Siang ini tak telalu terik, tak pula dingin. Sedang-sedang saja. Tapi entah kenapa fikiran ku rasanya tak tenang. Semacam ada kejenuhan yang luar biasa, dan aku tak tahu secara jelas apa penyebabnya. Jam 12.00 tepat jam istirahat kantor di mulai. Hatiku bersorak kegirangan. Aku bahagia, bisa segera meninggalkan ruangan. Dengan langkah gontai, ku langkahkan kakiku menuju tempat parkir.
Di dalam mobil, aku
tertegun, tak ada semangat untuk pergi kemanapun atau bahkan makan siang. Akhirnya
aku duduk tertegun dan memainkan telepon gengamku yang sejak tadi ku biarkan
bersembunyi di saku bajuku. Telepon genggamku. Sebuah handphone jadul berwarna
putih yang selalu setia menemaniku. Menjadi kawan di manapun dan kemanapun aku
pergi, benda itu tak pernah aku tinggalkan. Bahkan sekarang aku begitu takut
jika benda putih tersebut harus tertingal di rumah atau di tempat lain. Bagiku
hanphone itu sudah menjadi belahan jiwaku. Rekan bisnisku, bahkan telah menjadi
teman tidurku selama beberapa tahun terakhir ini. Ada sesuatu yang membuat aku
selalu behagia berada berlama-lama dengan benda putih itu, dimana seseorang
selalu menyapaku lewat benda itu. Ia yang selalu memotifasiku setiap akan
memulai hari, dan mengingatkan ku untuk sekedar makan atau beristirahat. Dan
baru aku sadar siang ini betapa aku merindukannya. Merindukan suaranya, pesan
BBM nya, bahkan aku mengharapkan kehadirannya. Tunggu, kenapa tidak akau telfon
saja dia ya? Hmm… sedang apakah dan dimanakan ia sekarang?
Aku coba mengetik
pesan BBM. Ia membalas, berjanji akan datang menemuiku. Hatiku senang bukan
kepalang. Aku putuskan untuk kembali keluar dari mobilku, menungu nya di sebuah
kedai minuman. Aku memesan semankuk mie instan pengganjal perut. Tak perlu
waktu lama semua isinya sudah pindah ke dalam perut ku. Dia yang ku tungu belum
juga datang, namun dada ini tak berhenti berdegup kencang sejak jawaban pesan
BBM nya tadi. Satu cup kecil juss jambu pun aku pesan, sebagai pengusir haus juga
sebagai tiket agar aku boleh berlama-lama duduk di tempat itu, sambil menungu
kedatangannya.
Tak lama kemudian
telepon genggamku berdering, dia menelfonku. Aku tak kuasa membendung senyum di
bibirku. Detak jantungku bertambah kencang.
“Hallo”
“Iya hallo… di mana?”
tanyanya singkat.
“Sini aja masuk ke
areal pertokoan ya… aku tunggu di depan kantor” jawabku dengan nada setengah
bergetar. Ku harap gadis ku tak mengetahuinya betapa getaran itu ada pada
suaraku. Namun tak sebanding dengan getaran yang ada di hatiku kini menungu
kedatangannya.
Tanganku melambai
ketika sosok perempuan berbadan mungil tampak mencari-cari seseorang dari
kejauhan. Matanya membinar ketika menangkap sosokku di kedai minuman. Lalu ia
menutup telefonnya, menghampiriku. Ia ku persilahkan duduk, lalu kami basa-basi
sebentar dan kemudian kami memutuskan untuk beranjak pergi dari sana. Aku lihat
kelelahan menggelayut di wajahnya. Kerja separuh hari mungkin cukup melelahkan
bagi seorang perempuan sepertinya.
Mobilku melaju
lambat. Jalanan penuh. Kendaraan berdesakkan merayap bagai keong sedang
berkampanye. Selain mengamati kendaraan yang berlalu-lalang, atau memandangi
para pengendara motor yang berboncengan dengan mesra, atau pengendara yang
masih pelajar dengan seragam putih abu-abu nya. Hhmm, tak ada yang terlalu
menarik sepanjang perjalannan. Hanya gadis di sebelahku yang sengaja aku
curi-curi pandang. Dan aku tahu, iapun melakukan hal yang sama. Hanya saja aku
harus tetap berkonsentrasi menyetir mobilku.
“Jadi kita mau kemana
ini?”
Mulut mungilnya
mengajukan pertayaan, tanpa berani memandangiku. Aku kembali mencuri pandang,
ia tampak cantik walau sekali lagi aku menangkap kelelahan di wajahnya. Gadis
di sebelahku yang akhir-akhir ini menyita perhatianku. Membuatku tak nyenyak
tidur. Kuhabiskan malam ku hampir semuanya untuk memikirkannya. Senyum nya,
suaranya, dan sapaan manjanya. Aku suka semuanya. Hanya sayang ia baru aku
temukan beberapa bulan belakangan ini. Kami berbeda masa. Usia kami terpaut
cukup jauh. 12 tahun. Aku 34 dan ia 22 tahun.Tapi entah kenapa, hati ku kini
terpaut kepadanya. Usia tak lagi menghalangi tumbuhnya rasa ini.
Demi mengusir
kelelahannya, aku memutuskan untuk mengajaknya makan. Ku fikir makan bakso bisa
mengusir kepenatan yang Nampak di wajah manisnya. Kami berhenti di depan kedai
bakso yang tempatnya lumayan nyaman. Tempat makannya berada di pelataran
menyerupai halaman rumah. Banyak pepohonan dan bunga di sana. Membuat suasana
semakin nyaman. Kami memilih tempat duduk yang menghadap ke jalan. Dari sana
kami bisa mengawasi orang-orang atau apapun yang berlalu-lalang di jalan.
“Maaf ya aku
terlambat datang, angkot nya banyak ngetem” ia beralasan.
“Tak apa…” nada
jawabanku datar sama datarnya dengan ekspresi wajah yang dia pasang siang ini.
“Kenapa cemberut
begitu?” ledek ku. Sejak dulu lami biasa saling ledek dan melontarkan candaan
sekena nya. Kami sudah biasa.
“Lagi mumet, bisa
jadi pendengar yang baik?”
Mata nya memandangiku
dengan keseriusan tingkat dewa. Aku geli melihatnya, tak pernah sebelumnya ia
seserius itu. Tapi aku tahu, sepertinya ia memang serius ingin bicara tentang
hal yang sangat rahasia, sekaligus sangat mengganggu ingatannya, dan mungkin
juga membuat sesak dadanya. Aku mengangguk. Kami memesan bakso. Ia yang tampak
tidak berselera memesan mie ayam. Dan aku yang kebetulan sudah kenyang hanya
memesan bakso kuah dalam.
Ia mengaduk-aduk
bumbu, kecap dan saus cabe, aku tak sabar ingin mendengarkan apa yang akan ia
ceritkan. Aku tak sabar ingin segera mengetahui apa yang saat itu telah
membebani fikirannya. Telingaku tak sabar untuk mendengarkan. Orang yang duduk
di hadapanku hanya menghela nafas panjang dan membuang muka. Rasa penasaran ku
bertambah besar. Ada apakah gerangan?
Aku mencoba meraih
tangannya, tangan yang selama ini selalu ku genggam saat ia menceritakan kisah
pilu hidupnya bersama kekasihnya, kisah pilu tentang keluarganya, tentang
apapun. Aku selalu ingin menguatkannya sekemampuanku. Aku tak ingin kehilangan
senyum manisnya, senyum simpul termanis yang pernah aku lihat. Entah kenapa
setiap kami berbagi cerita selalu ada perasaan hangat yang merasuki dada ku. Ia
adalah teman yang paling setia, sahabat yang paling baik, dan… kini aku sangat
berharap ia menjadi baian hidupku selamanya. Ah… entah kappa akan terwujud.
“Heiy… apa yang
mengangu fikiranmu? Berceritalah…” aku memohon. Genggaman tangannya tak ku
lepaskan sampai akhirnya ia protes dan bertanya, bagaimana kami bisa
menghabiskan bakso jika tangan kami berpegangan. Kamipun tertawa kecil dan
kemudian seketika raut wajahnya berubah muram kembali.
“Aku sudah tak tahan
dengan kehidupanku Mas…” pandangannya datar. Tangannya memutar sendok yang tak
jadi dipakai untuk menyendok mie nya.
“Kenapa? Bukankah
selama ini kehidupanmu terlihat begitu asik, menyenangkan, pasanganmu terlihat
begitu menyanyangimu, menghomatimu, melakukan apapun untuk mu? Bahakan aku iri
lho dengan kebersamaan kalian…”. Entah kenapa malah pengakuan itu yang keluar
dari mulutku.
“Ah… itu kan hanya
sisi luarnya saja. Sisi luar yang kamu dan termasuk orang-orang lihat. Di
dalamnya tak seindah itu. Malahan aku sangat ingin memutuskan hubungan ku
dengannya” lagi-lagi wajahnya menunjukkan keseriusan atas apa yang ia katakan.
“Aku tak nyaman lagi
Mas… Rasanya kerja keras dan usaha ku untuk membuat dia bahagia hanya sia-sia.
Aku merasa tak dihargai. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan kegiatannya,
seolah-olah aku ini tiada”. Tangannya meraih botol minuman lalu mereguknya
dalam-dalam. Seolah ia kehausan.
“Hhh.. aku jenuh Mas…
Aku ingin lari dari semua ini. Tapi kemana? Rasanya aku tak punya jalan lain.
Tak punya cara lain, kecuali aku harus menghadapinya. Terus menerus berkutat
dalam keseharian yang begitu monoton, tak memiliki warna. Bahkan aku merasa
jika pelangi hanya memiiki 3 warna. Hitam, putih, dan abu-abu. Ah, tak indah banget pokoknya mas… Aku bahkan tak tahu
akan jadi seperti apa hubungan kami ke depannya”
Aku mendengarkan.
Sambil sesekali melahap baksoku ku. Sedikit demi sedikit demi perutku yang
sudah terlalu penuh terisi tadi sebelum ia menemuiku.
Ia bercerita panjang
lebar tentang semua yang ia rasakan. Tentang perlakuan kekasihnya selama ini.
Tentang kesakitannya menjalani hubungan yang selama ini ia bina. Aku tak habis
fikir hal apakah yang membuatnya tetap bertahan sampai saat ini sehingga ia
masih siap setia dengan kekasihnya. Ingin aku merebutnya, menjaganya, dan tak
akan aku biarkan Yunita menangis lagi. Aku ingin menjadi sayap pelindungnya
setiap saat. Menjadi satu-satunya orang yang selalu siap meminjamkan bahu
untuknya bersandar, menjadi satu-satunya orang yang memiliki dada yang selalu
terbuka untuk memberikan pelukan saat ia membutuhkan perlindungan dan rasa
aman. Ah… Yunita… Andai saja…
Ku genggam lagi tangnnya
mencoba menenagkan nya.
“Sabar ya…”
Entah apa lagi yang
harus aku katakan. Selain kalimat itu, aku memintanya untuk bersabar. Bersabar
dari apa yang ia hadapi sekarang. Memintanya tegar dari apa yang sedang ia
alami sekarang. Walaupun ia tak bercerita secara mendetail, tapi aku fahah bagamana
kesakitannya, dan seberapa dalam luka di hatinya. Kenapa aku tahu? Karena ia
sahabatku, belahan hatiku. Dia yang selama ini selalu mendengarkan keluhkesah
ku tentang apapun, dan mengenai hal apapun. Termasuk hari ini sebenarnya ingin
sekali aku membagi sebuah luka. Sebuah cerita yang mungkin sama pilunya dengan
yang ia alami. Sama menyakitkannya dengan apa yang telah ia ceritakan . Tapi
aku tak tega menambah bebannya, cukup aku yang mengetahui beban dalam hatinya.
Tak akan aku tambahkan kepenatan dan kesedihannya.
Mungkin untuk saat
ini semangkuk bakso cukup mengurangi kegundahanku. Dan bertemu dengannya cukup
mengobati kerinduanku. Mengenggam tangannya saja cukup membuat ku tenang. Walaupun
aku berharap iapun mendapatkan kekuatan dari gengaman tanganku saat ini.
Wajahnya makin
mengkerut, tapi kemudian ia menghempaskan nafas yang panjang. Seolah selembar
beban hilang dari pundak dan fikirannya. Lalu ia memandang ke arah ku. Tepat di
mataku. Pandangan mata ini yang sering tak dapat aku elakkan. Aku menyukainya.
Dari dulu aku selalu memujinya, kerlingan matanya indah banyak menarik lawan
jenis. Ia akhirnya tersenyum. Sebuah lengkung indah tercipta di bibir manisnya.
Gadisku kembali menghela nafas panjang, lalu mengatakan sesuatu yang begitu
menyejukkan hati ku.
“Mas… sebenarnya aku
ingin bercerita lebih banyak lagi, tapi aku tak mau membuatmu ikut-ikutan
bersedih. Aku tahu mas suka khawatirin aku, makanya aku gak akan terlalu banyak
cerita. Segitu yang tadi aja cukup. Terimakasih sudah menjadi pendengar paling
setia ya Mas…”
Aku tersenyum, Tanganku
mencubit lembut pipinya. Ada sesuatu berderir hangat di dada ku. Pipinya
memerah, ia menunduk malu, tapi ia mencoba mengalihkan perhatian. Segera diraihnya
botol minuman dan mereguknya hingga habis.
Sejenak mataku
terpejam. Hatiku berbicara banyak di sana. Ya, hanya sebatas dalam isi hatiku
saja. Tanpa bisa aku unkapkan, tanpa bisa aku ungkapkan. Ingin rasanya aku
mengakuinya, bahwa sebenarnya aku menyukanya, menyukai pandangan dan kerlinan
matanya, menyukai caranya berbicara, menyukai setiap gerak langkahnya, menyukai
sentuhan akrabnya, yang walaupun hanya kau anggap sentuhan dan candaan biasa
dengan seorang sahabat sahabat. Tapi aku merasakan lebih dari itu. Berharap
lebih dari itu. Dan bukan hanya genggaman tangan semata yang ingin aku lakukan
saat kau bercerita kesedihanmu. Aku ingin memelukmu, mengusap air matamu,
menjadi sayap pelindung mu, memanjakanmu, mengertikannya. Agar tak lagi seorangpun
yang berani menyakitinya. Aku yakin, aku bisa membuatnya merasa damai di sisi
ku Yunita… Tapi saat ini aku tak mampu merobohkan benteng besar dan kokoh yang
ada di antara kita. Aku hanya bisa meminta kepada-Nya agar aku dan kamu suatu
saat akan menjadi KITA,. Entah kapan aku tak tahu. Tapi harapan ini akan selalu
aku simpan, aku pelihara, dan akan selalu menjadi bait-bait do’a yang aku
panjatkankapada-Nya. Yunita… Bersabarlah.
Senyumnya semakin
manis, sedikit lebih terlihat lega. Mangkuk bakso nya akhirnya kosong juga. Ada
perasaan lega dalam hati ini. Meihat senyumnya kembali mengembang. Kuat-kuat ku
tahan ungkapan dalam hati ku.
“Aku sangat menyayangimu
Yunita…, aku ingin kamu menjadi isteriku suatu saat nanti”
Semoga…
Langit mendung,
hampir turun hujan. Kami bergegas meningaalkan tempat itu. Aku mengantarnya
pulang. Dengan hati yang enggan. Enggan berpisah dengannya, gadis impianku,
Yunita.
nice
ReplyDelete