Neng! Kamu tahu? Mamah kita
mengandungmu di usia 34 tahun. Saat itu aku sudah duduk di bangku SMP kelas
satu. Mamah kita tak pernah mengeluh melakukan apa saja. Walaupun kadang ia melakukan
segalanya sendiri. Ayah kita yang sama-sama sibuk bekerja, hanya bisa membantu
pekerjaan mamah separuh hari, sepulang kerja. Paadahal mamah juga saat itu
bekerja sebagai guru PNS di sekolah yang kita juga sekolah di sana.
Saat adikku akan lahir,
betapa menegangkannya saat itu. Sedari adzan isya mamah sudah mulai mulai
mulas-mulas, tapi mamah masih kuat melaksanakan solat isya. Lalu ketika air
ketuban mamah pecah, kamu tahu? Betapa paniknya aku karena di rumah hanya ada
kami berdua kakak-kakak mu, yang waktu itu aku saja kakak paling besar tidak
faham harun berbuat apa.
Tahun 2000. Kampung
kami masih sangat sepi, penduduk hanya berada di luar rumah sampai dengan
sekitar jam delapan malam. Itupum hanya bapak-bapak dan sebagian kakek-kakek
yang pulang dari surau di lingkungan kampung kami. Setelah mereka sampai ke
rumah nya maka sepilah kampung kami. Bagai tidak berpenghuni, jalanan gelap
gulita, karena lampu-lampu yang dipasang di jalan menuju surau sudah dimatikan
oleh pemiiknya. Menghemat listrik.
Malam itu ayah yang
aktifis kampung ada acara di kampung sebelah. Sehabis isya ayah tidak segera
pulang ke rumah.Mamah sudah kepayahan menahan sakit. Alhamdulillah ada uwak,
tetangga yang juga saudara kami yang kemudian datang menemani kami. Herna
kakakmu, malah ikut panic dan menangis dipojokkan saat melihat mamah merintih
kesakitan menahan perut nya. Aku juga bisa apa? Hanya berusaha menenangkan
mamah sambil membantu sebisanya. Memapah mamah ke tempat tidur, memposisikan
mamah untuk berbaring di ranjang.
Menit berlalu, jam
terus berjalan, ayah tidak kunjung datang. Aku lihat mamah semakin kesakitan.
Uwak dari tadi menghilang entah kemana. Setelah sampai kembali ke rumah, baru
uwak bercerita rupanya uwak habis mencari bantuan, menyuruh seseorang untuk
memanggil bidan desa.
Waktu itu belum banyak
yang menggunakan telepon genggam, di rumah saja hanya ada satu, dan kali itu
dibawa ayah. Jadi kami tidak bisa berbuat apa-apa, selain mengutus orang untuk
memanggilkan bidan desa, yang rumahnya lumayan jauh.
Jam sebelas malam bidan
datang, hampir berbarengan dengan ayah, yang terlihat berwajah panik.Ayah
merasa bersalah karena telah meninggalkan kami. Bidan langsung masuk ke kamar,
Herna tak lepas memegangi bajuku, ketakutan. Aku berusaha menengakan, bahwa
mamah akan baik-baik saja. Melihat mamah sudah ditangani bidan, entah pura-pura
tenang atau memang benar ayah merasa tenang, ayah mengajak kami duduk di kursi,
lalu membuka-buka buku nama-nama bayi islami. Ayah meminta kami membantu
mencarikan nama anak laki-laki dan perempuan. Saat itu ayah ku benar-benar
berharap akan memiliki anak laki-laki. Karena sudah dua anak perempuan.
Sebelumnya bidan memang meramalkan bahwa anak yang dikandung mamah adalah anak
laki-laki, karena tendangan dan gerakannya sangat aktif. Waktu itu, mana ada
kefikiran untuk melakukan USG, bayi sehat dlam kandungan saja sudah bagus. Tak perlu
melakukan USG.
Dua nama sudah kami
pengang. Ayah menyiapkan nama yang bagus sekali untuk anak laki-laki.dan aku
dengan adikku, menemukan sebuah rangkaian mana yang memiliki arti yang indah. ‘Nida
Nafisah’. Setelah ayah setuju, maka nama itu aku hafal baik-baik. Jika adik
bungsuku lahir perempuan maka nama itu yang akan diberikan. Tapi jika adik ku
lahir laki-laki, maka nama yang ayah pilih yang akan dipakai. Dan ajah pun berjanji,
jika ia tidak akan pernah kecewa, jika akhirnya anak yang lahir kembali
perempuan. Ayah akan sayang seperti ayah menyanyangi kami.
Nida Nafisah, aku dan
adik ku sepakat, jika nanti adik kami perempuan, maka akan mendapatkan
panggilan “Nina” sebagai singkatan namanya. Dengan senang hati kami memilih
nama itu. Malam itu kami tak henti membayangkan bagaimana kami bergantian
mengasuh adik. Aku yang sudah duduk di bangku SMP lebih bersemangat,
membayangkan akan mengajari adik ku banyak hal. Sedangkan Herna yang masih
duduk di kelas tiga Sekolsh Dasar bayangan nya masih seputar bermain bersama
dan mengasuh adk dengan mainan.
Jam menunjukkan jam dua
belas malam, mamah belum juga melahirkan. Dari dalam bilik kamar, aku dengar
rintihan mamah semkin menjadi. Hatiku mulai cemas, jangan-jangan mamah tidak
bisa melahirkan degan normal. Ini sudah larut malam, ke rumah sakit juga jauh,
gelap dan sepi. Di kampung kami jam dua belas, mana ada kendaraan umum yang
lewat. Ayah mencoba menghubungi teman nya yang memliki mobil untuk dijadikan
pinjaman. Namun tak satupun yang mengankat telepon. Sudah pada nyeyak tidur
mungkin.
Aku dan Herna sudah tak
kuasa menahan kantuk, ayah ku menyarankan agar kami tidur duluan. Namun mana
bisa tidur dengan nyenyak dalam keadaan seperti itu. Dalam suara rintihan
kesakitan mamah di dalam kamar. Dan ditengah-tengah ketengangan ayah. Uwak yang
juga terus komat kamit membaca beberapa do’a dan ayat-ayat alquran sambil sibuk
menyiapkan baju-baju bayi untuk adikku. Sementara aku dan Herna malah bergumul
duduk di kursi berusaha saling menenagkan. Tak terasa kami tertidur.
Tiba-tiba terdengar
suara bayi, diiringi oleh suara-suara ucapan hamdalah yang berulang-ulang. Aku
lihat jam waktu itu pukul dua lebih lima menit dini hari. Adikku lahir,
berjenis kelamin perempuan. Ayahku menggendong nya setelah bidan membersihkan
bayi itu. Lalu ayah ku mengumandangkan adzan di telinga kanan dan kirinya. Aku
dan Herna merasa bahagia, Akhirnya nama bayi yang aku ciptakan resmi menjadi
nama adik ku. Nida Nafisah.
Ia tumbuh sehat, lucu
dan menggemaskan. Ia sangat cerdas, di usia tiga tahun ia mampu menyambungkan
dua hurup dan sudah pandai mengeja bacaan. Kami sangat menyayanginya. Dan sebagai
anak bungsu Nina menjadi tumpahan kasih sayang dari semuanya. Wajar, dibalik
kecerdasan dan kepintaranya yang luar biasa ada kemanjaan yang lumayan luar
biasa pula. Sampai Nina dudukdi bangku kelas enam Sekolah Dasar, ia tidak mau
lepas darimamah, tidur bersama, makan ditunggui mamah, dan bangun tidur masih
harus dijemput mamah dari kamar tidur.
**
Waktu berlalu, kini
adikku sudah besar. Sudah duduk di bangku SMK. Lain waktu, lain cerita. Adik ku
yang satu ini memang sangat banyak memberiku pelajaran. Anak mamah yang manja,
tiba-tiba berubah menjadi anak yang sangat mandir, lebih dari yang aku
bayangkan. Ketegarannya menghadapi hidup, kekuatannya menjalani kenyataan.
Mamah kami meninggal di usia adikku yang masih duduk di bangku kelas enam
Sekolah Dasar.
Sore itu adikku mendapatkan
haid pertamanya. Ia bersugut-sungut akan mengabari hal itu kepada mamah. Namun
setibanya di rumah, orang-orang sedang panik menangani mamah yang mantri desa
bilang mamah saat itu seang koma. Nina menangis, air matanya membanjiri pipinya
yang berwarna merah seperti tomat, akibat terlalu lama terkena sinar mata hari
sepanjang perjalanan pulang dari sekolah berjalan kaki. Ayah dan beberapa
kerabat berusaha menenangkan Nina yang terus terisak dalam tangisnya. Namun apa
daya kami, sore itu jam lima petang, mama pergi meninggalkan kami semua. Tanpa
sakit yang berkepanjangan, tanpa tanda-tanda melemahnya kondisi mamah. Selama
ini mama selalu terlihat sehat-sehat saja.
Kenyataan pahit yang
harus Nina hadapi adalah, ia menjalani ujian nasional dalam suasana hati yang
sangat berduka. Tiga hari setelah maninggalnya mamah ia harus menyelesaikan
ujian nasional. Aku tak henti-kentinya berpesan agar ia tetap tenang dan jangan
melulu larut dalam kesedihan, agar hasil yang didapat memuaskan. Dan memang
benar, adikku memang bisa membuat semuanya bangga. Ia mendapatkan hasil
terbaik.
Berikutnya, Belum juga
luka kami sembuh, Ayah menikah lagi dengan seseorang yang sama sekali tidak
kami kenal sebelumnya. Ia benar-benar orang asing bagi kami. Seseorang yang
bahkan uianya hanya terpaut beberapa bulan saja dengan ku. Kali itu Nina yang belum
terbiasa hidup tanpa mamah harus membiasakan diri tinggal dengan orang yang
benar-benar baru. Seatap,serumah, semeja makan, setiap hari, setiap malam
mereka harus bertemu, berpapasan, berbincang-bincang. Aku dan Herna tak bisa
membayangkan apa kami bisa seperti Nina. Kami yang kini sudah hidup terpiah
dari rumah belum tentu bisa menjalani kehidupan yang dijalani adik ku itu.
Satu tahun kemudian, di
usia yang sama denganku ketika Nina lahir, Nina mendapatkan adik dari ibu yang
berbeda. Adik yang juga perempuan. Nina mengasuh dengan telaten, melakuakn
semua hal yang dia bisa. Semua hal yang bahkan jarang kami lakukan dulu selagi
mamah masih ada. Nina sangat cekatan membereskan rumah, semuanya itu membuat
kami malu. Terutama aku, ya, aku dulu jarang membantu mamah, karena terlalu
lama berada di sekilah.Mengikuti berbagai kegiatan, pulang sore, lelah, dan sesampainya
di rumah hanya bisa membantu mamah sesempatnya.
Nina bagiku begitu
memberikan banyak pelajaran, ketegrannya, kesabarannya. Kami yang bersedih
ketika kehilangan mamah, Nina pasti merasakan yang sama. Tapi lihatlah, Nina
mampu menjalani kehidupan baru dirumah itu. Rumah yang bahkan kini tidak begitu
kami rindukan. Ingin pulang namun ketika sudah berada di sana rasanya tidak
seperti ketika mamah masih ada. Rumah itu kini penuh dengan mainan anak kecil,
rumah itu kini bising dengan tangisan adik kecil yang kadang menangis sejadinya,
susah diredakan, anak kecil yang super manja, melebihi siapapun. Melebihi
manjanya aku, Herna, bahkan kemanjaan Nina sekalipun. Uwak bilang anak yang
satu ini berbeda, susah dikendalikan, manja, doyan nangis,apa-apa dijadikan alas
an untuk menangis. Uwak yang setiap hari mengasuh, mengaku cukup kewalahan. Namun
Nina masih bisa sabar dengan semua itu. Aku? Belum tentu bisa.
**
Hari kemarin, saat aku
pulang ke rumah dalam rangka liburan, aku lihat Nina semakin tegar, semakin
dewasa. Walau sesekali nampak kesedihan dan kerinduan akan mamah, namun aku
lihat Nina tetap bersabar. Aku pamit pulang dan harus meninggalkan nya kembali.
Adik bungsu ku yang harusnya aku jaga, seharusnya aku yang bisa mengantikan
mamah menemaninya, aku yang seharusnya menemaninya tumbuh dewasa, melewati masa
remajanya. Namun apa daya, tempat tinggal kami berada berjauhan. Nina juga tak
mau diajak tinggal dan bersekolah di tempat ku. Aku hanya bisa mendoakan mu,
semoga semua yang terbaik selalu menyertaimu neng…
No comments:
Post a Comment