Search This Blog

Thursday, February 19, 2015

SEMANGKUK BAKSO


Siang ini tak telalu terik, tak pula dingin. Sedang-sedang saja. Tapi entah kenapa fikiran ku rasanya tak tenang. Semacam ada kejenuhan yang luar biasa, dan aku tak tahu secara jelas apa penyebabnya. Jam 12.00 tepat jam istirahat kantor di mulai. Hatiku bersorak kegirangan. Aku bahagia, bisa segera meninggalkan ruangan. Dengan langkah gontai, ku langkahkan kakiku menuju tempat parkir.
Di dalam mobil, aku tertegun, tak ada semangat untuk pergi kemanapun atau bahkan makan siang. Akhirnya aku duduk tertegun dan memainkan telepon gengamku yang sejak tadi ku biarkan bersembunyi di saku bajuku. Telepon genggamku. Sebuah handphone jadul berwarna putih yang selalu setia menemaniku. Menjadi kawan di manapun dan kemanapun aku pergi, benda itu tak pernah aku tinggalkan. Bahkan sekarang aku begitu takut jika benda putih tersebut harus tertingal di rumah atau di tempat lain. Bagiku hanphone itu sudah menjadi belahan jiwaku. Rekan bisnisku, bahkan telah menjadi teman tidurku selama beberapa tahun terakhir ini. Ada sesuatu yang membuat aku selalu behagia berada berlama-lama dengan benda putih itu, dimana seseorang selalu menyapaku lewat benda itu. Ia yang selalu memotifasiku setiap akan memulai hari, dan mengingatkan ku untuk sekedar makan atau beristirahat. Dan baru aku sadar siang ini betapa aku merindukannya. Merindukan suaranya, pesan BBM nya, bahkan aku mengharapkan kehadirannya. Tunggu, kenapa tidak akau telfon saja dia ya? Hmm… sedang apakah dan dimanakan ia sekarang?
Aku coba mengetik pesan BBM. Ia membalas, berjanji akan datang menemuiku. Hatiku senang bukan kepalang. Aku putuskan untuk kembali keluar dari mobilku, menungu nya di sebuah kedai minuman. Aku memesan semankuk mie instan pengganjal perut. Tak perlu waktu lama semua isinya sudah pindah ke dalam perut ku. Dia yang ku tungu belum juga datang, namun dada ini tak berhenti berdegup kencang sejak jawaban pesan BBM nya tadi. Satu cup kecil juss jambu pun aku pesan, sebagai pengusir haus juga sebagai tiket agar aku boleh berlama-lama duduk di tempat itu, sambil menungu kedatangannya.
Tak lama kemudian telepon genggamku berdering, dia menelfonku. Aku tak kuasa membendung senyum di bibirku. Detak jantungku bertambah kencang.
“Hallo”
“Iya hallo… di mana?” tanyanya singkat.
“Sini aja masuk ke areal pertokoan ya… aku tunggu di depan kantor” jawabku dengan nada setengah bergetar. Ku harap gadis ku tak mengetahuinya betapa getaran itu ada pada suaraku. Namun tak sebanding dengan getaran yang ada di hatiku kini menungu kedatangannya.
Tanganku melambai ketika sosok perempuan berbadan mungil tampak mencari-cari seseorang dari kejauhan. Matanya membinar ketika menangkap sosokku di kedai minuman. Lalu ia menutup telefonnya, menghampiriku. Ia ku persilahkan duduk, lalu kami basa-basi sebentar dan kemudian kami memutuskan untuk beranjak pergi dari sana. Aku lihat kelelahan menggelayut di wajahnya. Kerja separuh hari mungkin cukup melelahkan bagi seorang perempuan sepertinya.
Mobilku melaju lambat. Jalanan penuh. Kendaraan berdesakkan merayap bagai keong sedang berkampanye. Selain mengamati kendaraan yang berlalu-lalang, atau memandangi para pengendara motor yang berboncengan dengan mesra, atau pengendara yang masih pelajar dengan seragam putih abu-abu nya. Hhmm, tak ada yang terlalu menarik sepanjang perjalannan. Hanya gadis di sebelahku yang sengaja aku curi-curi pandang. Dan aku tahu, iapun melakukan hal yang sama. Hanya saja aku harus tetap berkonsentrasi menyetir mobilku.  
“Jadi kita mau kemana ini?”
Mulut mungilnya mengajukan pertayaan, tanpa berani memandangiku. Aku kembali mencuri pandang, ia tampak cantik walau sekali lagi aku menangkap kelelahan di wajahnya. Gadis di sebelahku yang akhir-akhir ini menyita perhatianku. Membuatku tak nyenyak tidur. Kuhabiskan malam ku hampir semuanya untuk memikirkannya. Senyum nya, suaranya, dan sapaan manjanya. Aku suka semuanya. Hanya sayang ia baru aku temukan beberapa bulan belakangan ini. Kami berbeda masa. Usia kami terpaut cukup jauh. 12 tahun. Aku 34 dan ia 22 tahun.Tapi entah kenapa, hati ku kini terpaut kepadanya. Usia tak lagi menghalangi tumbuhnya rasa ini.
Demi mengusir kelelahannya, aku memutuskan untuk mengajaknya makan. Ku fikir makan bakso bisa mengusir kepenatan yang Nampak di wajah manisnya. Kami berhenti di depan kedai bakso yang tempatnya lumayan nyaman. Tempat makannya berada di pelataran menyerupai halaman rumah. Banyak pepohonan dan bunga di sana. Membuat suasana semakin nyaman. Kami memilih tempat duduk yang menghadap ke jalan. Dari sana kami bisa mengawasi orang-orang atau apapun yang berlalu-lalang di jalan.
“Maaf ya aku terlambat datang, angkot nya banyak ngetem” ia beralasan.
“Tak apa…” nada jawabanku datar sama datarnya dengan ekspresi wajah yang dia pasang siang ini.
“Kenapa cemberut begitu?” ledek ku. Sejak dulu lami biasa saling ledek dan melontarkan candaan sekena nya. Kami sudah biasa.
“Lagi mumet, bisa jadi pendengar yang baik?”
Mata nya memandangiku dengan keseriusan tingkat dewa. Aku geli melihatnya, tak pernah sebelumnya ia seserius itu. Tapi aku tahu, sepertinya ia memang serius ingin bicara tentang hal yang sangat rahasia, sekaligus sangat mengganggu ingatannya, dan mungkin juga membuat sesak dadanya. Aku mengangguk. Kami memesan bakso. Ia yang tampak tidak berselera memesan mie ayam. Dan aku yang kebetulan sudah kenyang hanya memesan  bakso kuah dalam.
Ia mengaduk-aduk bumbu, kecap dan saus cabe, aku tak sabar ingin mendengarkan apa yang akan ia ceritkan. Aku tak sabar ingin segera mengetahui apa yang saat itu telah membebani fikirannya. Telingaku tak sabar untuk mendengarkan. Orang yang duduk di hadapanku hanya menghela nafas panjang dan membuang muka. Rasa penasaran ku bertambah besar. Ada apakah gerangan?
Aku mencoba meraih tangannya, tangan yang selama ini selalu ku genggam saat ia menceritakan kisah pilu hidupnya bersama kekasihnya, kisah pilu tentang keluarganya, tentang apapun. Aku selalu ingin menguatkannya sekemampuanku. Aku tak ingin kehilangan senyum manisnya, senyum simpul termanis yang pernah aku lihat. Entah kenapa setiap kami berbagi cerita selalu ada perasaan hangat yang merasuki dada ku. Ia adalah teman yang paling setia, sahabat yang paling baik, dan… kini aku sangat berharap ia menjadi baian hidupku selamanya. Ah… entah kappa akan terwujud.
“Heiy… apa yang mengangu fikiranmu? Berceritalah…” aku memohon. Genggaman tangannya tak ku lepaskan sampai akhirnya ia protes dan bertanya, bagaimana kami bisa menghabiskan bakso jika tangan kami berpegangan. Kamipun tertawa kecil dan kemudian seketika raut wajahnya berubah muram kembali.
“Aku sudah tak tahan dengan kehidupanku Mas…” pandangannya datar. Tangannya memutar sendok yang tak jadi dipakai untuk menyendok mie nya.
“Kenapa? Bukankah selama ini kehidupanmu terlihat begitu asik, menyenangkan, pasanganmu terlihat begitu menyanyangimu, menghomatimu, melakukan apapun untuk mu? Bahakan aku iri lho dengan kebersamaan kalian…”. Entah kenapa malah pengakuan itu yang keluar dari mulutku.
“Ah… itu kan hanya sisi luarnya saja. Sisi luar yang kamu dan termasuk orang-orang lihat. Di dalamnya tak seindah itu. Malahan aku sangat ingin memutuskan hubungan ku dengannya” lagi-lagi wajahnya menunjukkan keseriusan atas apa yang ia katakan.
“Aku tak nyaman lagi Mas… Rasanya kerja keras dan usaha ku untuk membuat dia bahagia hanya sia-sia. Aku merasa tak dihargai. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan kegiatannya, seolah-olah aku ini tiada”. Tangannya meraih botol minuman lalu mereguknya dalam-dalam. Seolah ia kehausan.
“Hhh.. aku jenuh Mas… Aku ingin lari dari semua ini. Tapi kemana? Rasanya aku tak punya jalan lain. Tak punya cara lain, kecuali aku harus menghadapinya. Terus menerus berkutat dalam keseharian yang begitu monoton, tak memiliki warna. Bahkan aku merasa jika pelangi hanya memiiki 3 warna. Hitam, putih, dan abu-abu. Ah, tak  indah banget pokoknya mas… Aku bahkan tak tahu akan jadi seperti apa hubungan kami ke depannya”
Aku mendengarkan. Sambil sesekali melahap baksoku ku. Sedikit demi sedikit demi perutku yang sudah terlalu penuh terisi tadi sebelum ia menemuiku.
Ia bercerita panjang lebar tentang semua yang ia rasakan. Tentang perlakuan kekasihnya selama ini. Tentang kesakitannya menjalani hubungan yang selama ini ia bina. Aku tak habis fikir hal apakah yang membuatnya tetap bertahan sampai saat ini sehingga ia masih siap setia dengan kekasihnya. Ingin aku merebutnya, menjaganya, dan tak akan aku biarkan Yunita menangis lagi. Aku ingin menjadi sayap pelindungnya setiap saat. Menjadi satu-satunya orang yang selalu siap meminjamkan bahu untuknya bersandar, menjadi satu-satunya orang yang memiliki dada yang selalu terbuka untuk memberikan pelukan saat ia membutuhkan perlindungan dan rasa aman. Ah… Yunita… Andai saja…
Ku genggam lagi tangnnya mencoba menenagkan nya.
“Sabar ya…”
Entah apa lagi yang harus aku katakan. Selain kalimat itu, aku memintanya untuk bersabar. Bersabar dari apa yang ia hadapi sekarang. Memintanya tegar dari apa yang sedang ia alami sekarang. Walaupun ia tak bercerita secara mendetail, tapi aku fahah bagamana kesakitannya, dan seberapa dalam luka di hatinya. Kenapa aku tahu? Karena ia sahabatku, belahan hatiku. Dia yang selama ini selalu mendengarkan keluhkesah ku tentang apapun, dan mengenai hal apapun. Termasuk hari ini sebenarnya ingin sekali aku membagi sebuah luka. Sebuah cerita yang mungkin sama pilunya dengan yang ia alami. Sama menyakitkannya dengan apa yang telah ia ceritakan . Tapi aku tak tega menambah bebannya, cukup aku yang mengetahui beban dalam hatinya. Tak akan aku tambahkan kepenatan dan kesedihannya.
Mungkin untuk saat ini semangkuk bakso cukup mengurangi kegundahanku. Dan bertemu dengannya cukup mengobati kerinduanku. Mengenggam tangannya saja cukup membuat ku tenang. Walaupun aku berharap iapun mendapatkan kekuatan dari gengaman tanganku saat ini.
Wajahnya makin mengkerut, tapi kemudian ia menghempaskan nafas yang panjang. Seolah selembar beban hilang dari pundak dan fikirannya. Lalu ia memandang ke arah ku. Tepat di mataku. Pandangan mata ini yang sering tak dapat aku elakkan. Aku menyukainya. Dari dulu aku selalu memujinya, kerlingan matanya indah banyak menarik lawan jenis. Ia akhirnya tersenyum. Sebuah lengkung indah tercipta di bibir manisnya. Gadisku kembali menghela nafas panjang, lalu mengatakan sesuatu yang begitu menyejukkan hati ku.
“Mas… sebenarnya aku ingin bercerita lebih banyak lagi, tapi aku tak mau membuatmu ikut-ikutan bersedih. Aku tahu mas suka khawatirin aku, makanya aku gak akan terlalu banyak cerita. Segitu yang tadi aja cukup. Terimakasih sudah menjadi pendengar paling setia ya Mas…”
Aku tersenyum, Tanganku mencubit lembut pipinya. Ada sesuatu berderir hangat di dada ku. Pipinya memerah, ia menunduk malu, tapi ia mencoba mengalihkan perhatian. Segera diraihnya botol minuman dan mereguknya hingga habis.
Sejenak mataku terpejam. Hatiku berbicara banyak di sana. Ya, hanya sebatas dalam isi hatiku saja. Tanpa bisa aku unkapkan, tanpa bisa aku ungkapkan. Ingin rasanya aku mengakuinya, bahwa sebenarnya aku menyukanya, menyukai pandangan dan kerlinan matanya, menyukai caranya berbicara, menyukai setiap gerak langkahnya, menyukai sentuhan akrabnya, yang walaupun hanya kau anggap sentuhan dan candaan biasa dengan seorang sahabat sahabat. Tapi aku merasakan lebih dari itu. Berharap lebih dari itu. Dan bukan hanya genggaman tangan semata yang ingin aku lakukan saat kau bercerita kesedihanmu. Aku ingin memelukmu, mengusap air matamu, menjadi sayap pelindung mu, memanjakanmu, mengertikannya. Agar tak lagi seorangpun yang berani menyakitinya. Aku yakin, aku bisa membuatnya merasa damai di sisi ku Yunita… Tapi saat ini aku tak mampu merobohkan benteng besar dan kokoh yang ada di antara kita. Aku hanya bisa meminta kepada-Nya agar aku dan kamu suatu saat akan menjadi KITA,. Entah kapan aku tak tahu. Tapi harapan ini akan selalu aku simpan, aku pelihara, dan akan selalu menjadi bait-bait do’a yang aku panjatkankapada-Nya. Yunita… Bersabarlah.  
Senyumnya semakin manis, sedikit lebih terlihat lega. Mangkuk bakso nya akhirnya kosong juga. Ada perasaan lega dalam hati ini. Meihat senyumnya kembali mengembang. Kuat-kuat ku tahan ungkapan dalam hati ku.
“Aku sangat menyayangimu Yunita…, aku ingin kamu menjadi isteriku suatu saat nanti”
Semoga…
Langit mendung, hampir turun hujan. Kami bergegas meningaalkan tempat itu. Aku mengantarnya pulang. Dengan hati yang enggan. Enggan berpisah dengannya, gadis impianku, Yunita.

Share/Bookmark

1 comment: