Search This Blog

Tuesday, April 18, 2017

Di Bawah Meja Pojok



Senin siang. Matahari begitu terik. Angga melangkahkan kakinya dengan cepat memasuki perpustakaan. Setelah terlebih dahulu mendapatkan sapaan ramah Yoga yang seperti biasa mengucapkan “Selamat membaca” kalimat yang terlalu sederhana. Tapi ada lagi yang tak lupa selalu Yoga katakana kepada setiap pengunjung yang datang adalah,  “Sebaiknya Anda tidak duduk di bangku pojok barat ruangan ya! Cari tempat nyaman yang lain, terimakasih.”

Gedung perpustakaan adalah satu-satunya bangunan yang belum tersentuh perbaikan. Bangunan lama yang berada di bawah pohon beringin besar itu terkesan kuno. Tembok dengan cat yang sudah terkelupas di sana-sini tampak usang dimakan usia. Jendela-jendela yang berukuran besar dengan beberapa retakan pada kacanya sisa lemparan batu pada tawuran dua tahun yang lalu, menambah kesan bahwa memang sebaiknya gedung itu segera diperbaiki. Namun walaupun demikian, bangunan itu tak pernah sepi pengunjung. Setiap hari ada puluhan mahasiswa yang menyengaja datang untuk membaca, atau mencari referensi untuk kepentingan penyelesaian tugas.
Hari itu semua meja baca terisi, hanya tersisa satu meja dengan enam kursi yang masih kosong. Meja di pojok barat perpustakaan. Mejanya dingin berdebu. Lantai di bawahnya nyaris ditumbuhi lumut. Dua bulan belakangan ini meja itu memang benar-benar jarang ditempati oleh pengunjung. Akan tercium aroma tidak sedap semacam bau amis yang menyengat ketika kita duduk di sana.
Angga meletakan tas di atas meja. Kemudian ia mulai mencari buku yang ia perlukan. Setelah medapatkan buku yang dimaksud, Angga kembali ke tempat duduk dan mulai menelaah isi buku. Ketika membuka halamam daftar isi, Angga mendapati sepucuk surat, dalam kertas putih yang terlipat rapih seperti baru saja diselipkan seseorang. Dengan penuh keraguan Angga membukanya.
“Aku tersiksa di sini. Seseorang, tolong bebaskan aku. Bongkar lantai di bawah mejamu!”
**
Kamis malam. Jam sudah menunjukkan angka 00.45. Angga belum juga dapat memejamkan matanya. Kepalanya dipenuhi dengan teka-teki yang belum bisa ia pecahkan. Ingin rasanya segera pagi, agar ia segera bisa mengobati rasa penasarannya. Empat surat misterius yang ia temukan dalam buku di perpustakaan selama empat hari berturut-turut ia baca berulang-ulang. Keempat surat itu berisi kalimat yang sama.
“Aku tersiksa di sini. Seseorang, tolong bebaskan aku. Bongkar lantai di bawah mejamu!”
Hatinya mulai bertanya-tanya mengapa surat itu ada di setiap buku yang ia buka. Siapakah sesungguhnya yang membuat surat itu? Perasaan Angga mulai tak menentu. Timbul keinginannya untuk mencari informasi tentang sesuatu yang terjadi. Apakah ada yang pernah mengalami kejadian yang sama? Lalu apa hubungannya dengan larangan Yoga sang pustakawan?
**
Juma’at pagi di kantin kampus.
“Kamu yakin aku harus melakukannya?” Angga bertanya dengan penuh keraguan.
“Iya, kamu harus coba Angga!” Yanti berusaha meyakinkan. “Aku juga pernah mengalami hal yang sama. Beberapa kali menemukan surat, mencium bau amis, bau bangkai, dan merasakan hal-hal aneh ketika duduk di tempat itu.  Bahkan mungkin beberapa mahasiswa yang pernah duduk di tempat itu mengalami hal serupa. Setiap membuka buku di halaman berapapun, pasti mendapatkan surat dengan isi kalimat yang sama. Seolah ia benar-benar memerlukan pertolongan. Aku harap kamu bisa melakukannya!” Tutur Yanti penuh harap.
“Tapi apa yang bisa aku lakukan?” Angga ragu. Selama tiga tahun ia mengunjungi perpustakaan kampus, ini adalah kali pertama ia mengalami hal sepelik ini. Aneh memang. Tapi bagaimana jika surat itu benar-benar berasal dari seseorang yang memang terjebak di bawah timbunan tembok? Hati Angga mulai gusar. Antara percaya atau tidak. Apakah dia yang mengirimkan surat kepadanya, kepada Yanti, dan mungkin juga kepada orang lain adalah mahluk dari alam lain? Roh penasaran, yang jasadnya disakiti seseorang? Benak Angga mulai menerka-nerka.
“Yanti, ikut aku!” Angga beranjak dan menarik tangan Yanti.
“Kemana?”
“Mencari orang yang bisa membantu kita memecahkan masalah ini!”
“Kita?”
“Ya, kamu harus membantu aku Yanti, tolonglah. Kasihan dia!”
“Aku tahu Angga! Ayo ikut aku menemui Desi, Irna, dan Pak Sujana!”
“Siapa mereka?”
“Aku kira mereka pernah mengalami hal yang sama. Seingatku aku pernah beberapa kali mendapati mereka duduk di tempat itu ketika perpustakaan penuh pengunjung. Dan tidak lagi ke sana setelah Yoga menghardik mereka. Siapa tahu mereka bisa memberikan keterangan.” Akhirnya mereka melangakahkan kaki dengan mantap, mencari Desi, Irna dan Pak Sujana, seorang penjaga pintu parkir yang belakangan diketahui sering membaca buku-buku keagamaan seusai sholat jum’at saat ia mendapatkan giliran istirahat.
**
Sayang sekali sepertinya hari itu Desi dan Irna tak ada jadwal kuliah. Satu-satunya orang yang bisa diharapkan adalah Pak Sujana.
“Apa alasan kalian ingin mencari informasi tentang surat itu?” Tampak ekspresi ketidaksenangan di wajah pak Sujana.
“Kami ingin menolong orang yang meminta tolong itu pak.” Angga dan Yanti kompak menjawab.
“Tapi tak semudah itu Nak!” Pak Sujana menghela nafas panjang. “Pulanglah saja! Tak perlu kalian urusi hal semacam itu! Percuma kalian datang kemari, aku tak akan memberikan penjelasan apapun!” Pak Sujana ketus. Enggan memberi keterangan.
“Kenapa Pak? Ayolah… Setidaknya Bapak memberi kami petunjuk.” Angga memelas. “ Jika Bapak berkenan memberi kami petunjuk, kami janji, tak akan melibatkan Bapak. Biar kami selesaikan sendiri.”
“Tidak bisa!” Pak Sujana menggebrak meja, Nafasnya memburu, seolah ada kemarahan yang luar biasa di balik nada bicaranya. Angga dan Yanti mulai tak enak hati, ada apa sebenarnya dengan pak Sujana.
“Ya sudah Pak, kami pamit” Angga dan Yanti beranjak dari tempat duduknya.
“Mau kemana kalian? Apakah kalian sungguh-sungguh ingin membantu Aira?” Suara pak Sujana mulai melembut.
“Aira?” sontak kedua anak muda itu menoleh. Langkahnya terhenti. Siapakah Aira? Apakah penulis surat itu? Apa hubungannya dengan pak Sujana?
“Ya, ia adalah putri sulungku, ia hilang dua bulan yang lalu. Terakhir ia pamit pergi bersama teman-temannya hendak pergi ke Pelabuhan Ratu. Awalnya Bapak melarang, namun Yoga berhasil meyakinkan jika ia bisa menjaga Aira dengan baik.”
“Yoga?” Angga dan Yanti hampir berbarengan.
“Ia dulu kekasih Aira. Mereka berpacaran selama 4 tahun. Entah apa alasan Yoga sampai saat ini belum juga menunjukkan niat untuk menikahi putriku.“ Pak Sujana menghela nafas panjang. Lalu, “Jm’at dua minggu yang lalu, seperti biasa Bapak membaca buku di perpustakaan. Hari itu perpustakaan penuh. Terpaksa Bapak duduk di meja yang entah kenapa seolah menjadi meja terlarang sejak dua bulan yang lalu. Memang meja itu menjadi tak nyaman dengan aroma yang tidak sedap. Belum lagi Yoga selalu rajin mengingatkan setiap pengunjung agar tidak duduk di sana. Bapak menemukan surat dalam buku yang Bapak buka. Dan Bapak tahu persis itu tulisan Aira. Bapak fikir, ia hanya iseng menulis dan tak sengaja tertinggal di halaman buku yang telah ia baca di perpustakaan. Namun Bapak menemukannya beberapa kali setiap Bapak duduk di tempat itu, Bapak selalu menemukan surat di setiap buku yang Bapak buka. Di hari lain, Bapak menemukan surat lagi dengan isi yang berbeda. Waktu itu Bapak berfikir Aira sudah pulang setelah beberapa hari tak bermalam di rumah. Ini suratnya masih Bapak simpan.” Pak Sujana membuka laci meja mengeluarkan secarik kertas dengan mata berkaca-kaca.
“Maafkan Aira telah melanggar larangan Bapak. Aira akhirnya tidak bisa pulang ke rumah dengan selamat. Padahal Aira sedang mengandung cucu Bapak. Aira tau Bapak akan murka, tapi tolong, Aira tersiksa di sini. Tolong bebaskan, bongkar lantai di bawah meja!”
Semua hening. Langit-langit rumah pak Sujana lengang. Hanya tersisa ratusan tanda tanya di dalam hati masing-masing. Bunyi surat itu juga membahas lantai bawah meja. Membuat mereka semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tertimbun di balik lantai berlumut bawah meja pojok barat perpustakaan.
 “Tapi kenapa Bapak tidak mencoba menggali lantai itu pak? Siapa tahu memang benar Aira ada di sana?” Ujar Yanti.
“Bukan tanpa usaha. Ayah mana yang tidak ingin menemukan anaknya yang telah hilang. Bapak ingin menemukan Aira hidup atau dalam keadaan tak bernyawa sekalipun. Namun setiap Bapak menceritakan kepada beberapa orang yang Bapak mintai bantuan mereka malah mengaggap Bapak gila. Apa jadinya jika seorang penjaga pintu parkir kampus menggali lantai perpustakaan?”
“Tapi Pak, kita harus menolong Aira!” Tukas Angga penuh semangat.
**
Hari sabtu jam 01.00. Tiga orang berbaju hitam bertopeng berhasil memasuki gedung perpustakaan. Masuk lewat jendela yang sengaja dibuat longgar kuncinya tadi siang oleh salah satu dari mereka. Satu orang membawa linggis dan dua orang yang lainnya membawa cangkul. Malam itu mereka berniat menggali lantai berlumut di bawah meja pojok barat ruang perpustakaan. 
Sementara itu, di luar hujan turun. Menemani mereka mengerjakan misi tersembunyi. Bau amis menyengat, membuat mual. Seolah memberi tanda bahwa memang ada sesuatu yang tertimbun di bawah lantai itu. Meja sudah digeser merapat ke tembok. Dengan diterangi lampu senter mereka mulai bekerja. Suara hujaman-hujaman linggis dan kerukan cangkul berbaur dengan gemerisik suara hujan di balik kaca jendela. Sebagian tembok lantai telah berhasil digali. Peluh-peluh berjatuhan. Suara nafas-nafas memburu. Satu orang memberi kode, bahwa penggalian harus segera diselesaikan. Kedua rekannya mengangguk serempak dan bersemangat melanjutkan pekerjaan. Tapi baru saja orang yang lebih tua menghujamkan linggisnya lagi, seseorang dengan pakaian yang sama gelapnya tiba-tiba muncul dari balik rak buku di belakang mereka. Ia memukul keras pundak satu orang pemegang cangkul, dan roboh seketika. Pemegang linggis sigap membalas, menghantam tubuh orang itu berkali-kali. Mereka saling pukul, saling tendang, saling menjatuhkan. Orang yang memegang linggis berhasil melumpuhkan lawannya. Laki-laki itu berlumuran darah, mengerang kesakitan, mengangkat tangan, menyerah. Orang yang memegangi linggis membuka paksa topengnya, Yoga terkulai lemas, dengan darah berlumuran di sekitar mulut dan hidungnya. Susah payah ia mencoba mengucapkan sesuatu. “Maafkan saya Pak Su…” Belum tamat kalimatnya,  sosok lain tiba-tiba muncul entah dari mana asalnya. Rambutnya yang panjang menutupi wajahnya. Bajunya menjuntai ke lantai, kotor bau darah. Tangannya yang panjang  sekonyong-konyong mencekik leher pemuda yang sudah tak berdaya itu. Dengan leher tercekat, pemuda itu berkata, “Ampun Aira! Jangan bunuh aku…” Perempuan itu mempererat cengkramannya sampai laki-laki itu menghembuskan nafas terakhirnya, tersungkur di dekat kaki meja pojok barat perpustakaan.
**
 20 menit kemudian, sesosok mayat berbaju perempuan terbungkus pelastik putih ditemukan di balik kokohnya lantai yang dilapisi beton setebal 10 cm. Badannya sudah hancur dengan bau busuk yang menusuk. Satu orang di antara mereka tak bisa membendung air mata. Dua yang lainnya hanya bisa diam dan mengelus pundak orang yang menagis, berusaha menenangkan.
Bau busuk yang menyengat, memaksa mereka untuk segera keluar, tentu saja dengan membawa kantong pelastik yang berisi mayat tersebut. Mayat itu harus segera dikuburkan dengan layak. Di tempat yang lebih manusiawi. Bukan di bawah lantai meja pojok perpustakaan.
Sementara mayat laki-laki yang tersungkur di kaki meja yang mereka tinggalkan, menghadirkan kehebohan tersendiri pada hari sabtu pagi hari. Seorang pustakawan mati terbunuh di tempat kerjanya. Tak ada satu orangpun yang mengetahui siapa pembunuh Yoga, dan tak ada satupun yang mengetahui ada apa sebenarnya di balik galian tersebut. Kecuali Desi dan Irna serta satu dua orang yang pernah membaca di meja pojok barat perpustakaan.
Selesai

Catatan : 
Cerita ini dimuat di buku antologi cerpen berjudul "Library" diterbitkan oleh Penerbit Hanami 

Share/Bookmark

2 comments:

  1. ceritanya serem ah kya film horor

    ReplyDelete
    Replies
    1. di fikiran ingin lebih horor lagi padahal,tapi baru bisa segitu pengungkapannya. Semoga lebih baik lagi

      Delete