Yang aku tak habis fikir, kenapa sampai saat ini aku masih
mengharapkanmu, Padahal sebelumnya kamu tak pernah hadir dalam hidupku. Yang
aku tak habis fikir, kenapa aku masih sangat menyayangimu padahal kini kamu
bersama orang lain. Yang aku tak habis fikir adalah, kenapa sampai saat ini aku
selalu yakin, bahwa di hatimu ada tersimpan namaku. Tersimpan rapi kisah kita,
aku, kau dan hujan.
Hujan begitu deras. Angin
berhembus kencang. Pohon-pohon meliuk-liuk kesana kemari, seolah kerepotan
menahan beban terpaan angin yang begitu kencang. Aku sedikit merasa takut.
Bagaimana tidak, betapa banyak, eh, maksudku ada beberapa kejadian mengerikan
yang pernah aku alami saat hujan. Sendirian di rumah saat hujan deras disertai
angin topan, dan aku kepanikan karena beberapa genting rumah copot
berterbangan, beberapa pot bunga terbang berputar-putar tertiup angin kencang.
Air hujan masuk rumah, akibatnya di dalam rumah banjir, air menggenang di
mana-mana. Beberapa tetangga berteriak karena rumah nya mengalami
kerusakan-kerusakan yang lumayan parah. Hari itu benar-benar hari yang
mengerikan.
Pengalaman mengerikan kedua saat
hujan adalah, ketika terjebak banjir di halte bis, dan air banjir dalam sekali.
Aku bersama dua orang yang sama sekali tidak aku kenal terjebak di tempat itu,
kebingungan harus berbuat apa. Air menggenang melebihi lutut, jauh dari tempat
tinggi. Arus air menderas, mengerikan. Beruntung ada petugas pemadam kebakaran
yang menyelamatkan kami. Jika tidak bisa sehari semalam kami di sana.
Pengalaman berikutnya adalah,
saat aku berjalan-jalan dengan teman, terjebak hujan besar, disertai angin dan
butiran es. Kami menggunakan motor, dan tidak menemukan tempat berteduh. Kami
terpaksa terus menerobos hujan yang begitu deras, dengan wajah yang sakit
dihamtam butiran-butiran es, yang aku kira itu sama besarnya dengan butiran
kelereng yang suka dimainkan oleh keponakan ku. Saat melintas persis di bawah
pohon, angin bertiup begitu kencang, pohonnya tumbang, tepat hanya berjarak
sekitr dua meter di bekalang kami. Beruntung Allah masih menyelamatkan kami
saat itu. Sejak sat itu aku benar-benar merasa tidak nyaman ketika hujan turun.
Takut dan boleh dibilang ada rasa trauma.
Tapi kini perlahan rasa takut itu
sedikit demi sedikit berkurang. Aku mulai kembali berani menghadapi hujan.
Walaupun tidak sepenuhnya merasa tenang seperti sebelum aku mengalami
kejadian-kejadian yang cukup mengerikan. Seseorang berhasil menjadikan hujan
sebagai kenangan yang begitu indah dalam hidupku. Kejadian itu takan pernah aku
lupakan. Bahkan sampai kapanpun akan selalu aku ingat. Dan tahukah kalian, jika
kejadian mengesankan itu aku alami saat aku merasa ketakutan dengan derasnya
hujan, petir berkilatan, dan Guntur menggelegar mengerikan. Dialah seseorang yang telah memberiku ketenangan dan
rasa aman saat itu.
Dirga, sebelumnya kami bukan
siapa-siapa. Hanya sebagai teman bahkan aku tak tahu hubungan kami itu aku
beri judul apa. Usia kami terpaut sangat jauh, dua belas tahun. Beda jaman,
beda kisah, jauh berbeda. Dirga boleh dibilang memiliki banyak pengalaman, ia
telah melanglangbuana, sedangkan aku, aku baru lulus kuliah, yang masih berbau
mahasiswa, belum punya pengalaman apa-apa. Apalagi soal kerjaan, aku nol. Aku
tak tahu apa-apa. Karena semasa kuliah waktuku hanya aku habiskan dengan
teman-teman satu kelas, satu tongkrongan, ya, sesekali aku ikut kegiatan-
kegiatan yang diadakan oleh organisasi pencinta alam yang aku ikuti.
Saat itu usiaku baru 23. Dan
Dirga 35 tahun. Usia yang cukup untuk menjadi seorang papah muda. Tapi entah
kenapa Dirga belum menikah. Aku tak mau mencari tahu soal hal itu. Bahkan
akhir-akhir ini aku sering berharap bahwa Dirga tidak menikah dengan orang lain
sekalipun, tapi ia harus menikah dengan…Aku. Hm… fikiran gila, tapi memang
begitu, sejak kejadian dalam hujan itu aku seolah menemukan sosok yang sempurna
di mata dan hatiku. Dirga dewasa, melindungi, pengertian, dan, ah, kamu yang
sejenis denganku pasti kalau bertemu Dirga dan kenal dekat dengan dia pasti
ikut-ikutan jatuh cinta seperti aku. Eh, jatuh cinta? Iya, aku telah jatuh
cinta pada Dirga, sudah lama, dan sudah sangat lama. Walaupun kisah ku bersama
Dirga tidak happy Ending.
Oiya, bagaimana cerita tentang
hujan bersama Dirga yang aku alami? Biar aku ceritakan. Begini ceritanya.
Aku masih ingat, saat itu hari
rabu tanggal berapanya aku lupa, yang jelas itu bulan Januari. Sama-sama musim
hujan hampir setahun yang lalu. Malam hari lagi-lagi aku hanya sendiri di
rumah. Hujan turun deras sekali. Seperti kebanyakan cewek galau, akupun update
status di BBM. “Hujan deras, mengerikan, Plis, lindungi aku ya Rabb”. Satu
nomor pin invite, aku terima. Aku kira siapa, ternyata itu tetanggaku Dirga.
Kali itu aku biasa aja, eh, gak diiiing… ada perasaan senang yang entah kenapa.
Dirgantara : “PING!!”
Dindanaya :“Iya”
Dirgantara :“Kenapa malam-malam belum tidur nenk…?”
Dindanaya :“Itu Kak Dirga juga kenapa belum tidur?”
Dirgantara :“Oiya makasih udah acc”
Dindanaya :“Iya sama2… makasih juga udah invite ;-)”
“Dapet dari mana pin Dinay?”
Dirgantara :“Ada deeeh… :D”
Dindanaya :”Ikh, yasud… ”
Dirgantara :”:-D :-D Yadah… cepet bobo!”
Dindanaya :”
Iya kak…”
Malam itu berjalan tidak seperti
biasa. Terasa panjang dan lama. Mataku begitu susah terpejam. Jempolku gereget,
ingin mengetik lagi sesuatau untuk Dirga, tapi hati tidah mengizinkan, “Malu”, “Ngapain?”,
“Jangan keganjenan!”, dst, dst, dll…. Begitu hatiku bilang.
Entah aku tidur jam berapa malam
itu. Pagi hari, Kamis, tanggalnya aku lupa lagi, Dirga mengirim lagi pesan BBM,
ia bertanya apa aku ada waktu?. Lho, kok bisa? Ah… betapa aku bahagia. Kali itu
memang aku tak ada rencana apa-apa. Dirga memintaku menemui nya di sebuah tempat
makan yang tidak jauh dari tempat tinggal kami, jam 11. Aku segera bersiap-siap.
Entah dorongan apa yang membuat aku begitu bersemangat.
Jam 10 aku hampir siap. Tapi
kalian tahu? Hujan turun begitu derasnya. Membuatku kecewa. Baju yang sudah aku
siapkan dan aku kenakan untuk pergi, kusut lagi. Aku mondar-mandir tak karuan. Menunggu hujan
yang ku harap segera reda. Tapi hampir jam 11 hujan tak jua reda.
Dirgantara : “PING!!”
“Lagi apa hey!”
“Di mana?”
Dindanaya :”Masih di rumah… Hujannnnn… :-( ”
Dirgantara :”Euh… di sini padahal enggak lho”
Dindanaya :”Send pic (poto hujan deras)”
Dirgantara :”o… yasud… gapapa… lain kali mungkin bisa. Aku lanjutin
kerja lagi aja ya…”
Dindanaya :”Iya… maaf ya…”
Dirgantara :”Gappaa… ”
Hari itu aku lupa, apa yang aku
lakukan selanjutnya di rumah setelah berganti pakaian kembali menggunakan pakaian
santai.
**
Beberapa hari berikutnya. Di
tempat aku magang kerja, lagi-lagi aku mendapatkan pesan BBM. Dirga bertanya
aku pulang jam berapa. Dia berniat menebus janji makan bareng nya yang
waktu itu batal gara-gara hujan. Aku mengiyakan. Pulang jam 16.00.
Jam 16.00 Mobil Dirga telah
terparkir di area parkir tempat aku magang. Senyumnya begitu manis, ia mengenakan kemeja lengan panjang berwarna putih warna kesukaanku. Lengan nya dilipat sampai bagian sikut, celana jeans biru. Sangat cassual. Rambutnya rapi. Ah... Dirga, ganteng sekali. Ia menyambutku
dengan sapaan yang begitu riang dan hangat. Sementara aku, saat itu aku sebaliknya dari Dirga, aku kusut, berantakan dengan seragam kerja ku. Tadi sebelum keluar dari tempat kerja aku hanya sempat merapihkan rambut dan membubuhkan sedikit bedak di wajah. Dirga
mempersilahkan aku duduk di sebelahnya. Saat itu aku benar-benar salah tingkah.
Merasa tak enak hati, karena jangan-jangan tempat duduk itu tempat duduk nya
siapa. Seseorang yang mungkin selalu menemani Dirga kemana-mana.
“Kok melamun…?” Suara Dirga
mengagetkanku. Tak terasa mobil telah melaju, bertolak ratusan meter dari
halaman parkir tempatku bekerja.
“Eh, gapapa kok” aku beringsut
membetulkan posisi duduk yang sebenarnya tak perlu dibetulkan. (Mungkin).
“Mau kemana kita?” Dirga
bertanya. Aku taka bisa menjawab. Selain menggelengkan kepala.
“Hey, kamu itu pendiem ya
ternyata. Padahal di komplek kamu kelihatan lincah banget” kalimat itu Dirga
ucapkan diiringi dengan tawa yang sepertinya enak sekali. Aku hanya manyun. Gak
setuju.
“Siapa bilang aku lincah kakak?
Nah lho… ketahuan suka perhatiin Dinay ya… hehe”
“Kalo iya kenapa?” Jawaban Dirga
singkat, membuat dadaku terhenyak. Apa iya Dirga suka merhatiin aku? “Jangan ge
er Dinay… Itu Cuma bercanda!” bisik hatiku.
“Kita Makan di sana aja ya…”
Dirga memutar kemudi. Membelokkan mobil ke tempat makan yang dituju. Aku
mengankat bahu. ‘Terserah, Aku setuju saja’.
Kami duduk ti tempat makan lesehan.
Menghadap ke kolam ikan. Ikan nya banyak, berwarna merah dan orange. Kalo saja
aku bawa keponakan ku ke sini pasti ia tak akan mau pulang ingin terus diam di sana, memberi
makan ikan-ikan. Dirga mempersilahkan aku memesan makanan. Ia pun demikian
memesan beberapa makanan, makanan kecil dan minuman.
Sambil menunggu pesanan kami bercerita
kesana kemari. Topik pembicaraan yang tak begitu penting berubah menjadi topik yang
sangat hangat, menyenangkan. Di sana aku merasa baru mengenal Dirga yang
sesungguhnya. Tetangga ku yang aku kira mengagumkan ternyata benar-benar lebih
mengagumkan setelah aku bisa ngobrol sedekat itu. Ia banyak bercerita tentang
pengalamannya di dunia kerja, tentang pengalaman kuliah nya, tentang hobi dan
kecintaannya terhadap alam, naik gunung, panjat tebing, camping, dan yang
lainnya. sekali lagi aku bilang, ia begitu hangat dan menyenangkan. Caranya bercerita membuat orang
yang mendengarkannya merasa nyaman, pemilihan kata, kepandaian nya merangkai
kaliamat, kebolehannya menyisipkan candaan dan kalimat-kalimat lucu, konyol,
membuat gelak tawaku tak bisa ku tahan. Dirga memang mempesona. Ia pria supel,
santai, namun tetap memiliki tujuan hidup yang hebat, yang ia perjuangkan
dengan cara yang menurutku mengasikan. Aku juga melihat caranya bergaul di
lingkungan begitu baik. Ia mampu bergaul dengan siapa saja, kalangan apa saja,
anak kecil sampai ibu-ibu sekalipun tak ada yang tidak mengenal baik seorang
Dirga.
Makanan sudah datang. Dirga
beranjak dari tempat duduknya, hendak cuci tangan. Aku mengekor dari belakang.
Tangan kami basahi, lalu Dirga mengambil cairan pencuci tangan, kemudian ia
meraih tangan ku dan mencucinya. Deg! Ada semacam hantaman keras namun nikmat
di dadaku. Aku tahu kali itu wajahku memerah. Pasti seperti tomat matang. Aku
tak tahu rasa apa itu yang aku rasakan. Sementara Dirga, tak nampak sedikitpun
rasa “apa-apa”. Dia tetap tenang dan santai.
Kami makan bersama. Berhadapan.
Rasanya sulit sekali aku makan dan menghabiskannya jika harus makan berhadapan
seperti itu. Sementara Dirga, Ia makan dengan lahap nya. Katanya “Lapar”.
Memang orang yang satu ini begitu santai. Dan tahukah kalian? Justru sikapnya
yang seperti itu yang benar-benar telah membuat aku merasa nyaman di dekat nya.
Dirga…
Hujan turun rintik-rintik, dan
semakin menderas seiring kami menghabiskan makanan. Bagiku suasana itu begitu
indah, seperti film FTV romantis yang sering aku tonton di salah satu stasiun TV swasta. Setelah makan selesai, Dirga kembali bercerita ini itu. Tak jarang
iapun bertanya tentang aku, kuliahku, pekerjaaaku, dan pertanyaan yang paling
tidak aku sukai adalah pertanyaan tenyang pacar aku. Pacar aku yang sampai saat
ini belum menunjukkan tanda-tanda keseriusannya untuk melanjutkan ke jenjang
yang lebih jauh. Ia masih asik dengan dunianya sendiri. Tapi aku juga
sebenarnya belum terlalu ingin menikah. Usiaku baru 23 tahun. Masih jauh
perjalanan. Aku masih ingin bekerja dulu sebelum akhirnya aku mengikatkan diri
pada aturan seseorang. Aturan seorang suami.
Aku tak habis fikir, kenapa Dirga
sendiri belum menikah di usianya yang sudah 35 tahun. Setelah aku ajukan pertanyaan
soal hal itu, entah kenapa kali ini Dirga tidak lagi menjawab dengan candaan
seperti biasanya. Mimik mukanya berubah menjadi sangat serius. Membuat aku
sedikit menyesal telah mengajukan pertanyaan itu kepadanya. Tapi yasudahlah toh
ia juga menjawabnya. Sudah terlanjur. Ada baiknya juga karena sebenarnya akupun
ingin tahu alasan sebenarnya apa. Kepo dikit boleh ya… hehe.
“Din… Sebenarnya aku dulu punya
pacar. Pacaran lama sekali sampai 7 tahun. Namun keluarganya tidak menyetujui
hubungan kami gara-gara aku belum memiliki pekerjaan yang tetap. Kali itu aku
masih belum selesai kuliah. Karena saking sayang dan cintanya aku kepadanya aku
sampai bela-belain cuti kuliah dan mencari kerja. Setelah aku kerja aku datang
lagi kepada keluarganya, namun keluarganya tetap menolakku. Mereka bilang butuh
pria mapan dan berpendidikan. Sementara aku belum bergelar sarjana. Serba
salah, aku masih belum kerja mereka tidak menerima, aku bekerja masih belum
menerima juga. Segala macam cara aku lakukan untuk membuktikan keseriusanku. Tapi
orangtua nya lebih memilih menikahkan anak gadisnya dengan seorang sarjana,
yang entah, akupun tidah tahu apa dia benar-benar mapan atau tidak. Lambat laun
aku semakin sadar, bahwa itu yang namanya bukan jodoh. Hahah…”
Dirga menghela nafas panjang
mengenang masa lalu nya.
“Hm… kisah cinta yang menyedihkan”.
Ledek ku. Tapi Dirga mengelak. Ia bilang kisah cintanya tidak setragis itu
karena selama berhubungan dengan pacarnya itu Dirga sudah mencoba beberapa kali
menjalani kisah lain. Tapi tidak berjalan lama. Dan sayang nya mereka cinta
sementara tidak bisa menggantikan posisi pacarnya di hati Dirga. Kasian…
Kisah cinta yang diceritakan Dirga
berikutnya. Ia bertemu dengan gadis cantik asal Surabaya. Gadis itu bernama
Yuni. Satu-satunya gadis yang mampu menggantikan posisi pacar sebelumnya di
hati Dirga. Keluarganya baik, welcome, lebih menghargai Dirga sebagai kekasih
putrinya. Dirga merasa Gadis itulah yang kelak akan mendampingi hidupnya. Namun
sayang sekali ia lebih memilih kuliah ke luar negeri daripada memenuhi ajakan
Dirga untuk menikah. Yuni malah mengajukan pilihan, menunggu atau putus. Sedih
yang tak berujung dalam hati Dirga menerima semua itu. Namun
kesedihan-kesedihan itu ia kemas menjadi indah. Ia ubah menjadi semangat yang
luat biasa. Setelah lulus kuliah ia focus bekerja. Bakerja keras, memapankan
hidup. Demi melupakan bayang-bayang gadis Surabaya itu.
Cerita Dirga semakin mengharukan.
Aku menyimak dengan sangat serius, tak mau ketinggalan sedikitpun cuplikan
kisah Dirga. Hujan semakin menderas. Tak terasa sudah hampir 2 jam kami berdiam
diri di tempat makan lesehan itu. Sudah hampir magrib. Dirga mengajakku untuk
segera mengambil air wudhu di mushola yang tersedia di sana. Dia janji, setelah
solat nanti akan mengantarku pulang. Ceritanya ditunda dulu.
Dengan hati yang masih penasaran,
aku mengekor dari belakang. Mengikuti Dirga menuju tempat solat. Aku semakin
kagum kepadanya. Bukan saja menyenangkan, Dirga tampan, sopan, soleh pula. Ah…
Pria idaman.
Selesai solat magrib, kami
pulang. Hujan yang deras disertai petir tak lagi aku takuti. Ada Dirga di
sebelahku. Ia melindungiku dengan jaketnya. Lagi-lagi itu serasa mimpi. Mirip
di filem FTV kan…? Kalian tahu? Lagi-lagi Dirga menggenggam tangan ku.
Menuntunku agar aku tidak jatuh karena jalan yang kami lewati licin karena
hujan.
Sampai di mobil. Dirga memberikan
jaket kering.
“Pakai ini biar gak dingin. Maaf
kalau sedikit bau. Hehe.”
Aku kenakan jaketnya. Ada aroma
wangi yang khas. Kalau kalian tahu iklan parfum AXE, di sana aku membayangkan
jika wangi itu berasal dari orangnya langsung yang memeluk aku. Ups…
Kaca mobil sampai gelap. Hujan
terlalu deras. Dan di sana aku jujur kepada Dirga bahwa sebenarnya aku takut
dengan hujan deras. Dirga dengan puasnya mentertawakanku. Tapi biarlah, toh
kali itu aku sudah merasa tenang berada di dekatnya. Mobil melaju perlahan
menembus banjir jalanan. Aku sempat khawatir jika saja mobil nya Dirga
tiba-tiba mogok dan kami trjebak titengah-tengah banjir yang begitu deras.
Bagaimana jika kami tak bisa pulang dengan selamat. Ah… fikiran tentang
ketakutanku kepada hujan lagi-lagi datang.
Dirga terus menenangkanku bahwa
semua akan baik-baik saja, dia bilang berdoa saja agar mesin mobilnya tidak
terisi air dan tidak mogok. Aku mengangguk. Sesekali tangan Dirga memegang
tanganku, yang masih menggigil kedinginan. Bajuku basah kuyup.
Kami dihadapkan dengan jalan yang
banjirnya terlalu tinggi. Dirga memberhentikan mobilnya di pinggir jalan yang
tidak terlalu banyak genangan air.
“Din, Sepertinya kita harus
menunggu lalulintas agak lengang dulu. Biar mobilnya bisa lari”. Dirga
menjelaskan jika mobilnya berjalan pelan dalam banjir, kemungkinan mesin terisi
air lebih banyak dibandingkan dengan melaju dengan kecepatan tinggi. Aku hanya
mengangguk-angguk. Mungkin benar juga.
“Mau dengar lagi kelanjutan
ceritanya?” Dirga menatap mataku. Mataku berbinar. “Mau, mau, mau’.
Aku antusias mendengarkan. Dirga
menghela nafas, memulai cerita.
“Yuni akhirna pergi ke Belanda
melanjutkan kuliah S2. Aku di sini sendiri. Mencoba tetap setia kepadanya. Mau
dikata apa, tak berharap pun aku tak bisa. Yuni selalu membayangi fikiranku.
Tak pernah bisa terhapus waktu. Suatu hari, aku bekerja ke luar kota. Di kota
itu aku bertemu dengan seseorang. Gadis yang sederhana, cukup cantik, walau aku
yakin dia tidak secantik Yuni ku. Dia yang menumbuhkan harapan ku. Mungkin
dengan dia aku bisa melupakan Yuni dengan perlahan. Namun tahu gak Din? Dia
memiliki keluarga yang sangat agamis, aku berkunjung ke rumahnya dua kali,
ketiga kalinya langsung ditantang menikah. Hm…” Lagi-lagi Dirga mengela nafas
panjang.
“Lalu?” aku bertambah penasaran.
Ada seseuatu yang terselip dalam hatiku. Semacam rasa sakit yang agak terlalu. Semacam
rasa kecewa yang agak terlalu. Aku sebetulnya tak mau mendengarkan kelanjutajn
cerita nya. Aku tak mau jika kemudian Dirga menikah dengan gadis itu yang entah
aku tak tahu, siapa dan seperti apa rupanya.
“Kali ketiga aku ke sana, aku
kembali ditanyai oleh keluarganya. Mereka bilang, jika bukan untuk menikah,
maka aku tak usah datang lagi ke sana Din..”
“Lalu?” lagi-lagi aku antusias.
Penasaran ingin mendengar kelanjutannya, dan berharap Dirga menolak semua itu. Dan
kemudian aku bilang tiba-tiba “Sama aku aja…”. Ah.. tapi…
“Usiaku sudah banyak Din… Kali ke
empat, aku datang bersama keluargaku, dan aku menghitbahnya”.
Hujan yang tanpa aku sadari sudah
mulai mengecil, kini berpindah hujan di hatiku. Sangat deras disertai petir Guntur,
dan bahkan angin putingbeliung. Menggoyahkan kokohnya hatiku. Dirga… Aku tak
rela. Sumpah!
Kalian tahu? Sejak pertama aku
ketemu dengan Dirga sebagai tetangga aku sudah lama mengaguminya. Bahkan
mungkin diam-diam aku sudah jatuh cinta. Dan kali ini saat baru saja aku merasa
Dirga menjawab semua perasaanku, ia malah menceritakan hal yang sesungguhnya
tak ingin aku dengar sama sekali. Plis Dirga… Bisa gak, jika hal itu tak usah
kamu ceritakan kepadaku? Izinkan aku merasakan kenyamanan ini berkepanjangan…
Sumpah aku serius, aku jatuh cinta kepadamu. Plis.. jangan menikah dengan dia.
Aku menangis tanpa air mata. Habis-habisan. Dan benar-benar habis-habisan aku
menahan bibir supaya aku tidak sampai terisak dan agar air mataku tidak sampai
tumpah. Aku tak mau Dirga tahu apa yang aku rasa. Memangnya mau diapakan, semua
sudah terlanjur. Dirga sudah terlanjur meminang Gadis itu.
“Din…” Tangan Dirga menyentuh
lembut tanganku.
“Iya Kak…” Aku mendongak. Mencoba
menatap wajah Dirga di bawah lampu Jalanan yang tidak terlalu terang.
“Kenapa kamu datang terlambat?”
“Maksud kak Dirga?”
“Kenapa kamu datang setelah aku
membuat keputusan?”
Air mataku menetes, akhirnya
pertahananku roboh juga. Tangan lembut Dirga menyapu airmata di pipiku. Ia
membenamkanku kedalam pelukan hangatnya. Hangat dan nyaman sekali. Cukup
menenangkan hatiku yang sedang kecewa. Setidaknya kali itu aku tahu, jika Dirga
memiliki rasa yang sama.
“Din… Pertama kali aku melihat
kamu pindahan menjadi tetangga baruku. Aku sudah merasa punya perasaan yang
berbeda sama kamu. Tapi saat itu aku malu. Aku melihat kamu cuma sebagai
seorang gadis ingusan. Mahasiswi yang masih asik main-main, dan siapa itu,
pacar kamu yang sering anterin kamu pulang? Aku sering memperhatikan bahwa
kalian itu gak cocok Din…”
Dirga tak melepaskan pelukannya.
“Kak… kenapa kakak gak bilang
dari dulu? Kakak tahu? Sejak lama Dinay juga suka sama kakak. Tapi memang usia
kita terpaut jauh. Kakak sepertinya terlalu sibuk bekerja, susah aku sapa.
Kakak sangat dewasa, sedangkan aku tidak. Aku baru lulus kuliah dan kakak sudah
sangat banyak makan asam garam kehidupan. Aku bisa apa? Aku fikir kakak gak
akan mau perhatiin aku…”
Tangis ku kembali terisak. Kali
itu sampai membuat bahuku berguncang. Dirga menggelus rambutku. Kemudian
melepaskan pelukannya. Lalu…
“Din… “ matamya menatap ku
dlam-dalam, sangat dalam, sampai menusuk ke dasar kalbuku. Begitu kira-kira
ungkapan yang tepat untuk keadaan seperti itu. Aku tak bisa menjawab dengan
kata-kata.
“Enam bulan lagi kakak harus
menikah” Lagi-lagi petir menggelegar menghantam hatiku. Ya Tuhan… Aku tak
sanggup, aku tak mau, aku tak rela, aku… aaarrrrggggh Dirga…
“Entah itu cinta atau bukan, tapi
sejak aku memutuskan untuk menghitbah dia, aku sudah yakinkan hati ini jika ia
adalah calon istriku. Aku akan hidup dengan nya. Seseorang yang sebenarnya tak
aku kenal baik sebelumnya….” Pandangan Dirga kosong. Akupun tak tahu apa
sebenarnya yang ia rasakan saat itu. Aku tak habis fikir, kenapa bisa? Bisa saja
kan ia batalkan semuanya? Toh kan belum menikah?.
Tapi tidak dengan Dirga. Dia
adalah laki-laki yang selalu bertanggungjawab dengan janjinya. Dan kalian tahu,
hal itu pula yang membuat rasa cintaku semakin kuat kepadanya. Walau bukan
janji untuk ku, Tapi aku dibuatnya kagum akan kekukuhan nya menjaga janjinya
itu. Antara rela dan tidak, ah, entah perasaan apa itu, aku mengucapkan sesuatu
kepada nya. Kepada Dirgaku yang aku sayang, yang aku cinta.
“Kak… jika kakak sudah yakin,
maka menikahlah. Hati tak pernah berbohong. Jika Kakak yakin, maka yakinilah
jika itu adalah jodoh terbaik untuk kakak…”
Seakan menelan sembilu, perih
sekali. Seolah terhantam batu besar, sakit sekali, seolah tersedak sendok di
kerongkongan, sesak sekali… Kalian mungkin bisa membayangkan betapa hatiku saat
itu. BETAPA!.
Dirga tersenyum mendengar
kalimatku. Dia kembali mengelus rambutku.Dan kali itu iya menambahkan sesuatu. Membubuhkan
sesuatu di keningku. Yang seumur hidup takan pernah aku lupakan. Dirga mencium
keningku, memelukku dengan erat. Lalu…
“Din… Terimakasih… Kamu memang
hebat. Tak sia-sia aku memiliki perasaan hebat untuk mu. Sayang sekali kamu
datang terlambat…”
Aku mendongak. Melepaskan
pelukan.
“Perasaan hebat?”
“Iya Din… Aku sayang kamu”
Ya Tuhan… Kenapa keadaanya harus
seperti ini? Kenapa aku harus mendengar kenyataan manis di atas kenyataan yang
begitu pahit. Aku berusaha tersenyum. Walau susah payah. Ada ketenangan yang
luar biasa saat aku mendengar pengakuannya. Dan ada kesakitan yang juga luar
biasa saat aku tahu dan menyadari, jika Dirgaku milik orang lain.
Jam 7 malam, hujan mereda. Mobil
melaju membelah jalanan yang masih tergenang banjir. Kami diam tanpa kata. Dengan
fikiran masing-masing. Dengan percakapan dan perdebatan dalam hati
masing-masing.
Sesampainya di depan rumah. Dirga
tersenyum dan bilang ‘terimakasih Dinay untuk hari ini'.
**
Enam bulan berlalu. Aku
menyaksikan Kak Dirga bersanding di pelaminan. Istrinya yang anggun solehah.
Sangat beruntung mendapatkan Dirga. Ya, Dirgaku sayang. Yang seharusnya bertemu
lebih awal dengan ku, yang seharusnya berdampingan denganku di pelaminan saat
itu. Setelah bersalaman dan mengucapkan ucapan selamat, aku tak kuat berada
lama-lama di pesta penikahannya. Aku pulang dengan dada yang sangat sakit,
sesak. Aku mengurung diri dikamar, bantalku basah tergenang banjir air mata.
Bulan berlalu, aku masih
bertetangga dengan Dirga, hampir setiap pagi aku harus menelan ludah, menahan sakit,
menyaksikan Dirga mengantar istrinya berangkat kerja. Atau sekedar mengantar
istrinya berbelanja, menggunakan mobil atau motor. Aku tak tahu ini akan sampai
kapan. Kenapa Dirgaku tidak pindah rumah saja? Kenapa harus tinggal di sini?
Kenapa harus menyakiti aku setiap hari?
Bulan lalu, Dirga dan istrinya
yang sangat ramah berpamitan kepada semua tetangga jika ia akan pindah rumah
mendekati tempat istrinya bekerja. Aku sedikit lega, setidaknya aku tak akan
lagi melihatnya berboncengan atau duduk berdua di mobil melintas di depan rumah
ku.
Kini aku jarang bertemu
dengannya. Namun ketahuilah cinta ini tetap kekal dalam hati. Aku berusaha
mencintainya dengan tulus tanpa harus terobsesi memiliki. Seperti dia yang
telah berhasil mencintai dengan tulus perempuan yang sebelumnya tidak dia
cintai.
Tak ada lagi yang membuatku
bahagia selain mendengar kabar bahagia darinya. Dan satu lagi yang sampai
kapanpun selalu membuat aku bahagia yaitu, datang nya hujan. Karena hujan, episode
terbaik dan terindah aku bersama Dirga tercipta. Semoga engkau selalu bahagia
Dirga ku sayang…
***
Nice....Goooooodddddd...👍
ReplyDelete👍👍
ReplyDeleteLove Rain...😊
ReplyDeleteLove Rain...��
ReplyDeletehihi... iyaaa... betul sekali. Banyak orang yang mungkin mengalami kisah cinta di antara rinai hujan. hihi
Deleteaku suka ceritanya
ReplyDeleteTerimakasih... :-)
ReplyDelete