Muda-mudi
berpasangan, berboncengan dengan rona-rona kebahagiaan di wajah mereka. Terbaca
sudah, begitu bahagianya mereka sore ini. Tampak beberapa pasangan menggunakan
pakaian casual dengan warna senada satu sama lain. Membuat pereka semakin
terlihat
serasi, terlihat begitu siap menghabiskan saturday night.
Adapun mereka yang masih berseragam putih abu, hanya ingin menghabiskan waktu
sampai petang hari, atau sedikit korupsi waktu sampai adzan magrib tiba,
sebelum orang tuanya mencari mereka gara-gara pulang terlambat.
Tepat
di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga mekar, berwarna merah nyala,
sepasang muda-mudi, asik memadu kasih. Berbincang tentang apapun yang menjadi
topik kesukaan mereka. Binar mata mereka menunjukkan jika betapa kuatnya ikatan
bathin di antara keduanya. Jelas sudah, mereka adalah sepasang kekasih yang
saling mencintai. Mereka memarkir motor di sana. Kelopak-kelopak bunga yang
berwarna merah nyala itu berguguran menambah efek romantis tempat itu. Di depan
mata, terhampar luas pesawahan berbatasan dengan kokohnya gunung yang berdiri
angkuh tepat di ujung sawah. Di balik gunung, matahari berwarna jingga, bulat
sempurna nyaris seperti permen rasa jeruk, perlahan mulai turun ke peristirahatannya.
Udara mulai sejuk, setelah seharian bumi diterpa cahaya matahari yang cukup
terik.
Yang
laki-laki duduk di atas jok motornya, dan perempuannya berdiri menghadap
pemandangan senja yang tak pernah ingin ia lewatkan. Badannya sedikit rapat,
lebih dekat dengan laki-laki itu. Seolah di sanalah ia mendapatkan ketenangan
dan kedamaian yang luar biasa.
Hampir
setiap akhir pekan selepas mengikuti kelas kuliah yang padat dari pagi hingga
pukul empat, mereka selalu menyempatkan diri menikmati senja di tempat itu.
Jika hujan tidak turun, maka mereka akan berlama-lama berada di sana, sampai
adzan magrib berkumandang dan memaksa mereka untuk segera beranjak dari sana.
Pemandangan itu selalu terlihat hampir setiap akhir pekan.
**
“Kamu
tahu apa yang paling aku sukai?”
Bisik
Rana kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya. Laki-laki yang usianya empat
tahun lebih muda darinya. Namun selalu berhasil memikat hatinya.
Laki-laki
itu menjawab dengan senyuman dan isyarat di wajah dan matanya. Seolah menjawab
“Aku tak tahu”
Lalu
laki-laki meraih tangan Rana dan mengenggamnya dengan lembut. Lalu bertanya,
“Apa lagi sekarang yang lebih kau sukai selain gerimis, wangi hutan, rerumputan,
dan bau pohon pinus, Rana?”
Rana
tersenyum geli, mendengar pertanyaan itu. Memang Hexa selalu ingat hal-hal yang
ia sukai dan tidak ia sukai. Termasuk soal gerimis, dan kerinduannya kepada
rerumputan dan hutan, serta bau pohon pinus.
Bagi
Rana laki-laki itu bagaikan magnet berbentuk lingkaran, selalu berhasil menarik
hatinya dari segala arah. Entah sejak kapan Rana mulai merasakan getara-getaran
aneh yang hadir di dalam dadanya. Semula ia selalu berusaha menepis semua yang
ia rasakan terhadap Hexa. Karena sesungguhnya ia sama sekali tak boleh memiliki
perasaan yang aneh seperti itu kepada laki-laki yang jelas-jelas jauh lebih
muda dari usianya.
“Aku
menyukai senja dan Kau, Hexa”
Rana
menatap laki-laki itu dengan tatapan yang dalam. Seolah ia ingin meyakinkan
jika sejak ia menyadari bahwa ia mulai jatuh cinta kepada Hexa, tak ada lagi
hal yang lebih ia sukai selain duduk di waktu senja hari setiap akhir pekan
bersama Hexa. Untuk sekedar berbagi cerita, berdiskusi tentang masalah
pekerjaan dan seputar tugas-tugas perkuliahan yang sekarang mereka hadapi
bersama. Bagi Rana, Hexa adalah teman kuliah yang paling penting, karena
keuletan dan kecerdasan yang ia miliki membuat Rana benar-benar selalu ingin
berdekatan dengannya. Bukan karena ia ingin diberikan bantuan atau contekan
tugas, tapi bersama Hexa ia merasa memiliki semangat yang tinggi untuk segera
menyelesaikan program magisternya. Bersama Hexa, rasa malas yang kerap
mengalahkan semangatnya untuk terus berjuang menyelesaikan tugas-tugasnya sedikit
terkalahkan. Tahukah kalian, Hexa itu pantang menyerah, ia selalu menemukan
seribu satu cara untuk memecahkan masalah yang ada.
Meskipun
Hexa memiliki usia jauh lebih muda darinya, Rana tetap merasa jika Hexa patut
dijadikan panutan. Entah sejak kapan, bahkan Rana berharap jika suatu saat ia memiliki
Hexa seutuhnya.
Pesona
Hexa membuatnya lupa usia, membuatnya merasa telah jatuh terlalu dalam. Dan
lagi, membuatnya lupa akan arti pertunangan yang telah ia sepakati tiga tahun
yang lalu bersama seorang laki-laki bernama Yugo.
Yugo
yang selalu mencintainya dengan sepenuh hati. Memperhatikannya, dan seolah
selalu berusaha menjamin semua hal tentang Rana. Ia lakukan yang terbaik untuk
Rana, mengantar dan menjemput Rana kemana pun ia pergi. Mentransfer sejumlah
uang untuk biaya kuliah, belanja dan keperluan Rana. Menyediakan rumah mewah
yang siap mereka tinggali setelah mereka menikah nanti, tentunya setelah Rana
lulus dan menyandang gelar magisternya.
Namun
entah kanapa kebahagiaan Rana seolah tak sempurna. Kehidupan yang serba mewah
yang dijaminkan oleh Yugo tak berhasil menjadikannya merasa bahagia. Justru semakin
berkecukupan semakin merasa kosong dan hampalah hatinya. Yugo yang seolah
terlalu sibuk mengurusi kehidupan Rana, membuat Rana merasa risih mendapatkan
perlakuan seperti itu. Karena Rana tahu, Yugo belum resmi menjadi suaminya. Ia
tak mau jika pandangan orang menjadi buruk terhadapnya. Bagaimana tidak, Selama
tiga tahun setelah orang tua mereka bersepakat menjodohkan anak-anaknya, Yogo
merasa mendapatkan lampu merah untuk mengantar jemput Rana kemanapun Rana
pergi. Memperlakukan Rana sebagai seorang putri yang tak boleh kepanasan dan
tak boleh terkena hujan. Sementara Rana, ia tak mau diperlakukan sedemikian
rupa. Ia lebih suka hidup bebas. Lebih suka kesederhanaan, ia lebih merindukan
hujan, gerimis, hutan, rerumputan dan wangi aroma pohon kina daripada
berjalan-jalan dan berbelanja di mall atau makan di tempat-tempat mewah dengan
harga yang wah!
Dan
ketika ia bertemu dengan Hexa, ia merasa menemukan segalanya. Segala hal yang
selama ini ia cari. Hexa yang sederhana, santun, jujur dan polos, membuat Rana
menyukai pria itu. Hexa memiliki kegemaran yang sama dengannya. Menikmati alam
terbuka untuk lebih mendekatkan diri kepada pencipta. Bersama Hexa, Rana merasa
lebih memiliki kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri.
Tiba-tiba Hexa mendaratkan kecupan
di kening Rana. Membuat hati Rana terhenyak seketika. Getaran di dadanya
semakin kuat. Degup jantungnya semakin kencang. Saat itulah Rana berani
berkesimpulan jika memang selama ini cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.
Ya, Hexa juga mencintainya.
“Rana…” Hexa menggenggam erat tangan
Rana. Matanaya menatap wajah perempuan yang ia sayangi lamat-lamat. Seolah ia
ingin merekam setiap perrubahan mimik muka kekasih hatinya di setiap detiknya.
“Iya Hexa…” Jawab Rana lirih.
“Aku
mencintaimu… Ketahuilah. Sejak pertama aku melihatmu di kelas kita, mata dan
hatiku tertuju kepadamu. Namun saat kamu berkenalah dan bilang jika kamu sudah
bertunangan, kamu tahu apa yang terjadi dengan keping hatiku?”
Rana menggeleng, tak mengerti apa
yang kala itu terjadi.
“Hatiku retak Rana. Aku patah
semangat. Rasanya aku ingin lari, keluar ruangan dan meminta berpindah kelas,
agar tak lagi berada sekelas denganmu.”
Hexa menghela nafas panjang.
“Tapi
setelah aku melihat kau tersenyum tulus kepadaku setelah kau memperkenalkan
diri, aku terhipnotis, senyummu begitu manis Rana…”
Mata Hexa tak mau beralih memandang
Rana. Membuat debaran kencang makin menjadi di dada Rana. Rana kikuk. Salah
tingkah. Pipinya terasa memanas, ia yakin pipinya pasti memerah.
Senja di ufuk barat semakin
menjingga. Menyaksikan keduanya yang tak malu saling berpegangan tangan dengan
eratnya. Tak mau terpisahkan. Pohon Flamboyang yang rindang menaungi mereka
yang masih asik menikmati senja menghadap ke hamparan sawah yang luas. Tempat
pavorit mereka selepas kuliah sore hari. Mereka sering menghabiskan waktu di
sana. Senja itu benar-benar milik mereka berdua.
Ketika senja telah berganti menjadi
malam. Rana dan Hexa dengan berat hati meninggalkan tempat itu. Tempat yang
sepekan lagi baru akan mereka temui kembali. Hari lain? Tak bisa, mereka harus
bergelut dengan kesibukan masing-masing di tempat kerja. Adapun jika rindu,
mereka hanya bisa melepasnya via telepon, itupun hanya sesekali.
Rana
merasa menemukan sesuatu yang bisa membuatnya berumur panjang. Membuatnya bisa
menikmati hidup dengan cara yang ia inginkan. Bukan kekangan, perhatian yang
berlebihan. Walaupun kini ia harus berdiri di persimpangan, antara cintanya
yang tulus kepada Hexa dan hubungannya dengan Yugo.
**
Hari
Rabu, Yugo menemui Hexa di tempat kerjanya, mebicarakan sesuatu yang penting.
Percakapan mereka cukup menegangkan, sempat ada adu pendapat. Namun tentu saja
Hexa kalah. Walaupun sebenarnya ia mengalah. Dua bulan lagi Yugo akan menikahi
Rana.
Ada sayatan luka yang teramat perih
dalam hati Hexa, namun jauh sebelumnya ruang untuk rasa sakit itu telah Hexa
siapkan. Ia sudah tahu, suatu saat ia akan kehilangan Rana. Seberapapun besar
cintanya ia tak pernah yakin bisa memiliki Rana seutuhnya, walaupun ia yakin
jika hatinya telah menjadi milik Rana semuanya.
“Temui
aku di bawah pohon Flamboyan nanti sore” Sebuah pesan whatsapp dari
Hexa. Ini sudah pukul 15:00 ia harus bergegas.
Sepanjang
jalan hati Rana tak berhenti bertanya-tanya. Tak biasanya Hexa meminta ketemu
sebelum akhir pekan jika tak ada hal penting yang ingin ia bicarakan.
Sesampainya di sana, Hexa sudah berdiri menghadap ke barat, memandang gunung
dengan mentari yang masih tampak tinggi.
“Rana,
apa kabarnya dengan Yugo?” Suara Hexa tiba-tiba.
Petanyaan
Hexa membuat dada Rana terhenyak. Kaget bukan main. Kenapa harus ada pertanyaan
itu. Kenapa harus membahas dia saat dirinya benar-benar sedang berada di atas
awan setelah beberapa hari lalu ia mendengar pengakuan dari Hexa jika ia
mencintainya.
“Aku mencintaimu, tapi ada yang
lebih berhak atas mu Rana, aku tak mungkin bisa merebutmu darinya. Aku bisa
apa? Dan apa yang aku punya? Aku hanya punya bibir untuk mengatakan apapun yang
aku rasa tanpa aku tutup-tutupi, dan aku hanya punya hati untuk mencintaimu
dengan segenap rasa. Sedangkan Yugo, dia punya segalanya Rana….”
Rana tertunduk, ia tak mampu berkata
apa-apa. Hatinya kesal, rasanya ingin ia membatalkan pertunangannya jika ia
mampu. Namun kedua pihak orangtua mereka, bukan hal yang mudah dilangkahi. Tak
akan semudah membalik telapak tangan untuk menyelesaikan segalanya.
“Rana, kenapa diam? Jawab aku Rana.”
Nada bicara Hexa mulai parau. Terdengar kesedihan yang teramat dalam.
“Aku… Aku mencintaimu Hexa”. Hexa
berbalik, membenamkan Rana di dalam pelukannya.
“Aku tahu Rana… Aku merasakannya.
Tapi Yugo, ayah ibunya, orangtuamu, keluarga kalian… Ah, maafkan aku yang
mencoba hadir di antara kalian…”
Tubuh mereka berpeluk erat, bahu
Rana berguncang tak kuasa menahan tangis, dan sungai kecil mengalir dipipi
Hexa.
“Maafkan aku Hexa… Aku tak mampu
memberimu kepastian selain tentang perasaanku kepadamu. Aku benar-benar
mencintaimu Hexa, tapi aku tak punya kuasa untuk lari begitu saja, walau sudah
aku coba berkali-kali…”
“Tak apa Rana…” Hexa melepaskan Rana
dari pelukannya. “Kemarin Yugo datang padaku. Meminta aku menjauh. Aku melihat
cinta yang dalam kepadamu di matanya. Kamu bisa mencoba lagi untuk membuka
hati, maafkan segala perlakuannya kepadamu. Atau kau bisa mencoba mengutarakan
apa yang kau inginkan mengenai caranya memperlakukanmu. Aku yakin, perlahan
kamu bisa. Dan sementara itu, izinkan aku menjauh, agar kamu bisa berfokus
dengan perasaanmu terhadap Yugo.”
“Hexa, aku sudah berkali-kali
menjelaskan. Aku juga tak berniat menyengaja jatuh hati padamu. Tapi keadaan,
dan kekangan yang aku dapat darinya. Aku lelah Hexa…”
“Sudahlah Rana, kamu hanya harus
terus mencoba” Hexa berusaha tersenyum dalam kalimatnya. Lalu ia memeluknya
sekali lagi sebagai pelukan terakhir, mengecup keningnya dengan lembut, lalu
berlalu meninggalkan Rana yang diam terpaku di bawah bayang-banyang senja.
**
Dua tahun kemudia, ketika perut Rana
sudah membuncit dengan buah pernikahannya bersama Yugo yang sudah berusia 5
bulan. Ia merindukan senja di bawah Flamboyan. Bukan hanya kali itu, setiap
hari ia selalu merindukannya. Selama dua tahun pernikahan yugo tak pernag
berubah. Bahkan setelah resmi menikah ia semakin berani bersikap keras terhadap
Rana. Tiap kali ia mendapatkan perlakuan seperti itu, ia selalu datang ke bawah
pohon flamboyant, menatap senja dan megadukan segalanya. Kepada pohon, angin,
rumput, sawah, dan semua yang ada di sana. Terutama kepada senja yang selalu
mengingatkannya kepada Hexa setelah terkahir mereka bertemu di sana, mereka tak
pernah bertemu kembali, kecuali ketika prosesi wisuda tiga tahun yang lalu.
Rana menangis, meratapi keadaan.
Bahunya berguncang, ia menangis sejadinya. Yugo bukan hanya keras kepala, bukan
hanya keras hatinya, tapi ia kerap menyakiti fisiknya jika Rana tak memenuhi
keinginannya.
Senja di bawah flamboyan, kini tak
ada lagi senyum dan canda tawa Hexa yang menenangkan hatinya. Tak ada lagi
pelukan hangat yang menjadi tempat persembunyiannya dari segala kegundahan
hatinya. Tak ada lagi yang menjadi sayap pelindungnya ketika ia disakiti Yugo.
Dan…
“Rana… apa kabarmu? Senang melihatmu
di sini…”
Suara itu, suara itu tak pernah
berubah. Ya, itu adalah suara sayap pelindungnya Rana. Hexa berdiri tegak tepat
di depannya. Ingin rasanya Rana berhambur ke pelukan Hexa, tapi ia bertahan, ia
tahu kini ia berstatus istri Yugo.
“Kenapa kamu ada di sini?” Ucap Rana
dengan mata berkaca-kaca. Dua buah sungai kecil siap mengalirkan air di kedua
belah pipinya.
“Aku selalu ke sini, memandangmu dari
kejauhan. Aku bukan hanya merindukan senja dan pohon flamboyan ini. Tapi aku
juga selalu merindukannmu Rana. Tapi ketika aku melihat bahumu berguncang, aku
tak bisa menahan diri. Rasaku tetap sama Rana, seperti tiga tahun yang lalu
kepadamu.
Rana tak kuasa menahan diri, ia
berhambur ke pelukan Hexa, memeluknya dengan erat, seakan tak ingin ia lepaskan
sampai kapanpun. Di sanalah ketenangannya tinggal, di sanalah kedamaiannya
berada.
Senja temaram, semakin jingga. Hari
akan segera berganti malam, namun tak ada yang tahu dengan apa yang akan
terjadi kemudian hari setelah hari itu. Biar, biarlah hanya Hexa dan Rana yang
tahu. Biar mereka berdua yangmenyelesaikan semuanya.
**
Cerita ini dimuat di buku antologi cerita pendek bertema "senja" yang diterbitkan oleh Penerbit Perahu Litera (www.perahulitera.com)
No comments:
Post a Comment