Namanya Suprayoga Agas Ramadhan.
Namun panggil saja ia dengan nama Agas. Pemuda berusia 28 tahun itu berkulit nyaris
mendekati putih. Tapi belum pernah satupun kawan atau saharbatnya
mengkategorikan ia kepada laki-laki
berkulit putih. Anggap saja ia berkulit sawo matang seperti pada umumnya
kebanyakan orang Indonesia. Ia bermata coklat, tinggi tubuh standar, tidak
terlalu jangkung, tapi cukup atletis dan enak dipandang. Sepadan dengan bentuk
wajahnya yang sedikit kotak, menggambarkan ketegasan tulang pipnya. Di tempat kerjanya
Agas boleh diketeorikan kepada jajaran laki-laki berwajah tampan.
Agas memang bukan keturunan orang
yang kaya raya, keluarganya orang biasa. Tapi Agas memiliki semangat tinggi
untuk terus bekerja, dan memiliki keinginan yang kuat untuk mengubah nasib. Ia
merindukan nasib yang lebih baik, ia bermimpi untuk menjadi manusia yang
berhasil seperti yang dicita-citakan almarhum ayahnya dan seperti setiap do’a-do’a
yang selalu dipanjatkan oleh sang ibunda.
Agas, di usianya yang ke 28 tahun
boleh dibilang ia sudah menjadi pemuda yang matang. Pekerjaan yang menjanjikan,
paras yang cukup tampan, ya… lebih tepat jika dibilang ia memiiki paras yang
menarik, apa lagi yang kurang. Namun setelah ia melepaskan diri dari 2 orang tambatan hatinya, ia belum juga
berani menentukan kapan ia akan menikah. Seringkali ibunya mengajukan
pertanyaan kapan ia akan memberikan cucu untuk nya. Agas selalu beralasan ia
belum menemukan orang yang tepat. Namun apalagi yang ia tunggu, kelelahannya bergelut
di dunia kerja memerlukan tempat
peristirahatan. Hatinya yang sekarang panas dengan memerlukan penenang. Ia
memerlukan istri yang bisa mendukungnya dalam berbagai hal. Istri yang bisa mengerti
semua kelelahannya, mengerti setiap kesibukannya, dan siap memberi dorongan
saat ia jatuh, bangkit dan berdiri kembali.
“Agas anak ibu, kapan kamu mau
membawa Aima ke rumah? Ibu ingin segera mengenalnya lebih jauh
“. Kalimat itu yang sekarang selalu mengantung
di fikirannya.menganggu konsentrasi nya bekerja. Ibunya selalu bertanya dan
bertanya. Berharap banyak ia segera membawa Aima, perempuan yang sekarang
menjadi seseorang yang ada dekat di hatinya. Namun entah kenapa, sampai saat
ini hatinya belum juga mantap, belum juga merasa yakin bahwa Aima adalah cinta
terakhirnya.
Aima memang begitu cantik. Wajahnya
ayu, kulitnya mulus, dengan badan
semampai. Pantas memakai pakaian dengan model apapun. sepadan dengan nya. Kata orang,
jika meraka berjalan bergandengan maka merekalah pasangan yang pling serasi di
dunia. Yang satu cantik dan satunya ganteng. Saat pertama kali Agas
menemukannya, Aima adalah gadis cantik yang lugu, sederhana dan pandai memasak.
Aima adalah sosok idaman pria. Dan satu yang membuat Agas jatuh hati kepada Aima
adalah seorang pekerja keras. Agas meyakini jika nanti suatu saat ia harus
terpuruk maka Aima takan mengeluhkan keadaan. Aima akan siap seiring sejalan
dengan nya, apapun yang ia alami.
Tahun pertama, Aima menjadi gadis
cantik yang hampir tak ada celah kekurangannya, tahun kedua Aima mulai
menunjukkan sifat-sifat yang membuat Agas sedikit gerah, dan tahun ketiga, Agas
sudah hampir geram dengan semua sifat Aima. Ternyata Aima tak sebaik yang ia
kira. Aima ternyata tak sepenuhnya bisa menerima kekurangan dirinya,
keterbatasannya. Tahun ketiga banyak sekali konflik yang mereka alami. Aima
kerap tak mengerti dengan pekerjaan Agas. Padahal, sebisa mungkin Agas selalu
menyempatkan waktu sepenuhnya untuk bersama Aima setiap hari sabtu dan minggu
saat ia libur kerja. Namun itu semua jarang dihargai oleh Aima. Sejak tahun
ketiga Agas merasa semakin tidak mengenal kekasihnya itu. Itu sebabnya Agas
selalu menunda dan mencari alasan untuk tidak membawa Aima ke Rumah dan
mengenalkan nya kepada sang Ibunda. Agas begitu takut membawakan menantu yang
salah, dan begitu khawatir memilih ibu yang keliru untuk cucu-cucu ibunya
kelak.
Aima yang mulai banyak maunya,
keras kepala, dan selalu ingin menang sendiri membuat Agas selalu ragu.
Benarkah Aima itu akan ia jadikan penghuni rumahnya kelak. Rumah yang kini
sedang ia persiapakan untuk keluarganya kelak. Rumah cantik dengan desain indah
buatan nya sendiri, sebagai gambaran mimpi-mimpinya, bahwa suatu saat Ia akan
menjadi kepala keluarga dari seorang istri yang pandai memasak, merawat tanaman
di pekarangan rumahnya, membesarkan anak-anak bersama denan penuh kasih sayang.
Semua mimpinya ia gambarkan dalam rumah yang kini sedang dalam proses
pembangunan. Namun siapa sebenarnya yang akan diajak Agas untuk menghuni rumah
impian tersebut? Aima? Entahlah ia semakin tak mengerti. Semakin hari semakin
hambar rasa yang ia miliki untuk gadisnya itu. Setiap bertemu hanya
berjalan-jalan untuk mengantarnya belanja dan membelanjainya, setiap bertegur
sapa via telephone hanya permintaan ini itu yang Aima sampaikan. Bukan bertanya
kabar, bukan menyampaikan kalimat rindu dan perhatian yang ia dapatkan. Padahal
itu semua yang sangat Agas harapkan. Lama-lama ia merasa tak punya arah dengan
hubungan yang ia jalin dengan Aima.
Suatu waktu di tengah
kesibukannya yang teramat sangat, ia tiba-tiba merasa jenuh. Ia memutuskan
untuk tak menghubungi Aima untuk beberapa hari. Pada awalnya ia mengira Aima
akan mencarinya, menelpon dan bertanya mengapa ia tak menemuinya. Tapi apa yang
terjadi, Aima ternyata asik dengan dunianya sendiri. Ia semakin asik denan teman-teman
kuliahnya, menonton, belanja, dan jalan-jalan. Agas semakin yakin bahwa Aima
bukanlah seseorang yang terbaik. Namun ada yang tak bisa dipungkiri. Dalam hatinya
selalu ada sesuatu yang selalu bisa membendung kemarahannya kepada Aima. Sejauh
ini Agas selalu bisa memaklumi apapun permintaan Aima, apapun sifat Aima. Entah
apa itu alasannya, sifat sabarnyakah, atau kebaikan hatinya kah? Agas tak tahu
persis. Keraguannya untuk membawa Aima kepada ibunya sama besarnya dengan
keraguan nya melanjutkan hubungannya dengan Aima.
Hambar dan hampa…. Itulah apa
yang sekarang Agas rasakan. Ia merasa berjalan di atas awan, tak tahu harus
kemana ia arahkan langkahnya. Saat ini, ia hanya ingin beristirahat sebentar
dari pekerjaan dan peliknya masalah dengan dengan Aima.
***
Sabtu sore yang basah, hujan
turun rintik-rintik. Agas bermalas-malasan di tempat tidurnya. Tak ada yang mau
ia lakukan. Rasanya semua membosankan. Hanya handphonenya yang tak bosan ia bolak-balikan.
Tiba-tiba sebuah nama melintas di kepalanya, “Dinda”. Seorang teman baru yang
bekerja di gedung kantor sebelah. Dinda adalah seseorang yang pernah menawarkan
jasa tumpangan payung saat hujan turun deras di senin pagi. Orangnya begitu
hangat, ramah, dan satu yang begitu membekas dalam ingatan Agas, yaitu,
senyumnya yang manis dan mendamaikan jiwa. Dinda ramah, mampu berkomunikasi
dengan baik, sederhana, dan terlihat begitu mandiri. Memiliki prinsip hidup,
dan tak mudah terbawa arus. Tak seperti Aima, selalu ingin tampak modis, setiap
ada trend pakaian terbaru selalu ingin mengikutinya. Membuatnya cape
mengantarnya belanja sana-sini. Agas tak pernah mengeluhkan seberapa materi
yang ia keluarkan untuk membelanjai gadisnya, tapi ada satu pertanyaan, yaitu :
“Tidak bisakah Aima lebih dewasa dalam menyikapi itu semua?” Toh hidup bukan
sekedar modis dan penampilan. Masih ada banyak hal yang lebih berarti. Terutama
melakukan hal-hal yang lebih berarti untuk mempersiapakan masa depan dengan nya.
Menyamakan visi misi misalkan? Berbicara dari hati ke hati, mengenal diri
masing-masing secara mendalam? Atau apapun… Ah… entahlah. Selama ini Agas
semakin merasa kalau Aima adalah hanya menganggapnya sekedar teman kencan dan
jalan-jalan. Ia tak merasa berkesempatan
untuk menjadi calon pemimpin untuk nya. Diberi arahan saja Aima menolak.
Dikasih saran saja Aima membantah, diberi nasihat Aima pergi dari hadapannya. Itu
semua membuat Agas jengah. Tapi sekaligus tak mengerti bahwa dalam hatinya ia
belum sepenuhnya tega melepas Aima, masih ada secercah harapan bahwa ia mampu
meluluhkan tabiat Aima. Sabar? Sampai kapankan ia harus bersabar?.
Dinda… 0896xxxxxxxx, ditekannya
nomor kontak itu.
“Hallo… siapa ini?”
“Ya.. ini Agas, masih ingatkah?”
“O… ya… apa kabar mu Mas?”
“Kabar baik Din… Kamu sendiri?”
“Dinda baik juga Mas… Syukur
kalau Mas Agas sehat, seneng Dinda dengernya…”
“Din, Besok ada waktu?, Mas Agas
pengen ketemu, ada sesuatau yang ingin dibahas”
Tiba tiba kalimat itu yang keluar
dari mulut Agas, tanpa niat dan tanpa disadari melompat begitu saja. Lantas apa
bahasan yang akan dibicarakan nanti? Tentang perasaannya kepada Dinda yang
sekarang perlahan mulai tumbuh? Atau hal lain, yang sebenarnya belum dapat
terfikirkan dalam kepala Agas.
“Masalah apa Mas? Pekerjaan?”
“Eu… Bukan, tapi penting Din,
bisa ya… Mas tunggu jam makan siang di tempat kita pernah makan siang bareng”
“O… ya udah Mas, inshaallah Dinda
usahain”
“Ya Din… Terimakasih, sampai
ketemu besok”
Seolah ahtinya mau melompat,
melonjak-lonjak kegirangan. Ada semacam dorongan yang kuat yang membuat agas
benar-benar ingin jigkrak-jingkrak saat itu.
***
Malam semakin meninggi, semenjak
Agas menutup telpon Dinda tadi ian tak pernah bisa sedetikpun melupakan
bayangan Dinda, ia selalu menari-nari di dalam fikirannya. Matanya tak jua
terpejam, sepertinya kantuk enggan mendekat. Matanya masih bulat, dan bayangan
Dinda makin jelas terlihat.
Malam itu Agas telah memutuskan
bahwa Besok jam makan siang ia akan mengutarakan isi hatinya kepada Dinda,
walau baru sebentar mengenal Dinda rasanya hatinya telah terbelit tali kasih
kepada Dinda. Sejak awal melihat Dinda ada perasaan yang lain. Bukan cinta,
tapi sebuah keyakinan. Bahwa Dinda adalah orang yang tepat untuk menjadi
samudera dimana cintanya akan bermuara. Agas yakin Dinda adalah perempuan yang
akan ia bawa untuk menjadi ibu dari cucu-cucu ibundanya.
Setelah keputusan itu diambil,
damailah hati Agas, matanyapun terpejam, dan ia tertidur lelap. Sampai esok
pagi mentari tertib di ufuk timur dan telphonnya berdering.
“Halo sayang… sudah bangun belum…
nanti siang temenin Aima Shoping mau ya… “
Deg…
???
*TAMAT
No comments:
Post a Comment