Search This Blog

Saturday, January 10, 2015

Mama Pergi di Tanggal 10 Januari



Malam itu aku lupa lagi hari apa. yang pasti malam itu tanggal 10 januari 2012. pintu rumah ku diketuk seseorang. yang sudah dijanjikan akan datang menjemput.
telepon genggam ku tak berhenti berbunyi, banyak SMS masuk, yang isinya hampir sama : bertanya kabar. semakin terasa janggal, saat sanak sodara yang sama sekali jarang SMS dan berkomunikasi tiba-tiba mendadak perhatian dengan kabar dan keadaanku ku malam itu. sok perhatian dan rasanya hanya basa-basi belaka.

suamiku membukakan pintu. aku tetap asik di kamar. Memainkan laptop mencari hiburan. Mengalihkan pertanyaan dari tanda Tanya besar, ada apa mereka tiba-tiba menjadi seperhatian itu.
Adik sepupuku datang, memakai kaos oblong. Mukanya tampak menyembunyikaa sesuatu. Tapi tampak tetap tenang. Dia menyapaku,
“hai teteh.. sehat? Kita kerumah ku yuk, mama n papa menunggu”
Aku terheran-heran, ada apa lagi ini? Badanku rasanya sudah lelah, ini jam 10 malam. Inginnya aku tidur saja. Tak mau kemana-mana. Belum lagi perutku yang semakin membesar, membuatku tambah malas bepergian. Aku sedang hamil 5 bulan.
Suamiku yang sejak tadi sore merasa ikut terheran-heran, menolak ajakan sepupuku untuk segera pergi. Terlihat bersitegan diantara mereka berdua. Kemudian sepupuku menarik tangan suamiku, keluar, menjauh dari ku. Tak lama kemudian suamiku mendekatiku, muka masam nya berubah datar. Lalu : “Ayo, kita pergi sekarang!”
Aku semakin tak mengerti, tapi tak berani bertanya banyak hal. Bergegas aku mengambil tas, dan berganti pakaian. pakaian panjang, mengenakan sweeter, kerudung, celana panjang sekenanya.
Sekitar 15 menit mobil yang dikemudikan sepupu ku tiba di pekarangan rumah paman. Rumah yang memiliki halaman luas, belum rapih di benahi. Paman sedang renovasi rumah. Terlihat di sisi mobil paman yang lain, bibi ku dan 2 adik sepupuku sudah siap berankat. Di dalam rumah tampai paman ku masih sibuk mengemasi pakaian, kaos-kaos dan kemeja. Paman bilang, itu untuk baju ganti suamiku. Fikiran ku semakin tak habis fikir lagi.
Kendaraan melaju dengan perlahan, music romantic diputarkan lembut oleh Daniel sepupuku. Aku merasa lebih tenang. Walaupun berjuta pertanyaan berjubel di kepalaku. Sepanjang jalan bibi ku bercerita banyak hal, tentang pekerjaan, tentang kenakalam murid-muridnya yang juga merupakan murid-muridku. Kami asik bercerita, bertukar pendapat. Hanya paman dan suamiku yan tampak diam, mematung, bewajah datar.
Suamiku tertidur, namun tak melapaskan genggaman tangannya. Tetap menengam erat, seolah tak mau aku kehilangan pegangan atau apapun tujuannya tapi saat itu aku merasa lebih tenang lagi. Sekitar 2 jam perjalanan mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah pom bensin yang menyediakan rest area. Tempat itu cukup nysmsn untuk dijsdiksn tempst beristirahat, kami minum the hangat dan beberapa jajanan untuk menghilankan kepenatan selama perjalanan. Ternyata sudah ada 2 rombongan menunggu kami di sana. Mobil uwa dari Cianjur, dan satu lagi rombongan kakak-kakak sepupuku yang turut pergi juga menuju kota Ciamis, kota kelahirannku.
Satu persatu orang-orang menyalami ku, berbasa-basi dengan pertanyaan yang sama. Mirip dengan yang mereka tulis di SMS : “Apa kabarmu?”. Aku tak begitu peduli, hanya menjawab dengan senyuman yang setengah ku paksakan.   Percakapan ku dan bibi semakin tak terarah sebagian besar orang-orang membuat kerumunan masing-masing, entah membicarakan apa, aku tk mengerti. Hal-hal aneh begitu banyak aku temui, mulai sikap ramah yang terlalu ramah, sikap akrab yang terlalu akrab, sikap pendiam yang mendadak hangat, atau bahkan sebaliknya, sikap hangat yang tampak dingin, yang akrab menjauhiku, dan yang selalu memiliki topic pembicaraan asik mendadak hambar dan basi. Aku lelah menahan pertanyaan yang semakin mendesakku. Akhirnya satu pertanyaan keluar dari ulutku.
Aku : “kita ini mau ke mana?”
Bibi : “mau pulang kampong, kita harus berkumpul di sana…”
Aku : “ada apa?”
Bibi : “tak ada apa-apa, ayah mu meminta kami ke sana”

Aku kembali diam, mencoba membuat kesimpulan sendiri. Berbagai dugaan muncul. Aku mengira-ngira, mungkin ayahku sakit, atau adik ku kecelakaan, atau adik-adik ku masuk rumah sakit, atau…??? Deg! Jantungku berdetak kencang, ketika aku ingat mama ku. mama yang 2 hari yang lalu masih menghubungiku dengan teleponnya, bertanya kabar tentang kehamilannku, bertanya adakah keluhan yan berarti setelah kandungannku memasuku usia 5 bulan. Tidak, mama sehat, mama ku sehat!!
Jalanan macet, seolah sengaja dibuat berlama-lama agar aku semakin penasaran. Di persimpangan jalan mobil paling depan berhenti, menawarkan apakah aku akan pindah tempat. Lagi-lagi aku merasa itu hanya basa-basi saja.
*
Sampai di pekarangan rumah, aku lihat arloji di pergelanganku menunjukkan pukul tiga pagi. Lampu-lampu terpasang begitu terang, menerangi seluruh pekarangan. Orang-orang tampak berkerumun, berdiri bergerombol, namun tak saling bicara, semua diam membisu. Suasana semakin mencekam ketika aku turun dari mobil. Suamiku meraih tangan kanan ku, dan ua ku meraih tangan kiri ku, aku berjalan dipapah oleh mereka, entah apa alasannya.
Pandangan ku tertuju ke pintu rumah, di sana berdiri mama mertua, dan beberapa sanak saudara. Aku tahu, saat itu ada seseorang yang meninggal dunia, salah satu anggota keluarga kami. Tapi siapa?
Aku melihat ayah ku berdiri menunggu ku, dengan mata sembab, ia meraih ku, merangkulku, memelukku erat-erat, menangis tersedu, tanpa mengatakan apapun. Sampai di situ aku belum mengerti apa yang terjadi, siapa yang pergi meninggalkan kami. Di sudut ruangan adik pertamaku, tampak murung, wajahnya sedikit lebih tegar daripada ayah ku, ia berusaha melempar senyuman, menhiburku, kemudian merangkulku, tanpa kata, tanpa air mata, dia memang selalu tegar mengahadapi cobaan. Mataku berkeliling mencari dua sosok lagi, mama dan adik bungsuku. Adik bunsuku tak ku temui, dimana dia?
Aku melangkahkan kaki ke ruangan tengah, semua orang spontan ikut berdiri dan memandangiku dengan seksama, tanpa kedip, tanpa kata, mereka diam seribu bahasa. Hanya suamiku yang selalu menopang langkahku. Di ruang tengah kerumunan orang yang sedang menaji dan melantunkan do’a-do’a mengecilkan suara, melihat ku tiba di sana. Mataku menagkap sosok tubuh terbujur kaku, ditutupi kain batik dan tempak warna putih kain kafan. Ia berbadan lebih besar daripada adik bungsuku, lebih tinggi pula darinya. Fikiranku membuat kesimpulan sendiri tanpa harus diberitahu oleh orang lain. Mama meninggal dunia, meningalkanku, tanpa terlebih dahulu aku bisa menemuinya, merawatnya, menemaninya di saat-saat terakhir nya. Tanpa sempat aku membahagiakannya, menemani masa-masa sulit melawan penyakitnya yang sebenarnya selalu ia rahasiakan. Aku menyesal, terlalu banyak luka yang aku goreskan di hatinya, akubat kelakuanku, kenakalanku di masa remaja, keangkuhannku yang mementingkan kasa depan, proses pendewasaan diri tanpa aku sadari seiring dengan itu ibuku semakin lemah. Seolah petir menyambar, menggelegar. Ada pukulan dan hantaman yang begitu besar menyesakkakn dadaku. Sesak, sakit sekali. Aku kehilangan kesadaran.
Jam 7 pagi, orang-orang telah kembali berkerumun di rumahku. Sebagian ada yang sengaja tak pulang, dan menungu subuh di rumahku. Beberapa orang bergiliran menyolati jasad mama. Mataku tak lagi berair mata, rasanya terlalu sakit melebihi dari sesuatu yang harus aku tangisi. Rasanya tak rela mama ku pergi secepat itu. Ia belum menemaniku melahirkan anak yang aku kandung, ia belum menemui cucunya dari anak pertamanya.
Kuburan telah selesai digali, beberapa orang siap mengotong jenazah, berbagai larangan bermunculan dari mulut-mulut oaring yang ada di sana. Katanya, orang hamil tak boleh ikut ke pekuburan, nanti ini, nanti anu. Aku tak hirauan. Aku tetap inin mengantar ibu untuk terakhir kalinya. Aku dipapah oleh ayahku yang kangkahnya gontai, beberapa orang mengiringi di belakangku berjaga-jaga jika aku tak sadarkan diri lagi.
Di sisi liang lahat, aku memandang jelas, tubuh mama ku disiram tanah, diiringi dengan do’a-do’a orang-orang yang hadir di sana tanpa hentinya. Batinku kembali terenyuh, hancur berkeping-keping, perempuan terhebatku harus dikubur di sana dan aku takan pernah lagi dapat bertemu dengannya. Tak kan dapat lagi mendengar nasihatnya. Tak lagi bisa merasakan belaiannya di rambutku ketika aku berkeluh kesah…
mama.. selamat jalan, semoga Allah menempatkanmu di tempat terbaik Nya. Do’aku takan pernah terputus untukmu…
Setelah itu aku mulai menguatkan diri, aku ingin tegar seperti mama, bayi dalam kandunganku harus merasa beruntung terlahir dari rahimku sebagai ibunya. Seperti aku yang merasa sangat beruntung dilahirkan dan dibesarkan oleh perempuan sehebat mama. Setegar mama, seistimewa mama. mama yang tak pernah mengeluh akan sakitnya, tak pernah kalah dengan lelah, dan tak pernah mengalah pada perasan sakit hati. Mama selalu bisa melaluinya.
Sekarang, tanggal 10 januari 2015, 3 tahun sudah mama meninggalkan kami, semoga mama tetap damai di sana… I love u mama…


  


Share/Bookmark

7 comments:

  1. innalilahi wa inalilahi rojiun de. turut berduka atas kepergian mama. hanya dengan membaca ceritanya saja a ikut terbawa suasana sedih yg ade rasakan. semoga mama damai di sana, diberi kenikmatan kubur.

    kadang a cuek terharap orng tua, padahal penyesalan tidak lah datang di awal. terima kasih de tlah menyadarkan aa, betapa berharganya mereka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih udah baca ;-) jangan lupa baca yan lainnya ya... ;-)

      Delete
  2. makasih... aamiin... yra...
    jaga hati mereka baik2 a...lakukan yang terbaik, bkin mereka bangga. jangan sampai menyesal di kemudin hari. da penyesalanmh selalu datang belakangan. mun di awalmah pendaftaran. hehe.. ;-)

    ReplyDelete
  3. baru main ke blog atik,baca2..baru tahu ceritanya seperti ini sediih nyampe ikutan nangis bacanya 😢 jadi pengen peluk atik 😥

    ReplyDelete
  4. makasiih udah berkunjung... peluk juga... ;-)

    ReplyDelete