Search This Blog

Tuesday, April 14, 2015

Tunggu Aku

Cinta tak memandang usia. Cinta itu jatuh begitu saja, tanpa perlu tenaga, tanpa direncanakan, tanpa paksaan. Cinta itu bagai air yang mengalir, sejauh apapun perjalanannya yakin suatu saat akan menemukan tempat yang tepat untuk bermuara.

Hari itu aku tak tahu, entah hari apa. Aku lupa. Memang benar kata adik ku jika aku ini pelupa, sampai kejadian yang aku angap begitu nerkesan pun aku lupa itu hari apa. Ah, tapi ya sudah lah. Yang aku kenang bukan nama hari nya, tapi apa yang aku alami saat itu. Akupun tak mengerti kenapa hari itu sangat member arti untukku, tapi yang pasti hari hari itu aku merasa mendapatkan banyak hal yang sangat berharga.
Oiya perkenalkan namaku Lusi. Lusiapa? Ya, gue Lusi. Lusi anak kuliahan yang gak lulus-lulus, sudah smester sembilan. Teman-temanku sudah lulus semua, hanya aku dan beberapa kawan laki-laki yang masih berkutat dengan skripsi yang tak kunjung selesai gara-gara memilih judul dan tema yang terlalu idealis. Sulit ku selesaikan. Awalnya mengapa aku memilih judul itu karena memang sangat memacu semangat, dan kurasa itu sangat keran. Orang-orang akan tercengang jika aku bisa menyelesaikan tugas akhirku dengan judul sekeren itu. Tapi ternyata senjata makan tuan, sekarang aku jauh tertinggal oleh teman-temnku, yang sekarang sudah lulus. Ada yang sudah menikah, sudah bekerja, bahkan ada yang sekedar focus pacaran. Menungu pinangan kekasihnya, duduk manis tinggal di rumah orang tuanya. Nah… aku sendiri? Pacar aja aku tak punya. 
Pacar, sebetulnya wajah ku gak jelek-jelek amat, mataku kata rang indah, senyumku juga manis. Tapi aku sendiri yang tak mau terburu-buru memilih calon teman hidup. Tapi aku bukan pemilih lho, tak harus kaya, asal mau berusaha, tak harus tampan asal gak jelek-jelek amat. Lagian jelek dan tampan kan relative, ah yang penting dia rajin mandi dan gak jorok aja. Tapi satu yang mungkin membuat aku ngejomblo sampai saat ini adalah, aku inin laki-laki yang berniat serius itu adalah ia yang berusia 30 tahun ke atas. Hm… bukan seperti sekarang, kebanyakan adalah teman sepantaran.
Lho, kenapa harus lebih tua? Karena aku yakin kalau lebih tua setidaknya penalaman hidupnya sudah lebih banyak daripada aku. Dan aku sebaai perempuan ada yang melindungi, yang mengajarkan, membimbing dan lain-lain. Hm… ngelantur ya… 
Kembali ke inti cerita. Saat itu sore hari sekitar jam 3 sore. Aku malas pulang ke kostan. Aku berniat pergi ke perpustakaan umum, ata ke took buku sekedar mencari tambahan referensi tuas akhirku. Tapi bertepatan denan adzan ashar berkumandang, perutkupun keroncongan meminta jatah. Ternyata aku belum makan siang. Oalaah.. lapar sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk shalat dan makan kemudian. Aku menari mesjid terdekat.
Di tempat mengambil air wudhu aku menemukan sosok yang tak lagi asing. Laki-laki sekitar 27 tahunan sedang menrapihkan pakaiannya. Kemeja warna putih bergaris, warna kesukaanku. Butiran air wudhu yang tak dikeringkannya menambah pesona wajahnya. Tampan, berhidung mancung, rambut pelontos. Menurutku ia sedikit mirip Glen Friedly tapi gantengan ini, pria di depan mataku. Aku pernah melihatnya berapa kali. Sempat juga bertegur sapa, dan akhirnya aku tahu ia bernama Haidar Purnama. Ia adalah salah satu karwayan perusahaan besar di kota ku. 
Hm… ia melempar senyum kepadaku, semakin aku sadari bahwa ia memang manis dan sangat manis. Kerling matanya pun begitu indah. Ia pandai menankat alis denan teknik yan unik. Membuat aku tak bisa melupakannya. Dan hari itu aku merasa detak jantunku berhenti saat ia menyapaku, menyebut namaku.
“Hai… Lusi…”
Bibirku terbata, aku hanya mampu membalas sapaannya denan senyum ku dengan bibir bergetar, menahan gerogi dan salah tingkah.
Ia berlalu diikuti pandananku sampai punggungnya tak ku lihat lagi. Melihatnya lapar dan hausku hilang. Aku menyeerakan berwudhu dan shalat ashar.
Di area parkir Haidar mengawasiku, memakai sepatu. Lalu mendekatiku dan…
“Sudah makan siang?”
Seolah ia tahu aku belum makan dan sedang menahan lapar.
“Belum…”
“Kita makan yuk” ajaknya
Jleb, kok bisa ya, ia menajakku makan siang sama-sama. Hm… gak akan aku sia-siakan, fikirku. Aku menganggukkan kepala tanda setuju. Ia mempersilahkan ku masuk ke mobilnya. Seperti kerbau dicocok hidung aku menurut saja.
Tak memakan waktu lama, kami telah sampai di sebuah tempat makan dengan konsep alam, yang asri. Jujur aku baru pertama kali datang ke sini. Selama ini hanya tahu saja nama tempatnya. Tapi aku fikir tempat itu terlalu indah untuk ku nikmati sendiri tanpa seseorang yang berstatus serius. Dengan teman-teman? Ah, cukup nongkrong di kedai bakso kampus juga cukup. Heheh…
Haidar bertanya kepadaku, mau pesan apa? Aku memesan makanan, dan minuman, begitupun ia. Sambil menunggu pesanan datang, Haidar menyapaku. Membuka pembicaraan. Bahasanya ramah, tapi tidak kaku. Percakapan kami terasa begitu hangat. Aku mulai menyukai caranya bercakap-cakap. Bahkan sampai berfikir apakah aku ini jatuh cinta. Tapi siapa ia? Siapa Haidar? Sudah menikah atau belum, dan… kenapa pula orang asing ini begitu memikat hati ku?
“Lusi, aku Haidar, usia ku 37 tahu, aku sudah beristeri, dengan 1 orang anak. Aku tahu kamu masih berstatus mahasiswa smester bonus, dan sekarang lagi galau dengan skripsi yang tak kunjung selesai. Kamu lagi gak punya pacar, dan kadang merasa was-was, peempuan seusia kamu masih jomblo”
Jleb, ada sesuatu yang menyesakkan dadaku. Rasanya itu seperti nano-nano. Aku tak tahu rasa apakah ini. Pertama, tebakanku meleset, aku mengira ia berusia 27 tahunan, tapi ternyata ia 10 tahun lebit banyak usianya. Aku mengira ia masih lajan, tapi ia sudah beristeri, dan punya nak dua. Aku sedih… aku merasa pupus, cintaku bertepuk sebelah tangan.
Cinta? Ya, mungkin aku sudah jatuh cinta kepadanya sejak pertama kali kami bertemu.
Haidar hadir seolah member harapan bahwa aku akan segera memiliki pacar, tepatnya calon suami. Tapi ternyata tidak dan bukan. Ia pria beristri dan memiliki 1 anak. Hm… dadaku sesak. Tetapi aku berusaha  menyembunyikan rasaku. Aku harap haidah tak mengetahuinya.
Pesanan makananpun datang. Makanan dan miniman yang semula aku idamkan, sebagai penghilang lapar dan dahaga kini ku santap tanpa rasa, hambar dan tak sedap di lidah. 
Sepertinya Haidar menyadari apa yang terjadi, ia tahu aku kehilanan nafu makan.
“Lusi.. kalau tak lapar lagi gak usah memaksakan kau habiskan makanan itu, nantinya gak enak ke perut mu lho…”
Entah kenapa kalimat itu begitu terasa empuk, dan memberi tahuku bahwa jika aku tak menghabiskan makanan ku tak akan jadi masalah. Haidar, caramu berbicara begitu menenangkan ku.
Ia menghabiskan makanannya dengan lahap tapi tetap sopan. Sepertinya ia benar-benar lapar. Aku perhatikan setiap gerak geriknya dan ku simpan dalam-dalam di dalam memoriku. Akan ku buka kembali rekaman nya saat aku tak bisa menahan rinduku padanya. 
Selesai makan, kami hanya diam, tak ada kalimat yan keluar dari mulut kami, terutama aku. Aku semakin kikuk saat laki-laki beristri yang baru aku kenal beberapa hari itu menatapku denan matanya yang menurutku adalah mata paling seksi. Pandangan mata tertajam yang pernah aku lihat. Sekarang pandangan mata itu seolah memenjarakanku, membelengguku. Sunguh aku tak bisa bererak bebas, aku salah tingkah.
Tiba-tiba tangannya meraih jemariku. Aku sontak melepaskan tanganku dari genggamannya. Kaget bercampur senang, malu dan ah rasanya kembali nano-nano. Warna-warni. Denan sopan, ia memohon maaf atas kelancangannya. Dan denan mudah aku memaafkannya. Jujur genggaman itu begitu hangat menggetarkan dadaku. Memacu degup jantungku. Tapi aku sadr siapa dia. Andai saja ia bukan suami oran, maka akan kubiarkan tanganku lama-lama dienggamnya. 
Lalu,
“Lusi… sekali lagi maafkan aku. Munkin ini terlalu cepat. Hari ini akan aku tanyakan sesuatu kepadamu. Karena aku tak mau menunggu lama lagi. Tapi sebelumnya aku harus memberitahukan sesuatu kepadamu, bahwa aku adalah abang dari kawan satu kelasmu yang 3 bulan lalu sudah wisuda. Lara, adalah adik kandungku, dari dialah aku mendapatkan informasi tentang kamu, tentang mimpimu mengenai sosok suami yang kau inginkan. Maka hari ini aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu”
Kata-katanya tertahan. Seperti tertahannya nafasku saat itu. Aku tak tahan ingin segera mengetahui apa lanjutan dari kalimatnya. Kepalaku penuh sesak denan berjuta pertanyaan, bagaimana mungkin seorang pria beristri masih berani mengenggam tangan seorang gadis, lalu mencari tahu tentang gadis tersebut secara diam-diam. Jika tanpa tujuan pasti, maka buat apa sebenarnya?
“Lusi… jika pria yang berusia 30an itu adalah aku, tapi dengan membawa satu anak, anak perempuan berusia 5 tahun, apakah kau terima? Bolehkah aku berharap padamu, menjadi ibu pengganti untuk putriku? Dan menjadi ibu dari anak-anak ku kelak?”
Bagai tersambar petir, dan dihantam hujan badai, ah, entahlah apa yang aku rasakan. Aku tak bisa mendeskripsikan. Pandangan mata ku rasanya mulai kunang-kunga, tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar.
“Mas… Mas Haidar apa maksudnya ini? Aku belum mengerti?”
Hanya kalimat itu yang berhasil ku ramu.
“Lusi, istriku meninggalkan kami saat Lena putriku berusia 2 tahun. Aku sangat tertekan dan putus asa. Lena aku titipkan kepada ibuku. Hanya karena putrikulah aku bisa tersenyum kembali, dan karena aku melihat fotomu di laptop adikku aku menjadi memiliki senyum kembali. Tapi aku tak memiliki cukup keberanian untuk menyatakannya kepadamu, karena aku tahu siapa aku, aku seorang duda”
Ia menarik nafas panjang, seolah melepaskan lembar demi lembar beban yang ia rasakan.
“Lusi, tapi aku tak peduli, sekarang aku sudah merasa lega karena telah berhasil mengutarakannya kepadamu. Terserah apa jawabmu, kamu yang lebih berkah menentukan. Tapi inat Lusi… aku tak akan sanggup lama menunggu…”
Kini tangan ku kembali digenggam nya. Namun kini aku diam, tidak aku lepaskan. Aku benar-benar tak mampu member jawaban. Aku masih tak tahu harus berbuat apa. 
“Mas… beri aku waktu…”
Mas Haidar mengangguk lembut, tak lupa ia sisipkan senyum termanis yang begitu tulus. Seketika senyum itu memberi tambahan kekuatan pada hatiku bahwa suatu saat mungkin aku akan menerimany.
Tak terasa jam telah menujukkan jam 5 sore. kami beranjak dari tempat makan itu, dan Mas Haidar mengantarku pulang. 
Sambil melambaikan tangan, hatiku bergumam “tunggu jawabanku Mas…” 
Mas Haidar terenyum manis, manis sekali... :-)



Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment