Search This Blog

Saturday, April 22, 2017

Putri Galing dan Pangeran Tampan




Hujan deras mengguyur perkampungan. Petir berkali-kali menampakkan kilatannya. Pohon-pohon tampak kerepotan meliuk-liuk berusaha bertahan untuk tetap berdiri kokoh melawan terpaan angin yang begitu kencang. Beberapa pohon besar ranting dan dahannya patah. Pohon yang terlalu tinggi menjulang, tumbang. Perkampungan menjadi sangat mengerikan. Air bercucuran sangatlah deras dari atap genting di setiap rumah. Rumah panggung, yang sepenuhnya terbuat dari kayu, dengan anyaman bambu sebagai dindingnya.

Galing tampak repot memasang beberapa wadah yang bisa digunakan untuk menampung air yang bukan lagi menetes di beberapa tempat yang langit-langitnya bocor. Mulutnya tak berhenti mengoceh, memarahi adik-adiknya yang malah asik bercanda dengan genangan air yang membasahi lantai rumah yang terbuat dari kayu dilapisi karpet plastik. Galing hampir putus asa lelah berteriak-teriak menyuruh adiknya agar secepatnya membantu membereskan bantal dan guling di kamarnya. Tapi kedua adiknya tak juga menghiraukan omelan kakaknya. Galing akhirnya mengerjakannya sendiri.
Galing adalah seorang gadis berusia 16 tahun. Diberi nama demikian konon katanya karena ia sejak lahir berambut keriting, makanya biar gampang orangtuanya menamai anak gadisnya itu  dengan nama Galing. Kulitnya yang hitam, dan tahi lalat yang terlalu besar di pipi kanan nya membuat Galing sering diolok-olok oleh teman-temannya. Mereka memanggilnya dengan sebutan Galing Tompel. Sangat menyedihkan memiliki tampilan yang tidak sebaik teman-teman gadis seusianya. Mereka tumbuh dengan baik, rambut yang indah, kulit yang bercahaya, wajah yang cantik. Sedangkan Galing? Belum lagi, selalu timbulpertanyaan dalam hatinya, mengapa harus dinamai Galing? Nama itu seperti menjadi tambahan beban untuk seorang gadis yang sedang tumbuh di usia remaja seperti dirinya. Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, ia tak mungkin menyalahkan kedua orangtuanya mengapa menamainya demikian. Dengan menyibukkan diri di rumah mengurusi kedua adiknya Galing tak lagi berani bermimpi untuk melihat seorangpun pemuda yang ada di kampungnya, atau siapapun pemuda yang hadir di kampungnya. Beberapa minggu lalupun, ia hampir menangis akibat diolok-olok oleh gadis-gadis lain, gara-gara menyapa Hendri anak juragan ternak tempat dimana orangtuanya bekerja. Galing seperti menyerah dan pasrah, hanya atas kebaikan Tuhanlah ia akan mendapatkan jodoh kelak.
Galing terlahir dari keluarga petani miskin. Untuk makan sehari-hari ayahnya harus bekerja banting tulang menggarap kebun milik orang lain. Begitupun ibunya, setiap hari bekerja sebagai buruh peternakan. Mencarikan rumput untuk kambing dan sapi milik sodagar kaya di kampungnya. Setiap hari Galing harus menjaga adik kembarnya yang masih kecil.  Mengurus rumah, merapihkan pakaian, menyiapkan makanan untuk kedua adiknya, menyuapi, memandikan, lalu memasak untuk kedua orangtuanya saat mereka kembali dar ladang setiap sore menjelang malam.
Semua pekerjaan itu selalu dapat dikerjakan dengan baik Galing. Ia sungguh telaten mengurusi semuanya. Namun hari ini rasanya begitu melelahkan. Hujan datang tiba-tiba begitu deras. Pakaian yang tadi pagi dicucinya tak terselamatkan basah semua tak sempat terangkat karena ia harus terlebih dahulu menyelamatkan padi yang dijemur di halaman rumah. Bisa marah besar ibunya jika padi-padi itu harus basah karena hujan. Genting-genting bocor, air masuk ke dalam rumah, Adik nya susah dikendalikan, sungguh sangat melehkan. Belum lagi Galing teringat kedua orangtuanya. Hujan deras begini di mana kedua orangtuanya berada? Rasa khawatir terus menguasai fikirannya. Ada niat ingin mencari ayah ibunya ke ladang, namun bagaimana dengan kedua adiknya. Bagai makan buah simalakama, Galing hanya bimbang bukan kepalang. Setelah memastikan semuanya aman dari basahan hujan, Galing mulai membujuk kedua adiknya untuk pergi tidur siang. Tampaknya mereka mulai kelelahan bermain di lantai yang licin. Setelah menyuruh keduanya untuk membersihkan kaki dan tangan, Galing membacakan cerita dari buku dongeng yang ia dapat dari salahsatu temannya yang berbaik hati memberikan buku bacaan bekas, namun bagi Galing semua itu sangatlah berharga. Jangankan untuk membeli buku bacaan untuk makan sehari-haripun keluarganya sudah kesulitan. Beruntung Galing masih bisa menyelesaikan sekolah dasarnya.
Galing menbacakan cerita yang sebenarnya hanya itu-itu saja. Maklum saja buku dongengnya hanya ada satu. Namun bukan Galing namanya jika ia tidak cerdas, ia selalu pandai menyisipkan kejadian-kejadian baru dalam cerinyanya sehingga kedua adiknya yang baru berusia 6 tahun itu tampak selalu asik dibacakan dongeng oleh kakaknya. Tak perlu waktu lama, kedua adiknya telah terlelap tidur berselimutkan kain sarung.
Perlahan hujan mulai mereda, angin mulai bertiup ramah, tak ada lagi petir yang menyambar. Bocoran atapnya mulai menghilang, wadah-wadah penampungan telah dibereskan. Sudah hampir magrib, ayah dan ibunya belum juga pulang. Adiknya tampak masih terlelap, mungkin terlalu lelah bermain. Galing pergi ke ladang, menyusuri jalan setapak yang biasa dilalui oleh kedua orangtuanya. Jalan itu satu-satunya jalan tercepat menuju ladang dan peternakan.
Gerimis mulai menipis, namun hari makin gelap. Galing lupa tidak membawa alat penerang jalan. Ia harus sangat berhati-hati agar tidak terperosok karena jalanan licin akibat hujan seharian. Namun apalah daya, gelap mulai menyelimuti bumi, Ia tak lagi bisa melihat jalan dengan jelas. Kakinya terperosok ke dalam lubang, membuat tubuhnya tersungkur ke tanah. Kakinya kanannya terkilir. Galing mengaduh kesakitan. Tiba-tiba sesosok laki-laki yang entah dari mana asalnya, mengulurkan tangan untuk menolong. Galing bangkit, berpegangan dengan laki-laki itu. Samar-samar terlihat, laki-laki itu berwajah tampan, mirip dengan anak juragan peternakan. Galing sangat terkejut mengetahui bahwa laki-laki itu memang benar putra juragan. Ia kikuk, malu sekali ia berada di dekatnya. Ia merasa tak pantas ditolong oleh anak majikan orangtuanya, lalu berniat melanjutkan perjalanan mencari orangtuanya. Namun Hendri mengatakan jika ia sudah mengantarkan kedua orangtuanya pulang ke rumah. Dan ketika menyadari Galing tak ada, maka ia mencari ke ladang.
Hendri memapah Galing dalam kegelapan. Ada hati yang sangat tulus yang dirasakan Galing dari pemuda itu. Jika dulu keinginannya untuk bertemu dengan Hendri adalah hal yang  mustahil, bagaikan pungguk merindukan rembulan, namun kini jelas sudah ia berada di dekat pemuda tampan idaman semua gadis di kampungnya. Bahkan kini  Hendri erat memegangi tangannya dan memapahnya membantu ia berjalan manuju pulang. Dalam hatinya Galing berdo’a, dengan ketulusan yang amat sangat. Ia mendo’akan agar pemuda tampan yang kini telah tulus berbaik hati menolongnya dijodohkan dengan perempuan cantik berhati tulus pula. Maka seketika sebuah keajaiban terjadi, seberkas cahaya memancar. Seseorang bertubuh tinggi besar mengenakan jubah putih, memukulkan tongkat ke tanah sebanyak tiga kali. Gelap malam di ladang berubah menjadi terang benderang. Seiring dengan itu, wajah Galing berubah menjadi sangat cantik, kulitnya menjadi bercahaya, rambut ikalnya terurai indah bagai rambut putri raja. Melihat perubahan yang menakjubkan itu Hendri kaget bukan kepalang. Namun ia sangat bahagia melihat Galing menjadi sangat cantik. Ia berterimakasih kepada laki-laki berjubah putih itu karena telah merubah Galing menjadi putri yang cantik. Selama ini Hendri telah jatuh hati kepada Galing karena ketulusan dan kesederhanannya, namun selalu mendapatkan olok-olok dari teman dan keluarganya. Kini ia tak akan lagi merasa ragu untuk membawa Galing ke tengah-tengah keluarga besarnya memperkenalkan Galing sebagai calon istrinya. Anak dari pekerja peternakan yang paling jujur.  
Selesai.   

Catatan :
Cerita ini dimuat di buku antologi berjudul "Sepenggal Kisah dalam Pencarian" yang diterbitkan oleh AE Publishing.


Share/Bookmark

2 comments: