Search This Blog

Thursday, December 31, 2015

SECARIK PESAN TERAKHIR”

"Kamu sebenarnya mau nya apa sih? Ini salah, itu salah, Lalu aku ini harus gimana? Aku bingung meghadapi sifat kamu!”.
Nafas Denan terasa sesak menahan kesal. Matanya terpejam sekejap, menarik nafas panjang, lalu melayangkan pandangan kemanapun sejauh mata memandang. Tak ada satu titikpun yang ia amati. Ia hanya bermaksud membuang muka. Tak kuasa menahan kesal, dan tak mau memandang wajah kekasihnya yang sejak tadi berdiri di sebelahnya. Vina yang cantik luar biasa, yang selama ini mengisi hati dan selalu menyita perhatian nya kini sikapnya telah berubah. Padahal apa yang kurang? Selama ini dirinya telah menumpahkan seluruh waktu, telah mencurahkan seluruh perasaan dalam hatinya, seluruh waktu yang ia punya hanya untuk memikirkan kebaikan kekasihnya yang sangat ia cintai. Tapi apa balasannya? Vina bilang dirinya malah merasa terkekang.

Ah… apa benar dia pengekang? Padahal maksud hatinya hanya ingin melindungi Vina dari hal-hal yang mungkin akan terjadi kepadanya. Hal buruk yang tak pernah ia inginkan. Dia sendiri tak pernah mengerti dan tak pernah sadar bahkan mungkin tak pernah bisa membedakan apakah ini sayang, melindungi, ataupun hanya sekedar luapan api cemburu yang berlebihan.
Bagaimana tidak, gadisnya yang cantik itu begitu asiknya memposting foto ke media social, begitu banyak manusia sejenisnya yang menyukai dan meninggalkan jempol di potonya, lebih parahnya ada beberapa yang tidak segan-segan memberi komentar, pujian, bahkan terang-terangan meminta berkenalan lebih dekat lagi. Hatinya begitu gusar, resah, kepalanya dipenuhi dengan berbagai pemikiran-pemikiran yang sebenarnya terlalu berlebihan. Ia sangat menyayangi Vina. Tak mau sedikitpun ada sesuatu yang menyakiti Vins. Rasa ingin melindungi yang ia miliki begitu besar. Tapi ah… tidak juga, ia selalu merasa wajar. Semua demi kebaikan Vina, gadis yang ia cintai.
Fikirannya melayang, mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu, dimana temannya bekerja yang satu kantor mengalami kejadian memalukan. Seseorang berbuat jail. Niatnya iseng, namun akibatnya fatal. Orang jail tersebut mengupload foto temannya itu ke media sosial, diedit dengan dibubuhkan tulisan-tulisan yang Denan sendiri tidak tahu jelas tulisan itu bunyiny apa. Yang jelas, itu semua lantas menimbulkan masalah besar, dengan waktu penyelesaian yang cukup lama. Itupun tak kembali normal. Nama baik nya tidak kembali bersih dan setiap hari rekan kantornya itu kerap merasa risih, dan kehilangan rasa percaya diri. Sungguh ia tak mau kejadian seperti itu menimpa kekasihnya. Bayangan-bayangan mengerika itu selalu melintas di kepalanya. Denan benar-benar telah menjadi paranoid. Rasa takut kehilangan yang ia miliki begitu besar. Dan… Ah… seandainya ia sudah memiliki izin dari orangtua Vina, ingin rasanya ia menikahi gadis itu sesegara mungkin. Dan takan ada lagi jarak di antara mereka. Takan ada lagi penghalang untuk ia melindungi Vina dengan cara apapun. Takan ada waktu yang tercuri untuk memperhatikan Vina sedetikpun. Bagi dia Vina adalah segalanya. Vina adalah tujuan hidupnya, masa depannya, mimpi besarnya. Tak ada lagi yang bisa menerbitkan lengkung senyum di bibirnya kecuali Vina, tak ada lagi suara termerdu di kupingnya kecuali suara Vina, tak ada lagi tatap mata paling teduh selain tatapan Vina. Tak adalagi perempuan yang mampu menenangkan gundah hatinya selain Vina. Ibunya? Ibunya sudah meninggal sejak ia berada di usia remaja. Hidup dengan hanya satu orangtua , Ayah, membuat hidupnya terlalu keras, kurang kasih sayang seorang ibu. Dia tidak mudah jatuh cinta, namun sekali jatuh cinta ia akan berbuat apapun untuk kebahagiaan orang yang ia cintai. Namun, setelah ia jatuh terlalu dalam, setelah banyak yang ia lakukan, ia korbankan, ternyata Vina tidak menerima begitu saja perlakuannya. Malah sebaliknya Vina bilang ia merasa terkekang. Kepalanya berfikir keras, apa sebenarnya yang salah…?
“Denan… Kamu kenapa diem aja? kalau begitu, Vina pulang aja ya…” Suara Vina mengagetkannya.
“Vin… kamu mau pulang sekarang?” Vina mengangguk pelan.
“Kalo gitu, ayo!” tangan Denan mengenggam pergelangan Vina.
“Denan, aku bisa pulang sendiri” uajarnya dingin.
Denan hanya bisa menelan ludah, bingung harus mengatakan apa. Hari sudah gelap, menunjukkan jam delapan malam. Sedangkan jarak ke rumah Vina cukup jauh. Denan sebenarnya ingin mengantar. Tapi apakah Vina tidak akan bertambah marah?
“Vin… biar aku antar ya… Plaese… aku takut terjadi apa-apa sama kamu” Denan khawatir.
“Denan… percaya ke aku. Aku bukan anak kecil lagi. Sudah ya… sebelum malam semakin larut. Vina pulang. Assalamualaikum…” Vina berlalu tanpa menatap lagi Denan. Pandangan yang selalu Denan rindukan. Tatapan teduh itu kini tak ada lagi.
“Waalaikumsalam… Hati-hati ya Vin… kalau udah nyampe kabari” tak ada jawaban dari Vina.
Malam semakin meninggi. Tak terasa dua jam berlalu sejak Vina meninggalkan nya di tempat itu. Denan menuruni anak tangga dengan gontai, lalu menghidupkan motornya dan pulang.
**
Sejak kejadian itu, Vina semakin jarang menghubungi Denan. Tidak lewat telepon, tidak juga di BBM atau media lainnya. Vina semakin dingin. Lain halnya dengan Denan. Laki-laki itu semakin sering mengecek telepon genggamnya, barangkali Vina mengabari. Tak jarang pula ia bertanya kabar pada gadisnya, namun Vina hanya menjawab seperlunya.
“Vin… kenapa kamu ini..?” pertanyaan itu yang selalu muncul di benaknya.
Jam istirahat kantor. Nasi box telah sampai di mejanya. Siap santap. Tapi laparnya mendadak hilang. Ia teringat Vina yang selalu bertanya sudah makan atau belum, makan sama apa siang ini, jangan lupa solat, atau mengingatkan apa saja sebagai bentuk perhatian. Kini hilang… tak ada lagi.
Sempat berfikir bahwa ini semua salah nya. Tapi dimana? Rasanya tak ada yang terlalu berlebihan. Apakah ini hanya sebagian tantangan dan ujian sebelum mereka melangkah ke jenjang yang lebih jauh?
Atau beberapa pertengkaran hebat itu? Dimana dirinya hilang control dan mendaratkan tamparan di pipi halusnya Vina. Ah, penyesalan itu tak akan pernah hilang sampai kapanpun.
Tangannya mulai membuka kotak nasi. Menu makan kesukaannya. Harusnya Denan bisa makan lebih lahap siang ini. Namun selera makannya entah pergi kemana. Ditengoknya lagi telepon genggamnya. Mencoba membaca kembali pesan-pesan singkat dari Vina yang masih ia simpan.
“Sayank… makan yang banyak ya… kamu harus tetap sehat. Inget lho… kerjaaan kamu banyak. Kalau kamu sakit siapa yang menyelesaikan pekerjaan dan tanggungjawab kamu? Makan ya… Vin juga makan neeh… kita makan bareng ya… :-*”
Pesan itu Denan baca berulang-ulang. Rasanya rindu sekali dengan ucapan itu. Sudah seminggu lebih Vina menghilang. Tak lagi menghubunginya. Ia terasa selalu ada namun tiada. Vina Menjawab bbm nya namun tidak lagi mengatakan hal yang sama. Beberapa teman kantornya kerap mengomentari penampilannya yang akhir-akhir ini menjadi kusut, berantakan, tampak tidak bersemangat.
Kini matanya tertuju ke jam dinding yang menempel tepat di hadapan meja kerjanya. Menunjukkan pukul 12:45. Jam istirahat hampir habis. Namun rasanya ia belum benar-benar beristirahat. Fikirannya masih menjelimet dengan fikiran yang tak menentu. Ia perlu ketenangan. Akhirnya memutuskan untuk mengambil air wudhu dan menunaikan ibadah solat dzuhur. Nasi box nya sudah tidak menarik lagi. Perutnya pun tidak merasa lapar. 
Tapi baru saja beranjak, telepon genggamnya berbunyi. Vina menelpon. Sontak tangan nya langsung meraih telepon genggam di meja kerjanya.
“Halo Vin…”
“Iya Denan… Udah makan belum…?”
“Belum…”
“Eh… kenapa kok belum makan?”
“Gak punya nafsu makan Vin…”
“Kamu kenapa…? Lagi Gak enak badan…?”
“Enggak… sehat kok…”
“Terus kenapa?”
“Aku kangen kamu Vin…”
“Hm…”
“Kamu kemana aja? Jangan pernah melirik cowok lain. Awas aja”
“Udah ah…”
“Yasudah, aku makan sekarang”
“Iya… sudah dulu ya… Vin belum solat ini”
“iya…”
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam”
Vina menutup teleponnya. Denan melangkahkan kaki ke mushola. Pembicaraan singkat dengan Vina tak mengembalikan rasa laparnya. Ia solat empat rokaat, lalu melanjutkan pekerjaannya.
**
Dua minggu setelah kejadian malam itu.
Dengan mencoba meminta bertemu. Vina menyatakan bersedia. Mereka bertemu di salah satu Café terbuka. Memilih duduk di kursi yang menghadap ke taman. Malam pengunjung tidak terlalu ramai. Tempat mereka duduk pun tidak terlalu berdekatan dengan pengunjung lain. Vina datang dengan menggunakan kaos berwarna ungu, celana jeans. Cukupmanis dan membuat mata Denan berbinar,dan tersenyum bahagia melihat kekasihnya tampak lebih cantik setelah beberapa hari tidak bertemu.
Setelah memesan makanan dan minuman, mereka makan bersama. Sejauh ini makan malam mereka berjalan lancer. Berbincang-bincang seputar kegiatan mereka sehari-hari sebagai basa-basi. Sampai saat mereka menikmati makanan penutup, tiba-tiba Denan memilih topic yang sangat tidaj Vina sukai.
“Vin… kalau boleh aku minta kamu jangan terlalu aktif di media social itu ya!, aku gak suka. Banyak cowok yang sukain kamu. Aku gak mau kamu dijailin.”
Vina yang sedang menikmati makanan penutup, mendadak kehilangan selera makan sepenuhnya. Kesal dengan Denan, sebenarnya menghindar untuk bertemu beberapa hari itu Vina berharap Denan bisa berfikir dan seddikit melunak. Tidak terlalu mengatur dan mengekangnya. “Denan… Kok kamu baru aja ketemu udah ngatur-ngatur aja.”
“Vin… ini buat kebaikan kamu!”
“Kebaikan aku atau hanya pengekangan untuk aku?”
“Aku gak suka. Please Vin…”
“Aku yang mohon Denan… Kamu selalu ngatur dan mendikte apa yang harus aku lakuin dan apa yang gak boleh aku lakukan. Aku punya hidup sendiri dan ini hidup aku. Ini nyawa aku. Ini jiwa aku Denan. Aku bukan boneka kamu!”
“Vin… kamu kekasih aku. Calon istri aku, kamu harus nurutin semua mau aku!”
“O…begitu? Kalau begitu aku tak mau lagi bareng sama kamu Denan. Mulai hari ini kita udahan.”
“Vin… apa semudah itu kamu mengakhiri hubungan kita?”
“Denan… aku cape. Selama ini aku merasa dibayang-bayangi, diawasi, sebenarnya kamu itu sayang sama aku atau enggak sih?”.
Mata Vina mulai berkaca-kaca menaha tangis. Denan Semakin geram. Memang selama ini Denan dikenal sebagai seorang yang sangat tempramen.
“Vin! Masa selama ini kamu gak ngerti?. Aku sangat sayang kamu. Aku ingin semua yang terbaik buat kamu!”
Denan semakin naik vitam. Telunjuknya menunjuk-nunjuk wajah Vina. Tangan kiri nya mengepal keras, menahan nafsu mamarah.
“Apa terbaik menurut mu sudah pasti terbaik buat aku? Terus kemarahan kamu yang akhir-akhir ini kerap menjadi-jadi? Apa itu buktinya rasa sayang kamu ke aku”
Vina kini lebih berani menjawab perkataan denan. Tidak seperti biasanya ia hanya mampu diam, mengalah, dan menangis terisak.
Demi mendengar Vina yang mulai berani melawan, Denan demakin geram. Suaranya semakin meninggi. Menarik perhatian beberpa pengunjung yang ada di sana. “Vin, lalu kenapa selama ini kamu baik-baik aja? Dan kenapa sekarang tiba-tiba kamu berubah? Jangan-jangan ada seseorang yang sudah menggantikan aku di hati mu. Jangan-jangan ada seseorang yang lebih rajin memperhatikanmu dibanding aku. Pantesan selama ini kamu aktif sekali di media social itu. Pantas saja kamu bangga dengan kecantikan kamu. Kamu seneng ya orang lain puji-puji kamu? Kamu penghianat Vin!”
Kalimat terakhir yang Denan katakana membuat dada Vina terasa semakin sesak. Bagaimana bisa ia yang selama ini berusaha sbar menghadapi apapunperlakuan Denan terhadapnya, menjadi seseorang sengan sikap pemakluman yang luar biasa kepada seseorang yang berwatak keras seperti Denan. Bersedia menjadi sasaran amarah Denan yang sering mengatasnamakan rasa sayang dan cinta. Kini ia di-lebeli penghianat.
Pertengkaran itu semakin memanas. Untuk kesekian kalinya Vina menangis sesenggukan akibat pertengkaran dengan Denan. Nafasnya terasa sesak. Ia benar-benar bingung bagaimana caranya menjelaskan semuanya. Bahwa semua yang Denan tuduhkan itu tidak benar. Kepalanya terasa sakit dan ia tak mampu lagi mengontrol keseimbangan badannya. Tubuhnya terjungkal lemah. Ia lantas kehilangan kesadaran.
Denan panik, segera ia mengangkat tubuh kekasihnya, dan mencari pertolongan.
**
Di rumah sakit.
Vina tersadar dari mati surinya. Denan dengan setia menungguinya. Vina sadar betapa laki-laki itu begitu mencintainya. Betapa setianya. Namun tidak sekeras itu cinta yang ia inginkan. Tidak sebesar itu perhatian yang ia harapkan. Baginya kesederhanaanlah yang membuat nya merasa nyaman. Cinta yang tidak banyak menuntut dan menerima apa adanya lah yang membuatnya begitu dihargai. Membuat nya merasa punya hidup sempurna. Cinta yang saling menghargai hobi, hal yang tidak disukai yang membuat nya betah sama seseorang. Dan cintanya mas Rama-lah yang sebenarnya benar-benar mebuatnya nyaman. Tapi apa boleh buat, Vina telah menutup rapat-rapat hatinya untuk cinta nya. Bagaimana tidak, Mas Rama adalah laki-laki beristri tak mungkin ia lanjutkan cerita cintanya. Walau pada kenyataannya semakin ia menutup rapat hatinya maka semakin lekat saja bayang-banyang Mas Rama di benaknya.
Ah… Tapi sudah lah. Lupakan Mas Rama. Dia kini bukan siapa-siapa. Hanya bagian dari masa lalu laki-laki tersebut. Kali ini ia harus berkonsentrasi kepada hubungan nya dengan Denan. Akan dibawa kemana hubungan mereka. Denan adalah laki-laki yang selalu setia menemaninya, yang memiliki cinta lebih dari 100% kepadanya. Walau sejujurnya seringkali Vina dibuatnya menagis. Tapi entah kenapa selama 2 tahun Vina masih bisa bertahan. Tapi kali ini ia merasa sudah sampai di puncak batas kesabaran. Vina tak habis fikir bagaimana bisa Denan yang katanya sangat menyayanginya tetapi mengekang jiwanya. Seakan ia tak memiliki kebebasan hidup. Seolah hidup dibawah kendali seseorang. Ia merasa begitu lelah.
Denan tertidur lelap di sisi ranjang pasien. Tampaknya ia begitu lelah. Ketika ia terjaga ia langsung tersenyum melihat kekasihnya sudah sadar. Sesegera mungkin ia mengatur membenahi posisi tidur kekasihnya.
“Vin… kamu tadi pingsan sayang… makanya jangan banyak gerak. Tiduran saja”
Vina menurut. Ia fikir ini memang baik. Kondisi tubuhnya belum terlalu baik. Kepalanya masih terasa pusing. Denan pamit pergi, ada pekerjaan yang harus segera ia selesaikan.
**
Sore hari, hujan rintik-rintik. Rama datang menjenguk. Dengan penuh iba Rama mengelus rambut Vina. Lagi-lagi Vina merasa nyaman. Dalam hatinya selalu terbersit seandainanya ia menjadi milik Rama. Namun selalu lekas-lekas ia menepis bayangan dan harapan itu. “Vin! Rama laki-laki beristri” Kalimat itu selalu memukulnya dengan keras, sangat keras.
Rama adalah sosok lelaki dewasa yang datang dengan sejuta kasih sayang dan kedewasaan. Bagi Vina dia adalah laki-laki impian. Mengerti segalanya apa yang dia mau. Mampu menjadikan diri nya hidup sebagai dirinya sendiri. Rama memberikan kasih sayang yang dalam namun sederhana. Hangat dan bersahabat. Namun ia tak bisa lebih jauh lagi berharap. Rama telah berkeluarga dan Vina tahu Rama adalah laki-laki yang bertanggungjawab kepada Istri dan anak nya.
Vina lebih menganggap Rama sebagai kakak. Begitupun Rama lebih memposisikan Vina sebagai adiknya. Walaupun jauh sebelumnya mereka pernah memiliki hubungan dekat, walau pada kenyatannya terpaksa hubungan mereka hanya sebagai sepasang sepatu. Selalu bersama namun takan perna bisa menyatu.
“Dik… Kamu kenapa sampai pingsan begitu? Kecapean ya?” Rama bertanya dengan nada yang begitu lembut. Terasa menembus ke bagian hati yang paling dalam. Terasa begitu lembut, selembut kapas. Nyaman, luar biasa.
“Iya Mas… Aku kelelahan…”. Vina berdusta. Ia tak ingin Mas Rama-nya terlalu mengkhawatirkan keadaaanya.
Rama menangkap sesuatu dari jawaban Vina. Seolah ia mengetahui jika bukan itu jawaban sesungguhnya. Tapi ia tak pernah mau membahas. Ia tahu, Vina takan mau diusik soal kepenatan hatinya. Toh jika ia mau bercerita, pasti terbuka dengan sendirinya. Rama tahu, jika hati Vina sedang bersahabat, maka ia takan segan-segan bercerita jujur sebanyak apapun masalah yang sedang menimpanya. Bahkan hal konyol sekalipun Vina ceritakan. Dan semua itu selalu membuat mereka bisa tertawa bersama.
Vina tertidur setelah Rama mengajaknya bercerita tentang banyak hal. Membuat hati dan fikirannya merasa lebih baik. Dokter bialng besok ia sudah boleh pulang.
Rama tersenyum lega, melihat belahan jiwanya bisa beristirahat. Iapun memutuskan untuk segera pulang.
Di depan pintu Denan berdiri, menghambat langkah kaki Rama. Pandangan matanya tajam penuh amarah. Rupanya ia sudah cukup lama berdiri di balik pintu mengamati percakapan Rama dan Vina. Denan tidak bisa terima dengan sikap Rama yang masih saja menemui kekasihnya. Perdebatan sengitpun terjadi, mereka beradu argument dengan tetap berusaha menjaga volume bicara. Takut menganggu pasien yang lain. Namun Denan kehabisan kesabaran, satu pukulan melayang mengenai wajah Rama, hidung Rama berdarah. Beruntung seorang perawat mengetahui kejadian tersebut sehingga tidak berlanjut ke perkelahian lebih parah. Rama pergi meninggalkan Denan yang nafasnya masih tak karuan. Sambil merapihkan jaket nya, Rama berbisik ke arah laki-laki yang telah menghadiahkan pukulan itu.
“Denan, sampai kapanpun kamu takan pernah benar-benar memiliki hati Vina seutuhnya. Kalaupun ia tidak akan pernah bersamaku, aku takan pernah rela dia hidup bersama dengan pria pengekang sepertimu.”
Tangan Denan mengepal keras, hampir saja tinjunya melayang lagi ke arah Rama, tapi Rama menangkisnya.
“Bukan begini cara menyelesaikan masalah yang baik Denan, bersikaplah dewasa!”
Denan tertunduk menahan amarah nya yang menggunung. Jika saja ia tidak ingat bahwa tujuan utamanya datang ke Rumah sakit adalah untuk menjenguk Vina maka ingin sekali ia menghabisi Rama detik itu juga.
**
Vina terbangun, ia sama sekali tak mengetahui apa yang telah terjadi di luar kamar pasien beberpa menit yang lalu. Wajahnya penuh keheranan, malihat laki-laki yang menjagainya kini telah berganti. Tanpa sengaja ia bergumam.
“Mana mas Rama?”
Emosi Denan kembali memuncak. Tangan Vina dicengkramnya erat-erat, matanya berapi-api. Telunjuknya menunjuk-nunjuk wajah Vina. Mencaci maki habis-habisan.
“Dasar perempuan tak tahu diuntung. Tidak bisa dikasihani. Bego, gak pernah mengerti sama cinta gue! Rama dan Rama saja yang kau urusi. Rama dan Rama saja yang kau fikirkan. Penghianat, b*jingan!”
Vina meringis menahan sakit. Andai saja Rama masih di sana pasti ia tak akan pernah membiarkannya mengalami perlakuan seperti itu. Hatinya hanya bisa menangis berdo’a, berharap datang pertolongan. Ia tak mungkin berteriak, jika ia melakukannya maka ia tahu Denan takan pernah melepaskannya, dan perlakuannya akan lebih keras lagi.
Ini bukan kali pertama ia mendapatkan perlakuan seperti itu. Beberapa kejadian telah membuat rasa sayang nya terhadap Denan banyak berkurang. Semakin besar cinta yang dimiliki Denan maka semakin besar pula rasa ingin memiliki nya terhadap dirinya. Denan benar-benar telah meranggut kebebasannya sebagai manusia. Dua tiga kali Vina mencoba memimta mengakhiri hubungan nya, namun itu tak pernah berhasil. Denan selalu menghujani nya dengan berbagai pertanyaan dan tuduhan-tuduhan yang menyudutkan. Manjaga keselamatan rumah tangga Rama adalah salah satu alasan mengapa ia tetap bertahan. Denan sempat mengancam akan menyakiti Rama termasuk keluarganya.
Cengkraman tangan Denan semakin kuat. Pergelangan tangan Vina telah membiru dibuatnya. Fikirannya kacau tak bisa berfikir jernih. Bentakan dan makian Rama sudah tak bisa didengar lagi. Ia kalut dan pasrah. Badannya yang masih terbaring dalam kondisi lemas di ranjang pasien semakin lemah dengan perlakuan Denan.
Seseorang masuk ruangan, dan “Bugh” seketika menghantam Denan dari belakang. Rama kembali ke kamar rawat karena ada barang yang tertinggal.
“Denan! Ternyata benar, sampai kapanpun aku tak pernah bisa mempercaimu untuk menjaga Vina. Pergi dan tinggalkan ruangan ini!”
Dua orang perawat masuk. Tanpa melihat kejadian yang baru saja terjadi. Mereka meminta izin untuk memerikasa keadaaan Vina yang ternyat kembali memburuk.
Denan keluar tanpa pamit. Rama menemani Vina mendampinginya selama pemeriksaan.
Oiya, Vina mengidap animea serius. Mudah lelah dan bisa kehilangan kesadaran jika terlalu lelah dan pusing.
**
Vina telah pulang ke rumah kost nya. Rama dengan rutin mengecek kesehatnnya. Baik menjenguk ataupun sekedar menelpon di sela-sela kesibukannya. Tak lupa ia memastikan apakah Denan datang ke sana atau tidak. Sejauh ini Vina bilang tak ada Denan datang ke sana. Rama merasa lega. Walaupun ia tak selamanya bisa memantau kesehatan Vina tapi setidaknya ia merasa tenang karena Denan tidak datang mengganggu Vina.
**
Malam hari, Jam delapan malam, hujan rintik-rintik membasahi ibu kota. Rama menghidupkan mesin mobil di parkiran perusahaan tempat ia bekerja. Entah kenapa sejak tadi pagi hatinya tak pernah merasa tenang. Teringat selalu kepada Vina. Sudah seminggu ini ia disibukan dengan pekerjaan dan dead line. Ia hanya bisa memantau Vina lewat BBM dan telepon. Selama ini Vina selalu berkata bahwa ia baik-baik saja. Namun kali itu, ia benar-benar merasa tak tenang. Malam itu ia berniat akan menjenguk Vina ke Kostannya. Tak lupa ia mengabari orang rumah untuk pulang telat.
Sampai di kostan Vina, ibu kost mempersilahkan masuk. Memberi kabar jika dari pagi Vina tidak keluar dari kamarnya. Ibu kost khawatir terjadi apa-apa dengan Vina.
“Nak Rama, tolong bujuk Vina makan ya… Ibu ke belakang dulu.” Ibu kost pamit, Rama mengangguk.
Pintu kamar Vina terkunci dari dalam. Setelah Rama meminta kunci kamar cadangan ia berhasil masuk. Dan apa yang ia dapatkan? Vina tergeletak di lantai dengan tubuh bersimbah darah. Hati Rama hancur tidak karuan menemukan Vina telah tak bernyawa. Rama tak mengerti apa yang telah terjadi. Ia langsung mengabari seluruh penghuni kost. Rumah kost seketika menjadi mencekam.
Ibu Kost menghubungi polisi, tak lama kemudian polisi datang melakukan olah TKP.
“Ada seseorang yang masuk lewat jendela, ditandai dengan jejak sepatu di dinding dan di lantai. Bukti-bukti sudah kami kumpuklan, sidik jari pelaku sudah kami kantongi. Secepat mungkin kami akan segera menyelesaikan kasus ini” ujar seorang polisi yang menangani kasus pembunuhan Vina malam itu.
Air mata Rama tak bisa menetes. Namun hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak gadis yang selama ini selalu mampu membangkitkan semangat hidupnya harus mati sia-sia. Terbersit dalam benaknya ingin membalaskan kematian Vina, ia rasa ia tahu siapa pelakunya, namun semua ia serahkan kepada yang berwajib.
Jenazah Vina telah diamankan polisi, kamar Vina telah dibersihkan dan ibu kost meminta semua penghuni untuk tenang dan mendoakan Vina agar pergi dengan tenang. Barang-barang milik Vina sementara disimpan di kamar nya. Menunggu ada keluarganya yang menjemput ke sana. Hanya beberapa barang penting yang ibu kost amankan. Dan mempercayakannya kepada Rama sebagai orang terdekat Vina selama ini. Sebuah telepon genggam berupa android ukuran 12 inc diserahkan ibu kost ke tangan Rama.
“Nak Rama, ibu menemukan ini di laci meja kerja nya Vina. Mungkin tadi pak polisi tidak mengambilnya menjadi barang bukti. Pegang saja sama Nak Rama barangkali ada pihak keluarga yang menghubungi atau akan dihubungi. Ibu masih bingung bagaimana cara memberi kabar kepada mereka.”
Hening, semua tak ada yang memiliki ide bahasa yang tepat untuk memberi kabar terhadap orangtua Vina.
Telepon genggam Rama berbunyi. Riri sang istri menelponnya. “Hallo mas, masih di mana?”
“mas minta maaf Ri… mas… di kostan Vina…”
“Oh… kenapa mas kesana?”
“Vina terbunuh Ri…”
“Masha Allah… innalillahiwainnailaihi rojiun…Riri ikut berduka mas… Mas yang sabar ya… Yasudah kalo sudah selesai urusan di sana mas cepet pulang biar bisa istirahat mas ya…”
“Iya Ri… Mkasih ya…”
Riri adalah perempuan yang dijodohkan oleh orantuanya kepada Rama. Orangtua Rama dan orangtua Riri sepakat menjodohkan anak mereka demi sebuah kesepakatan bisnis. Riri mrngrtahui jika Rama sama sekali tidak mencintai Riri sejak sebelum mereka menikah. Hanya saja hati riri yang begitu lembut memiliki keyakinan bahwa suatu saat ia akan mendapatkan hati rama seutuhnya setelah ia manikah. Yang entah kapan itu terjadi. Selama ini riri tahu hati Rama masih tertambat kepada Vina kekasih Rama sebelum meniah dengan nya. Riri selalu berusaha sabar, memaklumi semua isi hati Rama. Ia tetap mencintairama dengan tulus. Ia merasakan bagaimana sakitnya hati yang dipisahkan oleh sebuah perjodohan. Toh selama ini rama tetap sayang kepada keluarga, tetap menghargainya sebagai istri, walaupun Riri tak pernah memiliki hati Rama seutuhnya. Kini kekasih rama terbunuh, ia tahu bagaiman pedihnya hati rama.
Telepon ditutup. Selama ini Riri selalu baik. Perempuan berjilbab itu selalu bersabar dan selalu melihat sisi positif dari setiap kejadian. Hal itu yang menjadikan Rama bisa bertahan dalam pernikahan yang didasari perjodohan itu. Walaupun pada kenyatannya cintanya telah terlebih dahulu berlabuh kepada Vina. Jauh sebelum ia manikahi Riri. Namun perjodohan yang telah disepakati oleh kedua orangtuanya dengan orangtua Riri tak bisa dilanggar begitu saja.
**
Hari berganti, Luka di hati Rama tak pernah berubah. Masih menganga lebar, bahkan rasanya semakin perih. Berbagai penyesalan berkecamuk di benaknya. Mengapa ia tak pernah tegas untuk menolak perjodohan itu? Mengapa ia tidak memutuskan untuk menikahi Vina secepatnya, mungkin ceritanya takan seperti itu. Dan mengapa seminggu belakangan sebelum Vina tewas ia tidak menjenguk langsung ke tempat Vina tinggal?
Rama putus asa dalam penyesalannya. Namun Riri tetap setia  mendampingi dan menghiburnya. Perempuan tegar itu selau bersabar mendampingi suaminya walaupun ia tahu hati suaminya ada pada siapa. Ia sangat sadar betapa rumah tangga yang dibangun dengan tanpa cinta itu harus dijalani dengan penuh kesabaran. Toh selama ini pun Rama tak pernah mengabaikan kewajibannya sebagai suami. Riri cukup bersyukur dengan keadaan rumahtangga yang didasari perjodohan itu. Suaminya tetap bertahan saja sudah sangat membuatnya senang. Ia akan tetap sabar menunggu hingga akhirnya hati suaminya benar-benar menjadi miliknya.
**
Sebuah bukti kuat menyusul. Menyeret Denan ke penjara. Rangkain pesan singkat di telepon genggam Vina membuktikan bahwa Denan memang telah melakukan ancama-ancaman keras terhadap Vina yang sebelumnya meminta mengakhiri hubungnnya. Ia mengancam akan membunuh Vina jika tidak mau kembali mnerima Denan sebagai kekasihnya. Denan kini meringkuk di penjara dengan berjuta sesal yang luarbisaa.
Ibu kosts menemukan secarik kertas dibawah tumpukan baju di lemari Vina.
“Mas Rama… Vina sangat mencintai Mas Rama bahkan mungkin lebih dari yang Mas tahu. Mas Rama adalah laki-laki yang benar-benar Vina mimpikan sepanjang hidup Vina. Mas Rama adalah laki-laki paling membuat Vina nyaman, selalu ngertiin Vina, membiarkan Vina jadi diri sendiri. Kadang Vina menyesali nasib, kenapa bukan Vina yang kini menjadi istrinya Mas. Vina yakin hidup Vina akan sangat bahagia. Tapi sudahlah… mungkin ini takdir Vina.
Mas… Vina di sini merasa tak memiliki hidup, setiap saat Vina dibayang-bayangi sosok pencinta gila menyeramkan. Jujur Vina tak pernah sedikitpun merasa tenang berada didekatnya. Namun Vina tak mau menunjukkan kesedihan Vina kepada Mas. Vina takut Mas iba terhdap Vina, lalu akan merusak hubungan baik Mas denga Mba Riri.
Mas… sampaikan permohonan maaf Vina kepada Mba Riri. Cintai dia, seperti Mas mencintai Vina. Sampaikan rasa terimakasih atas kesabarannya selama ini. Orangtua Mas benar, Tepat sekali telah menjodohkan Mas dengan Mba Riri, karena ternyata Vina tak bisa menjadi yang terbaik buat Mas.
Maafkan Vina Mas… jika esok, lusa ternyata Vina pergi dari dunia ini. Terimakasih untuk semuanya.
Vina sayang Mas Rama.
Vina”
Untuk kesekian kalinya air mata Rama mengalir deras. Dan kali ini ada tetesan air mata di wajah  yang lain. Riri tak berhenti menangis…
“Mas… jika saja Riri bisa menolak perjodohan kita, maka Vina akan selamat. Maafin Riri telah merebut Mas dari Vina…”
Airmatanya menderas… Rama tetap dingin mengenggam secarik kertas pesan terakhir dari Vina.
“Cinta ku takan pernah lekang oleh waktu kepadamu Vina…
Kamulah magnet berbentuk lingkaran yang mampu menarik hati ku dari segala arah.
Walaupun engkau telah tiada, cinta ini akan tetap tertanan dalam dan kokoh di hatiku”
Sayang selalu:
Rama.


Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment