Search This Blog

Tuesday, January 27, 2015

Tiga Buah Permen untuk Arsa



Hari senin pagi, Arsa masih terlena dengan selimut tebalnya. Padahal di luar sana orang-orang sibuk hilir mudik dengan berbagai kesibukan di hari senin. Jalanan macet, keluhan-keluhan bertebaran di langit atas jalanan, banyak yang terlambat datang ke tempat kerja, atau marah karena tak sengaja bersinggungan antara sesama pengguna jalan. Hari itu Arsa pun punya agenda. Pekerjaan yang tidak terlalu mendesak. Namun yakin, pekerjaan nya harus selesai hari itu juga. Betapa beratnya beranjak dari tempat tidur yang hangat itu, udara dingin dan rintik hujan membuatnya semakin betah berlama-lama di sana

Ada penyebab lain yang membuatnya betah di bawah selimut hangatnya. Arsa asik dengan telepon gengamnya. Dia asik bolak-balik membaca beberapa pesan singkat dari gadis yang disukainya. Gadis yang beberapa hari lalu baru saja memberikan warna baru dalam hidupnya. Tersenyum manis seraya mengangukan kepala tanda setuju, tanda kesiapan, menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman. Ya, sedari dulu Arsa menaruh hati kepada Allina teman sepekerjaannya. Bertahun-tahun ia memendam rasa. Arsa memang tak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan perasaannya itu. Ada beberapa alasan yang selalu mengurungkan niatnya. Alasan pertama, sejak pertama Arsa menyukai gadis itu ia telah berada dalam sebuah setatus pacar orang. Sampai sekarang sebenarnya ia masih berhubungan baik dengan Emmy kekasihnya. Emmy yang juga setia, baik hati, selalu mengerti Arsa. Hanya satu yang kadang Arsa tak tahan, yaitu sifat keras kepala nya Emmy, membuatnya merasa ragu akankah hubungan itu dilanjutkan ke jenjang yang lebih jauh. Namun apa mau dikata, pertanyaan tentang keraguraguan itu harus Arsa enyahkan jauh-jauh. Arsa dan Emmy telah resmi bertunangan tiga bulan yang lalu. Tiga bulan sebelum akhirnya Arsa mengetahui bahwa gadis yang ia sukai dari dulu di tempatnya bekerja sebenarnya memiliki perasaan yang sama.
Ada penyesalan yang menggumpal di hatinya. Mengapa Arsa tak menyatakan cintanya sejak dulu, sebelum akhirnya ia membuat komitmen dengan Emmy. Mengapa ia tak pernah memiliki keberanian yang cukup untuk menyatakan semuanya. Hanya karena Allina selalu terlihat dijemput sesorang sepulang kerja. Bukankah pepatah mengatakan sebelum janur kuning melengkung semua orang punya hak untuk menyatakan perasaannya? Ya, kini malah janur kuning milik nya yang hampir melengkung duluan. Ah… Arsa bingung dengan keadaannya sekarang. Satu sisi ia merasa berhak memiliki apa yang ia idam-idamkan sejak dulu, sisi lain ia juga tak mungkin meninggalkan semuanya. Keluarga mereka akan sangat kecewa jika mengetahui Arsa membatalkan rencana pernikahan mereka.
*
Hujan yang deras meliputi kota Bandung, Arsa berdiri terpaku di depan pintu masuk ruangan kerja. Memandangi rinai hujan yang bergerombol mengenai apapun yang dikenainya, membuatnya basah kuyup, termasuk motor nya di tempat parkir halaman kantor. Di dalam ruangan Allina asik berbincang dengan sesama rekan kerja perempuan yang juga terjebak hujan. Diam-diam Arsa melayangkan pandanannya ke dalam ruangan. Memperhatikan kerumunan teman-teman kerja perempuannya. Tapi satu yang selalu menarik perhatian Arsa. Allina tampak cantik mengenakan seragam kerja biru toska, dengan kerudung motif batik warna senada. Gadis itu tampak anggun. Dan ketika tak sengaja pandangan mereka beradu, deg! Ada getaran hebat dalam dada Arsa. Membuat dia merasa gugup dibuatnya. Degup jantungnya mengencang, berpacu dengan gemercik air hujan di luar ruangan.
Hujan mulai mengecil. Beberapa rekan pamit pulang memaksa menembus derai hujan, rela berbasah-basahan. Ada juga yang sudah dijemput pasangannya, pacar, suami, bahkan dijemput sopir pribadi. Ruangan kerja yang semula ramai dengan percakapan berbagai hal, kini lengang, sepi, hanya gemerisik hujan yang terdengar. Di ruangan itu hanya ada empat orang. Bu Irna yang sejak tadi tampak mengantuk membenahi diri di meja kerjanya, siap-siap tidur sejenak sambil menunggu jemputan suaminya. Sedangkan Tedi tampak asik dengan komputernya, memainkan game kesukannya. Arsa kembali ke belakang meja kerjanya, membereskan beberapa arsip, dan kemudian tangannya iseng memainkan telephon genggam.
Allina menghampiri, dengan wajah penuh keraguan, seolah bertanya, bolehkan aku mndekat?. Arsa membetulkan duduknya, mempersilahkan Allena duduk di hadapannya. Dadanya kembali berdebar. Allina memulai pembicaraan. “Ar… boleh Al curhat?” seraya tersenyum Arsa menjawab lembut “Boleh dong All… telingaku selalu siap mendengarkan”. Allina memulai cerita.
“Ar… akhir-akhir ini All risih dengan yang namanya Pak Samsul. Dari divisi sebelah. Kamu tahu kan Ar…? Dia kan sudah punya isteri, masa bulan lalu dia bilang suka sama aku… serem kan…?” Ada pukulan keras menghantam dada Arsa. Ternyata bukan hanya dirinya yang menyukai Allina. 
“Belum lagi Atar, dan Harry yang minggu lalu menyatakan cinta lewat bunga di halte bis. Mereka kayak janjian loh Ar… dan bersaing ngedapetin aku. Aku bingung Ar… musti gimana. Aku udah tolak mereka secara halus, aku bilang aku sudah punya pacar, tapi mereka semua tak patah arang, malah semakin semangat mencuri perhatiannku. Barusan aja Pak samsul menawarkan jasa mengantarkan aku pulang Ar… makanya aku belum berani keluar dari sini…”
Arsa mencoba tenang. Lalu bergumam “Berarti selain pacar kamu ada empat orang yang juga mengharapkan kasih sayang kamu All…”. dahi Allina mengernyit “Empat Ar…? Tiga lah…”. Arsa kini tertawa lepas, lalu memasang jari tangannya “Lihat Allina yang manis… kita hitung ya… tadi kamu bilang Pak Samsul, Atar, dan Harry, suka sama kamu”. Allina pun ikut tertawa, dalam fikirannya temannya yang satu ini tak bisa menghitung rupanya. “Yang satunya lagi aku All….” Arsa akhirnya menucapkan kalimat itu. Dengan nada yang penuh kesungguhan, palan tapi pasti. Matanya tak melepaskan pandangan, tetap tertuju pada gadis pujaan nya yang telah lama diidam-idamkan selama 4 tahun.
Allina tersentak kaget, tawanya yang lepas, kini terhenti, berganti mimik muka memerah. Sedikit tak yakin, “Ar… tolong ulangi kata-kata mu tadi… apa aku tak salah dengar?”. Arsa memperdalam tatapannya, seolah meyakinkan gadisnya
“All… dengarkan baik-baik, benar, aku menyukaimu sejak first time kita ketemu, sejak aku melihatmu di sini. Tempat kerja ini yang menjadi saksi bisu tumbuhnya perasaanku kepadamu, tempat ini juga yang melahirkan benih-benih rasa yang aku punya, lalu rasa itu tumbuh subur dan semakin subur seiring berjalannya waktu. Aku, kamu, sering jalan bersama dalam perjalannan tugas. Saat aku bisa memboncengmu ada perasaan tersendiri selain sekedar membonceng rekan kerja, saat kita makan siang bersama ada perasaan yang selalu bertambah dalam kepadamu, senyummu, gerak-gerik mu, caramu berbicara, membuat aku semakin terpesona All… Aku benar-benar minta maaf atas pengakuan ini. Aku tak peduli kamu akan menganggap apa, tapi yan penting sekarang aku lega, akhirnya kalimat-kalimat ini meluncur juga. Semoga bukan hanya telingamu yang mendengarnya All… Aku harap ini sampai ke hatimu…” Arsa menghela nafas panjang. Ia bahkan tak percaya kali ini ia bisa mengatakan semuanya tanpa beban, tanpa keraguan, tanpa terbata-bata. Lancar bebas hambatan. Ada selembar beban hilang dari rongga dada nya. Ada perasaan lega yang hadir, kini rasanya Arsa bisa bernafas lega.
Allina tergugu, diam tanpa kata. Wajahnya tertunduk, mati kutu di depan Arsa. Ia tak percaya jika laki-laki yang semula ia kira hanya menganggapnya sahabat itu ternyata memiliki perasaan yang dalam, dan berani menyimpan nya lama sekali. Lalu “Ar… Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?” Arsa lagi-lagi menghela nafas, kini ia tak sanggup memandang mata lawan bicaranya. “Aku tak tahu All… saat kamu menghampiriku tiba-tiba keberanian itu muncul begitu saja…” nada bicara Arsa kini datar. Seolah ada alasan yang lebih tepat daripada apa yang baru saja ia katakan.

“All… Boleh aku tahu, apakah ketiga orang yang menyukaimu pernah berkunjung ke rumah?” Allina heran, menapa Arsa bertanya demikian.
“Kenapa Ar…?”
“Gak apa-apa, aku hanya cemburu” Arsa mengatakan nya sambil memandangi lantai, kemudian mendongak menatap langit-langit.
“Maafkan aku Ar… harusnya jika sebelumnya kau tahu tentang perasaanmu aku tak perlu menceritakan ini semua”.
“Tak apa-apa All, toh aku untuk mu bukan siapa-siapa…” Allina mendongak, seolah berpendapat lain Siapa bilang kau tak berarti apa-apa?
“Enggak Ar…”
“Enggak apa Allina…?” Arsa tak sabar menanti jawaban.
“Aku juga memiliki perasaan yang sama. Dulu aku pernah benar-benar yakin jika kamu menyukaiku. Perhatianmu yang aku rasa lebih hangat, caramu memperlakukan aku berbeda dengan perlakuanmu terhadap orang lain. Tapi kemudian semua menjadi samar ketika aku tahu kau pun terlalu akrab dengan semua orang. Aku fikir aku hanya dianggap teman biasa. Sama seperti yang lainnya…”

Bagai terbang di angkasa ketika seorang Garra Arsana mendengar penjelasan Allina. Hati nya kini penuh dengan taman bunga, bermekaran di mana-mana.

“Oke All, kita sekarang sama-sama tahu perasaan masing-masing. Aku janji akan menjaga rasa ini untukmu.”
“Tapi Ar… bagaimana dengan Ammy…?”
“Aku pun tak tahu All… Aku dan dia sebentar lagi menikah, tapi aku cukup merasa lega telah menyatakan ini semua kepadamu. Setidaknya aku tidak memendam perasaan ini berlarut-larut.”
“Baik Ar… Aku akan simpan titipan rasamu di sini di salah satu sudut hati ku”.

*
Jam telah menunjuk angka 09.00. Arsa bergegas mandi, lalu menyiapakan perlengkapan untuk pergi melaksanakan tugas lapangan. Sebelum berangkat, ia sempat bertanya kabar kepada Allina. Mereka berjanji akan bertemu di suatu tempat.
30 menit waktu tempuh ke tempat janjian, mereke bertemu dengan bekal rindu masing-masing. Rindu yang sesunguhnya terlarang, tak sepenuhnya boleh mereka rasakan. Ada hati-hati yang menantung pada dada orang-orang yang menumpukan harapan kepada Arsa, juga hati seseorang yang mencintai Allina. Arsa menumpahkan rindunya, memandangi wajah cantik Allina di meja Restoran cepat saji. Mulai saat itu ia berjanji akan menjaga perasaan yang ia miliki, walau sesunguhnya ada separuh perasaan yang sama untuk Ammy. Tapi Arsa tak terlalu mengerti, mengapa kini ia merasakan kenyamanan yang luar biasa saat di dekat Allina. Arsa sadar, jika ia tak boleh terlalu larut dengan perasaan itu, Arsa takut menyakiti Ammy. Begitupun Allina tak berani terlalu banyak menumpahkan rasa kepada Arsa, ia tahu persis Huda mencintainya mati-matian. Saat itu mereka hanya makan bersama. Entah sarapan atau makan siang, mereka tak tahu, yang mereka tahu hanyalah bagaimana caranya bertemu di luar urusan pekerjaan.

Hanya 30 menit mereka bertemu di sana. Untuk kemudian berpisah dan melanjutkan masing-masing. Arsa pergi dinas luar, dan Allina kembali ke kantor. Sebelum berpisah Allina meberikan tiga buah permen kepada Arsa. Allina menyerahkannya ke tangan Arsa, kemudian membantu Arsa mengepalkan tangannya.

“Ar… aku kasih permen ini untuk teman perjalananmu. Kenapa hanya tiga? Kerena hanya tiga kata yang aku punya untuk mu. Yaitu I Love You. dan hanya tiga kata yang aku rasakan sekarang, yaitu I Need You, dan ada tiga detik yang paling berarti dan memberi kesan mendalam di kehidupanku tentang kamu. Yaitu detik pertama ketika aku mendengar kejujuranmu, detik kedua saat aku merasakan getar cinta yang hadir setelah kejujuranmu, detik ketiga yaitu saat aku harus melepasmu kembali kepada Ammy, tunanganmu. Biarkanlah harapan kita menggantung di langit yang tinggi. Aku tak berani berharap bisa meraihnya Ar… Ammy lebih membutuhkanmu. Pergilah… hati-hati”

Mendengar itu semua, Arsa berjanji tak akan memakan permen itu sampai kapanpun. Akan ia jaga sebagai kenang-kenagan. Atau bahkan akan ia makan semua, biar semuanya mendarah daging, yang tak akan pernah lepas dari tubuhnya. Ia pergi bertugas, dan suara gumamannya samar-samar terdengar berlomba dengan deru kendaraan di jalanan. “Allina… lima puluh persen dari hatiku telah menjadi milikmu… walau aku tahu kita tak akan mungkin bisa bersama”. Kendaraan Arsa melaju, membawa pengemudinya menjauh dari restoran cepat saji. Membawa seribu tanda tanya, dan tiga buah permen di saku celana.

Dalam gerimis sore di Ujungberung
27012015




Share/Bookmark

2 comments:

  1. Alhamdulillah.. terimakasih sudah menjadi pembaca setia pak Denz.. sepertinya harus dikasih permen juga neh sebagai hadiah. hehe..

    ReplyDelete