Search This Blog

Monday, April 20, 2015

Biarkan Hati yang Memilih

Hidup tak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Semuanya serba pilihan. Namun Tuhan selalu Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita. Kita dipertemukan dengan seseorang oleh Tuhan tentu bukan tanpa alasan. Entah itu alasan agar kita belajar, mengajarkan, bersabar, atau menguji kesabaran, entah jadi yang terbaik atau bukan. Namun karena Tuhan yang mempertemukan, yakinlah, bahwa tidak akan ada yang sia-sia. Selalu, lakukanlah yang terbaik tanpa mengharapkan pamrih. Niscaya Tuhan Maha Tahu apa balasannya untuk setiap apa yang kita lakukan, setiap apa yang kita usahakan.


Namanya Suprayoga Agas Ramadhan. Namun panggil saja ia dengan nama Agas. Pemuda berusia 28 tahun itu berkulit nyaris mendekati putih. Tapi belum pernah satupun kawan atau saharbatnya mengkategorikan  ia kepada laki-laki berkulit putih. Anggap saja ia berkulit sawo matang seperti pada umumnya kebanyakan orang Indonesia. Ia bermata coklat, tinggi tubuh standar, tidak terlalu jangkung, tapi cukup atletis dan enak dipandang. Sepadan dengan bentuk wajahnya yang sedikit kotak, menggambarkan ketegasan tulang pipnya. Di tempat kerjanya Agas boleh diketeorikan kepada jajaran laki-laki berwajah tampan.
Agas memang bukan keturunan orang yang kaya raya, keluarganya orang biasa. Tapi Agas memiliki semangat tinggi untuk terus bekerja, dan memiliki keinginan yang kuat untuk mengubah nasib. Ia merindukan nasib yang lebih baik, ia bermimpi untuk menjadi manusia yang berhasil seperti yang dicita-citakan almarhum ayahnya dan seperti setiap do’a-do’a yang selalu dipanjatkan oleh sang ibunda.
Agas, di usianya yang ke 28 tahun boleh dibilang ia sudah menjadi pemuda yang matang. Pekerjaan yang menjanjikan, paras yang cukup tampan, ya… lebih tepat jika dibilang ia memiiki paras yang menarik, apa lagi yang kurang. Namun setelah ia melepaskan diri  dari 2 orang tambatan hatinya, ia belum juga berani menentukan kapan ia akan menikah. Seringkali ibunya mengajukan pertanyaan kapan ia akan memberikan cucu untuk nya. Agas selalu beralasan ia belum menemukan orang yang tepat. Namun apalagi yang ia tunggu, kelelahannya bergelut di  dunia kerja memerlukan tempat peristirahatan. Hatinya yang sekarang panas dengan memerlukan penenang. Ia memerlukan istri yang bisa mendukungnya dalam berbagai hal. Istri yang bisa mengerti semua kelelahannya, mengerti setiap kesibukannya, dan siap memberi dorongan saat ia jatuh, bangkit dan berdiri kembali.
“Agas anak ibu, kapan kamu mau membawa Aima ke rumah? Ibu ingin segera mengenalnya lebih jauh
“.  Kalimat itu yang sekarang selalu mengantung di fikirannya.menganggu konsentrasi nya bekerja. Ibunya selalu bertanya dan bertanya. Berharap banyak ia segera membawa Aima, perempuan yang sekarang menjadi seseorang yang ada dekat di hatinya. Namun entah kenapa, sampai saat ini hatinya belum juga mantap, belum juga merasa yakin bahwa Aima adalah cinta terakhirnya.
Aima memang begitu cantik. Wajahnya ayu, kulitnya  mulus, dengan badan semampai. Pantas memakai pakaian dengan model apapun. sepadan dengan nya. Kata orang, jika meraka berjalan bergandengan maka merekalah pasangan yang pling serasi di dunia. Yang satu cantik dan satunya ganteng. Saat pertama kali Agas menemukannya, Aima adalah gadis cantik yang lugu, sederhana dan pandai memasak. Aima adalah sosok idaman pria. Dan satu yang membuat Agas jatuh hati kepada Aima adalah seorang pekerja keras. Agas meyakini jika nanti suatu saat ia harus terpuruk maka Aima takan mengeluhkan keadaan. Aima akan siap seiring sejalan dengan nya, apapun yang ia alami.
Tahun pertama, Aima menjadi gadis cantik yang hampir tak ada celah kekurangannya, tahun kedua Aima mulai menunjukkan sifat-sifat yang membuat Agas sedikit gerah, dan tahun ketiga, Agas sudah hampir geram dengan semua sifat Aima. Ternyata Aima tak sebaik yang ia kira. Aima ternyata tak sepenuhnya bisa menerima kekurangan dirinya, keterbatasannya. Tahun ketiga banyak sekali konflik yang mereka alami. Aima kerap tak mengerti dengan pekerjaan Agas. Padahal, sebisa mungkin Agas selalu menyempatkan waktu sepenuhnya untuk bersama Aima setiap hari sabtu dan minggu saat ia libur kerja. Namun itu semua jarang dihargai oleh Aima. Sejak tahun ketiga Agas merasa semakin tidak mengenal kekasihnya itu. Itu sebabnya Agas selalu menunda dan mencari alasan untuk tidak membawa Aima ke Rumah dan mengenalkan nya kepada sang Ibunda. Agas begitu takut membawakan menantu yang salah, dan begitu khawatir memilih ibu yang keliru untuk cucu-cucu ibunya kelak.
Aima yang mulai banyak maunya, keras kepala, dan selalu ingin menang sendiri membuat Agas selalu ragu. Benarkah Aima itu akan ia jadikan penghuni rumahnya kelak. Rumah yang kini sedang ia persiapakan untuk keluarganya kelak. Rumah cantik dengan desain indah buatan nya sendiri, sebagai gambaran mimpi-mimpinya, bahwa suatu saat Ia akan menjadi kepala keluarga dari seorang istri yang pandai memasak, merawat tanaman di pekarangan rumahnya, membesarkan anak-anak bersama denan penuh kasih sayang. Semua mimpinya ia gambarkan dalam rumah yang kini sedang dalam proses pembangunan. Namun siapa sebenarnya yang akan diajak Agas untuk menghuni rumah impian tersebut? Aima? Entahlah ia semakin tak mengerti. Semakin hari semakin hambar rasa yang ia miliki untuk gadisnya itu. Setiap bertemu hanya berjalan-jalan untuk mengantarnya belanja dan membelanjainya, setiap bertegur sapa via telephone hanya permintaan ini itu yang Aima sampaikan. Bukan bertanya kabar, bukan menyampaikan kalimat rindu dan perhatian yang ia dapatkan. Padahal itu semua yang sangat Agas harapkan. Lama-lama ia merasa tak punya arah dengan hubungan yang ia jalin dengan Aima.
Suatu waktu di tengah kesibukannya yang teramat sangat, ia tiba-tiba merasa jenuh. Ia memutuskan untuk tak menghubungi Aima untuk beberapa hari. Pada awalnya ia mengira Aima akan mencarinya, menelpon dan bertanya mengapa ia tak menemuinya. Tapi apa yang terjadi, Aima ternyata asik dengan dunianya sendiri. Ia semakin asik denan teman-teman kuliahnya, menonton, belanja, dan jalan-jalan. Agas semakin yakin bahwa Aima bukanlah seseorang yang terbaik. Namun ada yang tak bisa dipungkiri. Dalam hatinya selalu ada sesuatu yang selalu bisa membendung kemarahannya kepada Aima. Sejauh ini Agas selalu bisa memaklumi apapun permintaan Aima, apapun sifat Aima. Entah apa itu alasannya, sifat sabarnyakah, atau kebaikan hatinya kah? Agas tak tahu persis. Keraguannya untuk membawa Aima kepada ibunya sama besarnya dengan keraguan nya melanjutkan hubungannya dengan Aima.
Hambar dan hampa…. Itulah apa yang sekarang Agas rasakan. Ia merasa berjalan di atas awan, tak tahu harus kemana ia arahkan langkahnya. Saat ini, ia hanya ingin beristirahat sebentar dari pekerjaan dan peliknya masalah dengan dengan Aima.
***
Sabtu sore yang basah, hujan turun rintik-rintik. Agas bermalas-malasan di tempat tidurnya. Tak ada yang mau ia lakukan. Rasanya semua membosankan. Hanya handphonenya yang tak bosan ia bolak-balikan. Tiba-tiba sebuah nama melintas di kepalanya, “Dinda”. Seorang teman baru yang bekerja di gedung kantor sebelah. Dinda adalah seseorang yang pernah menawarkan jasa tumpangan payung saat hujan turun deras di senin pagi. Orangnya begitu hangat, ramah, dan satu yang begitu membekas dalam ingatan Agas, yaitu, senyumnya yang manis dan mendamaikan jiwa. Dinda ramah, mampu berkomunikasi dengan baik, sederhana, dan terlihat begitu mandiri. Memiliki prinsip hidup, dan tak mudah terbawa arus. Tak seperti Aima, selalu ingin tampak modis, setiap ada trend pakaian terbaru selalu ingin mengikutinya. Membuatnya cape mengantarnya belanja sana-sini. Agas tak pernah mengeluhkan seberapa materi yang ia keluarkan untuk membelanjai gadisnya, tapi ada satu pertanyaan, yaitu : “Tidak bisakah Aima lebih dewasa dalam menyikapi itu semua?” Toh hidup bukan sekedar modis dan penampilan. Masih ada banyak hal yang lebih berarti. Terutama melakukan hal-hal yang lebih berarti untuk mempersiapakan masa depan dengan nya. Menyamakan visi misi misalkan? Berbicara dari hati ke hati, mengenal diri masing-masing secara mendalam? Atau apapun… Ah… entahlah. Selama ini Agas semakin merasa kalau Aima adalah hanya menganggapnya sekedar teman kencan dan jalan-jalan. Ia tak merasa  berkesempatan untuk menjadi calon pemimpin untuk nya. Diberi arahan saja Aima menolak. Dikasih saran saja Aima membantah, diberi nasihat Aima pergi dari hadapannya. Itu semua membuat Agas jengah. Tapi sekaligus tak mengerti bahwa dalam hatinya ia belum sepenuhnya tega melepas Aima, masih ada secercah harapan bahwa ia mampu meluluhkan tabiat Aima. Sabar? Sampai kapankan ia harus bersabar?.
Dinda… 0896xxxxxxxx, ditekannya nomor kontak itu.
“Hallo… siapa ini?”
“Ya.. ini Agas, masih ingatkah?”
“O… ya… apa kabar mu Mas?”
“Kabar baik Din… Kamu sendiri?”
“Dinda baik juga Mas… Syukur kalau Mas Agas sehat, seneng Dinda dengernya…”
“Din, Besok ada waktu?, Mas Agas pengen ketemu, ada sesuatau yang ingin dibahas”
Tiba tiba kalimat itu yang keluar dari mulut Agas, tanpa niat dan tanpa disadari melompat begitu saja. Lantas apa bahasan yang akan dibicarakan nanti? Tentang perasaannya kepada Dinda yang sekarang perlahan mulai tumbuh? Atau hal lain, yang sebenarnya belum dapat terfikirkan dalam kepala Agas.
“Masalah apa Mas? Pekerjaan?”
“Eu… Bukan, tapi penting Din, bisa ya… Mas tunggu jam makan siang di tempat kita pernah makan siang bareng”
“O… ya udah Mas, inshaallah Dinda usahain”
“Ya Din… Terimakasih, sampai ketemu besok”
Seolah ahtinya mau melompat, melonjak-lonjak kegirangan. Ada semacam dorongan yang kuat yang membuat agas benar-benar ingin jigkrak-jingkrak saat itu.
***
Malam semakin meninggi, semenjak Agas menutup telpon Dinda tadi ian tak pernah bisa sedetikpun melupakan bayangan Dinda, ia selalu menari-nari di dalam fikirannya. Matanya tak jua terpejam, sepertinya kantuk enggan mendekat. Matanya masih bulat, dan bayangan Dinda makin jelas terlihat.
Malam itu Agas telah memutuskan bahwa Besok jam makan siang ia akan mengutarakan isi hatinya kepada Dinda, walau baru sebentar mengenal Dinda rasanya hatinya telah terbelit tali kasih kepada Dinda. Sejak awal melihat Dinda ada perasaan yang lain. Bukan cinta, tapi sebuah keyakinan. Bahwa Dinda adalah orang yang tepat untuk menjadi samudera dimana cintanya akan bermuara. Agas yakin Dinda adalah perempuan yang akan ia bawa untuk menjadi ibu dari cucu-cucu ibundanya.
Setelah keputusan itu diambil, damailah hati Agas, matanyapun terpejam, dan ia tertidur lelap. Sampai esok pagi mentari tertib di ufuk timur dan telphonnya berdering.  
“Halo sayang… sudah bangun belum… nanti siang temenin Aima Shoping mau ya… “
Deg…
???
*TAMAT




Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment