Search This Blog

Wednesday, January 21, 2015

Adhirajasa (tangguh)

Adhirajasa, pemuda usia 25 tahunan ini pada awalnya tak begitu mengerti mengapa ayahnya menamainya demikian. Untuk belakangan pada akhirnya ia mengerti betapa dalamnya arti di balik nama itu. Adhirajasa, yang terlahir sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, membuatnya hidup diliputi kasih sayang penuh dari kedua orangtua dan kakak-kakaknya.
Dhira, begitu ia senang di pangil, walaupun sebagian orang memangilnya dengan sebutan “Adhi”. Ia tak begitu peduli, apapun panggilan yang digunakan oleh orang lain kepadanya, yang penting itu adalah tanda bukti pertemanan yang sesungguhnya. Ya! Dhira merasa tak terbiasa jika tak memiliki teman. Perinsip hidupnya saja “manusia adalah mahluk sosial, tak bisa hidup tampa orang lain” begitu dia bilang. 
Memang jika masalah kawan,  Dhira tak pernah kesepian, kawan-kawannya selalu ada mengelilingi nya, kebaikan hatinya bagaikan magnet yang memaksa mereka tetap betah berada di dekat pemuda itu. Belum lagi murid-muridnya, yang selalu asik diajari ilmu pasti di sekolah tempat ia mengabdikan diri. Ya, Dhira adalah seorang guru, guru yang penuh keakraban, mendidik seperti kakak melatih adik-adiknya, mengajar seperti abang mengajarkan sesuatu kepada adik-adiknya. Maklum, anak bungsu haus diposisikan sebagai kakak.
Hidup Dhira begitu sempurna, dikelilingi teman-teman yang baik, keseharian yang normal, mengajar di sekolah, mengajar les privat, aktif di organisasai social, pecinta alam, dan masih suka menyempatkan diri untuk mendaki unung bersama kawan-kawan pecinta alam, biar tetap bugar fikirnya. Semua serba menyenangkan. Senyumannya selalu terpancar di wajahnya. Raut wajahnya tak pernah muram. Namun siapa yang sangka jika dibalik keceriaan yang terpancar pemuda itu pernah terpuruk karena patah hati? 

*
Babak satu,
Semasa SMU Dhira bukanlah laki-laki pengobral cinta seperti kebanyakan pemuda seusianya. Ia selalu berusaha bertindak searif mungkin dalam menyikapi getaran aneh yan singgah di hatinya. Bukan tidak ada perempuan cantik yang antri meharap kasihsayang nya, tapi Dhira selalu melihat ke sekeliling, adakah orang lain yang juga menyukai perempuan itu, jika ada ia lebih baik menahan rasa, daripada harus mematahkan semangat seseorang yang sedang mengejar cintanya. Dhira selalu memimpikan perempuan yan berambut panjang, di matanya perempuan berambut panjang lebih menarik dan lebih memancarkan sisi feminim dibandingkan perempuan yang berambut pendek. Labih jaunya Dhira lebih mendambakan perempuan yang berjilbab, namun jka tidak pun yang penting baginya adalah akhlak yang utama. Cukup selektif memang untuk usianya saat itu. Laki-laki di usia SMU sudah sejauh itu memiliki penilaian terhadap perempuan. Dan mungkin hal itulah yang menjadikan Dhira tidak terlalu mudah jatuh cinta.
Adalah Maryam, seorang perempuan teman satu kelasnya. Lebih tepat ia adalah sahabat dekat di kelas itu. Maryam sakit hati denan pacarnya, Dhira adalah teman setia yang selalu mendengarkan curhatannya. Setelah Maryam putus dengan pacarnya Dhira berhasil meyakinkan Maryam menjadi penganti sang pacar. Namun sayang hubungan hanya berlansung selama satu hari. Cinta pertama Dhira kandas dalam waktu singkat. Sungguh bukan kisah cinta pertama yang indah. Dhira harus melewati hari-hari yang muram setidaknya sampai kelas mereka pindah dan berganti teman. Karena harus sekelas dengan Maryam yang telah kembali kepada mantannya. Hari-hari hati Dhira bagai diiris sembilu, menyesal kenapa cinta pertamanya setragis ini, bagai sebuah lagu selingan dalam babak kehidupannya. Tapi ia harus tetap bertahan.

*
Babak dua,
Kisah cinta Dhira dimulai kembali. Kali ini ia jatuh cinta dengan adik kelas, adik kelas yang imut, bernama Mina Audrina. Kepadanyalah Dhira menambatkan cintanya sebagai bentuk ‘moveon’ dari kesakitan menjadi cinta selingan. Mina yang bermata indah,  membuat dada Dhira berdetak kencang saat ia menatap mata perempuan itu. Paras manisnya membuat Dhira tak berani menatap sosok elok itu. Ia gadis yang menawan, membuat Dhira memaksakan diri untuk menyatakan cinta kepadanya,  yang selalu membuatnya bersemangat bangun pagi dan bergegas pergi ke sekolah. Demi pelajaran dan demi cinta Dhira tak pernah bolos sekolah.
Hari-hari berjalan mulus, mereka saling mengerti satu sama lain. Dhira yang selalu bersikap dewasa dan bijak membuat Mina merasa betah menjalin hubungan dengannya. Dhira tak pernah berniat menjadi penghianat. Semua selalu terbuka, tak ada yang ditutup-tutupi dalam menjalin hubungan. Semua baik-baik saja. Satu tahun berjalan,  sampai suatu saat cobaanpun datang.
Hari itu hari selasa, Dhira berlari menuju kelas, mengejar jam pertama, setelah terlebih dahulu mengisi perut dengan sarapan sekedarnya di kantin sekolah. Karena tak sempat sarapan di rumah. Akibat terlalu cepat berjalan, telephone gengam nya terjatuh.  Hanphone pemberian ayahnya itu hancur berantakan. Penyesalan menguasai hatinya. Kenapa tak jalan pelan-pelan saja fikirnya.
Mulai senin depan sekolah sudah disibukkan oleh ujian. Dhira pun sibuk belajar memperbaiki pemahamannya kepada pelajaran. Sunguh, ia akan membuktikan bahwa ia patut dibanggakan, oleh kekasih dan terutama orangtuanya. Beberapa hari Dhira focus menyiapkan hadiah untuk Mina. Ya, Dhira ingin Mina merasa bangga dan senang dengan prestasi yang ia ukir.Tahun ini ia harus naik kelas dengan nilai yang baik.
Siang bolong di sudut sekolah Mina mengajaknya bertemu, untuk sebuah bahasan penting. Dhira senang bukan kepalang. Ia fikir Mina mungkin akan memberinya semangat dan dukungan untuk lebih rajin belajar, dan mendapatkan bait-bait do’a dari sang kekasih, dengan isi do’a agar ia mendapat hasil ujian yang baik. Tapi bukan itu yan ia dapat. Bukan hanya semangat belajarnya yang menjadi padam, hatinya pun patah, hancur brtkeping-keping, siang itu Mina memutuskan tali kasihnya, dengan tuduhan Dhira telah berubah drastis, ia tak lagi bisa dihubungi, tak lai menucapkan “selamat pagi” di pesan singkatnya. Tak banyak yang bisa dia katakana kecuali penjelasan yang sejujur-jujurnya, mengatakan bahwa telepon gengggamnya rusak parah. Tapi perempuan yang ia cintai tak lai mempercayainya. Yasudahlah… apa mau dikata, jika jodoh takan kemana. Dhira menahan sakit dan berusaha bangkit, demi ayah ibunya, ia akhirnya mampu memperbaiki semangat belajarnya.
Dhira berhasil meraih angka yang baik di rapotnya.

*
Babak tiga.
Bukan hal mudah untuk melupakan gadis semanis Mina. Namun apa mau dikata ia tak berhak mengekang seseorang. Ia sama sekali tak bisa memaksa seseorang untuk mencintainya. Dhira harus bisa merelakan Mina dengan keputusan yang telah dia ambil. Dhira mencoba menyibukan diri dengan kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah. Menjadi aktifis memang menyenangkan. Kenangan dengan Mina perlahan bisa Dhira lupakan dan luka di hatinyapun perlahan sembuh.
Bulan berlalu, suatu waktu Dhira mendapat tugas untuk menjadi pemateri dalam kegiatan latihan gabungan. Ada seseorang yang diam-diam memperhatikan gerak-gerik Dhira. Seorang gadis bernama Rena memberikan singnal yang mudah terbaca oleh siapapun yang sering iseng memperhatikan ekspresi seseorang. Teman-teman Dhira faham Rena ada hati kepada uruf, namun saying Dhira kurang begiu peka. Mungkin kenangan tentang Mina belum terhapus seluruhnya.
Rena kian dekat, kian rajin member perhatian kepada Dhira. Siapa yang tak tertarik, Dhira adalah laki-laki yang cukup piawai, dalam usia muda nya Dhira memiliki kepandaian menyampaikan materi, setiap bahasa ia iringi dengan mimik yang wajar, setiap kalimat ia bubuhi dengan ekspresi yang tepat. Membuat materi yang disampaikan mudah dicerna dan difahami. Bukan hanya itu, tajam pandangan mata pemuda yang satu ini bagai mata elang mengincar mansanya. Tajam menghujam dada. Siapapun pasti jatuh dalam pesonanya. Namun Dhira tak pernah sedikitpun berniat memanfaatkan semua kelebihannya untuk menjerat hati-hati para perempuan. Ia hanya menginginkan perempuan yang jatuh hati kepadanya bukan karena wajahnya yang menawan, namun karena penerimaan yang penuh kesadaran atas sifat dan kekuranglebihan yang ia miliki.
Teman-teman Dhira yang satu organisasi jengah dengan sifat Dhira yang terlalu “cool” mereka terus memanas-manasi agar Dhira menyatakan cinta kepada Rena. Dhira ragu, untuk kemudian akhirnya Dhira setuju dan Rena menerima dengan tangan terbuka. Dhira bahagia memulai kisah cinta yang baru.
Di tengah perjalanan kisahnya denan Rena. Dhira mendapat kabar tentang masa lalu. Mina datang memintanya kembali, karena menyesal tidak mempercayainya waktu itu. Setengah memohon Mina menyampaikan keinginannya untuk bersama lagi, menurutnya, tak ada lagi laki-laki baik sebaik Dhira. Dhira tersiksa dengan batinnya. Namun nasi telah menjadi bubur, ia harus setia dengan perempuan yang sekarang menjadi kekasihnya. Dengan penjelasan yang baik, akhirnya Dhira mampu membuat Mina mundur.
Dhira yang selalu setia, berhasil menjalin hubungan sampai di tahun ke dua. Waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kisah cinta sebelumnya. Hubungan mereka semakin dekat. Setelah lulus SMU Dhira mulai memiliki keberanian untuk mencoba menjadi pemuda sungguhan. Apel ke rumah pacar. Keluarga rena menerimanya dengan sangat baik. Kecuali ibunya yang tak begitu merespon baik. Pada mulanya Dhira tak terlalu menhiraukan. Dia fikir mungkin itu adalah reaksi wajar dari seorang ibu yang melihat anak gadisnya di ajak pergi seseorang, mungkin lambat laun akan membaik. Dua tiga kali Dhira datang sealu begitu, pada pertemuan yang ke sekian di rumah Rena, sebuar rahasia terbongkar ternyata Rena sudah menjadi tunangan orang.
Bagai petir menghantam, dada Dhira sesak menetahui semuanya. Angin malam yang menyaksikan terbongkarnya rahasia besar seolah terasa lebih dingin menusuk tulang, hujan pun turun malam itu, seolah menangisi kehancuran hari Dhira untuk yang ketiga kalinya. Tak banyak berfikir lagi, Dhira pamit pulang, berlari sekencang angin, meninggalkan ruangan tamu rumah Rena yang penuh kepalsuan. Lagi-lagi Dhira hancur, hatinya remuk, jiwanya hancur. Mengapa kehidupan ini begitu tak adil, tega-teganya membuatnya sakit hati kembali. Padaha apa salahya? Setiap kali menjalin cinta ia selalu setia, selalu menjadi pria yang baik, penyayang, dan penuh penertian. Tapi apa yang ia terima?
Sampai di bilik kamar, Dhira menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, lika yang sangat dalam masih mengnga, matanya terpejam seolah ia enggan membukanya lagi. Ingin rasanya ia amnesia seketika melupakan semuanya. Dhira tertidur dalam kelelahan hati yang teramat sangat.

*
Babak empat dalam kehidupan Dhira.
Dhira tak akan menyerah untukk mencari sebuah kebahagiaan. Menurutnya setiap manusia berhak atas takdir ang baik dan perasaan bahagia. Dhira kembali jatuh cinta kepada seorang aktifis relawan. Yang aktik di bidang kemanusiaan. Kemuliaan hati perempuan itu yang menjadika Dhira jatuh hati. Namanya Melia. Dengan bekal sakit hati yang pernah beberapa kali dirasakan Dhira bersiap menerima kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Jatuh hati tak harus sepenuh hati, harus menyiapkan 25% tempat untuk menenpatkan kekecewaan. Tapi hubungan itu ia jalani dengan sungguh-sungguh. Berharap perempuan inilah yang akan menjadi perempuan terakhir dalam hidupnya.
Melia perempuan yang solehah, rajin solat, juga sangat taat dan patuh kepada orangtuanya. Membuat Dhira semakin yakin. Kini hatinya hanya tersisa 5% untuk kekecawaan. Semua isi hatinya tanpa ia sadari telah tertumpah kepada Melia gadis pujaannya.
Melia adalah anak seorang pensiunan guru. Hidup dalam keluarga pendidik menbuat Melia menjadi gadis yang sangat santun. Keyakinan hati Dhira bertambah beberapa persen. Kini hatinya sepenuhnya milik Melia. Apalagi ketika ayah Melia yang begitu akrab pernah mengajaknya pulang kampong dan dikenalkan kepada sanak saudara di Pandeglang, Dhira semakin yakin Melia-lah calon ibu dari anak-anaknya kelak. Dan ketika Ibu Melia harus dipanggil oleh yang Maha Kuasa, terasa sehidup sepenanggungan saja karena Ibu Melia terasa sudah menjadi ibu bagi Dhira.
Sepeninggalan ibu Melia, Dhira semakin sering berkunjung ke rumah Melia, seolah keluarga itu telah benar-benar menjadi keluarganya. Hanya masalah waktu yang akan membuatnya menjadi resmi sebagai anggota keluarga itu. Sampai tibalah saatnya Kakak sulung melia melangsungkan pernikahan, Dhira pun membantu semua persiapan denan penuh semangat, membantu pernikahan sang kakak ipar, tak akan sia-sia fikirnya. Dhira hadir di sana sebagai keluarga, denan pakaian yang sama sebagai keluarga mempelai wanita.
Dengan gagahnya Dhira menjadi penerima tamu di meja depan, memasang senyum semanis mungkin, dengan sapa ramah penuh keakraban. Namun lihatlah, di sudut ruangan tu, di dekat meja tempat pengantin akan makan siang nanti, ada sosok pria yang menggandeng seseorang. Seseorang dengan seragam keluarga mempelai wanita. Perempuan cantik yang ia kenal, perempuan yan selalu mengisi hatinya, ia tampak akrab dengan pria itu. Melia kembali kepada sang mantan, entah kapan janji cinta Dhira dihianati melia. Hati Dhira kembali hancur berkeping-keping. Berserakan di atas karpet merah gedung resepsi pernikahan san calon kaka ipar. Berhamburan di atas meja buku tamu. Jantung hati Dhira telah direbut orang. Hari bahagia itu seolah akan menjadi akhir dunia untuknya. Untuk lelaki sebaik dan setulus Dhira. Demi rasa kemanusiaan, Dhira melanjutkan tugas sampai selesai, sebagai seorang penerima tamu.
Tamu undangan telah habis, tak ada lagi yang menuliskan nama di buku tamu. Dhira permisi ke belakang kepada rekannya yang sama-sama berdiri di belakang meja itu. Tanisannya meledak di kamar mandi gedung serbaguna tempat resepsi berlangsung. Dhira hampir tak punya harapan, semuanya hancur lebur, luluh-lantak. Sungguh ia merasa telah terinjak-injak, lemas tak berdaya. Tak berharga, mati segan hidup tak mau.

*
Babak lima,
Ayahhanda Dhira memang bijak, bahkan teramat bijak. Kini anak bungsunya sudah ia anggap sebagai kawan. Ayahnya mengajak Dhira berbincang di ruangan tengah rumahnya. Ibunyapun menemani. Kecuali kakak-kakak Dhira yang sudah tidak tingal lagi di sana. Ayah Dhira yang bijak, menjelaskan beberapa alasan menapa ia member nama “Adhirajasa” kepada putra bungsunya. Sungguh itu adalah harapan yang terbesar dari sang ayah. Adhirajasa adalah bahasa sansekerta yang artinya tangguh.  Ayahnya berharap putra bungsunya menjadi laki-laki yan tangguh, mampu melawan ketidakmampuan, menyelesaikan masalah, menjadi pemenang dalam setiap pertempuran. Baik pertempuran dalam arti sesunguhnya, maupun pertempuran yang terjadi dalam hadi, antara nafsu dan keimanan, antara perbuatan dosa dan penetahuan atas benar dan salah, antara keininan dan kenyataan yang tidak seiring sejaran, antara dendam dan mengikhlaskan. Dhira mendengarkan dengan seksama penjelasan ayahnya. Yang kemudian Dhira sadar itu adalah nasihat terakhir  ayahnya, ayah tercinta meninggalkan Dhira di usia 22. Usia belia dengan seorang ibu yang semakin bertambah tua. Harus ia jaga hati dan perasaannya. Dhira kini siap.
Dhira faham benar, bahwa hidup tak harus melulu didandani dengan gelimang harta, namun akhlak yang mulia lebih utama. Dhira bertekad akan selalu berusaha untuk mewujudkan nama itu, nama yang melekat pada dirinya. Dhira akan berusaha menjadi putra terbaik untuk kedua orangtuanya. Putra yang tangguh, kuat, dan menjadi laki-laki terbaik dalam kehidupan keluarga yang akan dibangunnya kelak suatu saat. Kini tak akan ada lagi yang mampu menyakiti hatinya. Hati nya telah kuat dan kokoh. Iapun tak takut menjalani hidup. Termasuk kehidupan asmara. Ia siap melenggang denagan tekadnya terus memperbaiki diri, karena ia yakin ada seseorang yang terbaik yang disiapkan Tuhan untukknya kelak. Seseorang yang mampu menerima diri Dhira dengan seluruh kekurangan dan kelebihannya. Ia tahu janji Allah tak pernah meleset. Semua akan indah pada waktunya.
Akan ada babak-babak lain di dalam hidup Dhira, yang selalu dinantikannya. Semoga kesakitan yang dirasakan pada babak-babak awal hanyalah sebagai pembuka cerita untuk kemudian menjadikan kisah hidupnya yang penuh warna, selalu bahagia…
Semoga



Share/Bookmark

2 comments:

  1. bagus neng ceritanya, bisa menjadi inspirasi buat teteh...
    jangan lupa komen atau saran n kritik di blog tth y neng
    bunganurnisa.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. terimakasih teteh.. ;-) iya.. nanti berkunjun.. :-)

    ReplyDelete