Search This Blog

Saturday, January 31, 2015

Mimpi Kecil yang Menjadi Kenyataan

Hujan sore itu begitu deras, tak seperti hari sebelumnya. Buah hati ku tertidur pulas berselimut tebal di kamar kami. Biasanya jika hujan turun, anak kecil yang lucu itu meminta payung, dan mengajakku bermain air hujan di luar rumah. Kini ia terlelap lelah bermain siang tadi.


Aku duduk menghadap jendela, mengamati hujan dari balik kain gordeng transparan yang dibeli dan dipasang mertuaku sebelum kami akhirnya menikah dan tinggal di sini. Di rumah mungil yang selalu ku anggap istana, rumah kecil yang sangat aku syukuri karena keberadaannya terwujud dari kerja keras suami ku, hasil keringatnya sendiri, dan disiapkan jauh-jauh hari sebelum kami menjadi suami isteri. Ia tak pernah meminta bantuan finansial kepada orangtuanya untuk menyiapkan rumah ini, hal itulah salah satu alasan yang membuatku mengambil keputusan untuk menikahinya. Ya, karena ia pekerja keras dan mandiri.

Kami memang bukan keturunan orang kaya, orangtua kami adalah guru-guru Sekolah Dasar yang bekerja dan digaji oleh pemerintah, sejak kecil kami tak pernah dimanjakan dengan materi melainkan dengan bekal buku dan pensil dengan uang jajan secukupnya. Sekarang kami harus bekerja keras dan berhemat untuk mewujudkan mimpi-mimpi kami.

Ada satu mimpi kami, khsusnya mimpi suamiku yang belum terwujudkan. Yaitu ingin memiliki motor matic, agar aku tak harus naik ojek dan angkutan kota ke tempat aku bekerja yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Ya, rumah kami berada di dataran tinggi kecamatan Ujungberung Kota Bandung, perumahan yang elok berada di areal pesawahan, cukup sejuk dan masih asri, nyaman untuk tempat kami yang dari kecil terbiasa dengan udara sejuk dan bersih. Untuk menjangkau jalan raya utama kami harus menempuh 10 menit perjalanan dengan sepeda motor, jika suamiku tak ada aku harus naik ojek. Satu-satunya kendaraan umum yang bisa aku gunakan, yang ongkosnya semakin mahal saja, menguras tabungan. Tabungan untuk masa depan anak-anak kami, untuk merenovasi rumah, membeli perabotan rumah tangga atau… membeli motor matic itu.

Motor? Hm.. sebenarnya aku ragu, jika nanti memiliki motor. Apakah bisa aku mengendarainya? Apa aku berani belajar? Sedangkan naik sepeda saja aku tak becus. Sejak kecil aku hidup di kampung. Di pelosok kota Ciamis yang jauh dari keramaian. Aku dibesarkan oleh orangtua yang mementingkan pendidikan, yang senang menghadiahi anak-anaknya dengan buku-buku, mengajak berkebun, memancing ikan di kolam, atau jalan-jalan ke pegunungan. Bukan sepeda, bukan membelikan kami motor, seperti teman-teman ku saat itu. Aku mungkin perempuan yang udik, dan pantas dikatain “Hari gini gak bisa naik sepeda… apa kata dunia?”. Tapi tak mengapa, aku tetap bersyukur menjadi diriku dengan keadaanku saat ini, walaupun ada rasa malu dikit, hehehe…

Aku jadi ingat, hari kemarin suamiku bertanya, kapan aku akan belajar sepeda? Dengan santai aku menjawab, “ya setelah aku memiliki sepeda sendiri”. Suami ku tersenyum manis mendengar jawabanku. Snyuman manis yang meneduhkan , dan selalu membuatku merasa nyaman di dekatnya. Oya, slama ini di rumah kami memang ada 3 buah sepeda, satu sepeda gunung milik suamiku, dan dua lagi milik jagoan kecil kami. Sepeda tinggi yang biasa dipakai suamiku, aku tak memiliki keberanian untuk menaiki nya apalagi untuk belajar mengendarainya. Terlalu tinggi, dan aku sering membayangkan jika misal aku jatuh tersungkur dan menjadi bahan tertawaan anak-anak tetangga yang sudah pada jago balapan itu, ngeri rasanya. Aku tak mau, lebih baik aku tak bisa mngendarai sepeda selamanya, daripada harus menanggung malu.

Hujan semakin deras, ku lihat jam menunjukkan jam 5 petang. Anak ku masih terlelap. Telepon genggamku berbunyi, Ada pesan masuk, dari suamiku. “yank.. lagi apa? Di sana hujan gak? Baik-baik di rumah ya…”. Aku balas sms itu dengan penuh suka cita, di tengah kesibukannya suamiku selalu menyempatkan diri memberi kabar atau bertanya tentang kabarku dan anak kami.

Balasan terkirim, kemudian “maaf ya… hari ini ayah harus lembur dan tak tahu pulang jam berapa”. Seketika raut wajah ku berubah. Aku tak mau melewati malam yang dingin, dalam keadaan hujan deras hanya berdua saja dengan anak kecil. Tapi aku tak punya keberanian untuk memintanya segera pulang, karena aku mengerti, itu adalah perintah dari atasannya. Maka ku balas “oh… begitu, jangan telat makan ya…”. Aku jadi ingat dengan masakan yang telah ku buat, makanan kesukaan suamiku, yang ku buat dengan sepenuh hati yang aku siapkan untuk disantap suamiku selepas magrib nanti. Ku fikir pasti semua itu akan mubadzir jika ternyata suamiku pulang terlalu malam. Hhhh….

Agak bĂȘte dengan kabar pulang malam itu, kulihat di balik jendela hujan masih tetap deras dan angin tampak menemani rintik-rintik hujan yang berjatuhan. Berlomba membuat suara-suara riuh menakutkan. Kujatuhkan badanku di samping si kecil. Entah mengapa lamunan ku tentang keingingan bisa mengendarai sepeda muncul lagi. Wajah-wajah tetangga yang sudah terbiasa pergi ke pasar dan mengantar anak-anak nya bersekolah dengan sepeda motor, solah meledekku, mereka bilang aku terlalu kampungan, dan bukan wanita modern yang serba bisa… hm… terasa ada yang mendesak dalam dada dan aku simpulkan perasaan itu seperti semacam iri hati. Nah lho… Deretan kalimat berawal kata ‘seandainya’ muncul di benakku, bak antrian panjang, mereka membuatku mencari-cari alasan pembenaran bahwa perempuan tak harus bisa naik sepeda, tak harus bisa mengendarai motor dan bla bla bla…

Suara kelakson motor mengejutkan lamunanku. Dari balik gordeng aku mengintip siapa yang datang. Dan secara mengejutkan, sesosok laki-laki yang sangat aku kenal, berdiri di balik pagar rumah basah kuyup dan tampak kedinginan. Aku berlari keluar menerobos hujan yang deras lalu membukakan pintu gerbang, tanpa jas hujan dengan jaket basah, suamiku tersenyum dan matanya mengisyaratkan sesuatu agar aku melihat apa yang diboncengnya petang itu. Sepeda lipat berwarna hijau ada dijok motor nya. Aku tak dapat berkata apa-apa. Dengan segera aku menarik tangan suamiku agar ia segera berteduh. Tanpa menutup pintu gerbang aku memeluknya dalam basahnya hujan. Mengucapkan terimakasih yang tak henti-henti. Ia tersenyum lagi, dan lagi-lagi tersenyum, seraya mengecup keningku, dan berkata “besok kita akan belajar sepeda, tak usah malu, dan ayah akan menemanimu”. Damai rasanya hati ini… mimpiku terwujud dengan segera. Terimakasih Tuhan, terimakasih suamiku sayang. Kejutan ini menambah kecintaan dan rasa hormat ku padamu. Takan kusia-siakan semuanya. Kami segera masuk dan ku siapkan air hangat juga makan malam untuk suamiki tercinta…



Share/Bookmark

No comments:

Post a Comment