Search This Blog

Friday, July 28, 2017

SENJA DI BAWAH POHON FLAMBOYAN



            
Senja temaram menyelimuti. Cahayanya menjingga mendamaikan jiwa. Hari ini hari sabtu, hari yang begitu baik. Sepanjang hari cuaca begitu cerah. Akhir pekan yang sangat cocok untuk dipakai jalan-jalan.
Muda-mudi berpasangan, berboncengan dengan rona-rona kebahagiaan di wajah mereka. Terbaca sudah, begitu bahagianya mereka sore ini. Tampak beberapa pasangan menggunakan pakaian casual dengan warna senada satu sama lain. Membuat pereka semakin terlihat
serasi, terlihat begitu siap menghabiskan saturday night. Adapun mereka yang masih berseragam putih abu, hanya ingin menghabiskan waktu sampai petang hari, atau sedikit korupsi waktu sampai adzan magrib tiba, sebelum orang tuanya mencari mereka gara-gara pulang terlambat.
Tepat di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga mekar, berwarna merah nyala, sepasang muda-mudi, asik memadu kasih. Berbincang tentang apapun yang menjadi topik kesukaan mereka. Binar mata mereka menunjukkan jika betapa kuatnya ikatan bathin di antara keduanya. Jelas sudah, mereka adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Mereka memarkir motor di sana. Kelopak-kelopak bunga yang berwarna merah nyala itu berguguran menambah efek romantis tempat itu. Di depan mata, terhampar luas pesawahan berbatasan dengan kokohnya gunung yang berdiri angkuh tepat di ujung sawah. Di balik gunung, matahari berwarna jingga, bulat sempurna nyaris seperti permen rasa jeruk, perlahan mulai turun ke peristirahatannya. Udara mulai sejuk, setelah seharian bumi diterpa cahaya matahari yang cukup terik.
Yang laki-laki duduk di atas jok motornya, dan perempuannya berdiri menghadap pemandangan senja yang tak pernah ingin ia lewatkan. Badannya sedikit rapat, lebih dekat dengan laki-laki itu. Seolah di sanalah ia mendapatkan ketenangan dan kedamaian yang luar biasa.
Hampir setiap akhir pekan selepas mengikuti kelas kuliah yang padat dari pagi hingga pukul empat, mereka selalu menyempatkan diri menikmati senja di tempat itu. Jika hujan tidak turun, maka mereka akan berlama-lama berada di sana, sampai adzan magrib berkumandang dan memaksa mereka untuk segera beranjak dari sana. Pemandangan itu selalu terlihat hampir setiap akhir pekan.
**
“Kamu tahu apa yang paling aku sukai?”
Bisik Rana kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya. Laki-laki yang usianya empat tahun lebih muda darinya. Namun selalu berhasil memikat hatinya.
Laki-laki itu menjawab dengan senyuman dan isyarat di wajah dan matanya. Seolah menjawab “Aku tak tahu”
Lalu laki-laki meraih tangan Rana dan mengenggamnya dengan lembut. Lalu bertanya, “Apa lagi sekarang yang lebih kau sukai selain gerimis, wangi hutan, rerumputan, dan bau pohon pinus, Rana?”
Rana tersenyum geli, mendengar pertanyaan itu. Memang Hexa selalu ingat hal-hal yang ia sukai dan tidak ia sukai. Termasuk soal gerimis, dan kerinduannya kepada rerumputan dan hutan, serta bau pohon pinus.
Bagi Rana laki-laki itu bagaikan magnet berbentuk lingkaran, selalu berhasil menarik hatinya dari segala arah. Entah sejak kapan Rana mulai merasakan getara-getaran aneh yang hadir di dalam dadanya. Semula ia selalu berusaha menepis semua yang ia rasakan terhadap Hexa. Karena sesungguhnya ia sama sekali tak boleh memiliki perasaan yang aneh seperti itu kepada laki-laki yang jelas-jelas jauh lebih muda dari usianya.
“Aku menyukai senja dan Kau, Hexa”
Rana menatap laki-laki itu dengan tatapan yang dalam. Seolah ia ingin meyakinkan jika sejak ia menyadari bahwa ia mulai jatuh cinta kepada Hexa, tak ada lagi hal yang lebih ia sukai selain duduk di waktu senja hari setiap akhir pekan bersama Hexa. Untuk sekedar berbagi cerita, berdiskusi tentang masalah pekerjaan dan seputar tugas-tugas perkuliahan yang sekarang mereka hadapi bersama. Bagi Rana, Hexa adalah teman kuliah yang paling penting, karena keuletan dan kecerdasan yang ia miliki membuat Rana benar-benar selalu ingin berdekatan dengannya. Bukan karena ia ingin diberikan bantuan atau contekan tugas, tapi bersama Hexa ia merasa memiliki semangat yang tinggi untuk segera menyelesaikan program magisternya. Bersama Hexa, rasa malas yang kerap mengalahkan semangatnya untuk terus berjuang menyelesaikan tugas-tugasnya sedikit terkalahkan. Tahukah kalian, Hexa itu pantang menyerah, ia selalu menemukan seribu satu cara untuk memecahkan masalah yang ada.
Meskipun Hexa memiliki usia jauh lebih muda darinya, Rana tetap merasa jika Hexa patut dijadikan panutan. Entah sejak kapan, bahkan Rana berharap jika suatu saat ia memiliki Hexa seutuhnya.
Pesona Hexa membuatnya lupa usia, membuatnya merasa telah jatuh terlalu dalam. Dan lagi, membuatnya lupa akan arti pertunangan yang telah ia sepakati tiga tahun yang lalu bersama seorang laki-laki bernama Yugo. 
Yugo yang selalu mencintainya dengan sepenuh hati. Memperhatikannya, dan seolah selalu berusaha menjamin semua hal tentang Rana. Ia lakukan yang terbaik untuk Rana, mengantar dan menjemput Rana kemana pun ia pergi. Mentransfer sejumlah uang untuk biaya kuliah, belanja dan keperluan Rana. Menyediakan rumah mewah yang siap mereka tinggali setelah mereka menikah nanti, tentunya setelah Rana lulus dan menyandang gelar magisternya.
Namun entah kanapa kebahagiaan Rana seolah tak sempurna. Kehidupan yang serba mewah yang dijaminkan oleh Yugo tak berhasil menjadikannya merasa bahagia. Justru semakin berkecukupan semakin merasa kosong dan hampalah hatinya. Yugo yang seolah terlalu sibuk mengurusi kehidupan Rana, membuat Rana merasa risih mendapatkan perlakuan seperti itu. Karena Rana tahu, Yugo belum resmi menjadi suaminya. Ia tak mau jika pandangan orang menjadi buruk terhadapnya. Bagaimana tidak, Selama tiga tahun setelah orang tua mereka bersepakat menjodohkan anak-anaknya, Yogo merasa mendapatkan lampu merah untuk mengantar jemput Rana kemanapun Rana pergi. Memperlakukan Rana sebagai seorang putri yang tak boleh kepanasan dan tak boleh terkena hujan. Sementara Rana, ia tak mau diperlakukan sedemikian rupa. Ia lebih suka hidup bebas. Lebih suka kesederhanaan, ia lebih merindukan hujan, gerimis, hutan, rerumputan dan wangi aroma pohon kina daripada berjalan-jalan dan berbelanja di mall atau makan di tempat-tempat mewah dengan harga yang wah!
Dan ketika ia bertemu dengan Hexa, ia merasa menemukan segalanya. Segala hal yang selama ini ia cari. Hexa yang sederhana, santun, jujur dan polos, membuat Rana menyukai pria itu. Hexa memiliki kegemaran yang sama dengannya. Menikmati alam terbuka untuk lebih mendekatkan diri kepada pencipta. Bersama Hexa, Rana merasa lebih memiliki kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri.
            Tiba-tiba Hexa mendaratkan kecupan di kening Rana. Membuat hati Rana terhenyak seketika. Getaran di dadanya semakin kuat. Degup jantungnya semakin kencang. Saat itulah Rana berani berkesimpulan jika memang selama ini cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ya, Hexa juga mencintainya.
            “Rana…” Hexa menggenggam erat tangan Rana. Matanaya menatap wajah perempuan yang ia sayangi lamat-lamat. Seolah ia ingin merekam setiap perrubahan mimik muka kekasih hatinya di setiap detiknya.
            “Iya Hexa…” Jawab Rana lirih.
“Aku mencintaimu… Ketahuilah. Sejak pertama aku melihatmu di kelas kita, mata dan hatiku tertuju kepadamu. Namun saat kamu berkenalah dan bilang jika kamu sudah bertunangan, kamu tahu apa yang terjadi dengan keping hatiku?”
            Rana menggeleng, tak mengerti apa yang kala itu terjadi.
            “Hatiku retak Rana. Aku patah semangat. Rasanya aku ingin lari, keluar ruangan dan meminta berpindah kelas, agar tak lagi berada sekelas denganmu.”
            Hexa menghela nafas panjang.
“Tapi setelah aku melihat kau tersenyum tulus kepadaku setelah kau memperkenalkan diri, aku terhipnotis, senyummu begitu manis Rana…”
            Mata Hexa tak mau beralih memandang Rana. Membuat debaran kencang makin menjadi di dada Rana. Rana kikuk. Salah tingkah. Pipinya terasa memanas, ia yakin pipinya pasti memerah.
            Senja di ufuk barat semakin menjingga. Menyaksikan keduanya yang tak malu saling berpegangan tangan dengan eratnya. Tak mau terpisahkan. Pohon Flamboyang yang rindang menaungi mereka yang masih asik menikmati senja menghadap ke hamparan sawah yang luas. Tempat pavorit mereka selepas kuliah sore hari. Mereka sering menghabiskan waktu di sana. Senja itu benar-benar milik mereka berdua.
            Ketika senja telah berganti menjadi malam. Rana dan Hexa dengan berat hati meninggalkan tempat itu. Tempat yang sepekan lagi baru akan mereka temui kembali. Hari lain? Tak bisa, mereka harus bergelut dengan kesibukan masing-masing di tempat kerja. Adapun jika rindu, mereka hanya bisa melepasnya via telepon, itupun hanya sesekali.
Rana merasa menemukan sesuatu yang bisa membuatnya berumur panjang. Membuatnya bisa menikmati hidup dengan cara yang ia inginkan. Bukan kekangan, perhatian yang berlebihan. Walaupun kini ia harus berdiri di persimpangan, antara cintanya yang tulus kepada Hexa dan hubungannya dengan Yugo.
                                                            **
Hari Rabu, Yugo menemui Hexa di tempat kerjanya, mebicarakan sesuatu yang penting. Percakapan mereka cukup menegangkan, sempat ada adu pendapat. Namun tentu saja Hexa kalah. Walaupun sebenarnya ia mengalah. Dua bulan lagi Yugo akan menikahi Rana.
            Ada sayatan luka yang teramat perih dalam hati Hexa, namun jauh sebelumnya ruang untuk rasa sakit itu telah Hexa siapkan. Ia sudah tahu, suatu saat ia akan kehilangan Rana. Seberapapun besar cintanya ia tak pernah yakin bisa memiliki Rana seutuhnya, walaupun ia yakin jika hatinya telah menjadi milik Rana semuanya.
“Temui aku di bawah pohon Flamboyan nanti sore” Sebuah pesan whatsapp dari Hexa. Ini sudah pukul 15:00 ia harus bergegas.
Sepanjang jalan hati Rana tak berhenti bertanya-tanya. Tak biasanya Hexa meminta ketemu sebelum akhir pekan jika tak ada hal penting yang ingin ia bicarakan. Sesampainya di sana, Hexa sudah berdiri menghadap ke barat, memandang gunung dengan mentari yang masih tampak tinggi.
“Rana, apa kabarnya dengan Yugo?” Suara Hexa tiba-tiba.
Petanyaan Hexa membuat dada Rana terhenyak. Kaget bukan main. Kenapa harus ada pertanyaan itu. Kenapa harus membahas dia saat dirinya benar-benar sedang berada di atas awan setelah beberapa hari lalu ia mendengar pengakuan dari Hexa jika ia mencintainya.
            “Aku mencintaimu, tapi ada yang lebih berhak atas mu Rana, aku tak mungkin bisa merebutmu darinya. Aku bisa apa? Dan apa yang aku punya? Aku hanya punya bibir untuk mengatakan apapun yang aku rasa tanpa aku tutup-tutupi, dan aku hanya punya hati untuk mencintaimu dengan segenap rasa. Sedangkan Yugo, dia punya segalanya Rana….”
            Rana tertunduk, ia tak mampu berkata apa-apa. Hatinya kesal, rasanya ingin ia membatalkan pertunangannya jika ia mampu. Namun kedua pihak orangtua mereka, bukan hal yang mudah dilangkahi. Tak akan semudah membalik telapak tangan untuk menyelesaikan segalanya.
            “Rana, kenapa diam? Jawab aku Rana.” Nada bicara Hexa mulai parau. Terdengar kesedihan yang teramat dalam.
            “Aku… Aku mencintaimu Hexa”. Hexa berbalik, membenamkan Rana di dalam pelukannya. 
            “Aku tahu Rana… Aku merasakannya. Tapi Yugo, ayah ibunya, orangtuamu, keluarga kalian… Ah, maafkan aku yang mencoba hadir di antara kalian…”
            Tubuh mereka berpeluk erat, bahu Rana berguncang tak kuasa menahan tangis, dan sungai kecil mengalir dipipi Hexa.
            “Maafkan aku Hexa… Aku tak mampu memberimu kepastian selain tentang perasaanku kepadamu. Aku benar-benar mencintaimu Hexa, tapi aku tak punya kuasa untuk lari begitu saja, walau sudah aku coba berkali-kali…”
            “Tak apa Rana…” Hexa melepaskan Rana dari pelukannya. “Kemarin Yugo datang padaku. Meminta aku menjauh. Aku melihat cinta yang dalam kepadamu di matanya. Kamu bisa mencoba lagi untuk membuka hati, maafkan segala perlakuannya kepadamu. Atau kau bisa mencoba mengutarakan apa yang kau inginkan mengenai caranya memperlakukanmu. Aku yakin, perlahan kamu bisa. Dan sementara itu, izinkan aku menjauh, agar kamu bisa berfokus dengan perasaanmu terhadap Yugo.”
            “Hexa, aku sudah berkali-kali menjelaskan. Aku juga tak berniat menyengaja jatuh hati padamu. Tapi keadaan, dan kekangan yang aku dapat darinya. Aku lelah Hexa…”
            “Sudahlah Rana, kamu hanya harus terus mencoba” Hexa berusaha tersenyum dalam kalimatnya. Lalu ia memeluknya sekali lagi sebagai pelukan terakhir, mengecup keningnya dengan lembut, lalu berlalu meninggalkan Rana yang diam terpaku di bawah bayang-banyang senja.
                                                                        **
            Dua tahun kemudia, ketika perut Rana sudah membuncit dengan buah pernikahannya bersama Yugo yang sudah berusia 5 bulan. Ia merindukan senja di bawah Flamboyan. Bukan hanya kali itu, setiap hari ia selalu merindukannya. Selama dua tahun pernikahan yugo tak pernag berubah. Bahkan setelah resmi menikah ia semakin berani bersikap keras terhadap Rana. Tiap kali ia mendapatkan perlakuan seperti itu, ia selalu datang ke bawah pohon flamboyant, menatap senja dan megadukan segalanya. Kepada pohon, angin, rumput, sawah, dan semua yang ada di sana. Terutama kepada senja yang selalu mengingatkannya kepada Hexa setelah terkahir mereka bertemu di sana, mereka tak pernah bertemu kembali, kecuali ketika prosesi wisuda tiga tahun yang lalu.
            Rana menangis, meratapi keadaan. Bahunya berguncang, ia menangis sejadinya. Yugo bukan hanya keras kepala, bukan hanya keras hatinya, tapi ia kerap menyakiti fisiknya jika Rana tak memenuhi keinginannya.
            Senja di bawah flamboyan, kini tak ada lagi senyum dan canda tawa Hexa yang menenangkan hatinya. Tak ada lagi pelukan hangat yang menjadi tempat persembunyiannya dari segala kegundahan hatinya. Tak ada lagi yang menjadi sayap pelindungnya ketika ia disakiti Yugo.
            Dan…
            “Rana… apa kabarmu? Senang melihatmu di sini…”
            Suara itu, suara itu tak pernah berubah. Ya, itu adalah suara sayap pelindungnya Rana. Hexa berdiri tegak tepat di depannya. Ingin rasanya Rana berhambur ke pelukan Hexa, tapi ia bertahan, ia tahu kini ia berstatus istri Yugo.
            “Kenapa kamu ada di sini?” Ucap Rana dengan mata berkaca-kaca. Dua buah sungai kecil siap mengalirkan air di kedua belah pipinya.
                 “Aku selalu ke sini, memandangmu dari kejauhan. Aku bukan hanya merindukan senja dan pohon flamboyan ini. Tapi aku juga selalu merindukannmu Rana. Tapi ketika aku melihat bahumu berguncang, aku tak bisa menahan diri. Rasaku tetap sama Rana, seperti tiga tahun yang lalu kepadamu.
            Rana tak kuasa menahan diri, ia berhambur ke pelukan Hexa, memeluknya dengan erat, seakan tak ingin ia lepaskan sampai kapanpun. Di sanalah ketenangannya tinggal, di sanalah kedamaiannya berada.
            Senja temaram, semakin jingga. Hari akan segera berganti malam, namun tak ada yang tahu dengan apa yang akan terjadi kemudian hari setelah hari itu. Biar, biarlah hanya Hexa dan Rana yang tahu. Biar mereka berdua yangmenyelesaikan semuanya.


**
Cerita ini dimuat di buku antologi cerita pendek bertema "senja" yang diterbitkan oleh Penerbit Perahu Litera (www.perahulitera.com)

           


Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment