Hari itu aku tak tahu, entah hari
apa. Aku lupa. Memang benar kata adik ku jika aku ini pelupa, sampai kejadian
yang aku angap begitu nerkesan pun aku lupa itu hari apa. Ah, tapi ya sudah
lah. Yang aku kenang bukan nama hari nya, tapi apa yang aku alami saat itu.
Akupun tak mengerti kenapa hari itu sangat member arti untukku, tapi yang pasti
hari hari itu aku merasa mendapatkan banyak hal yang sangat berharga.
Oiya perkenalkan namaku Lusi.
Lusiapa? Ya, gue Lusi. Lusi anak kuliahan yang gak lulus-lulus, sudah smester sembilan.
Teman-temanku sudah lulus semua, hanya aku dan beberapa kawan laki-laki yang
masih berkutat dengan skripsi yang tak kunjung selesai gara-gara memilih judul
dan tema yang terlalu idealis. Sulit ku selesaikan. Awalnya mengapa aku memilih
judul itu karena memang sangat memacu semangat, dan kurasa itu sangat keran.
Orang-orang akan tercengang jika aku bisa menyelesaikan tugas akhirku dengan
judul sekeren itu. Tapi ternyata senjata makan tuan, sekarang aku jauh
tertinggal oleh teman-temnku, yang sekarang sudah lulus. Ada yang sudah
menikah, sudah bekerja, bahkan ada yang sekedar focus pacaran. Menungu pinangan
kekasihnya, duduk manis tinggal di rumah orang tuanya. Nah… aku sendiri? Pacar
aja aku tak punya.
Pacar, sebetulnya wajah ku gak
jelek-jelek amat, mataku kata rang indah, senyumku juga manis. Tapi aku sendiri
yang tak mau terburu-buru memilih calon teman hidup. Tapi aku bukan pemilih
lho, tak harus kaya, asal mau berusaha, tak harus tampan asal gak jelek-jelek
amat. Lagian jelek dan tampan kan relative, ah yang penting dia rajin mandi dan
gak jorok aja. Tapi satu yang mungkin membuat aku ngejomblo sampai saat ini
adalah, aku inin laki-laki yang berniat serius itu adalah ia yang berusia 30
tahun ke atas. Hm… bukan seperti sekarang, kebanyakan adalah teman sepantaran.
Lho, kenapa harus lebih tua?
Karena aku yakin kalau lebih tua setidaknya penalaman hidupnya sudah lebih
banyak daripada aku. Dan aku sebaai perempuan ada yang melindungi, yang
mengajarkan, membimbing dan lain-lain. Hm… ngelantur ya…
Kembali ke inti cerita. Saat itu
sore hari sekitar jam 3 sore. Aku malas pulang ke kostan. Aku berniat pergi ke
perpustakaan umum, ata ke took buku sekedar mencari tambahan referensi tuas
akhirku. Tapi bertepatan denan adzan ashar berkumandang, perutkupun keroncongan
meminta jatah. Ternyata aku belum makan siang. Oalaah.. lapar sekali. Akhirnya
aku memutuskan untuk shalat dan makan kemudian. Aku menari mesjid terdekat.
Di tempat mengambil air wudhu aku
menemukan sosok yang tak lagi asing. Laki-laki sekitar 27 tahunan sedang
menrapihkan pakaiannya. Kemeja warna putih bergaris, warna kesukaanku. Butiran
air wudhu yang tak dikeringkannya menambah pesona wajahnya. Tampan, berhidung
mancung, rambut pelontos. Menurutku ia sedikit mirip Glen Friedly tapi gantengan
ini, pria di depan mataku. Aku pernah melihatnya berapa kali. Sempat juga
bertegur sapa, dan akhirnya aku tahu ia bernama Haidar Purnama. Ia adalah salah
satu karwayan perusahaan besar di kota ku.
Hm… ia melempar senyum kepadaku,
semakin aku sadari bahwa ia memang manis dan sangat manis. Kerling matanya pun
begitu indah. Ia pandai menankat alis denan teknik yan unik. Membuat aku tak
bisa melupakannya. Dan hari itu aku merasa detak jantunku berhenti saat ia
menyapaku, menyebut namaku.
“Hai… Lusi…”
Bibirku terbata, aku hanya mampu
membalas sapaannya denan senyum ku dengan bibir bergetar, menahan gerogi dan
salah tingkah.
Ia berlalu diikuti pandananku
sampai punggungnya tak ku lihat lagi. Melihatnya lapar dan hausku hilang. Aku
menyeerakan berwudhu dan shalat ashar.
Di area parkir Haidar
mengawasiku, memakai sepatu. Lalu mendekatiku dan…
“Sudah makan siang?”
Seolah ia tahu aku belum makan
dan sedang menahan lapar.
“Belum…”
“Kita makan yuk” ajaknya
Jleb, kok bisa ya, ia menajakku
makan siang sama-sama. Hm… gak akan aku sia-siakan, fikirku. Aku menganggukkan
kepala tanda setuju. Ia mempersilahkan ku masuk ke mobilnya. Seperti kerbau
dicocok hidung aku menurut saja.
Tak memakan waktu lama, kami
telah sampai di sebuah tempat makan dengan konsep alam, yang asri. Jujur aku
baru pertama kali datang ke sini. Selama ini hanya tahu saja nama tempatnya.
Tapi aku fikir tempat itu terlalu indah untuk ku nikmati sendiri tanpa
seseorang yang berstatus serius. Dengan teman-teman? Ah, cukup nongkrong di
kedai bakso kampus juga cukup. Heheh…
Haidar bertanya kepadaku, mau
pesan apa? Aku memesan makanan, dan minuman, begitupun ia. Sambil menunggu
pesanan datang, Haidar menyapaku. Membuka pembicaraan. Bahasanya ramah, tapi
tidak kaku. Percakapan kami terasa begitu hangat. Aku mulai menyukai caranya
bercakap-cakap. Bahkan sampai berfikir apakah aku ini jatuh cinta. Tapi siapa
ia? Siapa Haidar? Sudah menikah atau belum, dan… kenapa pula orang asing ini
begitu memikat hati ku?
“Lusi, aku Haidar, usia ku 37 tahu,
aku sudah beristeri, dengan 1 orang anak. Aku tahu kamu masih berstatus
mahasiswa smester bonus, dan sekarang lagi galau dengan skripsi yang tak
kunjung selesai. Kamu lagi gak punya pacar, dan kadang merasa was-was, peempuan
seusia kamu masih jomblo”
Jleb, ada sesuatu yang menyesakkan
dadaku. Rasanya itu seperti nano-nano. Aku tak tahu rasa apakah ini. Pertama,
tebakanku meleset, aku mengira ia berusia 27 tahunan, tapi ternyata ia 10 tahun
lebit banyak usianya. Aku mengira ia masih lajan, tapi ia sudah beristeri, dan
punya nak dua. Aku sedih… aku merasa pupus, cintaku bertepuk sebelah tangan.
Cinta? Ya, mungkin aku sudah jatuh
cinta kepadanya sejak pertama kali kami bertemu.
Haidar hadir seolah member
harapan bahwa aku akan segera memiliki pacar, tepatnya calon suami. Tapi ternyata
tidak dan bukan. Ia pria beristri dan memiliki 1 anak. Hm… dadaku sesak. Tetapi
aku berusaha menyembunyikan rasaku. Aku
harap haidah tak mengetahuinya.
Pesanan makananpun datang.
Makanan dan miniman yang semula aku idamkan, sebagai penghilang lapar dan
dahaga kini ku santap tanpa rasa, hambar dan tak sedap di lidah.
Sepertinya Haidar menyadari apa
yang terjadi, ia tahu aku kehilanan nafu makan.
“Lusi.. kalau tak lapar lagi gak
usah memaksakan kau habiskan makanan itu, nantinya gak enak ke perut mu lho…”
Entah kenapa kalimat itu begitu
terasa empuk, dan memberi tahuku bahwa jika aku tak menghabiskan makanan ku tak
akan jadi masalah. Haidar, caramu berbicara begitu menenangkan ku.
Ia menghabiskan makanannya dengan
lahap tapi tetap sopan. Sepertinya ia benar-benar lapar. Aku perhatikan setiap
gerak geriknya dan ku simpan dalam-dalam di dalam memoriku. Akan ku buka
kembali rekaman nya saat aku tak bisa menahan rinduku padanya.
Selesai makan, kami hanya diam,
tak ada kalimat yan keluar dari mulut kami, terutama aku. Aku semakin kikuk
saat laki-laki beristri yang baru aku kenal beberapa hari itu menatapku denan
matanya yang menurutku adalah mata paling seksi. Pandangan mata tertajam yang
pernah aku lihat. Sekarang pandangan mata itu seolah memenjarakanku,
membelengguku. Sunguh aku tak bisa bererak bebas, aku salah tingkah.
Tiba-tiba tangannya meraih
jemariku. Aku sontak melepaskan tanganku dari genggamannya. Kaget bercampur
senang, malu dan ah rasanya kembali nano-nano. Warna-warni. Denan sopan, ia
memohon maaf atas kelancangannya. Dan denan mudah aku memaafkannya. Jujur
genggaman itu begitu hangat menggetarkan dadaku. Memacu degup jantungku. Tapi
aku sadr siapa dia. Andai saja ia bukan suami oran, maka akan kubiarkan
tanganku lama-lama dienggamnya.
Lalu,
“Lusi… sekali lagi maafkan aku. Munkin
ini terlalu cepat. Hari ini akan aku tanyakan sesuatu kepadamu. Karena aku tak
mau menunggu lama lagi. Tapi sebelumnya aku harus memberitahukan sesuatu
kepadamu, bahwa aku adalah abang dari kawan satu kelasmu yang 3 bulan lalu
sudah wisuda. Lara, adalah adik kandungku, dari dialah aku mendapatkan
informasi tentang kamu, tentang mimpimu mengenai sosok suami yang kau inginkan.
Maka hari ini aku akan mengajukan pertanyaan kepadamu”
Kata-katanya tertahan. Seperti
tertahannya nafasku saat itu. Aku tak tahan ingin segera mengetahui apa
lanjutan dari kalimatnya. Kepalaku penuh sesak denan berjuta pertanyaan,
bagaimana mungkin seorang pria beristri masih berani mengenggam tangan seorang
gadis, lalu mencari tahu tentang gadis tersebut secara diam-diam. Jika tanpa
tujuan pasti, maka buat apa sebenarnya?
“Lusi… jika pria yang berusia
30an itu adalah aku, tapi dengan membawa satu anak, anak perempuan berusia 5
tahun, apakah kau terima? Bolehkah aku berharap padamu, menjadi ibu pengganti
untuk putriku? Dan menjadi ibu dari anak-anak ku kelak?”
Bagai tersambar petir, dan
dihantam hujan badai, ah, entahlah apa yang aku rasakan. Aku tak bisa
mendeskripsikan. Pandangan mata ku rasanya mulai kunang-kunga, tak percaya
dengan apa yang baru saja aku dengar.
“Mas… Mas Haidar apa maksudnya
ini? Aku belum mengerti?”
Hanya kalimat itu yang berhasil
ku ramu.
“Lusi, istriku meninggalkan kami
saat Lena putriku berusia 2 tahun. Aku sangat tertekan dan putus asa. Lena aku
titipkan kepada ibuku. Hanya karena putrikulah aku bisa tersenyum kembali, dan
karena aku melihat fotomu di laptop adikku aku menjadi memiliki senyum kembali.
Tapi aku tak memiliki cukup keberanian untuk menyatakannya kepadamu, karena aku
tahu siapa aku, aku seorang duda”
Ia menarik nafas panjang, seolah
melepaskan lembar demi lembar beban yang ia rasakan.
“Lusi, tapi aku tak peduli,
sekarang aku sudah merasa lega karena telah berhasil mengutarakannya kepadamu.
Terserah apa jawabmu, kamu yang lebih berkah menentukan. Tapi inat Lusi… aku
tak akan sanggup lama menunggu…”
Kini tangan ku kembali digenggam
nya. Namun kini aku diam, tidak aku lepaskan. Aku benar-benar tak mampu member
jawaban. Aku masih tak tahu harus berbuat apa.
“Mas… beri aku waktu…”
Mas Haidar mengangguk lembut, tak
lupa ia sisipkan senyum termanis yang begitu tulus. Seketika senyum itu memberi
tambahan kekuatan pada hatiku bahwa suatu saat mungkin aku akan menerimany.
Tak terasa jam telah menujukkan
jam 5 sore. kami beranjak dari tempat makan itu, dan Mas Haidar mengantarku
pulang.
Sambil melambaikan tangan, hatiku
bergumam “tunggu jawabanku Mas…”
Mas Haidar terenyum manis, manis sekali... :-)
No comments:
Post a Comment