“Siang Bang!” Aku
menyapa bang Firman. Ia ternyum begitu manis.
“Baru pulang
Din?” Bang Firman kembali bertanya. Aku mengangguk pelan. Binar matanya begitu
terang, lesung pipinya menambah manis parasnya. Ah, sejenak hatiku terhenyak. Detak
jantungku berdebar kencang, saat tak sengaja mata kami bertemu pandang.
Aku
mempersilakannya duduk di kursi teras depan, kemudian permisi untuk masuk ke
dalam, mengambilkannya minuman. Walau bang Firman melarangku agar aku tak perlu
repot-repot, tetapi aku yakin bang Firman pasti haus. Siang ini begitu terik.
Bang Firman
berterimaksih dan meminum es teh manis yang kubuatkan.
“Bang, udah
lama di sini? Maaf ya ruamhnya kosong.” Aku memulai pembicaraan.
Tadi saat aku
tiba di halama rumah, Bang Firman tampak sedang bersiap-siap untuk pergi
kembali setelah mungkin lama menunggu di depan rumah karena tak ada orang yang
membukakan pintu, karena memang tak ada satupun orang di rumah. Ayah ibuku
sedang pergi ke luar kota, bi Inah cuti pulang kampung, dan mbak Lina belum
pulang dari kampusnya. Tak biasanya mbak Lina terlambat pulang. Apalagi jika
sudah tahu akan ada bang Firman datang.
Bang Firman
menggeleng perlahan sambil senyum. Yang aku bilang sekali lagi, senyumnya manis
sekali. Membuat es teh yang sedang ku nikmati terasa semakin manis.
“Mbak Lina nya
udah dikontak Bang?” Aku mengambil ponsel dari kantong bajuku bermaksud
menghubungi kakakku. Walau dalam hati ada perasaan senang jika mbak Lina belum
pulang. Aku bisa berlama-lama ngobrol dengan bang Firman.
“Lina sudah aku
telepon. Dia ada jadwal dadakan yang ditukar dari jam kuliah pagi. Makanya Lina
menyarankanku untuk kembali besok. Karena besok dia tak ada jadwal kuliah.”
“Memangnya
kalian harus ketemu tiap hari ya?” Dahiku mengernyit karena aku perhatikan hampir
setiap hari mbak Lina diantar pulang seseorang.
“Ya, gak gitu
juga sih Din. Selama Abang punya waktu luang ya diusahakan untuk bertemu.
Lagian kata siapa juga kami bertemu tiap hari? Kalau tiap hari seharusnya aku
bisa dong lihat kamu tiap hari juga.” Bang Firman tertawa.
“Tapi Bang, Din
sering dengar mbak Lina say goodbye sama seseorang tiap hari. Ada suara
motor di halaman rumah yang datang lalu pergi. Itu bukan Abang ya?”
Tiba-tiba aku
merasa bersalah telah mengatakan hal itu. Siapa tahu memang benar-benar bukan
bang Firman yang mengantar jemput mbak Lina setiap hari. Aku sih tak begitu
memperhatikan. Untuk apa pula aku harus memperhatikan mbak Lina dengan
pacarnya.
Aku melihat
perubahan ekspresi pada wajah bang Firman. Ada kebingungan yang tergambar di
wajahnya.
“Oh ya, kamu
bisa temani Abang ke toko buku hari ini?” Tiba-tiba seketika wajahnya kembali
ceria, mata indahnya kembali berbinar. Bang Firman memang pandai meyembunyikan perasaan.
Setiap aku bertemu dia, ia selalu terlihat tenang, senang dan baik-baik saja.
“Eh, iya. Aku
bisa Bang.” Sontak seketika kalimat itu keluar begitu saja,mungkin karena aku
merasa bersalah kepadanya.
“Mandi dulu
sana biar seger!” Tak menunda lagi aku
langsung berlari ke dalam rumah dan bersiap pergi secepat mungkin. Aku tak mau
membuat Bang Firman menunggu terlalu lama.
**
Toko buku Gramedia
siang ini begitu ramai pengunjung. Hari yang cerah di akhir pekan menjadi
pilihan yang tepat untuk jalan-jalan. Bang Firman asik memilih buku-buku
terbaru yang berhubungan dengan ilmu arsitektur. Sesuai dengan jurusan
kuliahnya. Kali ini Bang Firman sedang menyusun laporan akhir. Aku do’akan
semoga bang Firman dimudahkan dan diluluskan dengan hasil yang baik. Aamiiiin.
Aku hanya bisa
mengekor di belakang bang Firman. Pura-pura berminat dengan buku-buku yang
berderet rapi di rak.
“Kamu gak
lihat-lihat novel Din? Abang dengar kamu suka sekali membaca novel.”
Aku hanya
tersenyum. Sebetulnya aku bisa saja melihat-lihat novel tapi kali ini aku lebih
suka berada dekat dengan dia. Entah kenapa, nyaman saja rasanya.
Aku tak habis pikir kenapa mbak Lina sampai tega mengingkari janji menemani bang Firman
mencari buku. Padahal kan asik sambil menyelam minum air, sambil nyari ilmu sambil
menikmati senyum manisnya bang Firman. Ah, tak akan aku lewatkan setiap
detiknya.
Bang Firman
memilih satu, setelah membaca dan mempelajari isinya akhirnya ia memutuskan
untuk membeli buku itu.
Aku memilih
satu novel karangan Dee Lestari. Itupun dipilihkan Bang Firman. Tak kusangka
ternyata bang Firman juga suka membaca novel dan bagitu banyak buku yang telah
ia baca.
“Din, boleh
aku tahu sesuatu?” Tiba-tiba Bang Firman bertanya di sela-sela percakapan kami
katika menuruni tangga menuju lantai dasar. Aku merasakan nada bicara bang
Firman mulai bernada serius.
“Iya silakan
Bang! Tanya apa?”
“Kalau kemarin
Lina diantar siapa?”
“Hm… Eh… Itu…
Bukannya Abang?” Aku tak bisa menyembunyikan kegugupanku. Bukan karena bang
Firman menatapku begitu dalam. Namun lebih kepada ketakutanku. Aku tahu kemarin
mbak Lina diantar laki-laki lain. Bukan bang Firman. Aku tahu dan hafal betul
suara motor bang Firman. Tapi yang kemarin itu suara motor ninja. Dan aku juga
tak mungkin berterus terang kepadanya tentang siapa dia. Lagi pula mbak Lina
belum sempat memperkenalkanku kepada laki-laki itu. Mungkin dia hanya temannya
atau… Ah, aku tak tahu. Yang aku pikirkan sekarang adalah, aku tak boleh
membuat bang Firman rusak hatinya. Aku sedang senang melihat senyumnya.
Entah sejak
kapan aku mulai menyukai bang Firman, tapi aku tak mau menunjukkan kepadanya
apalagi jika harus mengatakannya. Itu tak mungkin ku lakukan. Aku tahu hati
bang Firman untuk siapa. Kakaku Lina sudah lama menjalin hubungan dengannya.
Sejak aku duduk di bnagku kelas 1 SMA sampai sekarang aku hampir lulus.
Tak perlu
menjadi pacarnya bang Firman, melihat senyumnya saja aku sudah senang bukan
main.
“Kenapa kamu
gak kasih tahu Abang Din? Siapa yang suka menjemput dan mengantar kakak mu
kalau bukan aku?” Pertanyaan Bang Firman semakin terasa memojokanku. Sepertinya
dia sengaja mengajakku ke sini bukan hanya untuk mencari buku tapi mencari
informasi tentang mbak Lina.
“Hm… aku tak tahu
Bang.” Aku masih bingumg memberi penjelasan. Teringat beberapa hari yang lalu
saat aku mengolok-olok mbak Lina tentang laki-laki yang mengantarya pulang,
kakaku menjawab, “Kalau sudah usia dewasa itu berhak memilih laki-laki lebih
banyak. Karena bukan hanya untuk pacaran tapi mencari calon suami.” Itu jawaban
yang aku dapatkan dari mbak Lina. Dia juga sempat keceplosan kalau bang Wira
laki-laki yang mengantarnya itu merupakan salah satu pegawai bank swasta yang
gedung kantornya tak jauh dari rumah kami.
“Din… kamu
kenal orangnya?” Aku menggelengkan kepala karena memang belum kenal tak seperti
aku mengenal bang Firman.
“Apa… orangnya
seperti dia? Atau memang dia?” Tiba-tiba telunjuk bang Firman tertuju kepada
seseorang yang sedang menggandeng kakak ku menuju halaman parkir.
“Ya ampun… Mbak
Lina… Kenapa pula harus jalan-jalan ke sini hari ini?” Gumamku dalam hati. Aku
bingung menghadapi keadaan itu. Aku tahu bang Firman kecewa melihat pemandangan
itu. Akhirnya aku memilih diam, jika bicarapun aku takut salah berucap.
Diam-diam
mataku mencuri pandang ke arah bang Firman. Mencoba mencari tahu ekspresi apa
yang terpampang di wajahnya kini.
Tapi tiba-tiba
bang Firman menarik tanganku. Lalu berlari ke luar dan ia berteriak memanggil
nama kakakku.
Mbak Lina
menoleh. Ia begitu terkejut ketika ia tahu siapa yang ada di belakangna. Spontan
ia melepaskan gandengan tangannya yang semula mesra dari lengan bang Wira.
“Nyari buku
juga?” Ucap bang Firman. Nada bicaranya begitu tenang terkendali. Kalau aku,
mungkin sudah mendamprat mbak Lina dan memarahinya. Atau sama sekali tak ingin
menjumpainya sama sekali. Tapi Bang Firman terlihat sangat santai dan tetap
berusaha tersenyum ramah kepada Wira.
“Eh, hm, iya.
Kok kalian bisa barengan?” Mata mbak Lina tertuju padaku. Di matanya aku temukan
sejuta pertanyaan yang tentunya harus aku jawab nanti di rumah.
“Tadi aku
sengaja ke rumahnya.” Jawab bang Firman singkat. Lalu ia menggenggam erat
tanganku tak lama kemudian berpamitan kepada mbak Lina dan Wira.
“Kami duluan”
Ucapnya. Aku mengangguk kepada mereka. Dan aku harus bertemu dengan mata mbak Lina
yang melotot tajam ke arahku.
Langkah kami
sedikit dipercepat menuju parkiran. Aku tak habis pikir dan tak tahu apa yang
harus aku lakukan kali ini.
“Bang, kenapa
Abang gak marah sama mbak Lina? Kok terlihat santai-santai saja?” Akhirnya aku
tak bisa menahan kalimat konyol itu melompat dari mulutku.
Bang Firman
terpaku diam. Berdiri tepat di hadapanku dan menatap mataku dalam-dalam membuat
jantungku berdebar kencang.
“Aku tak perlu
kecewa, karena aku sebetulnya sudah bisa membaca gelagat Lina dari dulu. Kadang
tak selamanya orang yang kita cintai bisa kita miliki. Iya kan?” Ia tersenyum
manis kepadaku. Ucapannya terdengar begitu ringan. Aku semankin kagum kepadanya
bisa mengambil sikap setenang itu.
“Tapi aku
bersyukur, bisa menemukan orang yang mungkin nanti akan selalu mencintaiku. Dan
akan membuat aku mencintainya pula sepenuh hatiku.” Ujarnya sambil memakaikan
helm di kepalaku. Baru pertama kalinya aku dipakainkan helm oleh seorang
laki-laki. Terasa sekali perhatiannya. Ah, Bang Firman.
“Hm… Siapa Bang?”
Tanyaku.
“Kamu!”
Tangannya menyentuh halus pipiku dan lalu mencubitnya pelan.
Dunia terasa
terang benderang. Aku bahagia bukan kepalang. Ya, kedamaian dalam hatiku terwujud
sempurna. Ternyata sore ini aku menemukan cinta dari pacarnya mbak Lina yang mungkin
nanti malam akan segera menjadi mantannya setelah berbicara secara resmi bahwa
hubungan mereka berakhir.
Aku pulang
diantar bang Firman. Setelah say goodbye aku masuk ke rumah dengan
perasaan campur aduk. Antara bahagia dan was-was. Siap-siap diinterogasi oleh
mbak Lina nanti malam sebelum tidur setelah ayah dan ibu mengunci rapat kamar
mereka.
**
Cerita ini dimuat dalam buku antologi cerita pendek bertema "saudara" yang diterbitkan oleh penerbit Hanami
No comments:
Post a Comment