Jasadku memeluk bulan, tapi tidak
dengan jiwaku. Malam selalu menyelimuti, tapi tidak dengan hatiku. Hatiku
selalu merindukan siang, dan mentari yang selalu bersinar memberikan
kehangatannya tanpa pamrih.
Perkenalkan namaku Julia, Usia 31 Tahun. Aku ibu dari seorang
putra usia 4 tahun. Aku juga seorang isteri dari suami yang tampan, mapan, dan
berkedudukan. Hidupku berkecukupan. Apa saja yang aku pinta dan apa yang selalu
aku inginkan bisa aku dapatkan. Liburan, jalan-jalan ke luar negeri kapanpun
bisa ku lakukan. Semua orang menganggap hidupku sempurna. Banyak yang merasa
iri terhadapku. Tak ada suatu apapun yang kurang dengan kehidupanku. Rumah dan
mobil mewah, anak yang lucu, dan suami yang bertanggunjawab dengan penghasilan
yang menggiurkan bagi setiap perempuan.
Memang, seperti pepatah bilang, Jangan melihat sesuatu dari
bungkusnya. Apa yang nampak sempurna di luar tak sesempurna apa yang ada di
dalam. Begitu juga dengan kehidupan rumah tanggaku. Sebagian besar orang
mengira aku adalah perempuan yang paling beruntung di dunia dengan segala apa
yang aku miliki. Namun tidak demikian dengan yang aku rasakan. Aku justru
merasa menjadi perempuan yang paling menderita, kesepian dan nyaris tak
bahagia. Semua fasilitas yang aku dapatkan dari suami tak lantas bisa membendung
rasa kerinduanku akan perhatian seorang laki-laki. Dalam hal ini aku berharap
banyak dari laki-laki yang kini jadi suamiku. Aku butuh perhatian, butuh teman curhat, butuh
teman jalan-jalan, butuh tempat bersandar saat aku membutuhkan sandaran, saat
aku mendapatkan masalah dalam pekerjaanku, dalam keseharianku. Aku butuh orang
yang bisa mendengarkan ceritaku, aku butuh seseorang yang bisa aku mintai
solusi untuk setiap masalahku. Tapi semua itu nyaris tidak aku dapatkan.
Suamiku yang hebat dan memiliki kedudukan seolah menjadikanku isteri kedua
setelah pekerjaannya. Ia seolah lebih peduli kepada pekerjaannya dibandingkan
kepada keluarganya. Jika aku marah menuntut waktunya maka ia akan meneriakiku
menyebutku perempuan yang tak bisa bersyukur atas apa yang ia berikan kepadaku,
atas semua kerja kerasnya. Jika aku menangis mengeluhkan betapa berat nya
masalah yang aku hadapi maka ia akan menyemangatiku untuk tidak cengeng dan
memintaku untuk kuat, mandiri dan menyelesaikan masalah sendiri. Jika aku minta
saran atau solusi, ia memintaku menungu waktu luang nya yang entah kapan…
Aaargh… pokoknya aku merasa aku dan suamiku semakin jauh, ia tak mengerti aku,
dan akupun semakin merasa tidak mengenalinya. Bayangkan saja, setiap hari kami
hanya bercakap-cakap seperlunya. Tak sampai 5 kalimat dalam 24 jam. Aku tak
tahan. Mulutku yang selalu ingin bercerita rasanya tak bisa jika harus menungu
berhari-hari untuk menceritakan sesuatu hal penting kepada orang terdekat, ya,
kepada suamiku. Ketika aku butuh solusi, aku masih harus menunggu berhari-hari
untuk bisa membicarakan masalahku. Aku, hidupku rasanya sama seperti pepatah
ini, ‘Hidup segan mati tak mau’. Hampa, tak berwarna. Walaupun aku bisa pergi
ke manapun sejauh apa ku mau tetap saja tak pernah ada rasa puas dalam hatiku.
Kosong…
Suamiku adalah orang baik-baik. Berhati baik, pekerja keras,
penurut, cerdas, memiliki banyak potensi. Ia adalah andalan perusahaannya. Seolah
perusahaannya akan menadi pincang dan bangkrut jika ia tak ada di sana. Tak ada
sesiapapun yang meragukan kehebatannya dalam bekerja. Apapun bisa ia handel. Ia
mapan, mengagumkan. Namun siapa sangka, kesibukannya yang begitu banyak itu
membuatku merasa terasingkan, terlupakan. Aku merasa tak punya teman, merasa
tak memiliki tempat mengadu, tempatku pulang, dan mendapatkan kedamaian. Aku
benar-benar merasa sendiri. Suamiku hanyalah tempat ku meminta uang. Uang
belanja, uang jalan-jalan, uang untuk putraku jajan dan beli mainana, uang
untuk biaya sekolah, uang untuk belanja kosmetik atau ke salon. Tapi sungguh
kebahagiaanku tak terbeli oleh itu semua. Kerinduanku tak terbayar pun tak
terobati dengan uang sekoper. Aku merana, hatiku terkoyak ketika aku melihat
beberapa pasangan suami isteri bergandengan tangan dengan mesranya. Berjalan-jalan
dan saling membantu bergantian mengasuh buah hatinya. Sang pria tampak lebih
peduli dan melindungi. Dengan kehati-hatian menjaga agar isterinya tidak sampai
kecapean. Ah… Aku benar-benar iri hati. Tapi apa yang bisa aku lakukan?
Haruskah aku merebut mereka suami-suami yang memiliki perhatian lebih dan punya
banyak waktu luang untuk keluarganya? Haruskah aku melakukannya demi sebuah
pengertian, dan demi seorang teman bercerita tentang kegundahan hati? Tuhan… katakan,
beri aku jawaban, kemanakah gelisah ini harus aku bawa pergi, dan aku obati?
Rumah kami, adalah rumah yang cukup besar. Mewah dengan
desain minimalis. Seandainya saja hati ku selalu sejuk maka rumah ini akan
benar-benar menjadi syurga untuk keluarga kecil kami. Tapi nyatanya tidak
untukku. Untuk aku dengan cita-citaku tentang rumah itu. Tentang keinginannku
menenai para penghuninya. Tak ada kehangatan. Dingin, sedingin es. Tak ada
gelak tawa, yang ada hanya kesunyian dan dengkur kelelahan di setiap menjelang
tengah malam. Dan kesibukan yang teramat sangat melebihi kesibukan Jakarta senin
pagi setiap jam 5 subuh. Halaman yang luas, dengan taman yang ditata rapi oleh
tukang kebun tampak asri dan menenangkan. Tapi tidak untukku. Semua itu tak
ubahnya hanya warna-warna rumput yang hijau, daun yang rindang, bunga yang bermekaran,
tak lebih dari itu. Kolam renang di halaman belakan, tak lagi menggoda walau
airnya selalu jernih. Malas rasanya aku menceburkan diri ke sana. Aku hanya
suka duduk dan bersandar di kursi malas
yang menghadap ke kolam itu sambil memikirkan apapun yang aku rasa telah
hilang, dan apapun yang aku cita-citakan tentang kehidupan keluargaku. Seperti saat
ini. Aku duduk termangu, bermalas-malasan di kuursi ini. Mataku memandang
sekeliling, kosong. Hanya ingatanku yang berkecamuk dan hati yang bergejolak. Berfikir
dan mencari tahu bagaimana carnya aku keluar dari belenggu sepi ini? Bagaimana
caranya aku lari dari goa gelap dengan jeruji besi yang kokoh. Hatiku ingin
bebas, aku butuh teman, aku butuh kawan, butuh partner untuk berbagi apapun
yang aku rasakan. Membagi apapun kisah yang aku alami, dan bersamasama mengasuh
dan membesarkan anak-anak ku sampai mereka dewasa. Ah… aku tak tahu bagaimana
caranya. Rasanya semua cara telah aku lakukan untuk memohon sedikit waktu
luangnya. Meminta nya untuk menyempatkan diri mendenarkan ceritaku. Tapi apa
mau dikata lagi-lagi aku harus mengalah dan terpaksa menerima penjelasannya
bahwa pekerjaan kantor menumpuk setinggi gunung himalaya. Kalau sudah begitu
rasanya hatiku mati, aku tak berani berharap lagi ia ada untukku.
“Hey!, Ngelamun aja!” seseoramg mengagetkanku… membuat
lamunanku buyar semua…
Keren
ReplyDelete.
Makasih Ky.... :-)
ReplyDeleteTungu sambungannya... :-)
ReplyDelete