Hujan
sore itu begitu deras, tak seperti hari sebelumnya. Buah hati ku tertidur pulas
berselimut tebal di kamar kami. Biasanya jika hujan turun, anak kecil yang lucu
itu meminta payung, dan mengajakku bermain air hujan di luar rumah. Kini ia
terlelap lelah bermain siang tadi.
Aku
duduk menghadap jendela, mengamati hujan dari balik kain gordeng transparan
yang dibeli dan dipasang mertuaku sebelum kami akhirnya menikah dan tinggal di
sini. Di rumah mungil yang selalu ku anggap istana, rumah kecil yang sangat aku
syukuri karena keberadaannya terwujud dari kerja keras suami ku, hasil
keringatnya sendiri, dan disiapkan jauh-jauh hari sebelum kami menjadi suami
isteri. Ia tak pernah meminta bantuan finansial kepada orangtuanya untuk
menyiapkan rumah ini, hal itulah salah satu alasan yang membuatku mengambil keputusan
untuk menikahinya. Ya, karena ia pekerja keras dan mandiri.
Kami
memang bukan keturunan orang kaya, orangtua kami adalah guru-guru Sekolah Dasar
yang bekerja dan digaji oleh pemerintah, sejak kecil kami tak pernah dimanjakan
dengan materi melainkan dengan bekal buku dan pensil dengan uang jajan
secukupnya. Sekarang kami harus bekerja keras dan berhemat untuk mewujudkan
mimpi-mimpi kami.
Ada
satu mimpi kami, khsusnya mimpi suamiku yang belum terwujudkan. Yaitu ingin
memiliki motor matic, agar aku tak harus naik ojek dan angkutan kota ke tempat aku
bekerja yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Ya, rumah kami berada di dataran
tinggi kecamatan Ujungberung Kota Bandung, perumahan yang elok berada di areal
pesawahan, cukup sejuk dan masih asri, nyaman untuk tempat kami yang dari kecil
terbiasa dengan udara sejuk dan bersih. Untuk menjangkau jalan raya utama kami
harus menempuh 10 menit perjalanan dengan sepeda motor, jika suamiku tak ada
aku harus naik ojek. Satu-satunya kendaraan umum yang bisa aku gunakan, yang
ongkosnya semakin mahal saja, menguras tabungan. Tabungan untuk masa depan
anak-anak kami, untuk merenovasi rumah, membeli perabotan rumah tangga atau…
membeli motor matic itu.
Motor?
Hm.. sebenarnya aku ragu, jika nanti memiliki motor. Apakah bisa aku
mengendarainya? Apa aku berani belajar? Sedangkan naik sepeda saja aku tak
becus. Sejak kecil aku hidup di kampung. Di pelosok kota Ciamis yang jauh dari
keramaian. Aku dibesarkan oleh orangtua yang mementingkan pendidikan, yang senang
menghadiahi anak-anaknya dengan buku-buku, mengajak berkebun, memancing ikan di
kolam, atau jalan-jalan ke pegunungan. Bukan sepeda, bukan membelikan kami
motor, seperti teman-teman ku saat itu. Aku mungkin perempuan yang udik, dan
pantas dikatain “Hari gini gak bisa naik sepeda… apa kata dunia?”. Tapi tak
mengapa, aku tetap bersyukur menjadi diriku dengan keadaanku saat ini, walaupun
ada rasa malu dikit, hehehe…
Aku
jadi ingat, hari kemarin suamiku bertanya, kapan aku akan belajar sepeda?
Dengan santai aku menjawab, “ya setelah aku memiliki sepeda sendiri”. Suami ku
tersenyum manis mendengar jawabanku. Snyuman manis yang meneduhkan , dan selalu
membuatku merasa nyaman di dekatnya. Oya,
slama ini di rumah kami memang ada 3 buah sepeda, satu sepeda gunung milik
suamiku, dan dua lagi milik jagoan kecil kami. Sepeda tinggi yang biasa dipakai
suamiku, aku tak memiliki keberanian untuk menaiki nya apalagi untuk belajar
mengendarainya. Terlalu tinggi, dan aku sering membayangkan jika misal aku
jatuh tersungkur dan menjadi bahan tertawaan anak-anak tetangga yang sudah pada
jago balapan itu, ngeri rasanya. Aku tak mau, lebih baik aku tak bisa
mngendarai sepeda selamanya, daripada harus menanggung malu.
Hujan
semakin deras, ku lihat jam menunjukkan jam 5 petang. Anak ku masih terlelap. Telepon
genggamku berbunyi, Ada pesan masuk, dari suamiku. “yank.. lagi apa? Di sana
hujan gak? Baik-baik di rumah ya…”. Aku balas sms itu dengan penuh suka cita,
di tengah kesibukannya suamiku selalu menyempatkan diri memberi kabar atau
bertanya tentang kabarku dan anak kami.
Balasan
terkirim, kemudian “maaf ya… hari ini ayah harus lembur dan tak tahu pulang jam
berapa”. Seketika raut wajah ku berubah. Aku tak mau melewati malam yang
dingin, dalam keadaan hujan deras hanya berdua saja dengan anak kecil. Tapi aku
tak punya keberanian untuk memintanya segera pulang, karena aku mengerti, itu
adalah perintah dari atasannya. Maka ku balas “oh… begitu, jangan telat makan ya…”.
Aku jadi ingat dengan masakan yang telah ku buat, makanan kesukaan suamiku,
yang ku buat dengan sepenuh hati yang aku siapkan untuk disantap suamiku
selepas magrib nanti. Ku fikir pasti semua itu akan mubadzir jika ternyata
suamiku pulang terlalu malam. Hhhh….
Agak bĂȘte
dengan kabar pulang malam itu, kulihat di balik jendela hujan masih tetap
deras dan angin tampak menemani rintik-rintik hujan yang berjatuhan. Berlomba
membuat suara-suara riuh menakutkan. Kujatuhkan badanku di samping si kecil.
Entah mengapa lamunan ku tentang keingingan bisa mengendarai sepeda muncul
lagi. Wajah-wajah tetangga yang sudah terbiasa pergi ke pasar dan mengantar
anak-anak nya bersekolah dengan sepeda motor, solah meledekku, mereka bilang
aku terlalu kampungan, dan bukan wanita modern yang serba bisa… hm… terasa ada
yang mendesak dalam dada dan aku simpulkan perasaan itu seperti semacam iri
hati. Nah lho… Deretan kalimat berawal kata ‘seandainya’ muncul di benakku, bak
antrian panjang, mereka membuatku mencari-cari alasan pembenaran bahwa
perempuan tak harus bisa naik sepeda, tak harus bisa mengendarai motor dan bla
bla bla…
Suara
kelakson motor mengejutkan lamunanku. Dari balik gordeng aku mengintip siapa
yang datang. Dan secara mengejutkan, sesosok laki-laki yang sangat aku kenal,
berdiri di balik pagar rumah basah kuyup dan tampak kedinginan. Aku berlari
keluar menerobos hujan yang deras lalu membukakan pintu gerbang, tanpa jas
hujan dengan jaket basah, suamiku tersenyum dan matanya mengisyaratkan sesuatu
agar aku melihat apa yang diboncengnya petang itu. Sepeda lipat berwarna hijau
ada dijok motor nya. Aku tak dapat berkata apa-apa. Dengan segera aku menarik
tangan suamiku agar ia segera berteduh. Tanpa menutup pintu gerbang aku
memeluknya dalam basahnya hujan. Mengucapkan terimakasih yang tak henti-henti.
Ia tersenyum lagi, dan lagi-lagi tersenyum, seraya mengecup keningku, dan
berkata “besok kita akan belajar sepeda, tak usah malu, dan ayah akan
menemanimu”. Damai rasanya hati ini… mimpiku terwujud dengan segera. Terimakasih
Tuhan, terimakasih suamiku sayang. Kejutan ini menambah kecintaan dan rasa
hormat ku padamu. Takan kusia-siakan semuanya. Kami segera masuk dan ku siapkan
air hangat juga makan malam untuk suamiki tercinta…
No comments:
Post a Comment