Pagi buta Arya sudah terbangun. Bergegas
mengambil air wudhu kemudian melangkahkan kaki nya ke mesjid yang berada tak
jauh dari rumah orang tuanya. Ya, Arya masih tinggal di rumah orangtuanya,
menjaga satu-satunya peninggalan mereka. Rumah tua yang masih kokoh untuk
ditinggali.
Arya mendapatkan amanat dari kakak-kakanya untuk tetap tinggal di
sana menjaga rumah. Rumah tempat keluarga besar berkumpul jika Hari Raya Idul
Fitri tiba, atau musim kurban datang, atau juga berkumpul untuk menyengaja bersilaturahmi
di hari lain. Arya masih hidup sendiri, meski kakak-kakak nya selalu mendesak
agar Arya segera menikah. Kini usia Arya sudah tak muda lagi, 29 tahun, hampir kepala
tiga. Orang bilang itu usia rawan yang menentukan seseorang laku atau tidak.
Bukan tak ada yang mau kepada
Arya. Banyak perempuan yang boleh dibilang antri mendapatkan cinta nya. Wajah Arya
memang tak terlalu tampan, tapi ia memiliki sejuta jurus untuk menaklukan hati
perempuan. Rayuan dan pujian yan sering Arya lontarkan, membuat setiap
perempuan bisa melayang hatinya, terbang tingi, dan takkan berhenti memikirkan
perkataan Arya. Badannya yang atletis kerena rajin fitness, membuat Arya lebih
menarik lagi di mata perempuan, senyumannya yang manis, pandangan nya yang
tajam juga memukau. Satu lagi, setiap gadis yang berhasil menarik perhatian
Arya dia panggil dengan sebutan “cantik”. Hati siapa yang takan rontok
dibuatnya.
Namun sampai sekarang pemuda itu
pun dibuat bingung setengah mati, tak mengerti kenapa sampai saat ini belum
juga ada perempuan yang benar-benar membuatnya yankin untuk
dijadikan istri. Baginya semua wanita sama, hanya meninginkan pujian, bukan
kesiapan untuk hidup bersama. Yang Arya butuhkan adalah perempuan yang bisa
sepenuhnya mengerti dirinya, perempuan yang memaklumi segala apa yang
disukainya. Naik gunung, bersepeda dengan sepeda kesayangannya, touring bersama
kawan-kawannya, atau sengaja menantang bahaya arung jeram, climbing, plyingfox,
atau apapun yang memacu adrenalinnya. Ia tak ingin setelah menikah nanti
perempuan yang menjadi istrinya melarangnya melakukan semua itu. Karena semua
itu adalah hal yang sangat dicintainya. Angin gunung telah menjadi sesuatu yang
selalu dirindukannya, Mossi sepeda kesayangannya ibarat telah menjadi bagian
dari hidupnya, suka duka dilakukan bersama, terjalnya rute perjalanan merupakan
hal terindah jika dilalui Arya bersama dengan sepedanya.
Tak harus menempuh waktu 5 menit,
Arya telah sampai di pekarangan Mesjid Baiturrahman, satu-satunya mesjid di
kampungnya. Beberapa jamaah menyapa nya, tak sedikit pula para gadis yang
merupakan santri pengajian menyempatkan mencuri perhatiannya ketika menuju
tempat wudhu. Arya membalas sapaan atau senyuman itu satu persatu. Sapaan seramah
mungkin, dan senyuman semanis mungkin.
Tak mau berlama-lama, setelah
berjamaah solat subuh Arya bergegas pulang, ingat janjinya kepada kawan lama
akan bersepeda bersama hari ini ke Pangalengan. Salah satu tempat sejuk yang
indah di dataran tinggi kota Bandung. Kota kelahirannya. Arya bersiap-siap. Menyiapakn
ini itu seorang diri. Sudah biasa.
Selangkah lagi Arya menuju pintu
keluar, Hanphone nya berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk. Menyapa :
“Selamat Pagi Arya… Apa kabar?”
Seakan meloncat Arya kegirangan,
diulangnya lagi membaca pesan pendek itu, memastika apakah benar pesan itu
dikirim oleh Maya. Maya gadis pujaannya yang ia temui di acara pelatihan dan
penyuluhan tentang kesehatan. Gadis pertama yang benar-benar membuatnya susah
tidur, membuatnya memiliki detak jantung yang kencang ketika berhadapan
dengannya, benar-benar membuat penasaran Arya. Tak seperti gadis lain yang
hanya dengan memujinya mereka langsung ‘klepek-klepek”. Sedangnkan Maya, justru
membuat Arya tak mampu melontarkan pujian. Menurutnya Maya lebih dari sekedar
cantik. Terlalu indah tak ada kata-kata perumpamaan untuk mengungkapkan
keindahannya.
“Selamat pagi… Maya… Cantik. Apa
kabar?”
Arya malah lupa menjawab
pertanyaan Maya yang justru bertanya kabar pula.
“Maya sehat… ada kabar Arya mau
ke Pangalengan ya…”
“Wah.. Maya tahu dari siapa?”
“dari om ku”
“om kamu? Siapa?”
Tak ada jawaban lagi. 5 menit
menungu membuat Arya tersadar bahwa dirinya hampir terlambat. Arya segera
berangakat dengan sepedanya, menuju tempat janjian dengan kawan-kawan sesama pecinta
sepeda.
Sepanjang perjalanan hati Arya
berbunga-bunga. Senyuman selalu mengiasi bibirnya. Hari ini akan menjadi
perjalanann yang sangat menyenangkan, fikirnya.
**
Sampai di tempat tujuan, Arya
menikmati keindahan alam Pangalengan, hijau dedaunan membuatnya semakin indah
bagai di alam khayalan di mata Arya. Di matanya menari bayangan nya bersama
gadis pujaannya bersepeda boncengan di antara indahnya pemandangan. Berlarian,
saling kejar-kejaran. Si gadis jatuh, lalu Arya menangkap dan memeluknya
erat-erat. Lamunan yang sangat klasik, seperti di film India. Tapi bagi Arya,
memang seperti itulah. Ia sangat meminpikan gadis itu.
Arya mulai lelah, setalah minum
beberapa teguk air, Ia membuka tas kecil yang dililitkan di pingangnya. Mengambil
handphone dan memeriksa adakah pesan dari gadis pujaannya.
Ada satu pesan :
“Arya sudah nyampe ya?”
Secepatnya dia balas walau dengan
jari gemetar, sama getarannya dengan hati dan jangtungnya menahan lonjakan
perasaan bahagia dan tetap berbunga bunga.
“udah… lagi ngapain neeh..?”
“lagi nungguin kamu, di tempat parkir
mobil yang di bawa om”
What??? Arya mendadak salah
tingkah. Beberapa menit lagi Arya dan kawan-kawannya harus berkumpul kembali di
tempat semula. Lalu kenapa harus ada Maya? Gadis pujaannya. Sementara harus
melihatnya dalam keadaan bermandi keringat, baju seperti itu, bukan baju yang
rapih (maksudnya pakaian yang biasa dipake kencan), muka kucel basah dengan
keringat pula. Harus ke mana ia berlari mencari pakaian ganti? Apa yang harus
ia lakukan ketika bertemu dengan Maya? Aduh… gerogi berat… semua itu berkecamuk
dalam fikiran Arya. Ia memperlambat “gowesannya” untuk memperlambai sampai di
tempat di mana mereka harus berkumpul.
**
Maya memang selalu menarik. Memakai
celana jeans, kaos longgar berwarna putih, rambutnya di ikat ekor kuda, memakai
topi warna krem, dengan poni dibiarkannya terurai, memjulur tak tertutup rapi
oleh topinya. Badannya tak terlalu tinggi, tapi cukup proporsional, tinggi dan
beratnya sepertinya ideal. Di mata Arya ia adalah gadis yang paling menarik,
mungil, seksi, cantik, sempurna. Bukan hanya itu bagi Arya perempuan itu adalah
perempuan yang smart, supel, juga memiliki seuara yang merdu. Maya pernah memperdengarkan
suaranya saat memdapatkan kesempatan menghibur peserta lain di pelatihan itu. Suara
lembut itu yang sealu terngiang-ngiang di telinga Arya. Dan semakin bermimpi
jika suatu saat ia memiliki kesempatan untuk mendengarkan suara itu setiap hari.
Arya salah tingkah. Senyum nya
kedeluan oleh Maya. Sapaan nya pun kalah cepat oleh Maya membuat Arya mati
kutu. Arya berkesempatan menjabat
tangannya. Lembut terasa. Seolah tak akan dia cuci tangan nya sampai kapanpun
agar wangi dan lembut jabat tangan itu tak hilang dan terus terasa. Itu adalah
jabatan tangan kali kedua. Setelah sebelumnya berjabat tangan pada acara
penutupan pelatihan. Di sana memang semua peserta dan panitia diwajibkan saling
berjabat tangan untuk meleburkan kesalahan dan kekhilapan yang pernah terjadi selama kegiatan berlangsung. Tapi kali ini jabatan tangan itu terasa jauh berbeda. Rasanya
sampai jauh ke dalam menerobos dan menggelitik hatinya, menguncang-guncang
jantunnya agar semakin cepat berdetak. Lagi-lagi Arya gegori berat…
**
Orang lain beristirahat
bergerombol, Arya lebih memilih memberanikan diri untuk mendekati keponakan
salah satu dari kawannya. Hatinya terus berbisik memotifasinya untuk tak
menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Arya harus menyatakan perasaannya kepada
Maya saat itu juga. Sebelum hari terlalu terik.
Dengan segala kekuatan hati yang
dimilikinya, mengesampingkan rasa malu nya karena penampilannya yang masih basah
dengan keringat, beruntung badannya masih sedikit beraroma farfum yang sempat
disemprotkannya tadi pagi, menambah keberanian Arya untuk mendekati Maya. Sedikit
lebih dekat lagi…
“Hm… Maya…. Boleh gak aku
bercerita sesuatu?
Malah kalimat itu yang keluar
dari mulut Arya. Susah sekali menyusun kalimat yang indah di depan bidadari
cantik seperti Maya. Arya mengutuk dirinya sendiri yang lebih tampak beo di
hadapan Maya.
Maya tersenyum manis. “apa Ar…?
“May.. aku tertarik kepada perempauan.
Dia cantik sekali dan sangat menarik perhatiannku. Berhari-hari aku
memikirkannya sejak pertemuan beberapa hari denganya. Tak banyak yang aku ingat
apa saja kejadian yang kami alami bersama. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja aku
menyukainya. Suaranya lembut, jika ia bernyanyi merdu sekali. Membuat telingaku
selalu ingin mendengarkannya lagi. Caranya menyapa orang-orang, ramah, supel,
buat ku ia sempurna… tapi aku bingung apakah ia memiliki perasaan yang sama?”
Deretan kalimat itu keluar begitu
saja dengan lancarnya dari bibir Arya. Yes! Dalam hati Arya berseru, sekali
lagi “Yes! Akhirya aku bisa mengawali pembicaraan dengan baik” fikirnya.
Maya tersenyum “siapa Ar..?”
Sontak Arya menjawab….
“kamu May….” Dengan perasaan
takut akhirnya kalimat itu berhasil Arya ucapkan
Maya tertegun, menghela nafas
panjang… kemudian…
“aku aneh sama kamu Ar.. masa
baru sebentar kenal sama aku sudah bisa bilang kayak begitu..” tatapan Maya
datar. Kemudian…
“tapi Ar… aku juga menyukai
seseoranh. Seseorang yang sebenarnya orang pertama yang dapat membuatku merasa
terbang dengan pujian-pijuannya terhadapku. Yang selalu membuat aku tersadar
bahwa aku memiliki kelebihan, memiliki potensi. Suara yang katanya bagus, dan
senyumku yang dia bilang manis… membuat aku menjadi tambah bersyukur atas apa
yang aku miliki. Awalnya aku menyangka dia hanya menggombal.. Pada awalnya aku
tetap berusaha membentengi diri agar tak goyah dengan rayuan-rayuan gombal.. Tapi
lama-lama aku suka diggombalin olehnya Ar…”
Bergetar hati Arya, mendengar
ungkapan itu. Ia yakin orang yang dimaksud Maya adlah dirinya.
“May… boleh aku titipkan rasa saying
ini kepadamu?”
“hm… Ar… Aku akan selalu menjaga
rasa sayang yang kamu titikkan kepadaku. Tapi Ar…”
“tapi apa May…?”
“kamu terlambat datang Ar…seseorang
telah menisci hatiku jauh sebelum kamu datang. Aku tak bisa menggesernya dari
hatiku ini. Dia adalah laki-laki terbaik yang orangtuaku pilihkan untukku. Sebentar
lagi kami akan bertunangan…”
Seketika langit menjadi gelap. Dalam
pandangan Arya dedaunan yang indah dan hijau berubah warna menjadi gelap,
gosong. Tempat nya terdiam rasanya berubah menjadi duri-duri tajam yang membuatnya
ingin segera beranjak pergi dan lari entah kemana. Kabur dan
berteriak-kencang-kencang, cintanya gaal lagi…. Tapi Arya sadar ia harus lebih
bersikap dewasa..
“maafkan aku Ar… kamu hanya akan
mendapatkan tempat kecil di hati ku. Tapi tempat itu aku siapkan seistimewa
mungkin. Ruang dalam, jauh di lubuk hati ku yang terindah. Kamu berhasil
memiliki sudut itu di hatiku.”
Maya mengatakan itu dengan senyum manis penuh
kehangatan. Menyembuhkan sebagian luka dalam hati Arya.
Arya menghela nafas panjang. Ada kesedihan
yang mendalam. Tapi ia yakin, akan tetap ada secercah harapan. Harapan luhur,
bahwa ia masih bisa menyanyagi Maya, walaupun ia sudah memiliki kekasih. Harapa
besar bahwa Maya pun memberi tempat di hatinya untuk sebuah nama “Arya”.
Ia bingung, harus merasakan apa. Bahagiakah,
atau bahkan sedih. Tapi yang pasti setidaknya ia tahu Maya pun memiliki rasa
untuknya.
Lagnit yang gelap kembali cerah,
dedaunan yang menhitam kembali menyegarkan. Hati yang remuk kembali memperbaiki
kepingan-kepingannya, hampir utuh kembali. Udara sejuk Pangalengan menjadi
saksi, ikrar cinta yang tak jua mengubah nasib cinta Arya…
Pagi hari di Ujungberung.
Januari 2015
Januari 2015
comment we dlu ya de. baca nya mah ntar we mun salse. hehhe
ReplyDeleteiya a... nuhun tos berkunjung.. :-)
ReplyDelete