Search This Blog

Friday, June 24, 2016

SEBUAH JANJI



Dik, Ciamis pagi ini dingin sekali. Sama dinginnya dengan secangkir kopi yang tak sempat aku teguk tadi malam. Cangkirnya masih berada di atas meja sejak tadi malam. Aku sampai lupa waktu, tercenung duduk di teras depan rumah, memandangi malam yang gelap tapi seolah menjadi terang benderang ketika bayang wajahmu muncul di pelupuk mataku. 

Mendengarkan apapun yang tertangkap telingaku, tapi rasanya suaramu yang selalu memenuhi ruang pendengaranku. Terngiang-ngiang tak mau hilang. Aku semalam menunggui jam dinding yang seolah begitu lambat jarumnya berputar, lama sekali untuk menahan rindu kepadamu Dik… 
Ini baru saja jum’at malam. Harus menunggu berapa jam lagi agar aku bisa kembali bersenda gurau dengan kamu. Hari senin masih lama. Walau hanya lewat chat, aku seolah bisa memandangmu, aku seolah bisa mencium bau wangi farpum di bajumu, wangi yang sama sejak dulu kamu duduk di bangku SMA.
Dik, kamu tahu, semalam aku susah sekali memejamkan mata. Aku tak bisa mengusir kenangan yang kian menari dalam ingatan. Aku tahu, aku bukan siapa-siapanya kamu. Kitapun tak pernah denga sengaja mengukir janji untuk melanjutkan kehidupan bersama. Tapi sungguh dik, kamu adalah manusia pertama yang berhasil membuatku tak pernah mampu benar-benar melupakan sosok manusia lain.
Mungkin hanya sekitar dua jam aku lupa. Hanya dua jam saja aku benar-benar tertidur lelap, itupun lagi-lagi kamu masih sempat hadir kedalam mimpiku. Kenapa Dik, kamu begitu menguasai fikiranku? Dan kini saat aku kembali terjaga, nama yang paling dulu aku ingat adalah namamu, Lucina Handayani.
**
“Gara… Kamu lagi apa? Sudah bangun belum?” 
Suara ibu memanggil dari balik pintu kamar.
“Iya Bu… sudah” 
Aku menjawab sambil setengah meloncat dari tempatku berbaring. Segera kurapikan selimut hangat itu, dan membereskan bantal juga guling yang selalu setia menemani tidurku jika aku kembali ke rumah ini. Rumah masa kecilku yang aku tinggalkan setiap semingggu sekali aku pulang. Pulang menemui kasur ini, bantal dan guling ini, selimut ini, menemui rumahku, orangtuaku, adik-adikku. Satu lagi yang tak pernah aku lupakan, menemui boneka harimau besar, yang seingatku itu dihadiahkan Bapak ketika aku duduk di bangku SD. Boneka itu awet hingga sekarang. Ibuku dengan telaten merawatnya, mencucikannya ke laundry setiap tiga bulan sekali. Sampai sekarang si loreng itu masih setia menemaniku tidur walau aku tidak lagi memeluknya.
Oh iya Dik, aku juga ingat, saat kamu datang ke sini dulu, kamu bilang bahwa kau suka sama si loreng. Kamu ingat gak Dik?
Pintu sekali lagi di ketuk dari luar, ibuku memanggil agar aku segera turun untuk sarapan bersama di ruang makan. Memang sudah menjadi kebiasaan di dalam keluargaku jika makan harus bersama-sama. Ibu dan Bapak bilang biar keluarga tetap terasa hangat. Apalagi kini aku sudah jarang ada di rumah. Aku adalah orang yang paling ditunggu untuk hadir di setiap acara makan.
Aku pergi sejenak ke kamar mandi untuk mencuci muka. Hari ini Ciamis begitu dingin membuatku harus menunda jadwal mandi. Sangat berbeda dengan kota Tanggerang yang udaranya panas, setiap hari bajuku basah dengan keringat.
Aku menuruni tangga satu persatu. Seolah meniti satu demi satu bayangan masa lalu. Kamu juga dulu pernah menaiki anak tangga ini Dik. Kamu pernah naik ke ruang atas rumahku, dan kita bicara di teras atas memandangi langit yang biru dan kita bercanda bersama di sana walau pada kenyataannya kamu bersama dia. 
Ah, sudahlah, aku tak mau mengingat dia. Dia yang hanya bisa membuatku merasa cemburu karena saat itu dia lebih dahulu bisa merebut hatimu. Tapi aku tahu, itu bukan salahmu, karena aku sendiri datang belakangan dan tanpa tahu kenapa hatiku tiba-tiba jatuh kepadamu.  Lucina Handayani.
Di anak tangga terakhir, aku melihat bayangmu saat kamu pamit pulang, kamu melambaikan tangan dengan manja. Kamu bilang “Sampai ketemu lagi, Kak Gara lucu orangnya ya, aku suka sama kakak”.
Sejak saat itu mungkin kita berbeda dalam mengartikan kata "suka". Aku yakin kamu hanya suka karena aku sering bercanda dan pandai meramaikan suasana. Tapi laindengan hatiku. Aku berharap dan bahkan membuat kesimpulan sendiri bahwa kamu benar-benar suka kepadaku sejak saat itu, karena aku juga sudah terlanjur menyukaimu. Walupun kamu pada kenyataannya adalah milik dia. Ya, dia sahabatku sejak kecil. Dia yang sengaja membawamu main ke sini untuk dikenalkan sebagai pacarnya. Ah, kamu tahu bagaimana rasanya menjadi aku saat itu?
Pada awalnya aku bahagia melihatnya memiliki pacar secantik dan sebaik kamu. Tapi ternyata kamu bukan hanya cantik dan baik. Tapi kamu juga pandai mencuri hatiku. Dan aku cemburu kepadanya saat itu. Dik… aku rindu menatapmu.
**
Ruang makan sudah ramai dengan percakapan serta senda gurau adik-adikku dan juga ibu dan bapak. Mereka belum memulai sarapannya. Menunggu kursi tempatku terisi. Aku duduk berhadapan dengan ibu.
“Gara, bagaimana kabarnya Susan?” tiba-tiba kalimat itu mengagetkanku. Lamunan tentang kamu buyar seketika. Susan adalah seseorang yang kini menjadi kekasihku. Sudah sejak dua tahun kami bersama, dan sudah sejak dua bulan yang lalu pula kami bahkan berencana untuk bertunangan. Tapi orangtuanya belum mengizinkan kami menikah karena masih ada kakak Susan yang belum menikah. Kami terpaksa harus menunggu demi menghormati perasaan kakaknya.
Dadaku terhenyak mendengar nama Susan disebut. Ada semacam perasaan bersalah yang terlalu besar bersarang di dalam hatiku. Susan adalah gadis yang baik, dia selalu sabar menghadapi apapun kelakuanku. Ya, sejak dulu aku memang tidak banyak berubah. Masih suka kekonyolan, masih suka ngumpul bareng teman-teman yang sama gilanya seperti aku. Menyukai kebebasan. Selama ini Susan tak pernah mengeluh dengan semua kekurangannku. Dia benar-benar perempuan yang baik.
Seperti kamu Dik, dari dulu tak pernah mengeluhkan sifat dan kebiasaanku. Bahkan aku kira kita itu adalah orang paling kompak. Kita sering satu pemikiran. Keinginan dan apa yang kita sukai selalu sama. 
Kamu tak pernah lupa jika aku menyukai pete kan Dik? Makanan paling bau dan sebagian besar gadis benci dengan laki-laki pemakan pete, tapi kamu tidak. Bahkan kamu pernah menemaniku makan nasi goreng pete kesukaanku waktu itu. Terimakasih Dik…
“Susan kemarin menelpon ibu, ia bertanya kabar, dan katanya hari ini dia akan ke sini datang menemui kamu. Ia berpesan sama ibu, kalau kamu tak usah ke rumahnya. Biar dia yang ke sini sambil jalan-jalan juga katanya. Habis makan kamu cepet mandi ya, biar pas Susan datang sudah wangi.” Ujar ibu. Aku mengangguk sambil terus mengunyah sarapan.
Walaupun aku sudah berusia 27 tahun, ibu tetap saja memperlakukanku sebagai anak kecilnya, tak jarang ibu mengingatkanku untuk melakukan ini itu agar jangan sampai aku lupa melakukannya. Ibu memang luar biasa.  
**
Jam 10-an Susan datang. Menggunakan rok pendek berwarna biru tua selutut dengan kaos merah muda. Dia cantik. Tersenyum kepadaku. Menyapa hangat lalu menjabat tangaku. Dan berkata “Gara aku kangen, kamu apa kabar?”
Aku menjawab dengan anggukan, dan bertanya kabar dia. Tak lupa aku membalas dengan  senyuman  pula. Senyum yang kata kamu manis Dik. Aku juga gak tahu manisnya seperti apa, tapi aku selalu senang jika kamu sudah bilang begitu. Aku merasa tersanjung.
Susan aku persilahkan duduk. Aku berniat mengambilkan minuman dan makanan kecil. Tapi yang disuruh duduk malah pamit katanya kangen sama ibu dan bapak. Ia berlalu meninggalkanku sendiri di teras depan. Duduk di kursi yang semalam aku duduki untuk melamunkan segala hal tentang kamu Dik.
Sungguh lamunan itu tak akan pernah hilang. Seperti kekalnya harapan dalam hatiku bahwa semua ini akan berubah. Tak jarang aku berharap jika suatu saat kita bisa bersama. Walaupun harapan itu terdengar begitu jahat, tapi ah, aku tak tahu, mengapa aku memiliki harapan itu. Susan, dan dia yang kini juga menjadi pasanganmu pasti akan sangat sakit hati jika tahu tentang perasaan kita. Perasaan kita yang masih tumbuh subur. Semakin subur dari sejak 10 tahun yang lalu. Sejak kamu duduk di bangku SMA. 
Dik… mengapa dulu kamu sempat menghilang dan pergi? Padahal kita sudah tahu perasaan kita masing-masing. Apa karena alasan itu? Gara-gara dia dan aku bersahabat? Kamu tak mau menghancurkan persahabatan kami, lantas kamu memilih pergi untuk tidak memilih keduanya. Kali itu aku memang menganggap jika kamu begitu bijak Dik. Tapi lihatlah akibatnya kepada perasaanku. Dia sahabatku sudah terlebih dahulu menikah dan memiliki putra, sedangkan aku di sini masih belum mampu melupakanmu. Hampir bertunangan dengan Susan tapi masih tak bisa lari dari sosokmu. Aku sadar, aku adalah manusia yang paling berdosa atas ini semua. Susan yang baik tak tahu jika hatiku kini masih terbagi, dan kamu juga sudah ada orang lain di sana.   
Kadang aku menyesali waktu yang telah berlalu. Mengapa dulu aku tak berlaku tegas. Mengapa tak kurebut saja kamu darinya. Mungkin kini aku tak harus merasa kehilangan kamu. Mungkin bisa jadi yang kini sedang bercakap-cakap dengan ibu dan bapakku di dalam adalah kamu Dik. 
Ah, Dik, apakah kamu merasakan hal yang sama. Dik, aku rindu.
Kucoba membuka halaman Facebook. Biasanya kamu suka update status. Kalimat-kalimat manis yang sering mengobati kerinduanku. Kamu sejak SMA memang pandai merangkai kata. Tapi sekarang lain. Sekarang kamu lebih hebat Dik. Aku semakin suka.
Aku juga membuka BBM melihat dan mencari kabar tentang kamu. Tapi jujur aku tak berani menyapamu hari ini. Tahu sendiri kan, jika sudah ngobrol kita susah berhenti. Nanti saja hari senin ya Dik. Aku kabari kamu, semoga aku tidak mengganggumu.
**
Susan datang mendekat, membuyarkan lamunan. Dia tampak sangat bahagia, berjalan melenggak-lenggok manja. Kemudian merangkulkan tangannya ke bahuku. Lalu,
“Gara, ibu bilang hari ini kita akan pergi jalan-jalan. Memilih cincin buat nanti kita tunangan.”
Wajahnya yang manis, begitu ceria. Tampak sekali kesukacitaan di matanya. Aku tersenyum lalu menghela nafas panjang. Membayangkan seandainya yang bicara di depanku itu adalah kamu Dik…
Ah, hatiku menangis pedih. Aku sakit dengan keadaan ini. Seandainya aku bisa lupa ingatan. Dan bisa memilih siapa yang mau aku ingat, maka aku tak ingin mengingatmu Dik. Mengingatmu adalah hal yang menyakitkan.
Aku hanya ingin ingat Susan, dan keluargaku. Tapi kamu? Kamu juga sebenarnya tak ingin bahkan tak mampu aku lupakan. Dik… sungguh kini aku rindu...
Dik, kali ini aku mohon keluarkan aku dari keadaan ini. Bawakan Doraemon itu. Robot ajaib yang selalu kita cita-citakan bisa memilikinya sejak kita SMA dulu. Kemarin terakhir kamu menelponku, kita sempat membahasnya lagi. Aku ingin memiliki robot copy, biar yang menikah dengan Susan bukan aku. Dan aku ingin pintu kemana saja kali ini juga. Biar aku bisa menjemputmu dan berkata bahwa aku juga ingin menikah denganmu. Dik, bagaimana ini?
Ah, mungkin kalian akan mentertawakanku dengan khayalan tentang Doraemon itu. Tapi mohon mengerti posisiku kali ini. Terserah apa pendapat kalian. Yang jelas kali ini aku bagai hidup segan mati tak mau. Aku segan hidup jika harus dengan Susan, dan aku tak mau mati jika bukan di sisimu Dik. Kamu adalah pengisi hatiku, tapi enthah mengapa kita tak pernah menjadi satu.
Susan menarik tanganku. Meyuruhku mengganti pakaian untuk bersiap pergi. Matanya menatapku dengan penuh kedamaian. Aku melihat ketulusan yang luar biasa di matanya. Susan yang selalu baik, selalu bisa menerimaku, selalu bisa memaklumiku, dan tempo hari ia menyatakan kesiapan bahwa ia akan mau hidup denganku apapun keadaanku. Membuatku tak bisa menolak. Aku tersenyum mengiyakan. Kakiku melangkah, meniti anak tangga ke lantai dua rumahku. Meniti tangga demi tangga yang penuh dengan kenangan tentang kamu. Masuk ke dalam kamar yang juga penuh dengan angan-angan tentang kamu. Kemudian menyempatkan diri untuk keluar, melihat kursi dimana kita sempat bercanda di sana. Aku menatap si loreng, melihat syal pemberianmu, yang menggantung di balik pintu, melihat topi coklat yang katanya kamu suka jika aku memakai topi itu. 
Aku tertegun sejenak di teras luar kamarku. Menyadari semuanya telah begitu dekat di depan mata. Menyadari bahwa hidup bukanlah tentang apa yang kita inginkan, tetapi hidup adalah tentang apa yang kita jalani. Susan, dia adalah kehidupanku sekarang.
**
Dik… mungkin suatu saat akhirnya aku harus pamit. Aku akan menghabiskan waktu sepanjang hidup dengan Susan. Ibu dan Bapak sudah sangat suka kepadanya. Hatin Susan pun sudah aku tawan selama dua tahun tahun. Harapnnya untuk hidup bersama denganku 100 %. Dan kamu yang sempat menghilang kemudian datang lagi. Aku fikir kamu datang terlambat. Aku rindu, aku memang  cinta, dan pastinya aku sayang padamu. Tapi benar apa yang sering kamu katakan. Sebuah kutipan kalimat dari seorang penulis yang kamu sukai, bahwa terkadang Tuhan hanya mempertemukan, bukan mempersatukan.
Aku kepada Susan sudah berjanji akan menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Sedangkan denganmu, memang kita tak pernah berjanji untuk menghabiskan waktu bersama. Di masa lalu aku berjanji bahwa aku tak akan pernah melupakanmu. Kali ini aku tepati janji itu kepadamu. Sampai detik ini aku belum melupakanmu.
**
Aku berganti pakaian dengan pakaian yang paling pantas. Aku menghela nafas panjang, menuruni tangga demi tangga, lalu menemui Susan yang sedang ngobrol bersama ibu dan bapakku di ruang tengah. Mereka sangat akrab dan hangat. Aku tersenyum ke arah mereka, Bapak memberi kode agar kami bertiga segera berangkat.
Matahari sudah mulai terik. Kami bertiga pamit kepada Bapak yang kali itu lebih memilih menghabiskan hari libur di rumah. Adik-adikku entah kemana mereka setelah sarapan tadi sudah menghilang dari rumah.
Dik, hari ini Ciamis begitu cerah. Matahari bersinar terang, pohon-pohon tampak hijau dan rindang. Udaranya pin masih sesejuk dulu. 
Aku mengemudikan mobil menyusuri jalanan dengan penuh suka cita. Bukan hanya karena aku mau membeli cincin tunangan, tapi karena di setiap jalan yang aku lewati ada cerita kekonyolan kita dan cerita cinta kita 10 tahun yang lalu.
Kamu pasti lebih bisa mengingat semuanya. Pasti.


Share/Bookmark

5 comments:

  1. Hehe...memang hidup bukanlah tentang apa yg kita inginkan tetapi hidup adalah tentang apa yg kita jalani..so..ttp semangaaat😊

    ReplyDelete
  2. hihi... iya bener banget. Syemangaaaat. :-)

    ReplyDelete
  3. To be continue yahh...Nungguin ending nya heheh

    Nice story
    R21

    ReplyDelete
  4. dear R21 siapa dirimuuuuhhh.... heheh... iya nanti inshaallah kalo mood nya bagus dilanjutin ya. heu... endingnya gimana yaaaa....?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Endingnya pasti,bertepuk sebelah tangan
      R21

      Delete