahwa semua ini akan berubah. Tak jarang aku berharap jika
suatu saat kita bisa bersama. Walaupun harapan itu terdengar begitu jahat, tapi
ah, aku tak tahu, mengapa aku memiliki harapan itu. Susan, dan dia yang kini
juga menjadi pasanganmu pasti akan sangat sakit hati jika tahu tentang perasaan
kita. Perasaan kita yang masih tumbuh subur. Semakin subur dari sejak 10 tahun yang lalu. Sejak
kamu duduk di bangku SMA.
Dik… mengapa dulu kamu sempat menghilang dan pergi?
Padahal kita sudah tahu perasaan kita masing-masing. Apa karena alasan itu?
Gara-gara dia dan aku bersahabat? Kamu tak mau menghancurkan persahabatan kami,
lantas kamu memilih pergi untuk tidak memilih keduanya. Kali itu aku memang
menganggap jika kamu begitu bijak Dik. Tapi lihatlah akibatnya kepada perasaanku. Dia sahabatku
sudah terlebih dahulu menikah dan memiliki putra, sedangkan aku di sini masih
belum mampu melupakanmu. Hampir bertunangan dengan Susan tapi masih tak bisa
lari dari sosokmu. Aku sadar, aku adalah manusia yang paling berdosa atas ini
semua. Susan yang baik tak tahu jika hatiku kini masih terbagi, dan kamu juga
sudah ada orang lain di sana.
Kadang aku menyesali waktu yang telah berlalu. Mengapa dulu aku tak
berlaku tegas. Mengapa tak kurebut saja kamu darinya. Mungkin kini aku tak harus merasa
kehilangan kamu. Mungkin bisa jadi yang kini sedang bercakap-cakap dengan ibu
dan bapakku di dalam adalah kamu Dik.
Ah, Dik, apakah kamu merasakan hal yang
sama. Dik, aku rindu.
Kucoba membuka halaman Facebook. Biasanya kamu suka update status.
Kalimat-kalimat manis yang sering mengobati kerinduanku. Kamu sejak SMA memang
pandai merangkai kata. Tapi sekarang lain. Sekarang kamu lebih hebat Dik. Aku
semakin suka.
Aku juga membuka BBM melihat dan mencari kabar tentang kamu. Tapi
jujur aku tak berani menyapamu hari ini. Tahu sendiri kan, jika sudah ngobrol
kita susah berhenti. Nanti saja hari senin ya Dik. Aku kabari kamu, semoga aku
tidak mengganggumu.
**
Susan datang mendekat, membuyarkan lamunan. Dia tampak sangat bahagia, berjalan
melenggak-lenggok manja. Kemudian merangkulkan tangannya ke bahuku. Lalu,
“Gara, ibu bilang hari ini kita akan pergi jalan-jalan. Memilih
cincin buat nanti kita tunangan.”
Wajahnya yang manis, begitu ceria. Tampak sekali kesukacitaan di
matanya. Aku tersenyum lalu menghela nafas panjang. Membayangkan seandainya
yang bicara di depanku itu adalah kamu Dik…
Ah, hatiku menangis pedih. Aku sakit dengan keadaan ini. Seandainya
aku bisa lupa ingatan. Dan bisa memilih siapa yang mau aku ingat, maka aku tak
ingin mengingatmu Dik. Mengingatmu adalah hal yang menyakitkan.
Aku hanya ingin ingat Susan, dan keluargaku. Tapi kamu? Kamu juga
sebenarnya tak ingin bahkan tak mampu aku lupakan. Dik… sungguh kini aku rindu...
Dik, kali ini aku mohon keluarkan aku dari keadaan ini. Bawakan Doraemon
itu. Robot ajaib yang selalu kita cita-citakan bisa memilikinya sejak kita SMA
dulu. Kemarin terakhir kamu menelponku, kita sempat membahasnya lagi. Aku ingin
memiliki robot copy, biar yang menikah dengan Susan bukan aku. Dan aku ingin
pintu kemana saja kali ini juga. Biar aku bisa menjemputmu dan berkata bahwa
aku juga ingin menikah denganmu. Dik, bagaimana ini?
Ah, mungkin kalian akan mentertawakanku dengan khayalan tentang Doraemon
itu. Tapi mohon mengerti posisiku kali ini. Terserah apa pendapat kalian. Yang
jelas kali ini aku bagai hidup segan mati tak mau. Aku segan hidup jika harus
dengan Susan, dan aku tak mau mati jika bukan di sisimu Dik. Kamu adalah
pengisi hatiku, tapi enthah mengapa kita tak pernah menjadi satu.
Susan menarik tanganku. Meyuruhku mengganti pakaian untuk bersiap
pergi. Matanya menatapku dengan penuh kedamaian. Aku melihat ketulusan yang
luar biasa di matanya. Susan yang selalu baik, selalu bisa menerimaku, selalu
bisa memaklumiku, dan tempo hari ia menyatakan kesiapan bahwa ia akan mau hidup
denganku apapun keadaanku. Membuatku tak bisa menolak. Aku tersenyum
mengiyakan. Kakiku melangkah, meniti anak tangga ke lantai dua rumahku. Meniti
tangga demi tangga yang penuh dengan kenangan tentang kamu. Masuk ke dalam kamar
yang juga penuh dengan angan-angan tentang kamu. Kemudian menyempatkan diri
untuk keluar, melihat kursi dimana kita sempat bercanda di sana. Aku menatap si
loreng, melihat syal pemberianmu, yang menggantung di balik pintu, melihat topi
coklat yang katanya kamu suka jika aku memakai topi itu.
Aku tertegun sejenak
di teras luar kamarku. Menyadari semuanya telah begitu dekat di depan mata.
Menyadari bahwa hidup bukanlah tentang apa yang kita inginkan, tetapi hidup
adalah tentang apa yang kita jalani. Susan, dia adalah kehidupanku sekarang.
**
Dik… mungkin suatu saat akhirnya aku harus pamit. Aku akan
menghabiskan waktu sepanjang hidup dengan Susan. Ibu dan Bapak sudah sangat
suka kepadanya. Hatin Susan pun sudah aku tawan selama dua tahun tahun. Harapnnya
untuk hidup bersama denganku 100 %. Dan kamu yang sempat menghilang kemudian
datang lagi. Aku fikir kamu datang terlambat. Aku rindu, aku memang cinta, dan pastinya aku sayang padamu.
Tapi benar apa yang sering kamu katakan. Sebuah kutipan kalimat dari seorang penulis yang
kamu sukai, bahwa terkadang Tuhan hanya mempertemukan, bukan mempersatukan.
Aku kepada Susan sudah berjanji akan menghabiskan sisa hidupku
bersamanya. Sedangkan denganmu, memang kita tak pernah berjanji untuk menghabiskan
waktu bersama. Di masa lalu aku
berjanji bahwa aku tak akan pernah melupakanmu. Kali ini aku tepati janji itu kepadamu.
Sampai detik ini aku belum melupakanmu.
**
Aku berganti pakaian dengan pakaian yang paling pantas. Aku
menghela nafas panjang, menuruni tangga demi tangga, lalu menemui Susan yang
sedang ngobrol bersama ibu dan bapakku di ruang tengah. Mereka sangat akrab dan
hangat. Aku tersenyum ke arah mereka, Bapak memberi kode agar kami bertiga segera berangkat.
Matahari sudah mulai terik. Kami bertiga pamit kepada Bapak yang
kali itu lebih memilih menghabiskan hari libur di rumah. Adik-adikku entah
kemana mereka setelah sarapan tadi sudah menghilang dari rumah.
Dik, hari ini Ciamis begitu cerah. Matahari bersinar terang, pohon-pohon tampak hijau dan rindang. Udaranya pin masih sesejuk dulu.
Aku mengemudikan mobil menyusuri
jalanan dengan penuh suka cita. Bukan hanya karena aku mau membeli cincin
tunangan, tapi karena di setiap jalan yang aku lewati ada cerita kekonyolan
kita dan cerita cinta kita 10 tahun yang lalu.
Kamu pasti lebih bisa mengingat semuanya. Pasti.
Hehe...memang hidup bukanlah tentang apa yg kita inginkan tetapi hidup adalah tentang apa yg kita jalani..so..ttp semangaaat😊
ReplyDeletehihi... iya bener banget. Syemangaaaat. :-)
ReplyDeleteTo be continue yahh...Nungguin ending nya heheh
ReplyDeleteNice story
R21
dear R21 siapa dirimuuuuhhh.... heheh... iya nanti inshaallah kalo mood nya bagus dilanjutin ya. heu... endingnya gimana yaaaa....?
ReplyDeleteEndingnya pasti,bertepuk sebelah tangan
DeleteR21