Search This Blog

Sunday, December 27, 2015

Adikku Nina



Neng! Kamu tahu? Mamah kita mengandungmu di usia 34 tahun. Saat itu aku sudah duduk di bangku SMP kelas satu. Mamah kita tak pernah mengeluh melakukan apa saja. Walaupun kadang ia melakukan segalanya sendiri. Ayah kita yang sama-sama sibuk bekerja, hanya bisa membantu pekerjaan mamah separuh hari, sepulang kerja. Paadahal mamah juga saat itu bekerja sebagai guru PNS di sekolah yang kita juga sekolah di sana.

Saat adikku akan lahir, betapa menegangkannya saat itu. Sedari adzan isya mamah sudah mulai mulai mulas-mulas, tapi mamah masih kuat melaksanakan solat isya. Lalu ketika air ketuban mamah pecah, kamu tahu? Betapa paniknya aku karena di rumah hanya ada kami berdua kakak-kakak mu, yang waktu itu aku saja kakak paling besar tidak faham harun berbuat apa.
Tahun 2000. Kampung kami masih sangat sepi, penduduk hanya berada di luar rumah sampai dengan sekitar jam delapan malam. Itupum hanya bapak-bapak dan sebagian kakek-kakek yang pulang dari surau di lingkungan kampung kami. Setelah mereka sampai ke rumah nya maka sepilah kampung kami. Bagai tidak berpenghuni, jalanan gelap gulita, karena lampu-lampu yang dipasang di jalan menuju surau sudah dimatikan oleh pemiiknya. Menghemat listrik.
Malam itu ayah yang aktifis kampung ada acara di kampung sebelah. Sehabis isya ayah tidak segera pulang ke rumah.Mamah sudah kepayahan menahan sakit. Alhamdulillah ada uwak, tetangga yang juga saudara kami yang kemudian datang menemani kami. Herna kakakmu, malah ikut panic dan menangis dipojokkan saat melihat mamah merintih kesakitan menahan perut nya. Aku juga bisa apa? Hanya berusaha menenangkan mamah sambil membantu sebisanya. Memapah mamah ke tempat tidur, memposisikan mamah untuk berbaring di ranjang.
Menit berlalu, jam terus berjalan, ayah tidak kunjung datang. Aku lihat mamah semakin kesakitan. Uwak dari tadi menghilang entah kemana. Setelah sampai kembali ke rumah, baru uwak bercerita rupanya uwak habis mencari bantuan, menyuruh seseorang untuk memanggil bidan desa.
Waktu itu belum banyak yang menggunakan telepon genggam, di rumah saja hanya ada satu, dan kali itu dibawa ayah. Jadi kami tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengutus orang untuk memanggilkan bidan desa, yang rumahnya lumayan jauh.
Jam sebelas malam bidan datang, hampir berbarengan dengan ayah, yang terlihat berwajah panik.Ayah merasa bersalah karena telah meninggalkan kami. Bidan langsung masuk ke kamar, Herna tak lepas memegangi bajuku, ketakutan. Aku berusaha menengakan, bahwa mamah akan baik-baik saja. Melihat mamah sudah ditangani bidan, entah pura-pura tenang atau memang benar ayah merasa tenang, ayah mengajak kami duduk di kursi, lalu membuka-buka buku nama-nama bayi islami. Ayah meminta kami membantu mencarikan nama anak laki-laki dan perempuan. Saat itu ayah ku benar-benar berharap akan memiliki anak laki-laki. Karena sudah dua anak perempuan. Sebelumnya bidan memang meramalkan bahwa anak yang dikandung mamah adalah anak laki-laki, karena tendangan dan gerakannya sangat aktif. Waktu itu, mana ada kefikiran untuk melakukan USG, bayi sehat dlam kandungan saja sudah bagus. Tak perlu melakukan USG.
Dua nama sudah kami pengang. Ayah menyiapkan nama yang bagus sekali untuk anak laki-laki.dan aku dengan adikku, menemukan sebuah rangkaian mana yang memiliki arti yang indah. ‘Nida Nafisah’. Setelah ayah setuju, maka nama itu aku hafal baik-baik. Jika adik bungsuku lahir perempuan maka nama itu yang akan diberikan. Tapi jika adik ku lahir laki-laki, maka nama yang ayah pilih yang akan dipakai. Dan ajah pun berjanji, jika ia tidak akan pernah kecewa, jika akhirnya anak yang lahir kembali perempuan. Ayah akan sayang seperti ayah menyanyangi kami.
Nida Nafisah, aku dan adik ku sepakat, jika nanti adik kami perempuan, maka akan mendapatkan panggilan “Nina” sebagai singkatan namanya. Dengan senang hati kami memilih nama itu. Malam itu kami tak henti membayangkan bagaimana kami bergantian mengasuh adik. Aku yang sudah duduk di bangku SMP lebih bersemangat, membayangkan akan mengajari adik ku banyak hal. Sedangkan Herna yang masih duduk di kelas tiga Sekolsh Dasar bayangan nya masih seputar bermain bersama dan mengasuh adk dengan mainan.
Jam menunjukkan jam dua belas malam, mamah belum juga melahirkan. Dari dalam bilik kamar, aku dengar rintihan mamah semkin menjadi. Hatiku mulai cemas, jangan-jangan mamah tidak bisa melahirkan degan normal. Ini sudah larut malam, ke rumah sakit juga jauh, gelap dan sepi. Di kampung kami jam dua belas, mana ada kendaraan umum yang lewat. Ayah mencoba menghubungi teman nya yang memliki mobil untuk dijadikan pinjaman. Namun tak satupun yang mengankat telepon. Sudah pada nyeyak tidur mungkin.
Aku dan Herna sudah tak kuasa menahan kantuk, ayah ku menyarankan agar kami tidur duluan. Namun mana bisa tidur dengan nyenyak dalam keadaan seperti itu. Dalam suara rintihan kesakitan mamah di dalam kamar. Dan ditengah-tengah ketengangan ayah. Uwak yang juga terus komat kamit membaca beberapa do’a dan ayat-ayat alquran sambil sibuk menyiapkan baju-baju bayi untuk adikku. Sementara aku dan Herna malah bergumul duduk di kursi berusaha saling menenagkan. Tak terasa kami tertidur.
Tiba-tiba terdengar suara bayi, diiringi oleh suara-suara ucapan hamdalah yang berulang-ulang. Aku lihat jam waktu itu pukul dua lebih lima menit dini hari. Adikku lahir, berjenis kelamin perempuan. Ayahku menggendong nya setelah bidan membersihkan bayi itu. Lalu ayah ku mengumandangkan adzan di telinga kanan dan kirinya. Aku dan Herna merasa bahagia, Akhirnya nama bayi yang aku ciptakan resmi menjadi nama adik ku. Nida Nafisah.
Ia tumbuh sehat, lucu dan menggemaskan. Ia sangat cerdas, di usia tiga tahun ia mampu menyambungkan dua hurup dan sudah pandai mengeja bacaan. Kami sangat menyayanginya. Dan sebagai anak bungsu Nina menjadi tumpahan kasih sayang dari semuanya. Wajar, dibalik kecerdasan dan kepintaranya yang luar biasa ada kemanjaan yang lumayan luar biasa pula. Sampai Nina dudukdi bangku kelas enam Sekolah Dasar, ia tidak mau lepas darimamah, tidur bersama, makan ditunggui mamah, dan bangun tidur masih harus dijemput mamah dari kamar tidur.
**
Waktu berlalu, kini adikku sudah besar. Sudah duduk di bangku SMK. Lain waktu, lain cerita. Adik ku yang satu ini memang sangat banyak memberiku pelajaran. Anak mamah yang manja, tiba-tiba berubah menjadi anak yang sangat mandir, lebih dari yang aku bayangkan. Ketegarannya menghadapi hidup, kekuatannya menjalani kenyataan. Mamah kami meninggal di usia adikku yang masih duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar.
Sore itu adikku mendapatkan haid pertamanya. Ia bersugut-sungut akan mengabari hal itu kepada mamah. Namun setibanya di rumah, orang-orang sedang panik menangani mamah yang mantri desa bilang mamah saat itu seang koma. Nina menangis, air matanya membanjiri pipinya yang berwarna merah seperti tomat, akibat terlalu lama terkena sinar mata hari sepanjang perjalanan pulang dari sekolah berjalan kaki. Ayah dan beberapa kerabat berusaha menenangkan Nina yang terus terisak dalam tangisnya. Namun apa daya kami, sore itu jam lima petang, mama pergi meninggalkan kami semua. Tanpa sakit yang berkepanjangan, tanpa tanda-tanda melemahnya kondisi mamah. Selama ini mama selalu terlihat sehat-sehat saja.
Kenyataan pahit yang harus Nina hadapi adalah, ia menjalani ujian nasional dalam suasana hati yang sangat berduka. Tiga hari setelah maninggalnya mamah ia harus menyelesaikan ujian nasional. Aku tak henti-kentinya berpesan agar ia tetap tenang dan jangan melulu larut dalam kesedihan, agar hasil yang didapat memuaskan. Dan memang benar, adikku memang bisa membuat semuanya bangga. Ia mendapatkan hasil terbaik.
Berikutnya, Belum juga luka kami sembuh, Ayah menikah lagi dengan seseorang yang sama sekali tidak kami kenal sebelumnya. Ia benar-benar orang asing bagi kami. Seseorang yang bahkan uianya hanya terpaut beberapa bulan saja dengan ku. Kali itu Nina yang belum terbiasa hidup tanpa mamah harus membiasakan diri tinggal dengan orang yang benar-benar baru. Seatap,serumah, semeja makan, setiap hari, setiap malam mereka harus bertemu, berpapasan, berbincang-bincang. Aku dan Herna tak bisa membayangkan apa kami bisa seperti Nina. Kami yang kini sudah hidup terpiah dari rumah belum tentu bisa menjalani kehidupan yang dijalani adik ku itu.
Satu tahun kemudian, di usia yang sama denganku ketika Nina lahir, Nina mendapatkan adik dari ibu yang berbeda. Adik yang juga perempuan. Nina mengasuh dengan telaten, melakuakn semua hal yang dia bisa. Semua hal yang bahkan jarang kami lakukan dulu selagi mamah masih ada. Nina sangat cekatan membereskan rumah, semuanya itu membuat kami malu. Terutama aku, ya, aku dulu jarang membantu mamah, karena terlalu lama berada di sekilah.Mengikuti berbagai kegiatan, pulang sore, lelah, dan sesampainya di rumah hanya bisa membantu mamah sesempatnya.
Nina bagiku begitu memberikan banyak pelajaran, ketegrannya, kesabarannya. Kami yang bersedih ketika kehilangan mamah, Nina pasti merasakan yang sama. Tapi lihatlah, Nina mampu menjalani kehidupan baru dirumah itu. Rumah yang bahkan kini tidak begitu kami rindukan. Ingin pulang namun ketika sudah berada di sana rasanya tidak seperti ketika mamah masih ada. Rumah itu kini penuh dengan mainan anak kecil, rumah itu kini bising dengan tangisan adik kecil yang kadang menangis sejadinya, susah diredakan, anak kecil yang super manja, melebihi siapapun. Melebihi manjanya aku, Herna, bahkan kemanjaan Nina sekalipun. Uwak bilang anak yang satu ini berbeda, susah dikendalikan, manja, doyan nangis,apa-apa dijadikan alas an untuk menangis. Uwak yang setiap hari mengasuh, mengaku cukup kewalahan. Namun Nina masih bisa sabar dengan semua itu. Aku? Belum tentu bisa.
**
Hari kemarin, saat aku pulang ke rumah dalam rangka liburan, aku lihat Nina semakin tegar, semakin dewasa. Walau sesekali nampak kesedihan dan kerinduan akan mamah, namun aku lihat Nina tetap bersabar. Aku pamit pulang dan harus meninggalkan nya kembali. Adik bungsu ku yang harusnya aku jaga, seharusnya aku yang bisa mengantikan mamah menemaninya, aku yang seharusnya menemaninya tumbuh dewasa, melewati masa remajanya. Namun apa daya, tempat tinggal kami berada berjauhan. Nina juga tak mau diajak tinggal dan bersekolah di tempat ku. Aku hanya bisa mendoakan mu, semoga semua yang terbaik selalu menyertaimu neng…
  

Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment