Search This Blog

Monday, December 28, 2015

Dirga (Aku, Kau dan Hujan)



Yang aku tak habis fikir, kenapa sampai saat ini aku masih mengharapkanmu, Padahal sebelumnya kamu tak pernah hadir dalam hidupku. Yang aku tak habis fikir, kenapa aku masih sangat menyayangimu padahal kini kamu bersama orang lain. Yang aku tak habis fikir adalah, kenapa sampai saat ini aku selalu yakin, bahwa di hatimu ada tersimpan namaku. Tersimpan rapi kisah kita, aku, kau dan hujan.

Hujan begitu deras. Angin berhembus kencang. Pohon-pohon meliuk-liuk kesana kemari, seolah kerepotan menahan beban terpaan angin yang begitu kencang. Aku sedikit merasa takut. Bagaimana tidak, betapa banyak, eh, maksudku ada beberapa kejadian mengerikan yang pernah aku alami saat hujan. Sendirian di rumah saat hujan deras disertai angin topan, dan aku kepanikan karena beberapa genting rumah copot berterbangan, beberapa pot bunga terbang berputar-putar tertiup angin kencang. Air hujan masuk rumah, akibatnya di dalam rumah banjir, air menggenang di mana-mana. Beberapa tetangga berteriak karena rumah nya mengalami kerusakan-kerusakan yang lumayan parah. Hari itu benar-benar hari yang mengerikan.
Pengalaman mengerikan kedua saat hujan adalah, ketika terjebak banjir di halte bis, dan air banjir dalam sekali. Aku bersama dua orang yang sama sekali tidak aku kenal terjebak di tempat itu, kebingungan harus berbuat apa. Air menggenang melebihi lutut, jauh dari tempat tinggi. Arus air menderas, mengerikan. Beruntung ada petugas pemadam kebakaran yang menyelamatkan kami. Jika tidak bisa sehari semalam kami di sana.
Pengalaman berikutnya adalah, saat aku berjalan-jalan dengan teman, terjebak hujan besar, disertai angin dan butiran es. Kami menggunakan motor, dan tidak menemukan tempat berteduh. Kami terpaksa terus menerobos hujan yang begitu deras, dengan wajah yang sakit dihamtam butiran-butiran es, yang aku kira itu sama besarnya dengan butiran kelereng yang suka dimainkan oleh keponakan ku. Saat melintas persis di bawah pohon, angin bertiup begitu kencang, pohonnya tumbang, tepat hanya berjarak sekitr dua meter di bekalang kami. Beruntung Allah masih menyelamatkan kami saat itu. Sejak sat itu aku benar-benar merasa tidak nyaman ketika hujan turun. Takut dan boleh dibilang ada rasa trauma.
Tapi kini perlahan rasa takut itu sedikit demi sedikit berkurang. Aku mulai kembali berani menghadapi hujan. Walaupun tidak sepenuhnya merasa tenang seperti sebelum aku mengalami kejadian-kejadian yang cukup mengerikan. Seseorang berhasil menjadikan hujan sebagai kenangan yang begitu indah dalam hidupku. Kejadian itu takan pernah aku lupakan. Bahkan sampai kapanpun akan selalu aku ingat. Dan tahukah kalian, jika kejadian mengesankan itu aku alami saat aku merasa ketakutan dengan derasnya hujan, petir berkilatan, dan Guntur menggelegar mengerikan. Dialah  seseorang yang telah memberiku ketenangan dan rasa aman saat itu.
Dirga, sebelumnya kami bukan siapa-siapa. Hanya sebagai teman bahkan aku tak tahu hubungan kami itu aku beri judul apa. Usia kami terpaut sangat jauh, dua belas tahun. Beda jaman, beda kisah, jauh berbeda. Dirga boleh dibilang memiliki banyak pengalaman, ia telah melanglangbuana, sedangkan aku, aku baru lulus kuliah, yang masih berbau mahasiswa, belum punya pengalaman apa-apa. Apalagi soal kerjaan, aku nol. Aku tak tahu apa-apa. Karena semasa kuliah waktuku hanya aku habiskan dengan teman-teman satu kelas, satu tongkrongan, ya, sesekali aku ikut kegiatan- kegiatan yang diadakan oleh organisasi pencinta alam yang aku ikuti.
Saat itu usiaku baru 23. Dan Dirga 35 tahun. Usia yang cukup untuk menjadi seorang papah muda. Tapi entah kenapa Dirga belum menikah. Aku tak mau mencari tahu soal hal itu. Bahkan akhir-akhir ini aku sering berharap bahwa Dirga tidak menikah dengan orang lain sekalipun, tapi ia harus menikah dengan…Aku. Hm… fikiran gila, tapi memang begitu, sejak kejadian dalam hujan itu aku seolah menemukan sosok yang sempurna di mata dan hatiku. Dirga dewasa, melindungi, pengertian, dan, ah, kamu yang sejenis denganku pasti kalau bertemu Dirga dan kenal dekat dengan dia pasti ikut-ikutan jatuh cinta seperti aku. Eh, jatuh cinta? Iya, aku telah jatuh cinta pada Dirga, sudah lama, dan sudah sangat lama. Walaupun kisah ku bersama Dirga tidak happy Ending.
Oiya, bagaimana cerita tentang hujan bersama Dirga yang aku alami? Biar aku ceritakan. Begini ceritanya.
Aku masih ingat, saat itu hari rabu tanggal berapanya aku lupa, yang jelas itu bulan Januari. Sama-sama musim hujan hampir setahun yang lalu. Malam hari lagi-lagi aku hanya sendiri di rumah. Hujan turun deras sekali. Seperti kebanyakan cewek galau, akupun update status di BBM. “Hujan deras, mengerikan, Plis, lindungi aku ya Rabb”. Satu nomor pin invite, aku terima. Aku kira siapa, ternyata itu tetanggaku Dirga. Kali itu aku biasa aja, eh, gak diiiing… ada perasaan senang yang entah kenapa.
Dirgantara           : “PING!!”
Dindanaya           :“Iya”
Dirgantara           :“Kenapa malam-malam belum tidur nenk…?”
Dindanaya           :“Itu Kak Dirga juga kenapa belum tidur?”
Dirgantara           :“Oiya makasih udah acc”
Dindanaya           :“Iya sama2… makasih juga udah invite ;-)”
     “Dapet dari mana pin Dinay?”
Dirgantara           :“Ada deeeh… :D”
Dindanaya           :”Ikh, yasud… ”
Dirgantara           :”:-D :-D Yadah… cepet bobo!”
Dindanaya           :” Iya kak…”
Malam itu berjalan tidak seperti biasa. Terasa panjang dan lama. Mataku begitu susah terpejam. Jempolku gereget, ingin mengetik lagi sesuatau untuk Dirga, tapi hati tidah mengizinkan, “Malu”, “Ngapain?”, “Jangan keganjenan!”, dst, dst, dll…. Begitu hatiku bilang.
Entah aku tidur jam berapa malam itu. Pagi hari, Kamis, tanggalnya aku lupa lagi, Dirga mengirim lagi pesan BBM, ia bertanya apa aku ada waktu?. Lho, kok bisa? Ah… betapa aku bahagia. Kali itu memang aku tak ada rencana apa-apa. Dirga memintaku menemui nya di sebuah tempat makan yang tidak jauh dari tempat tinggal kami, jam 11. Aku segera bersiap-siap. Entah dorongan apa yang membuat aku begitu bersemangat.
Jam 10 aku hampir siap. Tapi kalian tahu? Hujan turun begitu derasnya. Membuatku kecewa. Baju yang sudah aku siapkan dan aku kenakan untuk pergi, kusut lagi. Aku mondar-mandir tak karuan. Menunggu hujan yang ku harap segera reda. Tapi hampir jam 11 hujan tak jua reda.
Dirgantara           : “PING!!”
                               “Lagi apa hey!”
                               “Di mana?”
Dindanaya           :”Masih di rumah… Hujannnnn… :-( ”
Dirgantara           :”Euh… di sini padahal enggak lho”
Dindanaya           :”Send pic (poto hujan deras)”
Dirgantara           :”o… yasud… gapapa… lain kali mungkin bisa. Aku lanjutin kerja lagi aja ya…”
Dindanaya           :”Iya… maaf ya…”
Dirgantara           :”Gappaa… ”
Hari itu aku lupa, apa yang aku lakukan selanjutnya di rumah setelah berganti pakaian kembali menggunakan pakaian santai.
**
Beberapa hari berikutnya. Di tempat aku magang kerja, lagi-lagi aku mendapatkan pesan BBM. Dirga bertanya aku pulang jam berapa. Dia berniat menebus janji makan bareng nya yang waktu itu batal gara-gara hujan. Aku mengiyakan. Pulang jam 16.00.
Jam 16.00 Mobil Dirga telah terparkir di area parkir tempat aku magang. Senyumnya begitu manis, ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih warna kesukaanku. Lengan nya dilipat sampai bagian sikut, celana jeans biru. Sangat cassual. Rambutnya rapi. Ah... Dirga, ganteng sekali. Ia menyambutku dengan sapaan yang begitu riang dan hangat. Sementara aku, saat itu aku sebaliknya dari Dirga, aku kusut, berantakan dengan seragam kerja ku. Tadi sebelum keluar dari tempat kerja aku hanya sempat merapihkan rambut dan membubuhkan sedikit bedak di wajah. Dirga mempersilahkan aku duduk di sebelahnya. Saat itu aku benar-benar salah tingkah. Merasa tak enak hati, karena jangan-jangan tempat duduk itu tempat duduk nya siapa. Seseorang yang mungkin selalu menemani Dirga kemana-mana.
“Kok melamun…?” Suara Dirga mengagetkanku. Tak terasa mobil telah melaju, bertolak ratusan meter dari halaman parkir tempatku bekerja.
“Eh, gapapa kok” aku beringsut membetulkan posisi duduk yang sebenarnya tak perlu dibetulkan. (Mungkin).
“Mau kemana kita?” Dirga bertanya. Aku taka bisa menjawab. Selain menggelengkan kepala.
“Hey, kamu itu pendiem ya ternyata. Padahal di komplek kamu kelihatan lincah banget” kalimat itu Dirga ucapkan diiringi dengan tawa yang sepertinya enak sekali. Aku hanya manyun. Gak setuju.
“Siapa bilang aku lincah kakak? Nah lho… ketahuan suka perhatiin Dinay ya… hehe”
“Kalo iya kenapa?” Jawaban Dirga singkat, membuat dadaku terhenyak. Apa iya Dirga suka merhatiin aku? “Jangan ge er Dinay… Itu Cuma bercanda!” bisik hatiku.
“Kita Makan di sana aja ya…” Dirga memutar kemudi. Membelokkan mobil ke tempat makan yang dituju. Aku mengankat bahu. ‘Terserah, Aku setuju saja’.
Kami duduk ti tempat makan lesehan. Menghadap ke kolam ikan. Ikan nya banyak, berwarna merah dan orange. Kalo saja aku bawa keponakan ku ke sini pasti ia tak akan mau pulang ingin terus diam di sana, memberi makan ikan-ikan. Dirga mempersilahkan aku memesan makanan. Ia pun demikian memesan beberapa makanan, makanan kecil dan minuman.
Sambil menunggu pesanan kami bercerita kesana kemari. Topik pembicaraan yang tak begitu penting berubah menjadi topik yang sangat hangat, menyenangkan. Di sana aku merasa baru mengenal Dirga yang sesungguhnya. Tetangga ku yang aku kira mengagumkan ternyata benar-benar lebih mengagumkan setelah aku bisa ngobrol sedekat itu. Ia banyak bercerita tentang pengalamannya di dunia kerja, tentang pengalaman kuliah nya, tentang hobi dan kecintaannya terhadap alam, naik gunung, panjat tebing, camping, dan yang lainnya. sekali lagi aku bilang, ia begitu hangat dan menyenangkan. Caranya bercerita membuat orang yang mendengarkannya merasa nyaman, pemilihan kata, kepandaian nya merangkai kaliamat, kebolehannya menyisipkan candaan dan kalimat-kalimat lucu, konyol, membuat gelak tawaku tak bisa ku tahan. Dirga memang mempesona. Ia pria supel, santai, namun tetap memiliki tujuan hidup yang hebat, yang ia perjuangkan dengan cara yang menurutku mengasikan. Aku juga melihat caranya bergaul di lingkungan begitu baik. Ia mampu bergaul dengan siapa saja, kalangan apa saja, anak kecil sampai ibu-ibu sekalipun tak ada yang tidak mengenal baik seorang Dirga.
Makanan sudah datang. Dirga beranjak dari tempat duduknya, hendak cuci tangan. Aku mengekor dari belakang. Tangan kami basahi, lalu Dirga mengambil cairan pencuci tangan, kemudian ia meraih tangan ku dan mencucinya. Deg! Ada semacam hantaman keras namun nikmat di dadaku. Aku tahu kali itu wajahku memerah. Pasti seperti tomat matang. Aku tak tahu rasa apa itu yang aku rasakan. Sementara Dirga, tak nampak sedikitpun rasa “apa-apa”. Dia tetap tenang dan santai.
Kami makan bersama. Berhadapan. Rasanya sulit sekali aku makan dan menghabiskannya jika harus makan berhadapan seperti itu. Sementara Dirga, Ia makan dengan lahap nya. Katanya “Lapar”. Memang orang yang satu ini begitu santai. Dan tahukah kalian? Justru sikapnya yang seperti itu yang benar-benar telah membuat aku merasa nyaman di dekat nya. Dirga…
Hujan turun rintik-rintik, dan semakin menderas seiring kami menghabiskan makanan. Bagiku suasana itu begitu indah, seperti film FTV romantis yang sering aku tonton di salah satu stasiun TV swasta. Setelah makan selesai, Dirga kembali bercerita ini itu. Tak jarang iapun bertanya tentang aku, kuliahku, pekerjaaaku, dan pertanyaan yang paling tidak aku sukai adalah pertanyaan tenyang pacar aku. Pacar aku yang sampai saat ini belum menunjukkan tanda-tanda keseriusannya untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih jauh. Ia masih asik dengan dunianya sendiri. Tapi aku juga sebenarnya belum terlalu ingin menikah. Usiaku baru 23 tahun. Masih jauh perjalanan. Aku masih ingin bekerja dulu sebelum akhirnya aku mengikatkan diri pada aturan seseorang. Aturan seorang suami.
Aku tak habis fikir, kenapa Dirga sendiri belum menikah di usianya yang sudah 35 tahun. Setelah aku ajukan pertanyaan soal hal itu, entah kenapa kali ini Dirga tidak lagi menjawab dengan candaan seperti biasanya. Mimik mukanya berubah menjadi sangat serius. Membuat aku sedikit menyesal telah mengajukan pertanyaan itu kepadanya. Tapi yasudahlah toh ia juga menjawabnya. Sudah terlanjur. Ada baiknya juga karena sebenarnya akupun ingin tahu alasan sebenarnya apa. Kepo dikit boleh ya… hehe.
“Din… Sebenarnya aku dulu punya pacar. Pacaran lama sekali sampai 7 tahun. Namun keluarganya tidak menyetujui hubungan kami gara-gara aku belum memiliki pekerjaan yang tetap. Kali itu aku masih belum selesai kuliah. Karena saking sayang dan cintanya aku kepadanya aku sampai bela-belain cuti kuliah dan mencari kerja. Setelah aku kerja aku datang lagi kepada keluarganya, namun keluarganya tetap menolakku. Mereka bilang butuh pria mapan dan berpendidikan. Sementara aku belum bergelar sarjana. Serba salah, aku masih belum kerja mereka tidak menerima, aku bekerja masih belum menerima juga. Segala macam cara aku lakukan untuk membuktikan keseriusanku. Tapi orangtua nya lebih memilih menikahkan anak gadisnya dengan seorang sarjana, yang entah, akupun tidah tahu apa dia benar-benar mapan atau tidak. Lambat laun aku semakin sadar, bahwa itu yang namanya bukan jodoh. Hahah…”
Dirga menghela nafas panjang mengenang masa lalu nya.
“Hm… kisah cinta yang menyedihkan”. Ledek ku. Tapi Dirga mengelak. Ia bilang kisah cintanya tidak setragis itu karena selama berhubungan dengan pacarnya itu Dirga sudah mencoba beberapa kali menjalani kisah lain. Tapi tidak berjalan lama. Dan sayang nya mereka cinta sementara tidak bisa menggantikan posisi pacarnya di hati Dirga. Kasian…
Kisah cinta yang diceritakan Dirga berikutnya. Ia bertemu dengan gadis cantik asal Surabaya. Gadis itu bernama Yuni. Satu-satunya gadis yang mampu menggantikan posisi pacar sebelumnya di hati Dirga. Keluarganya baik, welcome, lebih menghargai Dirga sebagai kekasih putrinya. Dirga merasa Gadis itulah yang kelak akan mendampingi hidupnya. Namun sayang sekali ia lebih memilih kuliah ke luar negeri daripada memenuhi ajakan Dirga untuk menikah. Yuni malah mengajukan pilihan, menunggu atau putus. Sedih yang tak berujung dalam hati Dirga menerima semua itu. Namun kesedihan-kesedihan itu ia kemas menjadi indah. Ia ubah menjadi semangat yang luat biasa. Setelah lulus kuliah ia focus bekerja. Bakerja keras, memapankan hidup. Demi melupakan bayang-bayang gadis Surabaya itu.
Cerita Dirga semakin mengharukan. Aku menyimak dengan sangat serius, tak mau ketinggalan sedikitpun cuplikan kisah Dirga. Hujan semakin menderas. Tak terasa sudah hampir 2 jam kami berdiam diri di tempat makan lesehan itu. Sudah hampir magrib. Dirga mengajakku untuk segera mengambil air wudhu di mushola yang tersedia di sana. Dia janji, setelah solat nanti akan mengantarku pulang. Ceritanya ditunda dulu.
Dengan hati yang masih penasaran, aku mengekor dari belakang. Mengikuti Dirga menuju tempat solat. Aku semakin kagum kepadanya. Bukan saja menyenangkan, Dirga tampan, sopan, soleh pula. Ah… Pria idaman.
Selesai solat magrib, kami pulang. Hujan yang deras disertai petir tak lagi aku takuti. Ada Dirga di sebelahku. Ia melindungiku dengan jaketnya. Lagi-lagi itu serasa mimpi. Mirip di filem FTV kan…? Kalian tahu? Lagi-lagi Dirga menggenggam tangan ku. Menuntunku agar aku tidak jatuh karena jalan yang kami lewati licin karena hujan.
Sampai di mobil. Dirga memberikan jaket kering.
“Pakai ini biar gak dingin. Maaf kalau sedikit bau. Hehe.”
Aku kenakan jaketnya. Ada aroma wangi yang khas. Kalau kalian tahu iklan parfum AXE, di sana aku membayangkan jika wangi itu berasal dari orangnya langsung yang memeluk aku. Ups…
Kaca mobil sampai gelap. Hujan terlalu deras. Dan di sana aku jujur kepada Dirga bahwa sebenarnya aku takut dengan hujan deras. Dirga dengan puasnya mentertawakanku. Tapi biarlah, toh kali itu aku sudah merasa tenang berada di dekatnya. Mobil melaju perlahan menembus banjir jalanan. Aku sempat khawatir jika saja mobil nya Dirga tiba-tiba mogok dan kami trjebak titengah-tengah banjir yang begitu deras. Bagaimana jika kami tak bisa pulang dengan selamat. Ah… fikiran tentang ketakutanku kepada hujan lagi-lagi datang.
Dirga terus menenangkanku bahwa semua akan baik-baik saja, dia bilang berdoa saja agar mesin mobilnya tidak terisi air dan tidak mogok. Aku mengangguk. Sesekali tangan Dirga memegang tanganku, yang masih menggigil kedinginan. Bajuku basah kuyup.
Kami dihadapkan dengan jalan yang banjirnya terlalu tinggi. Dirga memberhentikan mobilnya di pinggir jalan yang tidak terlalu banyak genangan air.
“Din, Sepertinya kita harus menunggu lalulintas agak lengang dulu. Biar mobilnya bisa lari”. Dirga menjelaskan jika mobilnya berjalan pelan dalam banjir, kemungkinan mesin terisi air lebih banyak dibandingkan dengan melaju dengan kecepatan tinggi. Aku hanya mengangguk-angguk. Mungkin benar juga.
“Mau dengar lagi kelanjutan ceritanya?” Dirga menatap mataku. Mataku berbinar. “Mau, mau, mau’.
Aku antusias mendengarkan. Dirga menghela nafas, memulai cerita.
“Yuni akhirna pergi ke Belanda melanjutkan kuliah S2. Aku di sini sendiri. Mencoba tetap setia kepadanya. Mau dikata apa, tak berharap pun aku tak bisa. Yuni selalu membayangi fikiranku. Tak pernah bisa terhapus waktu. Suatu hari, aku bekerja ke luar kota. Di kota itu aku bertemu dengan seseorang. Gadis yang sederhana, cukup cantik, walau aku yakin dia tidak secantik Yuni ku. Dia yang menumbuhkan harapan ku. Mungkin dengan dia aku bisa melupakan Yuni dengan perlahan. Namun tahu gak Din? Dia memiliki keluarga yang sangat agamis, aku berkunjung ke rumahnya dua kali, ketiga kalinya langsung ditantang menikah. Hm…” Lagi-lagi Dirga mengela nafas panjang.
“Lalu?” aku bertambah penasaran. Ada seseuatu yang terselip dalam hatiku. Semacam rasa sakit yang agak terlalu. Semacam rasa kecewa yang agak terlalu. Aku sebetulnya tak mau mendengarkan kelanjutajn cerita nya. Aku tak mau jika kemudian Dirga menikah dengan gadis itu yang entah aku tak tahu, siapa dan seperti apa rupanya.
“Kali ketiga aku ke sana, aku kembali ditanyai oleh keluarganya. Mereka bilang, jika bukan untuk menikah, maka aku tak usah datang lagi ke sana Din..”
“Lalu?” lagi-lagi aku antusias. Penasaran ingin mendengar kelanjutannya, dan berharap Dirga menolak semua itu. Dan kemudian aku bilang tiba-tiba “Sama aku aja…”. Ah.. tapi…
“Usiaku sudah banyak Din… Kali ke empat, aku datang bersama keluargaku, dan aku menghitbahnya”.
Hujan yang tanpa aku sadari sudah mulai mengecil, kini berpindah hujan di hatiku. Sangat deras disertai petir Guntur, dan bahkan angin putingbeliung. Menggoyahkan kokohnya hatiku. Dirga… Aku tak rela. Sumpah!
Kalian tahu? Sejak pertama aku ketemu dengan Dirga sebagai tetangga aku sudah lama mengaguminya. Bahkan mungkin diam-diam aku sudah jatuh cinta. Dan kali ini saat baru saja aku merasa Dirga menjawab semua perasaanku, ia malah menceritakan hal yang sesungguhnya tak ingin aku dengar sama sekali. Plis Dirga… Bisa gak, jika hal itu tak usah kamu ceritakan kepadaku? Izinkan aku merasakan kenyamanan ini berkepanjangan… Sumpah aku serius, aku jatuh cinta kepadamu. Plis.. jangan menikah dengan dia. Aku menangis tanpa air mata. Habis-habisan. Dan benar-benar habis-habisan aku menahan bibir supaya aku tidak sampai terisak dan agar air mataku tidak sampai tumpah. Aku tak mau Dirga tahu apa yang aku rasa. Memangnya mau diapakan, semua sudah terlanjur. Dirga sudah terlanjur meminang Gadis itu.
“Din…” Tangan Dirga menyentuh lembut tanganku.
“Iya Kak…” Aku mendongak. Mencoba menatap wajah Dirga di bawah lampu Jalanan yang tidak terlalu terang.
“Kenapa kamu datang terlambat?”
“Maksud kak Dirga?”
“Kenapa kamu datang setelah aku membuat keputusan?”
Air mataku menetes, akhirnya pertahananku roboh juga. Tangan lembut Dirga menyapu airmata di pipiku. Ia membenamkanku kedalam pelukan hangatnya. Hangat dan nyaman sekali. Cukup menenangkan hatiku yang sedang kecewa. Setidaknya kali itu aku tahu, jika Dirga memiliki rasa yang sama.
“Din… Pertama kali aku melihat kamu pindahan menjadi tetangga baruku. Aku sudah merasa punya perasaan yang berbeda sama kamu. Tapi saat itu aku malu. Aku melihat kamu cuma sebagai seorang gadis ingusan. Mahasiswi yang masih asik main-main, dan siapa itu, pacar kamu yang sering anterin kamu pulang? Aku sering memperhatikan bahwa kalian itu gak cocok Din…”
Dirga tak melepaskan pelukannya.
“Kak… kenapa kakak gak bilang dari dulu? Kakak tahu? Sejak lama Dinay juga suka sama kakak. Tapi memang usia kita terpaut jauh. Kakak sepertinya terlalu sibuk bekerja, susah aku sapa. Kakak sangat dewasa, sedangkan aku tidak. Aku baru lulus kuliah dan kakak sudah sangat banyak makan asam garam kehidupan. Aku bisa apa? Aku fikir kakak gak akan mau perhatiin aku…”
Tangis ku kembali terisak. Kali itu sampai membuat bahuku berguncang. Dirga menggelus rambutku. Kemudian melepaskan pelukannya. Lalu…
“Din… “ matamya menatap ku dlam-dalam, sangat dalam, sampai menusuk ke dasar kalbuku. Begitu kira-kira ungkapan yang tepat untuk keadaan seperti itu. Aku tak bisa menjawab dengan kata-kata.
“Enam bulan lagi kakak harus menikah” Lagi-lagi petir menggelegar menghantam hatiku. Ya Tuhan… Aku tak sanggup, aku tak mau, aku tak rela, aku… aaarrrrggggh Dirga…
“Entah itu cinta atau bukan, tapi sejak aku memutuskan untuk menghitbah dia, aku sudah yakinkan hati ini jika ia adalah calon istriku. Aku akan hidup dengan nya. Seseorang yang sebenarnya tak aku kenal baik sebelumnya….” Pandangan Dirga kosong. Akupun tak tahu apa sebenarnya yang ia rasakan saat itu. Aku tak habis fikir, kenapa bisa? Bisa saja kan ia batalkan semuanya? Toh kan belum menikah?.
Tapi tidak dengan Dirga. Dia adalah laki-laki yang selalu bertanggungjawab dengan janjinya. Dan kalian tahu, hal itu pula yang membuat rasa cintaku semakin kuat kepadanya. Walau bukan janji untuk ku, Tapi aku dibuatnya kagum akan kekukuhan nya menjaga janjinya itu. Antara rela dan tidak, ah, entah perasaan apa itu, aku mengucapkan sesuatu kepada nya. Kepada Dirgaku yang aku sayang, yang aku cinta.
“Kak… jika kakak sudah yakin, maka menikahlah. Hati tak pernah berbohong. Jika Kakak yakin, maka yakinilah jika itu adalah jodoh terbaik untuk kakak…”
Seakan menelan sembilu, perih sekali. Seolah terhantam batu besar, sakit sekali, seolah tersedak sendok di kerongkongan, sesak sekali… Kalian mungkin bisa membayangkan betapa hatiku saat itu. BETAPA!.
Dirga tersenyum mendengar kalimatku. Dia kembali mengelus rambutku.Dan kali itu iya menambahkan sesuatu. Membubuhkan sesuatu di keningku. Yang seumur hidup takan pernah aku lupakan. Dirga mencium keningku, memelukku dengan erat. Lalu…
“Din… Terimakasih… Kamu memang hebat. Tak sia-sia aku memiliki perasaan hebat untuk mu. Sayang sekali kamu datang terlambat…”
Aku mendongak. Melepaskan pelukan.
“Perasaan hebat?”
“Iya Din… Aku sayang kamu”
Ya Tuhan… Kenapa keadaanya harus seperti ini? Kenapa aku harus mendengar kenyataan manis di atas kenyataan yang begitu pahit. Aku berusaha tersenyum. Walau susah payah. Ada ketenangan yang luar biasa saat aku mendengar pengakuannya. Dan ada kesakitan yang juga luar biasa saat aku tahu dan menyadari, jika Dirgaku milik orang lain.
Jam 7 malam, hujan mereda. Mobil melaju membelah jalanan yang masih tergenang banjir. Kami diam tanpa kata. Dengan fikiran masing-masing. Dengan percakapan dan perdebatan dalam hati masing-masing.
Sesampainya di depan rumah. Dirga tersenyum dan bilang ‘terimakasih Dinay untuk hari ini'.
**
Enam bulan berlalu. Aku menyaksikan Kak Dirga bersanding di pelaminan. Istrinya yang anggun solehah. Sangat beruntung mendapatkan Dirga. Ya, Dirgaku sayang. Yang seharusnya bertemu lebih awal dengan ku, yang seharusnya berdampingan denganku di pelaminan saat itu. Setelah bersalaman dan mengucapkan ucapan selamat, aku tak kuat berada lama-lama di pesta penikahannya. Aku pulang dengan dada yang sangat sakit, sesak. Aku mengurung diri dikamar, bantalku basah tergenang banjir air mata.
Bulan berlalu, aku masih bertetangga dengan Dirga, hampir setiap pagi aku harus menelan ludah, menahan sakit, menyaksikan Dirga mengantar istrinya berangkat kerja. Atau sekedar mengantar istrinya berbelanja, menggunakan mobil atau motor. Aku tak tahu ini akan sampai kapan. Kenapa Dirgaku tidak pindah rumah saja? Kenapa harus tinggal di sini? Kenapa harus menyakiti aku setiap hari?
Bulan lalu, Dirga dan istrinya yang sangat ramah berpamitan kepada semua tetangga jika ia akan pindah rumah mendekati tempat istrinya bekerja. Aku sedikit lega, setidaknya aku tak akan lagi melihatnya berboncengan atau duduk berdua di mobil melintas di depan rumah ku.
Kini aku jarang bertemu dengannya. Namun ketahuilah cinta ini tetap kekal dalam hati. Aku berusaha mencintainya dengan tulus tanpa harus terobsesi memiliki. Seperti dia yang telah berhasil mencintai dengan tulus perempuan yang sebelumnya tidak dia cintai.
Tak ada lagi yang membuatku bahagia selain mendengar kabar bahagia darinya. Dan satu lagi yang sampai kapanpun selalu membuat aku bahagia yaitu, datang nya hujan. Karena hujan, episode terbaik dan terindah aku bersama Dirga tercipta. Semoga engkau selalu bahagia Dirga ku sayang…
***
  

Share/Bookmark

7 comments: