"Kamu sebenarnya mau nya apa sih? Ini salah, itu salah, Lalu
aku ini harus gimana? Aku bingung meghadapi sifat kamu!”.
Nafas Denan terasa sesak menahan kesal. Matanya terpejam
sekejap, menarik nafas panjang, lalu melayangkan pandangan kemanapun sejauh
mata memandang. Tak ada satu titikpun yang ia amati. Ia hanya bermaksud
membuang muka. Tak kuasa menahan kesal, dan tak mau memandang wajah kekasihnya
yang sejak tadi berdiri di sebelahnya. Vina yang cantik luar biasa, yang selama
ini mengisi hati dan selalu menyita perhatian nya kini sikapnya telah berubah.
Padahal apa yang kurang? Selama ini dirinya telah menumpahkan seluruh waktu,
telah mencurahkan seluruh perasaan dalam hatinya, seluruh waktu yang ia punya
hanya untuk memikirkan kebaikan kekasihnya yang sangat ia cintai. Tapi apa
balasannya? Vina bilang dirinya malah merasa terkekang.
Ah… apa benar dia pengekang? Padahal maksud hatinya hanya
ingin melindungi Vina dari hal-hal yang mungkin akan terjadi kepadanya. Hal
buruk yang tak pernah ia inginkan. Dia sendiri tak pernah mengerti dan tak
pernah sadar bahkan mungkin tak pernah bisa membedakan apakah ini sayang,
melindungi, ataupun hanya sekedar luapan api cemburu yang berlebihan.
Bagaimana tidak, gadisnya yang cantik itu begitu asiknya
memposting foto ke media social, begitu banyak manusia sejenisnya yang menyukai
dan meninggalkan jempol di potonya, lebih parahnya ada beberapa yang tidak
segan-segan memberi komentar, pujian, bahkan terang-terangan meminta berkenalan
lebih dekat lagi. Hatinya begitu gusar, resah, kepalanya dipenuhi dengan berbagai
pemikiran-pemikiran yang sebenarnya terlalu berlebihan. Ia sangat menyayangi Vina.
Tak mau sedikitpun ada sesuatu yang menyakiti Vins. Rasa ingin melindungi yang
ia miliki begitu besar. Tapi ah… tidak juga, ia selalu merasa wajar. Semua demi
kebaikan Vina, gadis yang ia cintai.
Fikirannya melayang, mengingat kejadian beberapa bulan yang
lalu, dimana temannya bekerja yang satu kantor mengalami kejadian memalukan.
Seseorang berbuat jail. Niatnya iseng, namun akibatnya fatal. Orang jail
tersebut mengupload foto temannya itu ke media sosial, diedit dengan dibubuhkan
tulisan-tulisan yang Denan sendiri tidak tahu jelas tulisan itu bunyiny apa.
Yang jelas, itu semua lantas menimbulkan masalah besar, dengan waktu
penyelesaian yang cukup lama. Itupun tak kembali normal. Nama baik nya tidak
kembali bersih dan setiap hari rekan kantornya itu kerap merasa risih, dan
kehilangan rasa percaya diri. Sungguh ia tak mau kejadian seperti itu menimpa kekasihnya.
Bayangan-bayangan mengerika itu selalu melintas di kepalanya. Denan benar-benar
telah menjadi paranoid. Rasa takut kehilangan yang ia miliki begitu besar. Dan…
Ah… seandainya ia sudah memiliki izin dari orangtua Vina, ingin rasanya ia
menikahi gadis itu sesegara mungkin. Dan takan ada lagi jarak di antara mereka.
Takan ada lagi penghalang untuk ia melindungi Vina dengan cara apapun. Takan ada
waktu yang tercuri untuk memperhatikan Vina sedetikpun. Bagi dia Vina adalah
segalanya. Vina adalah tujuan hidupnya, masa depannya, mimpi besarnya. Tak ada
lagi yang bisa menerbitkan lengkung senyum di bibirnya kecuali Vina, tak ada
lagi suara termerdu di kupingnya kecuali suara Vina, tak ada lagi tatap mata
paling teduh selain tatapan Vina. Tak adalagi perempuan yang mampu menenangkan
gundah hatinya selain Vina. Ibunya? Ibunya sudah meninggal sejak ia berada di
usia remaja. Hidup dengan hanya satu orangtua , Ayah, membuat hidupnya terlalu
keras, kurang kasih sayang seorang ibu. Dia tidak mudah jatuh cinta, namun
sekali jatuh cinta ia akan berbuat apapun untuk kebahagiaan orang yang ia
cintai. Namun, setelah ia jatuh terlalu dalam, setelah banyak yang ia lakukan,
ia korbankan, ternyata Vina tidak menerima begitu saja perlakuannya. Malah sebaliknya
Vina bilang ia merasa terkekang. Kepalanya berfikir keras, apa sebenarnya yang
salah…?
“Denan… Kamu kenapa diem aja? kalau begitu, Vina pulang aja
ya…” Suara Vina mengagetkannya.
“Vin… kamu mau pulang sekarang?” Vina mengangguk pelan.
“Kalo gitu, ayo!” tangan Denan mengenggam pergelangan Vina.
“Denan, aku bisa pulang sendiri” uajarnya dingin.
Denan hanya bisa menelan ludah, bingung harus mengatakan apa.
Hari sudah gelap, menunjukkan jam delapan malam. Sedangkan jarak ke rumah Vina
cukup jauh. Denan sebenarnya ingin mengantar. Tapi apakah Vina tidak akan
bertambah marah?
“Vin… biar aku antar ya… Plaese… aku takut terjadi apa-apa
sama kamu” Denan khawatir.
“Denan… percaya ke aku. Aku bukan anak kecil lagi. Sudah ya…
sebelum malam semakin larut. Vina pulang. Assalamualaikum…” Vina berlalu tanpa
menatap lagi Denan. Pandangan yang selalu Denan rindukan. Tatapan teduh itu
kini tak ada lagi.
“Waalaikumsalam… Hati-hati ya Vin… kalau udah nyampe kabari”
tak ada jawaban dari Vina.
Malam semakin meninggi. Tak terasa dua jam berlalu sejak Vina
meninggalkan nya di tempat itu. Denan menuruni anak tangga dengan gontai, lalu
menghidupkan motornya dan pulang.
**
Sejak kejadian itu, Vina semakin jarang menghubungi Denan.
Tidak lewat telepon, tidak juga di BBM atau media lainnya. Vina semakin dingin.
Lain halnya dengan Denan. Laki-laki itu semakin sering mengecek telepon
genggamnya, barangkali Vina mengabari. Tak jarang pula ia bertanya kabar pada
gadisnya, namun Vina hanya menjawab seperlunya.
“Vin… kenapa kamu ini..?” pertanyaan itu yang selalu muncul
di benaknya.
Jam istirahat kantor. Nasi box telah sampai di mejanya. Siap
santap. Tapi laparnya mendadak hilang. Ia teringat Vina yang selalu bertanya
sudah makan atau belum, makan sama apa siang ini, jangan lupa solat, atau
mengingatkan apa saja sebagai bentuk perhatian. Kini hilang… tak ada lagi.
Sempat berfikir bahwa ini semua salah nya. Tapi dimana?
Rasanya tak ada yang terlalu berlebihan. Apakah ini hanya sebagian tantangan
dan ujian sebelum mereka melangkah ke jenjang yang lebih jauh?
Atau beberapa pertengkaran hebat itu? Dimana dirinya hilang
control dan mendaratkan tamparan di pipi halusnya Vina. Ah, penyesalan itu tak
akan pernah hilang sampai kapanpun.
Tangannya mulai membuka kotak nasi. Menu makan kesukaannya.
Harusnya Denan bisa makan lebih lahap siang ini. Namun selera makannya entah
pergi kemana. Ditengoknya lagi telepon genggamnya. Mencoba membaca kembali
pesan-pesan singkat dari Vina yang masih ia simpan.
“Sayank… makan yang banyak ya… kamu harus tetap sehat. Inget
lho… kerjaaan kamu banyak. Kalau kamu sakit siapa yang menyelesaikan pekerjaan
dan tanggungjawab kamu? Makan ya… Vin juga makan neeh… kita makan bareng ya…
:-*”
Pesan itu Denan baca berulang-ulang. Rasanya rindu sekali dengan
ucapan itu. Sudah seminggu lebih Vina menghilang. Tak lagi menghubunginya. Ia terasa
selalu ada namun tiada. Vina Menjawab bbm nya namun tidak lagi mengatakan hal yang
sama. Beberapa teman kantornya kerap mengomentari penampilannya yang
akhir-akhir ini menjadi kusut, berantakan, tampak tidak bersemangat.
Kini matanya tertuju ke jam dinding yang menempel tepat di
hadapan meja kerjanya. Menunjukkan pukul 12:45. Jam istirahat hampir habis.
Namun rasanya ia belum benar-benar beristirahat. Fikirannya masih menjelimet
dengan fikiran yang tak menentu. Ia perlu ketenangan. Akhirnya memutuskan untuk
mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah solat dzuhur. Nasi box nya sudah
tidak menarik lagi. Perutnya pun tidak merasa lapar.
Tapi baru saja beranjak, telepon genggamnya berbunyi. Vina
menelpon. Sontak tangan nya langsung meraih telepon genggam di meja kerjanya.
“Halo Vin…”
“Iya Denan… Udah makan belum…?”
“Belum…”
“Eh… kenapa kok belum makan?”
“Gak punya nafsu makan Vin…”
“Kamu kenapa…? Lagi Gak enak badan…?”
“Enggak… sehat kok…”
“Terus kenapa?”
“Aku kangen kamu Vin…”
“Hm…”
“Kamu kemana aja? Jangan pernah melirik cowok lain. Awas aja”
“Udah ah…”
“Yasudah, aku makan sekarang”
“Iya… sudah dulu ya… Vin belum solat ini”
“iya…”
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam”
Vina menutup teleponnya. Denan melangkahkan kaki ke mushola.
Pembicaraan singkat dengan Vina tak mengembalikan rasa laparnya. Ia solat empat
rokaat, lalu melanjutkan pekerjaannya.
**
Dua minggu setelah kejadian malam itu.
Dengan mencoba meminta bertemu. Vina menyatakan bersedia. Mereka
bertemu di salah satu Café terbuka. Memilih duduk di kursi yang menghadap ke taman.
Malam pengunjung tidak terlalu ramai. Tempat mereka duduk pun tidak terlalu
berdekatan dengan pengunjung lain. Vina datang dengan menggunakan kaos berwarna
ungu, celana jeans. Cukupmanis dan membuat mata Denan berbinar,dan tersenyum
bahagia melihat kekasihnya tampak lebih cantik setelah beberapa hari tidak
bertemu.
Setelah memesan makanan dan minuman, mereka makan bersama.
Sejauh ini makan malam mereka berjalan lancer. Berbincang-bincang seputar
kegiatan mereka sehari-hari sebagai basa-basi. Sampai saat mereka menikmati
makanan penutup, tiba-tiba Denan memilih topic yang sangat tidaj Vina sukai.
“Vin… kalau boleh aku minta kamu jangan terlalu aktif di
media social itu ya!, aku gak suka. Banyak cowok yang sukain kamu. Aku gak mau
kamu dijailin.”
Vina yang sedang menikmati makanan penutup, mendadak
kehilangan selera makan sepenuhnya. Kesal dengan Denan, sebenarnya menghindar
untuk bertemu beberapa hari itu Vina berharap Denan bisa berfikir dan seddikit
melunak. Tidak terlalu mengatur dan mengekangnya. “Denan… Kok kamu baru aja
ketemu udah ngatur-ngatur aja.”
“Vin… ini buat kebaikan kamu!”
“Kebaikan aku atau hanya pengekangan untuk aku?”
“Aku gak suka. Please Vin…”
“Aku yang mohon Denan… Kamu selalu ngatur dan mendikte apa
yang harus aku lakuin dan apa yang gak boleh aku lakukan. Aku punya hidup
sendiri dan ini hidup aku. Ini nyawa aku. Ini jiwa aku Denan. Aku bukan boneka
kamu!”
“Vin… kamu kekasih aku. Calon istri aku, kamu harus nurutin
semua mau aku!”
“O…begitu? Kalau begitu aku tak mau lagi bareng sama kamu
Denan. Mulai hari ini kita udahan.”
“Vin… apa semudah itu kamu mengakhiri hubungan kita?”
“Denan… aku cape. Selama ini aku merasa dibayang-bayangi, diawasi,
sebenarnya kamu itu sayang sama aku atau enggak sih?”.
Mata Vina mulai berkaca-kaca menaha tangis. Denan Semakin
geram. Memang selama ini Denan dikenal sebagai seorang yang sangat tempramen.
“Vin! Masa selama ini kamu gak ngerti?. Aku sangat sayang
kamu. Aku ingin semua yang terbaik buat kamu!”
Denan semakin naik vitam. Telunjuknya menunjuk-nunjuk wajah
Vina. Tangan kiri nya mengepal keras, menahan nafsu mamarah.
“Apa terbaik menurut mu sudah pasti terbaik buat aku? Terus
kemarahan kamu yang akhir-akhir ini kerap menjadi-jadi? Apa itu buktinya rasa
sayang kamu ke aku”
Vina kini lebih berani menjawab perkataan denan. Tidak
seperti biasanya ia hanya mampu diam, mengalah, dan menangis terisak.
Demi mendengar Vina yang mulai berani melawan, Denan demakin
geram. Suaranya semakin meninggi. Menarik perhatian beberpa pengunjung yang ada
di sana. “Vin, lalu kenapa selama ini kamu baik-baik aja? Dan kenapa sekarang
tiba-tiba kamu berubah? Jangan-jangan ada seseorang yang sudah menggantikan aku
di hati mu. Jangan-jangan ada seseorang yang lebih rajin memperhatikanmu dibanding
aku. Pantesan selama ini kamu aktif sekali di media social itu. Pantas saja
kamu bangga dengan kecantikan kamu. Kamu seneng ya orang lain puji-puji kamu?
Kamu penghianat Vin!”
Kalimat terakhir yang Denan katakana membuat dada Vina terasa
semakin sesak. Bagaimana bisa ia yang selama ini berusaha sbar menghadapi
apapunperlakuan Denan terhadapnya, menjadi seseorang sengan sikap pemakluman
yang luar biasa kepada seseorang yang berwatak keras seperti Denan. Bersedia menjadi
sasaran amarah Denan yang sering mengatasnamakan rasa sayang dan cinta. Kini ia
di-lebeli penghianat.
Pertengkaran itu semakin memanas. Untuk kesekian kalinya Vina
menangis sesenggukan akibat pertengkaran dengan Denan. Nafasnya terasa sesak.
Ia benar-benar bingung bagaimana caranya menjelaskan semuanya. Bahwa semua yang
Denan tuduhkan itu tidak benar. Kepalanya terasa sakit dan ia tak mampu lagi
mengontrol keseimbangan badannya. Tubuhnya terjungkal lemah. Ia lantas
kehilangan kesadaran.
Denan panik, segera ia mengangkat tubuh kekasihnya, dan
mencari pertolongan.
**
Di rumah sakit.
Vina tersadar dari mati surinya. Denan dengan setia
menungguinya. Vina sadar betapa laki-laki itu begitu mencintainya. Betapa
setianya. Namun tidak sekeras itu cinta yang ia inginkan. Tidak sebesar itu
perhatian yang ia harapkan. Baginya kesederhanaanlah yang membuat nya merasa
nyaman. Cinta yang tidak banyak menuntut dan menerima apa adanya lah yang
membuatnya begitu dihargai. Membuat nya merasa punya hidup sempurna. Cinta yang
saling menghargai hobi, hal yang tidak disukai yang membuat nya betah sama seseorang.
Dan cintanya mas Rama-lah yang sebenarnya benar-benar mebuatnya nyaman. Tapi apa
boleh buat, Vina telah menutup rapat-rapat hatinya untuk cinta nya. Bagaimana
tidak, Mas Rama adalah laki-laki beristri tak mungkin ia lanjutkan cerita
cintanya. Walau pada kenyataannya semakin ia menutup rapat hatinya maka semakin
lekat saja bayang-banyang Mas Rama di benaknya.
Ah… Tapi sudah lah. Lupakan Mas Rama. Dia kini bukan
siapa-siapa. Hanya bagian dari masa lalu laki-laki tersebut. Kali ini ia harus
berkonsentrasi kepada hubungan nya dengan Denan. Akan dibawa kemana hubungan
mereka. Denan adalah laki-laki yang selalu setia menemaninya, yang memiliki
cinta lebih dari 100% kepadanya. Walau sejujurnya seringkali Vina dibuatnya
menagis. Tapi entah kenapa selama 2 tahun Vina masih bisa bertahan. Tapi kali
ini ia merasa sudah sampai di puncak batas kesabaran. Vina tak habis fikir
bagaimana bisa Denan yang katanya sangat menyayanginya tetapi mengekang
jiwanya. Seakan ia tak memiliki kebebasan hidup. Seolah hidup dibawah kendali
seseorang. Ia merasa begitu lelah.
Denan tertidur lelap di sisi ranjang pasien. Tampaknya ia
begitu lelah. Ketika ia terjaga ia langsung tersenyum melihat kekasihnya sudah
sadar. Sesegera mungkin ia mengatur membenahi posisi tidur kekasihnya.
“Vin… kamu tadi pingsan sayang… makanya jangan banyak gerak.
Tiduran saja”
Vina menurut. Ia fikir ini memang baik. Kondisi tubuhnya
belum terlalu baik. Kepalanya masih terasa pusing. Denan pamit pergi, ada
pekerjaan yang harus segera ia selesaikan.
**
Sore hari, hujan rintik-rintik. Rama datang menjenguk. Dengan
penuh iba Rama mengelus rambut Vina. Lagi-lagi Vina merasa nyaman. Dalam
hatinya selalu terbersit seandainanya ia menjadi milik Rama. Namun selalu
lekas-lekas ia menepis bayangan dan harapan itu. “Vin! Rama laki-laki beristri”
Kalimat itu selalu memukulnya dengan keras, sangat keras.
Rama adalah sosok lelaki dewasa yang datang dengan sejuta kasih
sayang dan kedewasaan. Bagi Vina dia adalah laki-laki impian. Mengerti
segalanya apa yang dia mau. Mampu menjadikan diri nya hidup sebagai dirinya sendiri.
Rama memberikan kasih sayang yang dalam namun sederhana. Hangat dan bersahabat.
Namun ia tak bisa lebih jauh lagi berharap. Rama telah berkeluarga dan Vina
tahu Rama adalah laki-laki yang bertanggungjawab kepada Istri dan anak nya.
Vina lebih menganggap Rama sebagai kakak. Begitupun Rama
lebih memposisikan Vina sebagai adiknya. Walaupun jauh sebelumnya mereka pernah
memiliki hubungan dekat, walau pada kenyatannya terpaksa hubungan mereka hanya
sebagai sepasang sepatu. Selalu bersama namun takan perna bisa menyatu.
“Dik… Kamu kenapa sampai pingsan begitu? Kecapean ya?” Rama
bertanya dengan nada yang begitu lembut. Terasa menembus ke bagian hati yang
paling dalam. Terasa begitu lembut, selembut kapas. Nyaman, luar biasa.
“Iya Mas… Aku kelelahan…”. Vina berdusta. Ia tak ingin Mas
Rama-nya terlalu mengkhawatirkan keadaaanya.
Rama menangkap sesuatu dari jawaban Vina. Seolah ia mengetahui
jika bukan itu jawaban sesungguhnya. Tapi ia tak pernah mau membahas. Ia tahu, Vina
takan mau diusik soal kepenatan hatinya. Toh jika ia mau bercerita, pasti terbuka
dengan sendirinya. Rama tahu, jika hati Vina sedang bersahabat, maka ia takan
segan-segan bercerita jujur sebanyak apapun masalah yang sedang menimpanya.
Bahkan hal konyol sekalipun Vina ceritakan. Dan semua itu selalu membuat mereka
bisa tertawa bersama.
Vina tertidur setelah Rama mengajaknya bercerita tentang banyak
hal. Membuat hati dan fikirannya merasa lebih baik. Dokter bialng besok ia
sudah boleh pulang.
Rama tersenyum lega, melihat belahan jiwanya bisa
beristirahat. Iapun memutuskan untuk segera pulang.
Di depan pintu Denan berdiri, menghambat langkah kaki Rama.
Pandangan matanya tajam penuh amarah. Rupanya ia sudah cukup lama berdiri di
balik pintu mengamati percakapan Rama dan Vina. Denan tidak bisa terima dengan
sikap Rama yang masih saja menemui kekasihnya. Perdebatan sengitpun terjadi,
mereka beradu argument dengan tetap berusaha menjaga volume bicara. Takut
menganggu pasien yang lain. Namun Denan kehabisan kesabaran, satu pukulan
melayang mengenai wajah Rama, hidung Rama berdarah. Beruntung seorang perawat
mengetahui kejadian tersebut sehingga tidak berlanjut ke perkelahian lebih
parah. Rama pergi meninggalkan Denan yang nafasnya masih tak karuan. Sambil
merapihkan jaket nya, Rama berbisik ke arah laki-laki yang telah menghadiahkan
pukulan itu.
“Denan, sampai kapanpun kamu takan pernah benar-benar
memiliki hati Vina seutuhnya. Kalaupun ia tidak akan pernah bersamaku, aku
takan pernah rela dia hidup bersama dengan pria pengekang sepertimu.”
Tangan Denan mengepal keras, hampir saja tinjunya melayang
lagi ke arah Rama, tapi Rama menangkisnya.
“Bukan begini cara menyelesaikan masalah yang baik Denan,
bersikaplah dewasa!”
Denan tertunduk menahan amarah nya yang menggunung. Jika saja
ia tidak ingat bahwa tujuan utamanya datang ke Rumah sakit adalah untuk
menjenguk Vina maka ingin sekali ia menghabisi Rama detik itu juga.
**
Vina terbangun, ia sama sekali tak mengetahui apa yang telah
terjadi di luar kamar pasien beberpa menit yang lalu. Wajahnya penuh keheranan,
malihat laki-laki yang menjagainya kini telah berganti. Tanpa sengaja ia
bergumam.
“Mana mas Rama?”
Emosi Denan kembali memuncak. Tangan Vina dicengkramnya
erat-erat, matanya berapi-api. Telunjuknya menunjuk-nunjuk wajah Vina. Mencaci
maki habis-habisan.
“Dasar perempuan tak tahu diuntung. Tidak bisa dikasihani.
Bego, gak pernah mengerti sama cinta gue! Rama dan Rama saja yang kau urusi.
Rama dan Rama saja yang kau fikirkan. Penghianat, b*jingan!”
Vina meringis menahan sakit. Andai saja Rama masih di sana
pasti ia tak akan pernah membiarkannya mengalami perlakuan seperti itu. Hatinya
hanya bisa menangis berdo’a, berharap datang pertolongan. Ia tak mungkin
berteriak, jika ia melakukannya maka ia tahu Denan takan pernah melepaskannya,
dan perlakuannya akan lebih keras lagi.
Ini bukan kali pertama ia mendapatkan perlakuan seperti itu.
Beberapa kejadian telah membuat rasa sayang nya terhadap Denan banyak
berkurang. Semakin besar cinta yang dimiliki Denan maka semakin besar pula rasa
ingin memiliki nya terhadap dirinya. Denan benar-benar telah meranggut
kebebasannya sebagai manusia. Dua tiga kali Vina mencoba memimta mengakhiri
hubungan nya, namun itu tak pernah berhasil. Denan selalu menghujani nya dengan
berbagai pertanyaan dan tuduhan-tuduhan yang menyudutkan. Manjaga keselamatan
rumah tangga Rama adalah salah satu alasan mengapa ia tetap bertahan. Denan
sempat mengancam akan menyakiti Rama termasuk keluarganya.
Cengkraman tangan Denan semakin kuat. Pergelangan tangan Vina
telah membiru dibuatnya. Fikirannya kacau tak bisa berfikir jernih. Bentakan dan
makian Rama sudah tak bisa didengar lagi. Ia kalut dan pasrah. Badannya yang
masih terbaring dalam kondisi lemas di ranjang pasien semakin lemah dengan
perlakuan Denan.
Seseorang masuk ruangan, dan “Bugh” seketika menghantam Denan
dari belakang. Rama kembali ke kamar rawat karena ada barang yang tertinggal.
“Denan! Ternyata benar, sampai kapanpun aku tak pernah bisa
mempercaimu untuk menjaga Vina. Pergi dan tinggalkan ruangan ini!”
Dua orang perawat masuk. Tanpa melihat kejadian yang baru
saja terjadi. Mereka meminta izin untuk memerikasa keadaaan Vina yang ternyat
kembali memburuk.
Denan keluar tanpa pamit. Rama menemani Vina mendampinginya
selama pemeriksaan.
Oiya, Vina mengidap animea serius. Mudah lelah dan bisa
kehilangan kesadaran jika terlalu lelah dan pusing.
**
Vina telah pulang ke rumah kost nya. Rama dengan rutin
mengecek kesehatnnya. Baik menjenguk ataupun sekedar menelpon di sela-sela
kesibukannya. Tak lupa ia memastikan apakah Denan datang ke sana atau tidak.
Sejauh ini Vina bilang tak ada Denan datang ke sana. Rama merasa lega. Walaupun
ia tak selamanya bisa memantau kesehatan Vina tapi setidaknya ia merasa tenang
karena Denan tidak datang mengganggu Vina.
**
Malam hari, Jam delapan malam, hujan rintik-rintik membasahi
ibu kota. Rama menghidupkan mesin mobil di parkiran perusahaan tempat ia bekerja.
Entah kenapa sejak tadi pagi hatinya tak pernah merasa tenang. Teringat selalu
kepada Vina. Sudah seminggu ini ia disibukan dengan pekerjaan dan dead line. Ia
hanya bisa memantau Vina lewat BBM dan telepon. Selama ini Vina selalu berkata
bahwa ia baik-baik saja. Namun kali itu, ia benar-benar merasa tak tenang. Malam
itu ia berniat akan menjenguk Vina ke Kostannya. Tak lupa ia mengabari orang
rumah untuk pulang telat.
Sampai di kostan Vina, ibu kost mempersilahkan masuk. Memberi
kabar jika dari pagi Vina tidak keluar dari kamarnya. Ibu kost khawatir terjadi
apa-apa dengan Vina.
“Nak Rama, tolong bujuk Vina makan ya… Ibu ke belakang dulu.”
Ibu kost pamit, Rama mengangguk.
Pintu kamar Vina terkunci dari dalam. Setelah Rama meminta
kunci kamar cadangan ia berhasil masuk. Dan apa yang ia dapatkan? Vina
tergeletak di lantai dengan tubuh bersimbah darah. Hati Rama hancur tidak
karuan menemukan Vina telah tak bernyawa. Rama tak mengerti apa yang telah
terjadi. Ia langsung mengabari seluruh penghuni kost. Rumah kost seketika
menjadi mencekam.
Ibu Kost menghubungi polisi, tak lama kemudian polisi datang
melakukan olah TKP.
“Ada seseorang yang masuk lewat jendela, ditandai dengan
jejak sepatu di dinding dan di lantai. Bukti-bukti sudah kami kumpuklan, sidik
jari pelaku sudah kami kantongi. Secepat mungkin kami akan segera menyelesaikan
kasus ini” ujar seorang polisi yang menangani kasus pembunuhan Vina malam itu.
Air mata Rama tak bisa menetes. Namun hatinya hancur
berkeping-keping. Bagaimana tidak gadis yang selama ini selalu mampu membangkitkan
semangat hidupnya harus mati sia-sia. Terbersit dalam benaknya ingin
membalaskan kematian Vina, ia rasa ia tahu siapa pelakunya, namun semua ia
serahkan kepada yang berwajib.
Jenazah Vina telah diamankan polisi, kamar Vina telah
dibersihkan dan ibu kost meminta semua penghuni untuk tenang dan mendoakan Vina
agar pergi dengan tenang. Barang-barang milik Vina sementara disimpan di kamar
nya. Menunggu ada keluarganya yang menjemput ke sana. Hanya beberapa barang
penting yang ibu kost amankan. Dan mempercayakannya kepada Rama sebagai orang
terdekat Vina selama ini. Sebuah telepon genggam berupa android ukuran 12 inc
diserahkan ibu kost ke tangan Rama.
“Nak Rama, ibu menemukan ini di laci meja kerja nya Vina.
Mungkin tadi pak polisi tidak mengambilnya menjadi barang bukti. Pegang saja
sama Nak Rama barangkali ada pihak keluarga yang menghubungi atau akan
dihubungi. Ibu masih bingung bagaimana cara memberi kabar kepada mereka.”
Hening, semua tak ada yang memiliki ide bahasa yang tepat
untuk memberi kabar terhadap orangtua Vina.
Telepon genggam Rama berbunyi. Riri sang istri menelponnya. “Hallo
mas, masih di mana?”
“mas minta maaf Ri… mas… di kostan Vina…”
“Oh… kenapa mas kesana?”
“Vina terbunuh Ri…”
“Masha Allah… innalillahiwainnailaihi rojiun…Riri ikut
berduka mas… Mas yang sabar ya… Yasudah kalo sudah selesai urusan di sana mas
cepet pulang biar bisa istirahat mas ya…”
“Iya Ri… Mkasih ya…”
Riri adalah perempuan yang dijodohkan oleh orantuanya kepada
Rama. Orangtua Rama dan orangtua Riri sepakat menjodohkan anak mereka demi
sebuah kesepakatan bisnis. Riri mrngrtahui jika Rama sama sekali tidak
mencintai Riri sejak sebelum mereka menikah. Hanya saja hati riri yang begitu
lembut memiliki keyakinan bahwa suatu saat ia akan mendapatkan hati rama
seutuhnya setelah ia manikah. Yang entah kapan itu terjadi. Selama ini riri
tahu hati Rama masih tertambat kepada Vina kekasih Rama sebelum meniah dengan
nya. Riri selalu berusaha sabar, memaklumi semua isi hati Rama. Ia tetap
mencintairama dengan tulus. Ia merasakan bagaimana sakitnya hati yang
dipisahkan oleh sebuah perjodohan. Toh selama ini rama tetap sayang kepada
keluarga, tetap menghargainya sebagai istri, walaupun Riri tak pernah memiliki
hati Rama seutuhnya. Kini kekasih rama terbunuh, ia tahu bagaiman pedihnya hati
rama.
Telepon ditutup. Selama ini Riri selalu baik. Perempuan
berjilbab itu selalu bersabar dan selalu melihat sisi positif dari setiap
kejadian. Hal itu yang menjadikan Rama bisa bertahan dalam pernikahan yang
didasari perjodohan itu. Walaupun pada kenyatannya cintanya telah terlebih
dahulu berlabuh kepada Vina. Jauh sebelum ia manikahi Riri. Namun perjodohan
yang telah disepakati oleh kedua orangtuanya dengan orangtua Riri tak bisa
dilanggar begitu saja.
**
Hari berganti, Luka di hati Rama tak pernah berubah. Masih
menganga lebar, bahkan rasanya semakin perih. Berbagai penyesalan berkecamuk di
benaknya. Mengapa ia tak pernah tegas untuk menolak perjodohan itu? Mengapa ia
tidak memutuskan untuk menikahi Vina secepatnya, mungkin ceritanya takan
seperti itu. Dan mengapa seminggu belakangan sebelum Vina tewas ia tidak
menjenguk langsung ke tempat Vina tinggal?
Rama putus asa dalam penyesalannya. Namun Riri tetap
setia mendampingi dan menghiburnya.
Perempuan tegar itu selau bersabar mendampingi suaminya walaupun ia tahu hati
suaminya ada pada siapa. Ia sangat sadar betapa rumah tangga yang dibangun
dengan tanpa cinta itu harus dijalani dengan penuh kesabaran. Toh selama ini
pun Rama tak pernah mengabaikan kewajibannya sebagai suami. Riri cukup
bersyukur dengan keadaan rumahtangga yang didasari perjodohan itu. Suaminya
tetap bertahan saja sudah sangat membuatnya senang. Ia akan tetap sabar
menunggu hingga akhirnya hati suaminya benar-benar menjadi miliknya.
**
Sebuah bukti kuat menyusul. Menyeret Denan ke penjara.
Rangkain pesan singkat di telepon genggam Vina membuktikan bahwa Denan memang
telah melakukan ancama-ancaman keras terhadap Vina yang sebelumnya meminta
mengakhiri hubungnnya. Ia mengancam akan membunuh Vina jika tidak mau kembali
mnerima Denan sebagai kekasihnya. Denan kini meringkuk di penjara dengan
berjuta sesal yang luarbisaa.
Ibu kosts menemukan secarik kertas dibawah tumpukan baju di
lemari Vina.
“Mas Rama… Vina sangat
mencintai Mas Rama bahkan mungkin lebih dari yang Mas tahu. Mas Rama adalah
laki-laki yang benar-benar Vina mimpikan sepanjang hidup Vina. Mas Rama adalah
laki-laki paling membuat Vina nyaman, selalu ngertiin Vina, membiarkan Vina
jadi diri sendiri. Kadang Vina menyesali nasib, kenapa bukan Vina yang kini
menjadi istrinya Mas. Vina yakin hidup Vina akan sangat bahagia. Tapi sudahlah…
mungkin ini takdir Vina.
Mas… Vina di sini
merasa tak memiliki hidup, setiap saat Vina dibayang-bayangi sosok pencinta
gila menyeramkan. Jujur Vina tak pernah sedikitpun merasa tenang berada
didekatnya. Namun Vina tak mau menunjukkan kesedihan Vina kepada Mas. Vina
takut Mas iba terhdap Vina, lalu akan merusak hubungan baik Mas denga Mba Riri.
Mas… sampaikan permohonan
maaf Vina kepada Mba Riri. Cintai dia, seperti Mas mencintai Vina. Sampaikan
rasa terimakasih atas kesabarannya selama ini. Orangtua Mas benar, Tepat sekali
telah menjodohkan Mas dengan Mba Riri, karena ternyata Vina tak bisa menjadi
yang terbaik buat Mas.
Maafkan Vina Mas… jika
esok, lusa ternyata Vina pergi dari dunia ini. Terimakasih untuk semuanya.
Vina sayang Mas Rama.
Vina”
Untuk kesekian kalinya air mata Rama mengalir deras. Dan kali
ini ada tetesan air mata di wajah yang
lain. Riri tak berhenti menangis…
“Mas… jika saja Riri bisa menolak perjodohan kita, maka Vina
akan selamat. Maafin Riri telah merebut Mas dari Vina…”
Airmatanya menderas… Rama tetap dingin mengenggam secarik
kertas pesan terakhir dari Vina.
“Cinta ku takan pernah
lekang oleh waktu kepadamu Vina…
Kamulah magnet
berbentuk lingkaran yang mampu menarik hati ku dari segala arah.
Walaupun engkau telah
tiada, cinta ini akan tetap tertanan dalam dan kokoh di hatiku”
Sayang selalu:
Rama.
No comments:
Post a Comment