Senin siang. Matahari begitu terik.
Angga melangkahkan kakinya dengan cepat memasuki perpustakaan. Setelah terlebih
dahulu mendapatkan sapaan ramah Yoga yang seperti biasa mengucapkan “Selamat
membaca” kalimat yang terlalu sederhana. Tapi ada lagi yang tak lupa selalu
Yoga katakana kepada setiap pengunjung yang datang adalah, “Sebaiknya Anda tidak duduk di bangku pojok
barat ruangan ya! Cari tempat nyaman yang lain, terimakasih.”
Gedung perpustakaan adalah satu-satunya
bangunan yang belum tersentuh perbaikan. Bangunan lama yang berada di bawah
pohon beringin besar itu terkesan kuno. Tembok dengan cat yang sudah terkelupas
di sana-sini tampak usang dimakan usia. Jendela-jendela yang berukuran besar
dengan beberapa retakan pada kacanya sisa lemparan batu pada tawuran dua tahun
yang lalu, menambah kesan bahwa memang sebaiknya gedung itu segera diperbaiki.
Namun walaupun demikian, bangunan itu tak pernah sepi pengunjung. Setiap hari
ada puluhan mahasiswa yang menyengaja datang untuk membaca, atau mencari
referensi untuk kepentingan penyelesaian tugas.
Hari itu semua meja baca terisi, hanya
tersisa satu meja dengan enam kursi yang masih kosong. Meja di pojok barat
perpustakaan. Mejanya dingin berdebu. Lantai di bawahnya nyaris ditumbuhi lumut.
Dua bulan belakangan ini meja itu memang benar-benar jarang ditempati oleh
pengunjung. Akan tercium aroma tidak sedap semacam bau amis yang menyengat
ketika kita duduk di sana.
Angga meletakan tas di atas meja.
Kemudian ia mulai mencari buku yang ia perlukan. Setelah medapatkan buku yang
dimaksud, Angga kembali ke tempat duduk dan mulai menelaah isi buku. Ketika
membuka halamam daftar isi, Angga mendapati sepucuk surat, dalam kertas putih
yang terlipat rapih seperti baru saja diselipkan seseorang. Dengan penuh
keraguan Angga membukanya.
“Aku
tersiksa di sini. Seseorang, tolong bebaskan aku. Bongkar lantai di bawah
mejamu!”
**
Kamis malam. Jam sudah menunjukkan angka
00.45. Angga belum juga dapat memejamkan matanya. Kepalanya dipenuhi dengan
teka-teki yang belum bisa ia pecahkan. Ingin rasanya segera pagi, agar ia
segera bisa mengobati rasa penasarannya. Empat surat misterius yang ia temukan
dalam buku di perpustakaan selama empat hari berturut-turut ia baca
berulang-ulang. Keempat surat itu berisi kalimat yang sama.
“Aku
tersiksa di sini. Seseorang, tolong bebaskan aku. Bongkar lantai di bawah
mejamu!”
Hatinya mulai bertanya-tanya mengapa
surat itu ada di setiap buku yang ia buka. Siapakah sesungguhnya yang membuat
surat itu? Perasaan Angga mulai tak menentu. Timbul keinginannya untuk mencari
informasi tentang sesuatu yang terjadi. Apakah ada yang pernah mengalami
kejadian yang sama? Lalu apa hubungannya dengan larangan Yoga sang pustakawan?
**
Juma’at pagi di kantin kampus.
“Kamu yakin aku harus melakukannya?”
Angga bertanya dengan penuh keraguan.
“Iya, kamu harus coba Angga!” Yanti
berusaha meyakinkan. “Aku juga pernah mengalami hal yang sama. Beberapa kali
menemukan surat, mencium bau amis, bau bangkai, dan merasakan hal-hal aneh
ketika duduk di tempat itu. Bahkan
mungkin beberapa mahasiswa yang pernah duduk di tempat itu mengalami hal
serupa. Setiap membuka buku di halaman berapapun, pasti mendapatkan surat dengan
isi kalimat yang sama. Seolah ia benar-benar memerlukan pertolongan. Aku harap
kamu bisa melakukannya!” Tutur Yanti penuh harap.
“Tapi apa yang bisa aku lakukan?” Angga ragu.
Selama tiga tahun ia mengunjungi perpustakaan kampus, ini adalah kali pertama
ia mengalami hal sepelik ini. Aneh memang. Tapi bagaimana jika surat itu
benar-benar berasal dari seseorang yang memang terjebak di bawah timbunan
tembok? Hati Angga mulai gusar. Antara percaya atau tidak. Apakah dia yang
mengirimkan surat kepadanya, kepada Yanti, dan mungkin juga kepada orang lain
adalah mahluk dari alam lain? Roh penasaran, yang jasadnya disakiti seseorang?
Benak Angga mulai menerka-nerka.
“Yanti, ikut aku!” Angga beranjak dan
menarik tangan Yanti.
“Kemana?”
“Mencari orang yang bisa membantu kita
memecahkan masalah ini!”
“Kita?”
“Ya, kamu harus membantu aku Yanti,
tolonglah. Kasihan dia!”
“Aku tahu Angga! Ayo ikut aku menemui
Desi, Irna, dan Pak Sujana!”
“Siapa mereka?”
“Aku kira mereka pernah mengalami hal
yang sama. Seingatku aku pernah beberapa kali mendapati mereka duduk di tempat
itu ketika perpustakaan penuh pengunjung. Dan tidak lagi ke sana setelah Yoga
menghardik mereka. Siapa tahu mereka bisa memberikan keterangan.” Akhirnya
mereka melangakahkan kaki dengan mantap, mencari Desi, Irna dan Pak Sujana,
seorang penjaga pintu parkir yang belakangan diketahui sering membaca buku-buku
keagamaan seusai sholat jum’at saat ia mendapatkan giliran istirahat.
**
Sayang sekali sepertinya hari itu Desi
dan Irna tak ada jadwal kuliah. Satu-satunya orang yang bisa diharapkan adalah
Pak Sujana.
“Apa alasan kalian ingin mencari
informasi tentang surat itu?” Tampak ekspresi ketidaksenangan di wajah pak
Sujana.
“Kami ingin menolong orang yang meminta
tolong itu pak.” Angga dan Yanti kompak menjawab.
“Tapi tak semudah itu Nak!” Pak Sujana
menghela nafas panjang. “Pulanglah saja! Tak perlu kalian urusi hal semacam
itu! Percuma kalian datang kemari, aku tak akan memberikan penjelasan apapun!”
Pak Sujana ketus. Enggan memberi keterangan.
“Kenapa Pak? Ayolah… Setidaknya Bapak
memberi kami petunjuk.” Angga memelas. “ Jika Bapak berkenan memberi kami
petunjuk, kami janji, tak akan melibatkan Bapak. Biar kami selesaikan sendiri.”
“Tidak bisa!” Pak Sujana menggebrak
meja, Nafasnya memburu, seolah ada kemarahan yang luar biasa di balik nada
bicaranya. Angga dan Yanti mulai tak enak hati, ada apa sebenarnya dengan pak
Sujana.
“Ya sudah Pak, kami pamit” Angga dan
Yanti beranjak dari tempat duduknya.
“Mau kemana kalian? Apakah kalian
sungguh-sungguh ingin membantu Aira?” Suara pak Sujana mulai melembut.
“Aira?” sontak kedua anak muda itu
menoleh. Langkahnya terhenti. Siapakah Aira? Apakah penulis surat itu? Apa
hubungannya dengan pak Sujana?
“Ya, ia adalah putri sulungku, ia hilang
dua bulan yang lalu. Terakhir ia pamit pergi bersama teman-temannya hendak
pergi ke Pelabuhan Ratu. Awalnya Bapak melarang, namun Yoga berhasil meyakinkan
jika ia bisa menjaga Aira dengan baik.”
“Yoga?” Angga dan Yanti hampir
berbarengan.
“Ia dulu kekasih Aira. Mereka berpacaran
selama 4 tahun. Entah apa alasan Yoga sampai saat ini belum juga menunjukkan
niat untuk menikahi putriku.“ Pak Sujana menghela nafas panjang. Lalu, “Jm’at
dua minggu yang lalu, seperti biasa Bapak membaca buku di perpustakaan. Hari
itu perpustakaan penuh. Terpaksa Bapak duduk di meja yang entah kenapa seolah
menjadi meja terlarang sejak dua bulan yang lalu. Memang meja itu menjadi tak
nyaman dengan aroma yang tidak sedap. Belum lagi Yoga selalu rajin mengingatkan
setiap pengunjung agar tidak duduk di sana. Bapak menemukan surat dalam buku
yang Bapak buka. Dan Bapak tahu persis itu tulisan Aira. Bapak fikir, ia hanya
iseng menulis dan tak sengaja tertinggal di halaman buku yang telah ia baca di
perpustakaan. Namun Bapak menemukannya beberapa kali setiap Bapak duduk di
tempat itu, Bapak selalu menemukan surat di setiap buku yang Bapak buka. Di
hari lain, Bapak menemukan surat lagi dengan isi yang berbeda. Waktu itu Bapak
berfikir Aira sudah pulang setelah beberapa hari tak bermalam di rumah. Ini suratnya
masih Bapak simpan.” Pak Sujana membuka laci meja mengeluarkan secarik kertas
dengan mata berkaca-kaca.
“Maafkan
Aira telah melanggar larangan Bapak. Aira akhirnya tidak bisa pulang ke rumah
dengan selamat. Padahal Aira sedang mengandung cucu Bapak. Aira tau Bapak akan
murka, tapi tolong, Aira tersiksa di sini. Tolong bebaskan, bongkar lantai di
bawah meja!”
Semua hening. Langit-langit rumah pak
Sujana lengang. Hanya tersisa ratusan tanda tanya di dalam hati masing-masing. Bunyi
surat itu juga membahas lantai bawah meja. Membuat mereka semakin yakin bahwa
ada sesuatu yang tertimbun di balik lantai berlumut bawah meja pojok barat
perpustakaan.
“Tapi
kenapa Bapak tidak mencoba menggali lantai itu pak? Siapa tahu memang benar
Aira ada di sana?” Ujar Yanti.
“Bukan tanpa usaha. Ayah mana yang tidak
ingin menemukan anaknya yang telah hilang. Bapak ingin menemukan Aira hidup
atau dalam keadaan tak bernyawa sekalipun. Namun setiap Bapak menceritakan
kepada beberapa orang yang Bapak mintai bantuan mereka malah mengaggap Bapak
gila. Apa jadinya jika seorang penjaga pintu parkir kampus menggali lantai
perpustakaan?”
“Tapi Pak, kita harus menolong Aira!”
Tukas Angga penuh semangat.
**
Hari sabtu jam 01.00. Tiga orang berbaju
hitam bertopeng berhasil memasuki gedung perpustakaan. Masuk lewat jendela yang
sengaja dibuat longgar kuncinya tadi siang oleh salah satu dari mereka. Satu
orang membawa linggis dan dua orang yang lainnya membawa cangkul. Malam itu
mereka berniat menggali lantai berlumut di bawah meja pojok barat ruang
perpustakaan.
Sementara itu, di luar hujan turun.
Menemani mereka mengerjakan misi tersembunyi. Bau amis menyengat, membuat mual.
Seolah memberi tanda bahwa memang ada sesuatu yang tertimbun di bawah lantai
itu. Meja sudah digeser merapat ke tembok. Dengan diterangi lampu senter mereka
mulai bekerja. Suara hujaman-hujaman linggis dan kerukan cangkul berbaur dengan
gemerisik suara hujan di balik kaca jendela. Sebagian tembok lantai telah
berhasil digali. Peluh-peluh berjatuhan. Suara nafas-nafas memburu. Satu orang
memberi kode, bahwa penggalian harus segera diselesaikan. Kedua rekannya
mengangguk serempak dan bersemangat melanjutkan pekerjaan. Tapi baru saja orang
yang lebih tua menghujamkan linggisnya lagi, seseorang dengan pakaian yang sama
gelapnya tiba-tiba muncul dari balik rak buku di belakang mereka. Ia memukul
keras pundak satu orang pemegang cangkul, dan roboh seketika. Pemegang linggis
sigap membalas, menghantam tubuh orang itu berkali-kali. Mereka saling pukul,
saling tendang, saling menjatuhkan. Orang yang memegang linggis berhasil
melumpuhkan lawannya. Laki-laki itu berlumuran darah, mengerang kesakitan,
mengangkat tangan, menyerah. Orang yang memegangi linggis membuka paksa
topengnya, Yoga terkulai lemas, dengan darah berlumuran di sekitar mulut dan
hidungnya. Susah payah ia mencoba mengucapkan sesuatu. “Maafkan saya Pak Su…”
Belum tamat kalimatnya, sosok lain
tiba-tiba muncul entah dari mana asalnya. Rambutnya yang panjang menutupi
wajahnya. Bajunya menjuntai ke lantai, kotor bau darah. Tangannya yang
panjang sekonyong-konyong mencekik leher
pemuda yang sudah tak berdaya itu. Dengan leher tercekat, pemuda itu berkata,
“Ampun Aira! Jangan bunuh aku…” Perempuan itu mempererat cengkramannya sampai
laki-laki itu menghembuskan nafas terakhirnya, tersungkur di dekat kaki meja
pojok barat perpustakaan.
**
20 menit kemudian, sesosok mayat berbaju perempuan
terbungkus pelastik putih ditemukan di balik kokohnya lantai yang dilapisi beton
setebal 10 cm. Badannya sudah hancur dengan bau busuk yang menusuk. Satu orang
di antara mereka tak bisa membendung air mata. Dua yang lainnya hanya bisa diam
dan mengelus pundak orang yang menagis, berusaha menenangkan.
Bau busuk yang menyengat, memaksa mereka
untuk segera keluar, tentu saja dengan membawa kantong pelastik yang berisi
mayat tersebut. Mayat itu harus segera dikuburkan dengan layak. Di tempat yang
lebih manusiawi. Bukan di bawah lantai meja pojok perpustakaan.
Sementara mayat laki-laki yang
tersungkur di kaki meja yang mereka tinggalkan, menghadirkan kehebohan
tersendiri pada hari sabtu pagi hari. Seorang pustakawan mati terbunuh di
tempat kerjanya. Tak ada satu orangpun yang mengetahui siapa pembunuh Yoga, dan
tak ada satupun yang mengetahui ada apa sebenarnya di balik galian tersebut.
Kecuali Desi dan Irna serta satu dua orang yang pernah membaca di meja pojok barat
perpustakaan.
Selesai
Catatan :
Cerita ini dimuat di buku antologi cerpen berjudul "Library" diterbitkan oleh Penerbit Hanami
ceritanya serem ah kya film horor
ReplyDeletedi fikiran ingin lebih horor lagi padahal,tapi baru bisa segitu pengungkapannya. Semoga lebih baik lagi
Delete