Search This Blog

Monday, December 29, 2014

Telepon terakhir dari mamah




Desember… setengah perjalanan lagi bulan ini habis. Tepat di tanggal ini mamah (almarhumah) dulu menelpon ku. Bertanya kabar…
dan mau tahun baruan di mana? Mamah bilang kangen sekali, pengen lihat perut teteh sudah makin buncit atau masih kayak dulu pas syukuran empat bulanan? (waktu itu usia kandungan ku menginjak 5 bulan).
Rasanya suara itu masih tedengar di telingaku, suara lembut yang sangat “halimpu” enak, empuk di telinga. Mamaku yang hebat, tak pernah menunjukkan rasa sakit nya. Tak pernah mengeluh seberapa dahsyat sakit kepalanya kaena tensi darah nya naik, atau tak pernah mengeluh dengan rasa lelahnya karena harus mengurusi umah dan pekejaan di sekolah, atau karena lelahnya karena kurang tidur di malam hari. Mamah selalu menelpon ku dengan suara “baik-baik” saja… dan bodohnya aku tak tahu bahwa mamah menyimpan sakit yang serius.
Rupanya…. Itu telepon mamah yang terakhir. Menyesal aku menjawab “gak tahu mah…” “belum bisa menentukan taun baruan di rumah atau di sini..” belum tentu pulang kampung” dan lain sebagainya.
Rupanya… kali itu mamah sedang sakit, sedang ingin berada di dekatku, di dekat anak sulung nya yang selalu jauh, yang sejak sekolah SMU sudah tinggal di kost-kostan. Yang jarang pulang, yang sibuk dengan kegiatan sekolahnya, jika libu tiba masih harus sibuk dengan kegiata ekskul. Yang semenjak kuliah semakin jarang pulang juga karena alas an yang sama, dan setelah lulus kuliah malah bekarja di sini… jauh dari nya.
Rupanya… kali itu mamah ingin memegangi perut ku, yang di dalamnya ada cucu dari anak pertamanya. Yang ternytata tak sempat ia lihat, tak sempat ia gendong, menimang-nimang, dan menina bobokan dengan lagu “haleuang nelengnengkung” nya.
Rupanya… kali itu aku salah mengambil keputusan… kenapa aku tak pulang saja, kenapa aku tak menemuinya segera sampai akhirnya ajal menjemput mamah sebelum aku menemuinya...
Tanggal 10 januari.. mamah meninggalkan kami. Sakit sekali ku rasa. Kalau bukan karena aku sedang mengandung bayi, yang harus ku jaga perkembangannya, mak ingin asanya waktu itu aku menangis sejadinya, dan memeluk mamah selamanya.

Kini aku di sini, dengan tetesan air mata yang tak henti-henti, dengan penyesalan yang tak berakhir. Menyesal jika selama mamah hidup aku belum dapat membahagiakannya.
Aku rindu mah… rindu setengah mati…
                                                                                                                Ditemani rintik hujan, Desember di Rumahku
                                                                                                               

Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment